Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Riwayat Penghuni Pohon Nangka
0
Suka
57
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Setelah hidup damai sekian belas tahun tanpa gangguan, akhirnya aku mengalami juga sebuah keadaan yang disebut dengan “Kemarahan Setan”.

Jam 8 pagi itu, waktu yang menjadi waktu tidurku, berubah menjadi waktu penuh kekacauan. Tanpa ba-bi-bu, seorang lelaki yang baru saja pindah dan menghuni rumah di dekat tempat tinggalku, berhasil merusak segalanya. Dia menggali lubang melingkar sedalam satu jengkal di bawah akar pohon nangkaku, lalu menaburkan berbaskom-baskom garam kasar di situ. Kurang ajar!

Kucoba meneriaki lelaki itu dengan segala jenis kata makian. Namun, percuma. Dia tak mendengar apalagi melihatku. Yang dia dengarkan adalah ucapan istrinya yang mengatai pohon nangkaku adalah pohon tak berguna dan harus ditebang. Andai saja perempuan berambut pendek itu tahu, pohon nangka yang mereka coba musnahkan itu adalah tempat tinggalku. Aku berada di sini lebih dulu jauh sebelum mereka datang. Sayangnya, tak ada yang bisa kulakukan untuk menyakiti lelaki penabur garam itu. Seluruh kekuatanku seakan lumpuh di hadapannya.

“Kenapa? Tumben enggak main lompat-lompatan?” tanya Kunari dari ranting pohon asam jawa di sebelahku.

“Sudah tau, ngapain nanya lagi?” jawabku ketus. Kutebak, sehabis ini hantu perempuan itu pasti akan menertawakan aku yang sejak tadi hanya terduduk memandangi tumpukan garam di bawah kakiku.

Kunari terkikik. “Kasihannya dirimu, Pon.” 

Benar, kan. Dia terkikik nyaring tanpa rasa bersalah. Andai saja kedua tanganku ini tak terikat kain, pasti sudah kubungkam mulut Kunari agar tak bersuara bising.

*

Belum lagi masalah tumpukan garam itu selesai, pada hari berikutnya, ketika aku masih tertidur, seorang lelaki lain naik lalu memotong-motong ranting pohon nangkaku dengan kasar. Kulihat kilatan kepuasan memancar di matanya manakala setiap ranting itu terhempas ke tanah. Sementara itu, lelaki penghuni rumah, yang kemarin malam menyiramkan garam, berdiri di bawah mengomandoi lelaki yang sedang menggagahi pohonku. 

Aku berdiri menghadap mereka. Kucoba mengerahkan sedikit kekuatanku untuk membuat parang itu tumpul. Kubuat dahan nangka yang ditebangnya tak jua terputus. Aku sempat senang ketika lelaki ceking itu turun. Akan tetapi, sepertinya aku keliru. Lelaki itu naik lagi dengan parang yang berbeda. 

Aarrgh!

Jika saja bisa kupatahkan kedua tangan lelaki itu dan melemparkannya jauh-jauh dari pohon nangkaku. Entah mantra apa yang mereka pakai hingga membuat seluruh tubuhku diam tak berkutik. 

Setelah dahan terpotong habis, kedua manusia itu mengangkat kapak dan mencincang-cincang dahan utama. Satu, dua, tiga, pohonku pun tumbang. Selesai sudah. Tak ada lagi ranting atau daun-daun nangka tempatku berayun untuk menakuti orang-orang ketika malam tiba. Gara-gara dua orang lelaki yang baru pindah seminggu, aku kehilangan tempat tinggal yang sudah kudiami belasan tahun lamanya.

“Poni!” sapa Kunari dari atas pohon asam jawa, pohon yang jadi tempat aku bersandar kini.

Aku melongok melihat Kunari. Kupandangi perempuan yang sedang duduk di atasku itu. Bedanya, kali ini dia tidak tertawa. 

“Aku ikut sedih atas pohonmu,” ucap Kunari.

Kupandangi Kunari lekat-lekat, memastikan bahwa yang mengucapkan itu bukanlah Kunari tiruan. Kunari yang kukenal mana pernah bersedih.

“Ya,” jawabku singkat. Aku tak berminat untuk berbicara panjang lebar tentang pohon. Aku benar-benar lesu. Kehilangan tempat tinggal membuatku kehilangan arah. Ke mana lagi aku harus mencari tempat baru.

“Tinggal bareng aku aja, yuk!” ajak Kunari bersemangat. 

“Apa?!” seruku, kaget.

“Iya, di sini. Anggap saja ini sama seperti pohonmu.”

“Iyalah. Nanti kupikirkan lagi,” jawabku singkat. 

Persahabatan kami memanglah sudah terjalin lama. Hanya saja, aku tidak selera untuk tinggal di pohon yang sama dengannya. Meski bersahabat, aku sungguh kewalahan dengan mood Kunari. Dia adalah perempuan yang seringkali mengalami mood swing. Kadang dia sedih hingga menangis tersedu-sedu, kadang malah tertawa sampai sebal aku mendengar kikikannya. Sungguh sifat yang amat kontras dengan aku yang pendiam. 

“Aku akan mencari tempat tinggal lain malam nanti. Sementara ini, aku menumpang dulu di bawah pohonmu,” kataku lagi kepada Kunari. 

*

Malam sudah larut saat aku berjalan-jalan mencari pohon baru. Rata-rata pohon yang kutemui adalah pohon-pohon kecil yang baru tumbuh. Tak ada lagi pohon besar yang biasa kutemui ketika aku pertama kali mendatangi desa ini. Semua pepohonan tua itu telah berganti menjadi komplek perumahan yang padat. 

Tak beberapa lama kemudian, aku berhenti di sebuah rumah berpagar besi warna hijau tua. Aku terkejut karena melihat seorang perempuan bersanggul sedang menyapu halaman, membelakangiku. Hantu perempuan itu tak seperti Kunari. Dia begitu rapi dan terlihat tidak urakan. Sebuah terusan berwarna merah membalut tubuhnya yang ramping.

“Sedang apa?” katanya. Wajahnya masih membelakangiku, fokus kepada hamparan rerumputan di bawah kakinya. Aku justru heran mengapa di malam selarut ini dia masih juga memegang sapu lidi. 

Aku panik, tak menyangka dia akan menyapaku. “Eh. Anu. Sedang nyari rumah baru. 

“Oh, kau penghuni pohon yang ditebang itu, ya?” tanyanya. 

“Iya. Kok tau?” 

Dia lalu berbalik menghadapku. Alangkah terkejutnya aku karena wajah perempuan itu benar-benar tak ada. 

“Berita penebangan pohon selalu jadi topik hangat di dunia kita. Karena setiap ada satu pohon ditebang, maka itu artinya ada satu hantu yang kehilangan tempat.” 

“Oh, ya.” Aku meringis. Tak menyangka dia akan memberikan jawaban yang agak cerdas, menurutku. 

“Kau mau tinggal bersama kami di sini? Aku, dan empat hantu lelaki di dalam adalah korban penebangan pohon. Kita senasib,” ajak perempuan itu. 

“Empat laki-laki?” ucapku kaget. 

“Iya.” 

“Dan kau perempuan sendiri?” 

“Tenang, tak ada yang bernafsu melihat perempuan tanpa wajah. Mereka para lelaki tipe pemilih,” kata dia diselingi tawa. 

Aku terdiam memikirkan tawaran itu. Di sisi lain, aku terbiasa tinggal sendirian di dahan pohon besar. Tinggal bersama satu hantu perempuan dan empat lainnya lelaki adalah hal yang belum pernah kujalani. Aku merasa itu akan menyulitkanku. 

“Apa rumah ini kosong?” tanyaku. 

Dia menggeleng. “Ada dua pemuda yang tinggal di sini. Tapi mereka jarang pulang. Kali ini saja sudah hampir dua bulan aku tak melihat mereka.” 

Aku makin terkejut. Ternyata mereka nekat tinggal satu atap bersama dua manusia. Ini kelihatan makin menantang. Tujuh makhluk berbeda alam dalam satu tempat tinggal. Menarik, bukan? 

Keesokan malamnya setelah kuputuskan secara terburu-buru, kudatangi lagi rumah berpagar itu. Sesungguhnya, pindah tempat tinggal adalah hal yang amat menyesakkan bagiku. Karena itu artinya aku harus meninggalkan tempat yang sudah kuakrabi selama belasan tahun, harus beradaptasi di tempat baru, dan juga harus meninggalkan Kunari. Jika tidak ada aku, kepada siapa lagi perempuan itu bercerita. Andai saja bisa aku pulang pergi dari rumah baru ke pohon asam jawa ini. 

Saat aku menjejakkan kaki di rumah baru itu, seorang lelaki bertubuh hitam besar menatapku tajam. Sementara ada tiga hantu lelaki lain yang berdiri di sebelahnya, seorang lelaki bermuka rusak, lelaki yang tubuhnya cuma sebelah, dan satu lagi lelaki berkepala miring yang tubuhnya sudah hancur tak berbentuk.

Aku mulai panik. Bagaimana jika mereka tak menerima kehadiranku sebagai teman. Bagaimana jika mereka memperlakukan sebagai orang asing yang tak berhak ditemani. Apalagi, bentuk tubuhku sama sekali jauh berbeda dengan mereka berempat. 

“Kasihan, Bang. Dia sebatang kara. Sama kayak kita,” ucap lelaki berkepala miring itu kepada si hitam besar.

“Kita lihat dulu apa dia bisa menghormati keberadaan kita di sini?” ucap si hitam. 

“Apa yang bisa saya lakukan?” tanyaku. 

“Apa kau bisa memandang kami sebagai makhluk sama sepertimu, tanpa sedikit pun merendahkan bentuk fisik kami berlima?” 

Jleb! Aku tertohok. Perkataan si hitam itu menyinggung perasaanku. Sepertinya dia tahu bahwa aku tipe hantu penilai tampilan fisik. Itulah kenapa satu-satunya teman setiaku cuma Kunari, teman yang berpenampilan fisik cukup baik dan lengkap, menurutku.

“Baik … Bang. Saya bisa,” kataku gugup. 

“Ingat. Aku setuju kau tinggal di sini karena Marni bilang kau kehilangan pohon. Tetapi, jika kau macam-macam, aku tak segan mengusirmu kapan pun aku mau,” ucap si hitam tegas. Kupandangi hantu perempuan muka rusak, yang kemarin berbicara kepadaku. Ternyata namanya adalah Marni. Belakangan baru aku tau, nama si hitam besar itu adalah Gogon. 

Marni benar soal Gogon, walau dia lelaki ketus dan sembrono, dia adalah seorang hantu yang baik hati. Buktinya sampai hari ini dia tak pernah mempermasalahkan apa pun soal diriku. 

Makin hari aku juga makin menyukai Marni. Setiap malam mulai larut, akulah yang menemaninya menyapu halaman rumah hingga subuh menjelang. Kami bercerita banyak hal tentang dia dan tentangku. Darinya juga aku tahu bahwa menyapu halaman adalah kegiatan terakhir yang dia lakukan sebelum tewas di tangan suaminya. 

“Apa rusaknya wajahmu ini juga gara-gara dia?” 

Marni mengangguk. “Hei, sudah lewat larut malam. Sebentar lagi Gogon pulang. Sebaiknya kita masuk dan tidur.” 

Aku pun mengikuti ajakan Marni. Kami berdua masuk ke rumah besar dan berjalan berpisah menuju sudut masing-masing. Marni memiliki sudut di bawah meja dapur yang gelap. Sementara, aku memilih ruangan kecil tempat menggantung handuk, di samping kamar mandi. 

***

Aku terbangun dengan tubuh yang tak bisa kugerakkan. Sekujur tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku gelap. 

“Marniii …!” 

“Gogon ...!”

“Kunari …!”

Telah kuhabiskan tenaga untuk memanggil mereka semua. Akan tetapi, tak ada satu pun dari mereka yang menyahut. Aku benar-benar bingung. Apa yang sebenarnya telah terjadi?

***

Dua pemuda sedang sibuk menyirami air bersih dari dalam botol plastik ke seluruh dinding rumah. Bunga berbagai warna masih berserakan di lantai. 

“Siram ke semua dinding, semua sudut. Jangan ada yang tertinggal,” kata lelaki berpeci hitam yang sedang berdiri mengawasi para pemuda itu. 

“Iya, Ustadz.”

Pagi-pagi sekali, kedua pemuda itu bersama sepuluh orang lainnya baru saja selesai berdoa bersama di rumah berpagar hijau tua yang mereka tempati. (*)

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Riwayat Penghuni Pohon Nangka
Auli Rashid
Cerpen
Hanya Sebatas Kerikil Kecil
Rein Senja
Cerpen
Kamu Sudah Dicus
Mambaul Athiyah
Cerpen
Bronze
Pisang Goreng
De Lilah
Cerpen
KARBAK 85
Sky Melankolia
Cerpen
Bronze
Kumpulan cerita inspiratif
Banana with Cucumber
Cerpen
Batas Pacuan
Kopa Iota
Cerpen
Marriage Deadline
Nadya Atika
Cerpen
Bronze
Memeluk Kaktus
Cicilia Oday
Cerpen
Bronze
Rindu Gaharu
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Bronze
Maghdiraghar Nyurathala
JWT Kingdom
Cerpen
Jawaban Tuhan
spacekantor
Cerpen
Bronze
ROTI ISI MATAHARI
Rian Widagdo
Cerpen
OMA-OMA MERESAHKAN
Zirconia
Cerpen
Tentang Teman dan Waktu
Aura R
Rekomendasi
Cerpen
Riwayat Penghuni Pohon Nangka
Auli Rashid
Cerpen
Kisah Ular
Auli Rashid
Cerpen
Cara Melipat Luka
Auli Rashid