Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Penjara Suci Tempat Menempa Diri
2
Suka
267
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Teng! Teng!" Sebuah bunyian berdentang dengan keras bak lonceng gereja, dialah panglima seluruh umat manusia yang tinggal di komplek penjara suci ini. Sejurus kemudian, sesosok bayangan berdiri di perempatan jalan sedang mengangkat tangan kanannya seraya berhitung dengan isyarat jarinya. Sosok itu hanya tiga jenis, yang pertama rais menazzhamah, yang kedua bagian keamanan atau yang terakhir bagian ibadah.

Aku yang masih mabuk akan kantukku, tersontak kaget melihat bayang-bayang itu. Di sekitarku orang-oramg berlarian sambil menghilangkan rasa kantuknya. Tanpa ambil pusing dengan kondisi sekitar, kukerahkan seluruh aggota badan agar terasa segar walaupun belum kucuci muka. Kukumpulkan seluruh power untuk berlari sekuat tenaga agar terhindar dari yang namanya blacklist. Ternyata, kurang lebih dua langkah lagi lewat dari sampingnya hitungan jarinya cukup di lima.

"Berhenti semua!" ucap sosok tadi, ternyata ia adalah bagian keamanan yang sedari lonceng tadi sudah berdiri dan terlihat di tangannya sebuah buku. Aku terhenyak.

"Aduh buku itu lagi, nanti kalau dicontengnya gimana, ya? Bisa-bisanya copot mahkota hitamku!" ucapku dalam hati yang sedang kacau balau.  

"Kenapa kalian terlambat?" bentaknya, orang sepertinya ini kalau marah tidak dilihatnya lagi kita itu manusia. Dengan berbagai macam alasan teman-temanku dan aku sendiri. Akhirnya reda letusan gunung api nun di depan mata ini. 

"Kali ini saya maafkan. Tapi besok! Kalau diulangi lagi, jadi tuyul antum semua saya buat, paham?!" 

"Paham, Al-Akh." Dengan senang hati semuanya yang tadinya mengantuk dan cemas kini bergembira tak terperi, termasuk aku. Berangkatlah kami menuju masjid.

Sepulangnya shalat subuh, datanglah seorang temanku, Abrar namanya. Dia dijuluki sebagai tukang tidur karena pekerjaannya yang menurut kami sudah mencapai tingkat hobi adalah tidur.

"Kalian mau kemana?" kata Abrar yang mengantuk.

"Mau nambah kosa-kata pagi."

"Terus kamunya ngapain putar haluan ke asrama? Mau tidur, ya?" Selidik temanku yang lain. 

"Bukannya hari ini ahad, ya?" kembali timpal Abrar. 

"Makanya kamu jangan mengantuk terus, gitu kan jadinya." cetusku yang kemudian diresponnya dengan sebuah angukan.

Begitulah basa-basi sampai pemberian kosa-kata usai. Biasanya kami di dalam pesantren ini setelah penambahan kosa-kata usai, sebahagian atau delapan puluh persen memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap untuk jam masuk kelas. Sisanya paling tidak bermalas-malas di dalam kamar menunggu sambaran petir pagi alias dihukum pengurus kamar karena kemalasan mereka. 

Panglima kembali berdentang pada pukul tujuh lima belas. Aku yang masih menikmati breakfast-ku tersontak kaget. Sambil tergesa-gesa untuk menyudahi makan, aku lari terbirit-birit menuju aasrama yang kurang lebih jaraknya seratus meter dari dapur tempatku makan. Sejurus kemudian, terdengar suara menghampiri telingaku.

"Akhi semua kesni!" Aku memalingkan wajahku ke belakang seraya melihat kakak kelasku bagian pengajaran yang sudah standby di depan asrama. Aku dan beberapa temanku yang sama-sama terlambat berlari menuju hadapan si kakak bagian pengajaran tadi. 

"Sedari tadi antum kemana aja?" Tanyanya, tetapi kami hanya diam bak orang dungu diajak bicara.

"Antum ini semakin lama semakin menjadi-jadi, ya! Dan orangnya itu-itu saja. Tidak pernah lebih dan tidak pernah kurang. Selalu tujuh orang ini dalangnya." Kami semakin tertunduk tidak berdaya menerima kenyataan ucapannya.

Dalam pada itu, aku dan keenam temanku dihukum berjalan memanjang ibarat kereta api dan kami seketika itu pula malu. Sambil berkeliling, kami disuruh berteriak dikomandoi olehku seraya teman-teman yang lain dengan kekompakannya menyahutiku.

"Kami tidak tertib dan selalu terlambat!" Sampai pada akhirnya, sang panglima melanjutkan dentangannya. Seketika itu pula aku dan yang lainnya dibubarkan. Barisan kereta api tadi terbelah gerbongnya menjadi tujuh bagian dan sontak mereka hilang dari rel entah kemana. 

Kulirik jam di tangan kiriku, tepat pukul tujuh lewat tiga puluh. Masih ada waktu sekitaran dua menit untuk menuju kelas, cara yang dinamis untuk mendahului guru ke ruang kelas adalah dengan melewati gedung organisasi yang dilarang dilintasi. Tetapi dengan sedikit hati-hati kulintasi tanpa berpikir panjang, aku lari sempoyongan dan ternyata kakak kelasku yang mengurus organisasi tersebut sudah semuanya menuju kelas. Hatiku sedikit lega karena trik ini menyempatkanku untuk masuk ke dalam kelas. 

"Kamu dari mana, Adi?" Tanya salah seorang temanku.

"Dihadang kakak bagian pengajaran karena terlambat." Jawabku yang sedang mengatur kadar napas.

"Pantas kamu mendapatkannya!"

"Kenapa?"

"Kamunya sih, enggak membaca gerak-gerik waktu di pondok ini! Sering kan kamu terlambat?!"

"Emang pondok ini sok teratur banget! Kalau di luar mungkin kita masuk kelas kapan kita mau. Nggak ada yang mengatur-atur."

"Di mana sih tempat yang nggak ada peraturannya, hidup di hutan juga punya peraturannya. Bersyukur loh, seharusnya kamu disekolahkan orang tuamu di pondok ini. Kalau di luar sih, saya nggak jamin bagaimana kehidupanmu selanjutnya."

"Memang kalian yang sok mengikuti peraturan selalu beginian, pingin hidupnya diatur-atur sama orang yang baru ia kenal di sini!" Sahutku dalam perdebatan panas pagi ini, wajar saja temanku yang paling pintar sekaligus alim itu menyalah-nyalahiku dalam agresi tempur lisan kali ini. Setelah adu mulut bekepanasan itu selesai karena jawabannya yang realistis membuat otakku ciut menjawabnya..

"Duk, duk, duk," suara hentakkan sepatu pantofel yang terdengar lembut tanpa gesekan, pertanda bahwa ustadz Jabbar, guru pengajar hadist datang dan masuk ke kelas kami. Memang pelajaran pertama pagi hari ini adalah hadist.

"Assalamu'alaikum," salamnya singkat. 

"Wa'alaikumsalam, Ustadz." Jawab kami serentak. Setelah muqaddimah dari sang ustadz, beliau langsung menuliskan maddah pelajaran di papan tulis putih bersih yang berada di hadapan kami. Tanpa ada basa-basi, langsung ia tulis hadistnya.

"Man kharaja fii thalibil ilmi, kaana fii sabilillahi hatta yarji'a." Teriak ustadz Jabbar dengan lantang yang membuat kami kaget sekalgus tercengang karena tidak paham artinya, wajar saja tidak paham karena masih di tahap pemula alias kelas satu.

"Maa ma'nahu, Ustadz?" Celetuk temanku Abrar.

"Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia termasuk di jalan Allah sampai ia kembali." Jawab ustadz Jabbar dengan antusias.

Dari hadist yang satu ini, aku mendapatkan sedikit celah berupa pencerahan dalam pikiranku. Ternyata selama ini yang dikatakan oleh si paling pintar temanku, benar-benar shahih, tidak ada penyelewengan dalam setiap ucapannya. Termasuk yang baru kami perdebatkan, saat aku baru masuk kelas tadi. Akan tetapi, ada satu persoalan yang mneurutku belum terjawab dalam hadist ini. Sekolah meninggalkan kampung halaman memang itu yang kupahami dari hadist ini. Yang menjadi masalahnya adalah podok ini sangat banyak peraturan. Aku berpikir sejenak lalu,

"Ustadz, kandungan hadist ini kan masalah menuntut ilmu. Yang saya permasalahkan sekarang adalah tempat menuntut ilmunya, ini pesantren atau bukan, sih? Sangat banyak tekanan hidup saya selama ini karena peraturan!" Tanyaku pada sang ustadz. 

"Kamu pernah dengar istilah penjara suci, nggak?"

"Pernah, Ustadz, pesantren ini kan penjaran sucinya."

"Mengapa diistilah sedemikian? Karena faktor yang pertama adalah faktor tempat tinggal. Kamu di sini pernah keluar nggak? Kalau mau keluar harus pakai izin kan dengan alasan tertentu? Layaknya penjara, penjara di kantor polisi itu kan tidak mengizinkan tahanannya sebebasnya keluar. Bedanya, kamu di sini bukan di mana kamu itu disiksa. Hukuman yang ada di sini adalah landasan awal agar kamu mampu menjalani tekanan kehidupan di luar sana. Ibaratnya kamu sekarang sedang ditempah! Yang kedua adalah sucinya, mengapa dikatakan demikian? Karena pondok pesantren ini adalah tempat di mana semuanya serba ibadah. Kamu belajar ganjarannya pahala, belajar itu kan sebahagian dari ibadah. Paham?" Jelas ustadz Jabbar kepada kami semua yang berada di dalam kelas itu. 

Dari sana lah aku baru memahami bahwa pondok pesantren itu adalah asas penting kehidupan seorang muslim, dan juga penting dalam mempertahankan keselamatan agama yang dibawakan oleh akhirul anbiya, ini. Inilah konsep dari pendidikan agama berupa pesantren yang dijuluki santri sebagai penjara suci, dan inilah penjara suci itu tempat untuk menempa diri.

*Cerpen ini ditulis dalam tiga tempat: Gedung Sudan, Masjid Jami' Darul Amin dan Gedung Mekkah. Diselesaikan di gedung Mekkah kamar: 01.

Tanoh-Alas-Babul Makmur-Aceh Tenggara-Indonesia.

Sabtu, 27 Januari 2024. Pukul 20: 02 WIB. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Penjara Suci Tempat Menempa Diri
LISANDA
Novel
Gold
HIJABLICIOUS
Mizan Publishing
Flash
[Irene] Reinkarnasi Terdahulu
Almira
Novel
Gold
Dekapan Kematian
Mizan Publishing
Novel
Gold
Khadijah Bunda Orang-orang Beriman
Mizan Publishing
Novel
Gold
Perjalanan Ruh
Noura Publishing
Cerpen
Bronze
PLAYBALL!!
DMRamdhan
Novel
Gold
Sebab Bahagia Itu Mudah
Mizan Publishing
Novel
Gold
Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam
Bentang Pustaka
Cerpen
SEKUNTUM SABDA UNTUK BUNDA
Rian Widagdo
Novel
SEPASANG SANDAL
Imroatul Mughafadoh
Cerpen
Bronze
Judi
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Pernikahan Aisyah
Delia Septiani
Cerpen
Bronze
Stok Ekstrasabar
Ninik Sirtufi Rahayu
Flash
Bronze
Andini
Bakasai
Rekomendasi
Cerpen
Penjara Suci Tempat Menempa Diri
LISANDA
Cerpen
Indahnya Surga di Telapak Kaki Ibu
LISANDA
Cerpen
Liburan Juga Bermanfaat
LISANDA
Cerpen
Aku Banyak Belajar Dari Ibuku
LISANDA
Cerpen
Bronze
Air Api Dan Kesuksesan
LISANDA