Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Kopiah Bapak
2
Suka
3,211
Dibaca

Cerpen Andaru Intan

Kopiah Bapak


Makin lama, makin banyak tamu ke rumah. Mereka berbondong-bondong membawa keluarganya yang sakit. Bermacam-macam. Ada yang kakinya bengkak sampai seperti kaki gajah, ada yang kemaluannya membesar hingga celananya menonjol bak terisi buah mangga, ada juga yang kulitnya bersisik seperti kulit ular. Tak hanya yang keluarganya sakit, mereka yang sehat wal afiat, ganteng gagah puh ikutan sowan ke rumah. Mereka hanya ingin bertemu Bapak, menyalaminya, lalu melihat kopiah Bapak. Mereka ingin sehat, sembuh dari sakitnya, ingin kebal, ingin panjang umur.

Apalagi di bulan satu Suro, rumah makin ramai di kunjungi tamu. Mereka tidak ingin memandikan pusaka macam keris pada Bapak, tapi lagi-lagi, mereka hanya ingin bertemu Bapak. Ingin melihat kopiah yang Bapak kenakan, yang katanya akan terlihat lebih bersinar setelah dimandikan di malam satu Suro itu.

"Bapak tak mau menerima uang ataupun sembako dari mereka," kata Bapak saat tahu istriku membawa dua kresek merah berisi gula putih.

Istriku lalu cemberut. Menatapku seperti butuh pembelaan.

Aku meresponnya cepat-cepat. aku sudah terbiasa tak bisa melihat istriku marah. Gara-gara sewaktu muda dulu,bila marah, dia tak pernah mau disentuh, bahkan saat aku lagi butuh. "Pak, Minah cuma menerima teh dan gula pasir. Cuma untuk mengganti suguhan minuman tamu kok.."

"Satu tamu bisa kasih gula satu hingga dua kilo, sehari ada berapa tamu. Apa kau suguhi tamu-tamuku dengan satu stoples gula tiap hari? Jadi, berapa kwintal gula yang bisa kamu jual?" kata Bapak sinis sembari berlalu menuju kamarnya.

"Pak, tapi kita bisa rugi Pak, kalau tak mau terima apa-apa dari tamu.." teriakku yang masih membela istri.

"Jangan suguhi apapun tamu-tamuku, sediakan kendi dan gelas saja di meja biar mereka ambil sendiri. maka kau tak perlu perhitungkan sabun cuci juga.." jawab bapak dari kejauhan dengan suara yang samar-samar tapi masih terdengar.

Aku menatap Minah. Matanya masih melorok. Didekapnya gula plastik pemberian tamu itu erat-erat. Takut aku merebutnya. "Bapakmu tuh jadi orang kelewat baik. Memang aku tak perlu duit apa? Walaupun tak disuguhi apa-apa, tamu itu tetap merugikanku. Rumah jadi kotor, tenagaku habis buat nyapu. Sudah tak apa, tanpa sepengetahuan Bapak tak apa lah aku terima satu-dua kilo gula putih," jawabnya yang tak mau kalah.

Dia lalu melengos ke dapur, meninggalkan aku yang duduk di ruang tamu. Tiap hari aku ya begini ini. Hanya bisa menghadap TV dengan layar yang sesekali tampak seperti dikerubungi kunang-kunang. Hanya bisa tukang penerima tamu-tamu Bapak.

Begitulah. Aku tak bisa menyebut hal ini suatu keberuntungan. Juga tak bisa menyebutnya malapetaka. Mereka yang datang ke sini memang tamu-tamu Bapak, yang diakui atau tidak, mereka cukup merepotkan kami. Tapi mau di kata apa, mereka memang butuh Bapak. Dari sekian banyak tamu memang ada yang sembuh dari sakitnya, ada juga yang tidak. Tapi masyarakat di luar sana hanya mendengar gaung kesembuhan. Mereka percaya hanya dengan melihat kopiah Bapak mereka akan sehat dan percaya siapapun yang memakai kopiahnya akan hidup selama-lamanya.

Ah, aku sendiri tak percaya. Nyatanya kemarin waktu cucuku sakit demam, Bapak yang menungguinya seharian tak mampu membuat demam cucuku reda. Hingga aku menyerah dan menyetujui anakku yang akan mebawa cucuku ke puskesmas. Dokter bilang cucuku menderita demam berdarah. Dia harus mendapatkan cairan yang cukup lewat selang infus yang ditusuk di pembuluh darahnya.

Seminggu menjalani rawat inap, cucuku jadi sembuh dan sehat kembali. Aku, anakku, dan menantuku percaya sepenuhnya dengan apa yang dikatakan dokter. Tapi Bapak bilang cucuku sehat karena kopiah Bapak.

Entahlah, kopiah Bapak memang susah dimengerti.

Percaya tidak percaya, kopiah Bapak memang bukan kopiah sembarangan. Bapakku juga bukan orang gila, Bapak waras sewaras-warasnya. Bapak bilang, kopiah ini dia dapatkan dari pemberiannya sewaktu menjadi pejuang kemerdekaan dulu. Pak Sudimin bilang kopiah ini telah diisi, ketika kopiah ini di kepalanya,dia bisa kebal dari segala macam ancaman yang hendak mengganggu tubuhnya. Peluru kompeni tidak akan tembus ke daging, peluru itu bisa terpental, atau bila pun melukai kulit, kulit akan segera kembali ke kondisi semula. Parang setajam samurai yang mampu mengiris paku seperti mengiris lidi dan mengiris besi seperti mengiris kayu itu pun tak akan bisa melukai kulit, kalaupun melukai kulit akan segera kembali ke kondisi semula. Tak perlu jauh-jauh dengan senjata, sendi yang sakit karena digerogoti rematik itu akan sembuh saat kopiah ada di kepala. Itulah yang membuat Pak Sudimin menjadi pejuang yang paling dicari Belanda, pejuang yang dipuja orang jawa. Pejuang sakti, katanya. 

Kalau Bapak menceritakan kejadian itu, matanya selalu berkaca-kaca. Sebenarnya, Bapak yang bergelar veteran tidak ikut berjuang seperti Pak Sudimin, bapak hanya menyumbang makanan untuk para tentara yang bersembunyi di hutan. Bapak membawakan ubi, jagung godok, nasi, sayur lodeh, minuman, yang ditaruhnya di dalam tobos. Di atasnya ditutupi kelapa dan daun blarak. Saat ada kompeni yang melihat bapak, bapak berpura-pura berjualan kelapa. Pada satu malam yang naas itu, entah kenapa bapak ingin bicara lebih lama dengan Pak Sudimin dan kawan-kawannya. Di tengah mereka makan, tiba-tiba saja banyak suara sepatu berlarian. Bapak bilang mereka adalah cakra -orang pribumi yang mengabdi pada kompeni. Mereka melihat Bapak dan para tentara. Para tentara berlari gesit, sementara Bapak gopoh tak bisa melakukan apa-apa. Sebelum Pak Sudimin menyusul kawan-kawannya, dia memberikan kopiah itu pada bapak.

Pakailah dan bawa sepedamu ke barat. Jangan pulang ke rumahmu selama satu minggu. 

Itu adalah wejangan dari Pak Sudimin yang telah berhasil menyelamatkan Bapak dari kejaran para cakra. Hingga Bapak menangis sesenggukan ketika seminggu setelah bapak pulang dia hanya mendengar kabar Pak Sudimin dan kawan-kawan yang tertangkap cakra di daerah timur telah meninggal.

Mulai saat itu Bapak merawat kopiah Pak Sudimin. Kopiah yang telah diisi. Kopiah yang membuatnya sehat hingga usia satu abad lebih. Kopiah yang dinabikan oleh banyak orang saat ini.

*

Suara Bapak serak, Bapak batuk-batuk. Aku menawari Bapak untuk berobat ke puskesmas, aku percaya dokter pendatang yang bekerja di puskesmas akan memberinya obat yang tepat seperti saat dia merawat cucuku tempo hari. Tapi, Bapak menolak. Bapak punya kopiah katanya. Dan benar, setelah kopiah dipakainya, Bapak tak lagi batuk-batuk, Bapak kembali bugar, badannya kembali tegak. Bahkan umur bapak yang sudah satu abad tak pernah terlihat saat bapak memakai kopiah itu. Sering kali tamu yang datang mengira Bapak lebih muda dari aku meskipun rambut kami sama-sama putihnya.

Suatu hari, saat aku hanya duduk berdua dengannya di ruang tamu. Saat musim penghujan dan tak ada tamu yang datang. Saat aku dan bapak sama-sama meminum teh pahit. Teh yang dibuat istriku untuk menyinggung Bapak yang terlampau idealis tak mau menerima apapun dari tamunya.

"Pak, sampai kapan Bapak mau pakai kopiah itu terus?"

Bapak mengangkat bahunya. "Mungkin selamanya sampai kopiahnya rusak, hingga lama-lama aku mati sendiri.."

"Pak, bukannya kopiah itu tidak akan rusak sampai kapan pun kalau Bapak mencucinya tiap satu Suro? Lagi pula apa benar itu kopiah bisa mengobati orang? Kopiah bapak cuma ngefek pada bapak saja to?"

"Entahlah, buktinya banyak yang sembuh setelah ke mari."

"Tapi banyak yang mati juga, Pak. Kita nggak bisa melawan takdir.."

"Jadi, kamu pengin Bapak mati atau pengin kamu juga pakai kopiahnya?"

"Pak, tidak ada secuil pun rasa pengin pakai kopiah itu, Pak. Aku cuma berpikir kalau begini terus, bapak hidup terus, siapa yang akan merawat bapak? Kalau aku dan minah mati? Adik-adik sudah takut tinggal di rumah ini, sudah menuduh bapak macam-macam.. aku cuma menghawatirkan Bapak.."

"Hmmm" Bapak malas menjawab.

"Kalau sampai aku meninggal, kopiah dicuri orang, kopiah Bapak malah disalahgunakan, Pak.."

"Terus maumu apa?" tanyanya yang menbuatku diam.

*

Subuh-subuh Bapak berteriak memanggiliku dan Minah. Kopiah bapak hilang. Minah kaget dan tetangga ikut kaget. Bersamaan dengan itu Minah bilang celana dalamnya banyak yang hilang. Bapak lalu menatapku seperti hendak bicara banyak, tapi tak bisa karena Bapak langsung batuk-batuk. Keadaan Bapak menurun drastis. Belum sempat dokter yang kupanggil datang ke rumah. Belum genap sehari kaki Bapak bengkak, bapak sesak, bapak kurus, bapak keriput, kulitnya bergelambir. Bapak nyeri dada. Inalillahiwainailaihirojiun. Bapak meninggal hari itu juga. Walaupun tak ada yang pernah tahu mungkin Bapak sudah meninggal sejak dulu.

Kami yang menunggui bapak dengan membacakan ayat-ayat suci menangis. Kami doakan Bapak dengan niat baiknya mengobati orang-orang dengan kopiah itu diterima di surga. Tamu-tamunya berdatangan melayat. Tapi banyak juga yang mengajakku bicara dan berniat hendak membeli kopiah bapak dengan harga ratusan juta. Aku bilang kopiah itu benar-benar hilang. Lalu mereka pulang dengan kecewa.

Berikutnya muncul kopiah-kopiah palsu milik Bapak. katanya ditemukan di tengah laut, ada yang bilang lagi kopiah itu tiba-tiba jatuh dari atap dan cerita-cerita goib yang sebenarnya hanya penipuan.

Aku mencibir saja mendengar berita itu, tak ada yang tahu bahwa kopiah itu telah kucuri pada saat bapak tertidur lelap, kubungkus dengan celana dalam Minah dan kubakar di belakang rumah. Abunya kubuang di sungai. Aku memang satu-satunya orang kepercayaan Bapak, bahkan aku adalah satu-satunya orang yang diceritainya bagaimana cara menghancurkan kopiahnya. Bapak percaya padaku bahwa aku tak akan membunuhnya dengan menghancurkan kopiahnya. Benar memang. Aku tidak membunuh Bapak. Mana mungkin anak yang sangat disayangi bapaknya membunuh bapaknya sendiri. Mana mungkin. Aku hanya ingin membantu Bapak kembali pada dirinya sendiri. Bapak yang lahir sebagai manusia juga harus meninggal sebagai manusia.***

Cerpen ini terbit di solopos, 2016.

Intan Andaru. Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (2021). Sempat menjuarai lomba cerpen Festival Sastra UGM (2021). Menulis novel Perempuan Bersampur Merah (GPU, 2019). Masih tetap menulis di tengah kesibukan melanjutkan studi spesialis bedah urologi.


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Kopiah Bapak
Intan Andaru
Novel
KOL (Karang Ombak Laut)
Hendrakur
Novel
Temukan Aku!
Rexa Strudel
Novel
Bronze
Wentira "Another Story of the Invisible City"
Etzar Diasz
Novel
Rasuk Terakhir: Huriyyah
litareea
Novel
Bronze
Memburu Phytagoras
Waode Nurmuhaemin
Novel
Terhimpit
litareea
Novel
Bronze
Tuju
EZAZ QI
Novel
Bronze
Persinggahan Mistik
Tira Riani
Novel
Sisi Gelap
Ari Keling
Novel
Petaka Kala Itu
Jia Aviena
Novel
Bronze
LUKA SEORANG SANTRIWATI
Flora Darma Xu
Novel
White Annie
Hasan Danakum
Novel
Bronze
Misteri Gunung Halilintar
Vitri Dwi Mantik
Novel
I Am The Justice
Erika Angelina
Rekomendasi
Cerpen
Kopiah Bapak
Intan Andaru
Cerpen
Sebuah Janji
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
Bendera di Bawah Bintang Senja
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
Perempuan yang Menikahi Belik
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
INSOMNIA
Intan Andaru