Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Fana Menjelma Abu
0
Suka
9
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tuhan. Sudah sejak lama aku menginginkan kematian. Namun, Kau selalu memberikan harapan untukku bertahan hidup. Meski ku tahu bahwa surga yang Kau berikan itu hanyalah fatamorgana. Dan, kini aku menginginkan mati kembali. Tidak. Aku akan membuat diriku mati dengan neraka yang lebih nyata dari surga yang Kau beri itu. Biarkan aku terbakar. Biarkan. Hingga aku menjelma abu.

*

Aku tak tahu. Sungguh-sungguh tak tahu dari mana semua ini bermula. Semuanya bertumpuk, menyampul dan berkelindan tak tentu arah. Kusut. Seperti rambut-rambut api. Akar dan pangkal permasalahan hidup yang samar untuk diterka. Kucoba tangkap satu dengan akal sehat namun selalu gagal.

Apakah semua berawal dari sini? Ya, kurasa begitu. Kegilaan ini mulai bermunculan dari sebuah halusinasi panjang. Aku dapat mendengar, melihat dan merasakan kematian. Mulanya hanya sebuah lagu. Lagu yang terus terngiang. Lagu yang sangat kukenal. Moonlight Sonata. Lagu itu, kesukaanku. Entah sejak kapan aku menjadi membencinya.

Oh, Beethoven. Mengapa kini ketika aku mendengarkan karyamu itu menjadi suatu yang lain? Bukan lagi ilham-ilham. Aku tertuntun oleh alunan kematian. Kematian. Dan, gagak-gagak api seakan menelan ragaku bulat. Gelap. Aku melihat gagak-gagak itu dalam gelap. Oh, Mataku. Telah kucongkel mataku. Sepasang mata yang lelah. Mata yang mampu melihat takdir. Takdir kematian.

Tidak. Pasti halusinasi itu pun merupakan sebuah akibat dari perjalanan perih yang sangat panjang. Tragedi dan komedi kehidupan. Kucoba singkapkan kembali bayang-bayang mengerikan tentang api dan kematian dalam benak. Bayangan-bayangan pekat, mau sampai kapan kau menghalangi ingatanku?

Samar-samar, dapat kulihat kilasan kehidupan. Ah, muram. Begitu mengerikan. Kilasan-kilasan itu pecahan kaca yang membara. Jika kugenggam kembali hanya akan membuatku terluka. Apakah aku sepengecut itu? Sedangkan, jiwa ini hanya menginkan sebuah jawaban. Jawaban untukku mati dengan tenang. Dan, di depanku sebuah kematian yang nyata telah menanti. Apakah satu detik lagi dari sekarang aku akan ragu untuk menggenggam kematian itu?

*

Cambuk yang menggelegar. Cambuk itu berasal dari ayah. Ayah yang selalu marah. Marah. Seakan kata marah itu sudah melekat padanya. Aku hanya seorang bocah. Kurelakan punggungku merah. Terkadang menghitam dan beradarah-darah.

Sedangkan ibu. Ibuku seakan acuh dengan apa yang terjadi. Ia hanya menatapku dengan hambar sambil merokok. Dan ayah, jelas saja melihat itu memalingkan amarahnya pada ibu. Ia berbalik menyiksanya. Bahkan lebih binal. Kemudian menggagahinya di depanku.

Binatang laknat. Mereka serupa binatang yang melenguh dengan peluh yang bercucuran. Sedangkan aku hanya bisa menangis. Meratap. Ah, Tuhan. Sejak itulah pertama kali aku menginginkan mati saja. Namun, seperti kataku. Kau selalu memberikan harapan untukku bertahan.

Suatu waktu sepulang sekolah, kudapati rumahku terbakar. Tentunya orang tuaku mati. Hangus. Tak dapat kukenali lagi wajah mereka. Tetapi, aku yakin bahwa dua orang yang mati itu adalah orang tuaku. Sosok gosong yang memegang gagang cambuk itu pasti ayah. Ah, sampai mati pun ia tetap marah. Dan aku hanya bisa berpikir rumahku terbakar karena ulah mereka yang bertengkar.

Air mata yang ganjil. Aku menangis, bukan menangisi kehilangan. Untuk apa pula aku merasakan hilang pada ayah yang pemarah dan sosok ibu yang seakan tak ada. Ah, Entahlah, yang pasti aku menangis hanya untuk air mata. Dan, dalam hatiku timbul rasa bahagia atas kematian mereka.

Wahai Tuhan, harus kuakui bahwa takdir paling kejam yang kau ciptakan adalah kelahiran. Ah, tak sedikit pun kau beri kuasa pada jabang bayi. Bahkan hanya untuk sekedar memilih pada rahim mana aku akan dilahirkan. Sekonyong-konyong kesadaran pun terbentuk saat kita bocah. Dan, telah kudapati kehidupan yang seperti neraka ini. Aku bersyukur pada kematian. Tentunya kematian kedua orang tuaku. Ah, persetan dengan kata durhaka.

Sempat aku berpikir: Kemanakah aku akan tinggal selanjutnya? Bagaimana caranya mencari makan? Dan beribu pertanyaan lainnya. Aku tinggal bersama kepala desa untuk sementara. Dan sementara itu, selalu kukunjungi puing-puing rumahku. Sampai, tepat satu bulan lamanya setelah kejadian itu, aku bertemu dengan seorang pria paruh baya. Badannya tambun dengan pakaian rapih. Mobil mewah terparkir tepat di pekarangan rumah.

Aku tak mengenali siapa dirinya. Tetapi, ia terus menatapku. Kemudian ia memperkenalkan diri. Sastra Atmaja. Itulah namanya. Seorang bupati. Ah, aku yang seorang bocah bodoh ini tak mengerti apa itu bupati dan sebagainya. Kemudian, ia bertanya siapa diriku. Setelah tahu asal-usulku, aku pun diadopsi olehnya.

Rumah. Baru kurasakan hidup seperti ini. Aku seperti terlahir untuk kedua kalinya. Terlahir dalam kemewahan. Sejak saat itulah aku menambahkan namanya di belakang namaku. Fana Sastra Atmaja.

Inilah surga yang ditunjukan Tuhan padaku. Surga yang kelak hanyalah fatamorgana itu.

*

Di kediaman Tuan Sastra Atmaja hanya ada kami bertiga: Aku, Tuan rumah dan Nira Nirwana anak kandungnya—maksudku: supir, pembantu rumah dan tukang kebun tak masuk hitungan karena tidak terdaftar secara administratif.

Kira-kira umur Nira terpaut lima tahun dibawahku. Sempat kutanyakan tentang Nyonya rumah padanya. Namun, yang kudengar hanya cerita duka. “Ayah lebih memilih setia setelah kematian bunda” begitu tuturnya. Ah, aku semakin kagum saja pada sosok Tuan Sastra Atmaja. Terlebih, ia pun memperlakukanku seperti anaknya sendiri.

Darinyalah aku mengenal Beethoven. Moonlight Sonata. Lagu yang selalu diputar saat senja. Karena di rumah itu ada piano. Aku pun belajar hingga menguasainya. Kelak aku pun membuat musik klasik sendiri. Hanya untuk diriku sendiri tentunya. Tak dijual di pasaran.

Waktu berjalan sangat cepat. Tak terasa aku pun sudah tumbuh dewasa. Nira Nirwana. Aku jatuh hati padanya. Ia pun merasakan hal yang sama. Kami pun menjalin asmara secara sembunyi-sembunyi. Disamping kebahagiaan kami. Tuan Sastra Atmaja mulai memasuki usia senja. Ia sering sakit-sakitan. Diabetes dan Jantung yang dideritanya sejak dulu mulai menampakan taringnya. Sampai pada akhirnya ia pun harus tiada.

Kami sangat merasa kehilangan. Ia terkenal dermawan. Sangat banyak orang yang melayat. Hiruk-pikuk isak-tangis. Rumah ini ramai oleh air mata. Aku memeluk Nira. Kami saling peluk untuk menutupi lubang yang sama.

Sewindu telah berlalu. Kami memutuskan untuk menikah pada tahun ketiga kematian Tuan Sastra Atmaja. Setelah itu kami dikaruniai dua orang anak. Anak yang cacat. Selalu cacat. Entah mental maupun fisiknya. Tak mungkin kebetulan jika sudah terjadi dua kali. Terlebih asupan nutrisi selalu kuberikan saat ia mengandung. Susu, salmon dan sayuran yang menyehatkan tak luput dari menunya sehari-hari. Meski begitu kami tetap merawat anak kami.

Dan, pada kehamilan ketiga, Nira mengalami keguguran. Pendarahan hebat. Ia membutuhkan darah. Mulanya aku bingung untuk mencarikan darah yang cocok. Darah miliknya sangat langka. Tuan Sastra Atmaja, meskipun ia mempunyai diabetes adalah harapan satu-satunya. Namun, ia telah lama mati.

Akhirnya, kuberanikan diri untuk memeriksakan golongan darahku. Ah, aku sangat takut pada jarum suntik. Tetapi demi istriku, cintaku, kuberanikan diri. Ternyata, kami memiliki golongan darah yang sama. Sama senyata-nyatanya sama. Kami satu DNA. Nira Nirwana adalah adikku. Entah mungkin kita hanya satu ayah. Karena tak pernah kuketahui ibu kandungku itu hamil lagi.

Entah aku harus bagaimana setelah itu. Meskipun nyawa Nira terselamatkan, kami hidup dalam kecanggungan. Ah, kasih sayang. Ah, cinta. Apakah kasih sayang dan cinta kami runtuh hanya karena kita ini sedarah? Ah, kenyataan. Kenyataanlah yang telah meruntuhkannya.

Anak-anak kami. Kini pandanganku terhadap mereka menjadi tak sama. Sama seperti aku memandang Nira. Ganjil. Membayangkannya saja sudah membuat kudukku bergidik. Kenyataan ini membuat sebuah bayangan yang sangat mengerikan. Kini dapat kumengerti kenapa ayah bersikap demikian. Ah, ibu. Ternyata kau penyebab semua petaka ini.

Dan, kau Sastra Atmaja, semua hormatku padamu hilang begitu saja. Sejak saat itu pun aku sering datang ke pemakaman. Kukencingi dan kutaruh tahi di batu nisanmu itu.

Kenyataan ini membuatku benar-benar gila. Moonlight Sonata. Lagu itu mulai terngiang. Alunan kematian itu menjelma gagak-gagak api. Mereka mematuk-matuki kepalaku. Sampai aku tak kuat melihatnya. Bayangan itu nyata. Bayangan itu menjadi.

*

Dalam balutan sinar rembulan, lagu itu terus terngiang. Purnama yang sempurna. Sinaran putih nan halus menembus kaca. Aku diselimuti cahaya. Bercak darah pada dinding membara. Enam orang mayat tergeletak. Semuanya tak berdosa. Aku membunuh mereka. Aku telah gila. Ah, Tuhan.

Kucongkel kedua mataku yang lelah. Lelah melihat dunia. Lelah melihat kematian. Takdir. Sampai kapan Kau akan bermain-main dengan takdir hidupku? Tuhan, dihadapanku kini tercipta neraka. Neraka yang kuciptakan.

Semua akan berakhir saat kubakar rumah ini. Rumah peninggalan Tuan Sastra Atmaja. Kisah ini. Kisah yang selalu Kau permainkan. Tak akan ada lagi kebahagiaan semu yang Kau tawarkan. Sudah. Semua akan berakhir menjadi fana. Semua akan menjelma Abu. Aku akan fana menjelma abu.

***

Ciamis, 6 Juni 2019

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Fana Menjelma Abu
Galang Gelar Taqwa
Novel
Lubang Kunci
Randy Arya
Novel
Kamu Pembunuh Nya?!
Rini IR
Novel
Bronze
OBSESI
KUMARA
Skrip Film
The Incest
Kelana Kaheswara
Novel
Kuda Jantan Dan Pelukis Kesepian
Bisma Lucky Narendra
Novel
Gold
Angels and Demons (Republish)
Mizan Publishing
Novel
The Last Dinner
Hari Basuki
Novel
Gold
Origin
Mizan Publishing
Novel
Tanpa Batas Waktu
Liliyanti
Flash
Bronze
Saksi Mata
Gia Oro
Cerpen
Bronze
Hush!
Rezt Elliot
Novel
The Psycho Girl
Yui Nanase
Flash
Your Sweet Rabbit
Alviona Himayatunisa
Novel
Gold
The Woman in the Window
Noura Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Fana Menjelma Abu
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Kujang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Cinta Buta
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Nyai Ronggeng Pulungsari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa