Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tidak ada obituari. Sahabatku mati dalam sunyi. Kumandang sederhana seorang marbot masjid mengiringi kepergiannya, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. 3x Telah berpulang ke Rahmattullah, saudara kita Bapak ....” Hanya ada Aku dan beberapa pelayat di sini. Dia, sahabatku, tengah terbungkus kain kafan di dalam kamar kostan yang dipenuhi oleh buku-buku usang.
Ya, dia seorang penulis. Tidak terkenal. Seorang eksistensialis yang tidak pernah menyembunyikan jati dirinya di balik nama pena. Namun, ironinya. Kehadiran dirinya di dunia kesusastraan amatlah redup. Ah, pastilah dirimu berkata: memang sejatinya kepengarangan dan karya adalah entitas yang terpisah. Entahlah, mungkin karena dia, sahabatku ini, selalu menghadirkan dirinya dalam setiap karya yang dibuatnya, jadi, baik itu dirinya sebagai pengarang atau kisahnya sebagai karya, mengalami hal yang sama—kesialan.
Tidak ada bedanya. Kedua entitas itu terperosok ke dalam lubang yang sangat dalam. Terkubur. Teramat jauh dari permukaan atau yang lebih kita kenal dengan istilah populer. Baik itu karyanya ataupun dirinya, selalu merongrong dari dalam lubang itu. Laksana iblis yang tidak rela anak-anak Adam berjalan dengan leluasa di muka bumi.
“Apa salahku kepada sastra? Seluruh hidup dan matiku hanya untuknya. Namun, apa yang kudapatkan? Hanya pengkhianatan. Aku kalah oleh karya-karya rendahan. Oleh cinta picisan yang tercipta dari kubangan babi! Sedangkan karyaku, yang diliputi oleh cahaya ilahi, berasal dari endapan pengabdianku selama ini membaca sastra klasik, tersingkirkan begitu saja!” cibirnya di suatu malam yang hangat oleh bir—tentunya, aku yang mentraktir.
“Kau hanya iri dan ingin berada di posisi yang lebih tinggi,” kataku. Dia memperhatikan dengan seksama. Tidak ada sangkalan yang terucap dari mulutnya. Sepatah kata pun. Bulan menggantung di atas kita. Di langit malam ibu kota. Bulan yang tinggal separuh, sehabis purnama. Aku kembali menengguk bir, lalu melanjutkan kata-kataku, “tanpa kau sadari, sahabatku, hatimu merambat ke dalam kegelapan. Seperti perumpamaan Nietzche tentang manusia yang hidup seperti pohon.”
“Hatimu, sahabatku, terus menuju bagian terdalam dari lingkaran neraka ke tujuh yang diisi oleh para penghujat[1].”
“Ah, Inferno ....” ucapnya lirih.
*
Di akhir hayatnya, dia bertobat. Sahabatku menyadari bahwa penilaian subjektifnya itu berasal dari rasa iri. Namun, bukan hanya itu saja faktor penyebabnya. Dua minggu lalu, istri dan kedua anaknya dijemput paksa oleh sang mertua. Aku mengetahui ini sehari setelahnya. Dia bercerita dan terus meratap siang dan malam. Berusaha menguatkan diri. Sempat terpikir di benaknya, bahwa dia tidak akan menulis lagi untuk selamanya. Dia akan mencari kerja dan membuang idealismenya.
“Atau barangkali ....” katanya. Ucapannya itu terpotong oleh sebuah lamunan panjang.
“Atau barangkali apa?” tanyaku.
“Tidak kawan. Aku hanya berpikir, ‘bagaimana kalau aku menulis genre pop seperti mereka?’ pasti aku akan cepat kaya dan bisa cepat menjemput istriku.”
“Hmmm ....”
“Bagaimana tanggapanmu?” tanyanya.
“Aku tidak bisa berkomentar, hal ini sama saja seperti perumpamaan seseorang yang mendirikan sebuah cafe di desa. Secara alami dan jika dilihat dari sudut pandang dialektis, cafe tersebut tidak akan banyak pengunjung. Bagaimana pun masyarakat akan berdialektika dengan alamnya. Warga desa akan memilih mana yang lebih bisa diterima dirinya. Dan mereka akan condong kepada kopi sachet ketimbang espresso. Jika berbicara esensi dan nilai, sudah jelas kopi single origin atau yang espresso based adalah pemenangnya. Namun pada kenyataannya kopi sachet lebih banyak diminati. Melihat kenyataan itu, akhirnya si pemilik cafe banting setir dan merubah konsep dagangannya menjadi warung kopi sederhana. Dan, buuum ... warung kopinya laku keras.”
“Ya, ya, seperti itu!”
“Namun, kawan, kenyataannya juga, tidak semua karya pop laku di pasaran!”
Dia semakin terlihat frustasi. Aku terus menyodorkan realita ke hadapannya. Semata-mata agar dia sadar dan tidak salah meniti jalan kehidupan yang akan dilaluinya. Pada dasarnya, hidup memang bergantung kepada keberuntungan. Seperti kata George Sand, “bakat tidak akan menyelamatkan kita dari nasib dan kesialan!” Begitulah keadaan sahabatku ini. Dia mengalami kejatuhan yang amat dalam. Pada masa kini bakatya tidak diakui. Dan, aku yakin. Setelah kematiannya ini karyanya akan dikenal dan dicari-cari.
Tidak dalam satu atau dua tahun kedepan. Mungkin beradab-abad lamanya. Saat hak cipta dari karya-karyanya berubah menjadi kepemilikan publik. Sampai-sampai orang di masa depan berkata, “oh, sungguh sialan orang-orang di zaman post-mo, mereka menyia-nyiakan bakat organik dari seorang penyair! Lihatlah, betapa membosankannya membaca karya di abad ini, penuh dengan kepalsuan kecerdasan buatan!”
Ah, ya betul dugaanmu, sahabatku ini adalah penulis yang “itu”. Dia yang menulis cerita “Di Penghujung Hari”. Seperti sebuah firasat. Ah, ya, ya, pasti kalian bertanya-tanya, kenapa dia bisa meninggal dunia dan bagaimana dia bisa bertahan hidup setelah ditinggalkan istrinya? Pasti ada lubang keruntutan yang akan menimbulkan pertanyaan di bagian ini.
Baiklah, Aku akan menjawab pertanyaan pertama terlebih dahulu. Faktanya, dia menepati janji untuk tidak bunuh diri. Namun, Ini adalah puncak kemalangan sekaligus komedi terakhir dari hidupnya. Setelah dia berhasil menyelesaikan naskah terakhirnya itu—menurut para saksi—tadi siang dia berjalan dengan riang sambil memegang lembaran kertas di dadanya. Kakinya begitu ringan melangkah. Dengan wajah berseri-seri—Aku bisa menebak—dia pasti menuju ke kantor penerbitan.
Dari kejauhan, mobil truck tanpa muatan melaju kencang. Sahabatku terus saja berjalan. Di persimpanan jalan dia menyebrang. Tidak melihat kiri dan kanan. Seseorang meneriakinya dari belakang. Sahabatku menengok. Menyunggingkan senyum kepada pria itu. Tangannya melambai-lambai. Truck kencang itu tidak bisa menghindarinya. Sahabatku tertabrak dan terpental sajauh sepuluh meter. Meninggal seketika.
Naskah cerita yang ia bawa berhamburan ke udara. Dalam gerak yang lambat jatuh ke bumi,—bukan mencoba untuk mendramatisir, tetapi, memang karena masa benda dari kertas dan juga bentuknyalah yang membuatnya jatuh dengan lambat—lalu, terinjak-injak oleh orang yang lari ke arah sahabatku. Naskah itu ditinggalkan begitu saja. Terindas ban kendaraan. Buyar menjadi serpihan kertas kecil setelah terkena gerimis yang datang setelah kematiannya.
Dan, untuk pertanyaan kedua—sebenarnya, aku sudah mengikhlaskannya—Aku memberinya pinjaman untuk bertahan hidup. Untuk sekedar makan dan membeli rokok atau kopi. Dia begitu terharu. Menangis dan bersujud kepadaku. Sambil berkata bahwa jika suatu saat tulisannya laku, akan mengganti pinjamanku itu. Aku berkata kepadanya untuk tidak usah dipikirkan. Aku juga memberikan tambahan modal untuk membeli kertas. Supaya dia bisa menulis lagi.
Entahlah, aku bisa melihat perbedaan dari segi karakter dan juga gaya tulisannya. Mungkin, sahabatku sudah tidak menulis untuk dirinya. Dia menulis untuk istri dan keluarga kecilnya yang dibawa pergi dengan begitu keji. Dia menyebut istrinya itu Bambu Biru, semacam dewi fortuna yang baik hati. Dan, aku setuju pada titik ini. Satu-satunya keberuntungan yang dia punya di dunia ini hanyalah istrinya itu.
Dalam dua minggu ini, aku tidak tahu kabar dari istrinya. Mungkin, dia pun tidak tahu bahwa suaminya sudah tidak ada di dunia. Aku hanya mengetahui kehidupan dari sahabatku. Seminggu meratap sedih. Seminggu kemudian bangkit dengan menulis kembali. Dan, kita pun sampai di akhir hayatnya yang tidak disangka-sangka.
Hanya ini yang bisa kutuliskan. Oh, sahabatku, aku menulis obituari yang sederhana ini untukmu. Semata-mata untuk menghargai dirimu sebagai penulis yang berdedikasi tinggi. Dan juga, karena aku tidak tahan dengan bau yang menyeruak dari mayatmu. Sangat tajam. Bau yang berasal dari tragedi kehidupan. Bau kemalangan dan penderitaan. Bau kenelangsaan dan kesialan yang menimpa hidupmu. Bau komedi ilahiah. Mungkin suatu saat, aku akan menulis ulang cerita yang telah selesai kau buat itu.
[1] Lingkaran neraka ke tujuh Dante, Violence. dalam Inferno bagian pertama dari Divine Comedy (1308).