Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
3
Suka
6,697
Dibaca

Berulang kali Aku mencoba. Namun, tetap saja tidak bisa memanggilmu kembali untuk menemaniku menyeduh kopi. Aku rindu saat-saat kamu keluar dari kepulan asap pertama yang jatuh bersama air dari ujung ceret bersuhu sembilan puluh dua derajat itu. Suhu air yang katamu baik untuk menyeduh kopi apapun.

Secara ajaib. Saat uap dan harum biji kopi itu menyublim, kamu perlahan membentuk tubuh perempuan. Kamu menuntunku dengan tanganmu yang putih dan lembut. Seperti kabut yang turun dari gunung dan menyelimuti permukaan danau. 

Sehingga aku melihat tanganku menjadi bias dan menyatu dengan tanganmu. Tanganku bergerak sendiri sambil memegangi ceret leher angsa. Berputar searah garis-garis spiral yang terdapat di dalam dripper. Kita seperti kabut yang menari dan menggenggam seekor angsa di atas danau yang menyembul dan berwarna cokelat karena terangkat oleh pusaran angin ke angkasa.

Danau itu adalah bubuk kopi yang merekah seperti bunga di musim semi. Dia melepaskan partikel karbon yang terperangkap dalam tubuhnya. Menggelinjang. Terangkat. Dan, merasa merdeka. Dia menari bersama kita dengan rasa gembira sampai tubuhnya matang. Air yang mengendap di dalam dripper itu menetes dari ujung duburnya ke dalam server dengan perlahan.

Aku pun selalu meresapi dan memaknai suatu proses kelahiran panjang dari sebutir benih biji kopi sampai menjadi secangkir kenikmatan untuk para pelanggan kita. Warnanya kemerah-merahan. Seduhan Papandayan Yellow Bourbon yang sempurna. Kita berhasil mengekstraksi bunga mawar dari biji kopi yang disangrai kecokelatan. Membuat para pelanggan terpukau akan harumnya yang semerbak.

Apakah kau ingat saat kita bertamasya di kebun kopi itu dan berjumpa petaninya secara langsung? Mereka orang-orang yang gigih. Katamu, selalu ucapkanlah rasa terima kasih yang sangat bersar kepada para petani. Di setiap bulir keringat yang diperas dari tubuhnya terdapat dzikir. Dan, tidak lupa pula kepada matahari yang memberi nutrisi untuk tumbuhan.

Ku sesap sedikit kopi yang kita ciptakan untuk memastikan rasanya sempura, sebelum ku suguhkan pada para pelanggan. Dan, Aku bisa melihatmu dengan jelas sedang menyunggingkan senyum. Aku pun berterima kasih kepadamu.

Pelanggan selalu memuji dan berkata bahwa kopi ini adalah kopi terenak yang pernah mereka minum. Mereka rela menempuh jarak yang sangat jauh dari kota hanya untuk menikmati kopi buatan kita. Bukankah itu sebuah kebanggaan?

Aku dan Kamu selalu merasa bangga ketika para pelanggan berkelakar di bawah remang cahaya rembulan. Tanpa alat komunikasi dan akses wi-fi. Mereka tertawa dan mengobrol denganku. Menanyakan sebuah cara ajaib untuk menyeduh kopi. Dan, kujawab saja semua ini berkatmu. Sebuah ruh yang kuberi nama Nira. Nira Nirwana.

Mereka tidak percaya. Malah memujiku orang yang terlalu puitis. Memetaforakan bakat yang luar biasa dengan cara menyandingkannya pada hal berupa ruh. Orang-orang kota itu dan para pemilik modal selalu meminang diriku untuk jadi barista di sana.

Aku selalu bertanya kepadamu saat malam mulai suntuk dan pelanggan terakhir telah pulang. Tinggal kita berdua. Di kedai ku yang sederhana. Terbuat dari bilik bambu beratap jerami. Ditemani gelas-gelas kotor yang belum sempat ku cuci.

"Apakah aku harus menerima tawaran mereka?" tanyaku

"Semua terserah padamu," kamu menjawab begitu.

"Tapi mereka menawrkan uang yang banyak, Nir! Kita bisa membangun kedai ini jadi lebih baik nantinya," timbangku.

Dan, kau pun terdiam. Perlahan memudar dan kita berpamitan untuk hari ini. 

"Sampai jumpa di alam mimpi," katamu.

Aku pun beranjak ke tempat tidur. Merebahkan lelah dan kebimbangan yang hampir berat sebelah. Pikiranku membayangkan. Betapa hebatnya kerja di kota. Menjadi seorang barista di kedai ternama dan mendapatkan banyak uang. Ku tutup kelambu dan mematikan lampu. Mata terpejam. 

Dan, kini aku berada di alam mimpi. Bertemu lagi denganmu dengan rupa yang sempurna. Bukan segumpalan kabut menyerupai perempuan. Kamu utuh di alam mimpiku. Perempuan berparas cantik dengan lesung pipi saat tersenyum.

"Kita jalan-jalan ke mana kali ini?" tanyaku.

"Hacienda La Esmeralda," jawabmu sambil berseri-seri.

"Perkebunan kopi Gesha di Panama? Ayo!"

Aku sangat berantusias. Kamu menggenggam tanganku. Sejurus kemudian kita pun terbang. Menanggalkan pakaian dan menembus awan. Kita telanjang di angkasa. Jejak perjalanan kita meninggalkan serpihan cahaya yang berkilauan. Kamu menabur serbuk sari berwarna emas. Seperti seekor lebah atau kupu-kupu. Membawa benih kehidupan ke langit yang jauh.

Alam mimpiku penuh awan yang berbunga berkatmu. Mereka bermekaran. Menyerbakkan harum sampai ke ujung cakrawala. Dan, langit pun berubah warna jadi merah jambu yang tadinya berwarna kelabu. 

"Bergembiralah. Cha-cha Cha-cha-cha," katamu dengan nada yang sangat riang.

Kita mendarat di sebuah awan. Begitu empuk dan lembut. Jantungku berdebar. Seperti menabuh tam-tam ala musik salsa. Aku merasa geli dan tertawa. Langkah kakimu menari-nari. Ke depan dan ke belakang. Aku pun mengikutinya. Menikmatinya. Kita pun saling merangkul dan bergumul.

Kita melanjutkan perjalanan. Kini, kita terbang rendah di antara gelombang samudra pasifik. Dan menyelam ke dasar palung mariana yang belum terjamah oleh manusia. Mata kita bercahaya. Seperti sebuah senter. Di dasar yang gelap terdapat pilar-pilar bekas peradaban atlantis. Semua orang pasti tidak percaya ini.

Kita bernang ke permukaan lagi. Berselancar bersama lumba-lumba. Perjalanan ini jauh tapi tidak melelahkan. Dalam hitungan menit kita sudah sampai di persimpangan samudra pasifik utara dan selatan. Di tengah-tengah katulistiwa. Sepanjang perjalanan adalah laut yang beraroma asin. Aku begitu senang saat melihat daratan.

Sebuah pantai bernama El Palmar. Pasir putih menghampar. Orang-orang sedang bermain bola volly. Menjemur badan. Ada juga yang bersantai di kursi pantai di bawah sebuah payung besar sambil meminum tequila. Kita berjalan ke pasar untuk membeli pakaian. Bergaya seperti turis kemudian terbang lagi. Orang-orang takjub dengan kita.

Tiba-tiba kita telah sampai di Hacienda La Esmeralda. Di perkebunan kopi milik Tuan Petterson. Aku menyapanya saat ia sedang menjemur green beans. Menjemur biji kopi setelah melalui proses pasca panen tersendiri. Lalu dikupas dari buah dan kulit kopi. Ada juga yang langsung dijemur bersama buah dan kulitnya. Semua itu tergantung proses pasca panennya. 

Ia menyambut kami dan menyuguhi secangkir kopi Panama Gesha. Kopi kelas dunia yang sangat terkenal dengan rasanya yang kompleks. Aku mengeluarkan arloji dari dalam dadaku. Menggoyang-goyang gelas server berisi dua ratus sepuluh mililiter air kopi. Mengendusnya. Ada aroma melati yang dominan. Lalu, aku menuangkan ke dalam satu gelas sloki berukuran kecil.

Slruuuuup.

"Ah, rasa madu dan bluebarry," 

Aku memperhatikan detik yang berlalu. Rasa mulai berubah menjadi jeruk bargamot. Paduan rasa lemon dan rasa pahit yang tipis. After teste yang sangat kental di detik ke sepuluh.

Aku berbincang denganmu. Tentang bagaimana caranya menanam rasa ini di sajian kopiku. Kamu hanya terkekeh.

"Setiap kopi yang ditanam memakai hati memiliki rasa uniknya masing-masing," katamu.

"Ah, tapi, jika aku punya uang banyak, kita pasti bisa membeli satu karung green beans Panama Gesha," kataku dengan perasaan menggebu-gebu.

Tetapi, kamu hanya terdiam. Aku memperhatikan raut wajahmu. Kamu begitu sedih. Ku usap setitik tangis yang hendak menetes dari sudut matamu. Kamu seperti bergumam akan sesuatu. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

*

Sekeras apa pun aku menyingkapkan kabut hitam yang menghalangi ingatanku, tetap saja, ia selalu berhasil menelan semua kata-kata dan juga ragamu dari dalam kepalaku, lebih cepat dari gerakan tanganku, Nir. 

Lalu kabut itu membawamu pergi ke suatu tempat yang entah di mana. Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. Mungkin kamu di lemparkan ke dalam kotak Pandora. Sekarang kamu terperangkap di dalam sana. Meronta-ronta untuk keluar dari kotak itu yang terkunci rapat dan tidak boleh dibuka lagi.

Kamu menangis ketakutan dirundung segala keburukan dunia. Di ludahi dan dicambuk. Tubuhmu menjadi kurus. Tulang kerontang. Bahkan dengan rupamu yang sudah menyedihkan, kamu masih sempat-sempatnya diperkosa oleh sosok tikus berdasi dan berbadan gemuk. Tikus itu hanya memedulikan uang dan kesenangan.

Bagaimana pun Aku harus menyelamatkanmu yang menderita itu. Walau pun harus menentang dan melawan peradaban. Membuat seluruh dunia kacau balau. Bukankah dunia ini memang sudah kacau balau sejak awal? Jadi tidak akan apa-apa jika aku membuat suatu keributan kecil yang kekanak-kanakan.

Tetapi bagaimana Aku bisa membuka kotak itu yang terkunci rapat? Aku jadi berpikir. Barangkali kata-katamu itu yang terucap di dalam mimpiku adalah sebuah kunci untuk membuka kotaknya. Akan masuk akal jika semua ini menjadi samar dan tidak mudah. 

Kamu diculik dan dikucilkan oleh penguasa dunia dan aku harus menentang mereka. Mereka tidak senang jika aku membebaskanmu. Kamu adalah perwujudah dari harapan. 

Aku berteriak sekencang-kencangnya di alam kelabu. Di dalam batok kepalaku. Sampai aku melihat ribuan gunung birahi dan menghamburkan seisi hasrat berwarna merah. Semua tampak marah dan memuntahkan kata-kata kasar penuh makian. Sebenarnya gunung-gunung itu berada dalam ketidak-berdayaan. Mereka marah karena dipaksa tidak-berdaya. Dan gunung-gunung itu adalah aku dalam wujud lain. Wujud yang terpaku ke dalam tanah dan tidak bisa bergerak bebas. 

Aku melipahkan rasa frustasi ke dalam wujud seribu gunung berapi. Sampai sebuah batu vulkanik terlempar dari dalam kawah dan menimpa kepalaku yang berada di dalam kepalaku sendiri. Aku berhasil keluar dari dunia yang membingungkan. Dengan kata lain, Aku tersadar dari lamunanku tentangmu. 

Kini aku terpenjara di sebuah ruangan yang sepi dan sendirian. Ini hanya sebuah kiasan untuk bar mewah yang dipenuhi mesin-mesin canggih yang dingin. Mereka bisu seribu kata. Tidak bisa kuajak bicara. Orang-orang akan menganggapku aneh jika mengucapkan selamat pagi pada mesin La Marzocco yang sangat ku kagumi itu.

Sayangnya, mesin kopi itu hanya sebuah pajangan. Kita semua berkerja mengandalkan mesin dalam artian yang sebenar-benarnya. Mesin tadi dengan merek La Marzocco dengan satu piston itu seperti sebuah artefak dari masa yang sangat lampau.

Perananya tergantikan dengan alat yang lebih canggih. Alat yang mendahului zaman. Kita tinggal mengatur apa saja sesuai pesanan. Seperti membuat latte art yang sudah tinggal cetak. Permukaan tanganku sudah tidak peka lagi dengan suhu yang pas ketika bersentuhan dengan milk jug. Hasilnya, aku tidak bisa membuat tekstur permukaan foam yang silky.

Aku sudah bukan pelukis agung yang bisa menggambar kuda poni di atas kanvas crema espresso dan meracik cat yang pas dari susu segar. Aku sekarang hanyalah pecundang yang tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk membuat secangkir V-60 pun sudah tidak bisa.

Aku tidak habis pikir dengan perkembangan manusia dalam menciptakan teknologi, mereka sampai-sampai membuat alat menyeduh V-60 otomatis. Sehingga, kemampuanku sudah tidak dibutuhkan lagi di sini. Kecuali pada saat-saat darurat. Dan itu pun aku tidak bisa membuat kopi yang sempurna. Seperti saat kita membuatnya bersama, Nir.

Kemampuanku serupa pusaka yang sudah tumpul dan berkarat. Tersimpan di rumah eyang dan tidak sengaja terjual oleh cicitnya yang tidak tahu apa-apa. Besi rongsokan antik yang lebih berharga jika dijual saja. Sedangkan, mesin-mesin canggih itu semakin berkilau dan dikagumi oleh pemilik caffe. 

Berkat alat yang cangih itu, manusia benar-benar tinggal memasukan biji kopi ke dalam mesin dan membersihkannya setelah pulang. Dan mesin-mesin itu adalah pekerja sebenarnya di sini. Semua sangat selaras dan senada dengan nama caffe ini, Machine Coffee. 

Kata sang pemilik, mesin-mesin itu sangat bisa dipercaya daripada manusia. Aku tidak menyalahkan pandangannya. Dia yang berbaik hati mempekerjakanku karena terdesak kebutuhan.

"Aku tahu kamu sangat berbakat dalam menyeduh kopi. Tetapi, jika kamu bekerja di sini, kamu harus mengikuti SOP yang berlaku," kata pemilik caffe saat pertama kali aku menginjakan kaki di tempat ini.

Nir, aku pernah dimarahi karena menyeduh kopi menggunakan caraku sendiri. Kata mereka, kerjaku tidak efisien. Menghambur-hamburkan bahan karena tidak memakai takaran yang pasti. Dan, bekerja dengan hati yang tulus bisa menimbulkan sangka curiga diantara para pekerja. Akhirnya, aku mengikuti mereka dan mendapatkan uang. Kadang mendapat bonus karena berprilaku baik sesuai aturan yang berlaku.

Aku tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Karena bekerja di sini semuanya jadi tidak berwarna dan monoton. Entah berapa lama aku telah bekerja di tempat ini. Sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kemampuanku juga dirimu telah menghilang. Aku melakukan percobaan demi pecobaan menyeduh kopi kembali. Hasilnya sangat menyedihkan. Kadang terlalu pahit. Kadang terlalu asam. Dan, banyak sekali yang rasanya hambar.

Kamu tidak muncul dari ujung ceret saat aku tuangkan tetesan pertama yang menimpa kopi yang sudah digiling. Aku menatap ceret leher angsa yang begitu cantik. Warnanya biru metalik. Begitu berkilauan. Ringan digenggaman. Ah, sungguh, air yang jatuh begitu mudah dikendalikan. Tetapi Nir, kamu tidak pernah muncul dari sana. Bukankah ini adalah rumah yang bagus untukmu? Tidak seperti ceret di kedaiku yang lusuh dan butut. Pantatnya hitam dijilati kobaran api dari kayu bakar. Adik ku mengira bahwa rumahmu itu adalah mainan untuk anjang-anjangan. 

Kita selalu mengatur suhu dari termometer manual. Bahkan kini aku tidak yakin, apakah suhu yang ditunjukan olehnya itu akurat atau tidak. Tetapi yang aku yakini, kamu selalu muncul dari sana. 

Lihatlah, Nir. Suhu dari ceret ini—yang begitu berkilauan—bisa kita atur dengan mudah. Tidak usah menunggu dulu turun sampai ke sembilan puluh dua derajat jika kelebihan sampai seratus. Aku tidak mengerti. Padahal dengan semua kemudahan ini kamu seharusnya bisa merasa nyaman.

Aku menyadari ada yang salah dengan semua ini. Aku harus menelusuri penyebabnya dari awal. Mengurai kembali benang yang kusut dan bersengkarut. Menata diriku kembali. Persetan dengan gajih. Aku akan berhenti dari tempat ini, dan memulai jalan petapa kembali. Meski, Aku tahu hidup tidak dengan idealisme akan terasa berat ketika dijalankan, tetapi, aku tidak peduli. Aku ingin kembali bersimpuh di hadapan kopi yang tengah ku seduh. Bercumbu denganmu lagi, Nir.

***

“Fana, kontakmu sudah habis, apa kamu mau memperpanjangnya?”

“Iya, Bos, saya mau.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Terlahir Kembali
zain zuha
Cerpen
Bronze
Selimut Tidak Pernah Kering
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Nasihat Kakek Bisma
Anggrek Handayani
Cerpen
Bronze
Rencana Lain
Munkhayati
Cerpen
Mamamia
Lany Inawati
Cerpen
KOMPAS
Retchaan
Cerpen
Bronze
HRD Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Mama, I'm Lose
ruang.amy.gdala
Cerpen
Influencer Istana
zain zuha
Cerpen
Bronze
Yang tak pernah sampai
Kai Skala
Cerpen
Hari Kepulangan
Rinona
Cerpen
Bronze
Cinta yang Terlupakan
Novita Ledo
Cerpen
Bronze
ALE
aelan savory keron lewar
Cerpen
Bronze
Mirna
Wulan Dzifa
Rekomendasi
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Mimpi Malam Kesebelas
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Darahmu Tetap Saja Berwarna Merah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Kematian Arifin Shuji
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Runtuh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bintang Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Cerita Calon Koruptor
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Rumah Tanpa Pagar & Pintu
Galang Gelar Taqwa