Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Third Party
Suka
Favorit
Bagikan
8. Bab 7: Mika

Berbulan-bulan sudah kami lewati bersama-sama. Sejak bermain Pandora, bisa dibilang kami lebih terbuka dan semakin nyaman satu sama lain untuk bercerita, mengusik satu sama lain dalam tujuan bercanda. Sudah menjadi rutinitas pulang sekolah makan di kantin, lalu mampir ke rumahku dan Mika sampai sore. Awalnya membahas proyek akhir kami. Lama-lama bisa saja kami membahas tentang masa depan, konspirasi teori. Dan sesekali Bayu menanyakan hal-hal yang sebenarnya bodoh tapi jika dipikirkan terlalu lama, kamu akan mempertanyakan segala hal dalam hidupmu. Seperti apakah bulu kaki Medusa, rambut atau ular kecil? 

Tidak penting dan tentu kurang kerjaan, aku menemukan diriku memikirkannya dan menatap kosong ke dinding. Sebelum akhirnya suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku dan sosok Mika muncul dibalik pintu kayu putih. Aku menoleh padanya menunggu sepatah kata keluar dari mulutnya, tetapi ia hanya berdiri disitu tak mengatakan apa-apa, melihat sekeliling dengan badan condong kedepan setengah masuk ke dalam kamarku. Ini berlangsung selama setidaknya 5 menit. Ia melihat-lihat sekeliling kamarku dan alisku yang makin lama makin mengerut.

“Ngapain sih lu?”

“Gapapa...Pengen aja liat-liat,”

Aku tak menghiraukannya dan kembali melihat laptop mengerjakan pr essai dari guruku. Tanpa melihat ke arahnya, aku mendengar suara pintu menutup. Aku kembali meluruskan pikiranku mengerjakan tugas. Sebelum akhirnya pintuku terbuka lagi, dan batang hidungnya kembali mengintip dari balik pintu.”

“Dine…”

“Haah?” Nadaku panjang, agak jengkel. Menunggu jawaban apa yang ia punya sebagai argumen baginya menggangguku. 

“Gue bosen…”

Sumpah? Dia serius? Butuh sekitar 15 menit baginya untuk memberi kode dan akhirnya langsung mengatakan padaku bahwa ia bosan? Kadang aku lupa bahwa dia setahun lebih tua dariku dan seharusnya lebih dewasa daripadaku. Mukaku masam karena ia telah menghabiskan 15 menit untuk menghilangkan fokusku. Namun, aku tidak pernah bisa mengatakan tidak pada sahabat dan kakakku sendiri. Aku bergeser dan membuat ruang diatas tempat tidurku dan akhirnya ia masuk dan meloncat ke atas tempat tidurku. Akibatnya buku catatan dan isi kotak pensilku terbang berantakan kemana-mana. Raut muka kesal terlukis di wajahku ketika aku berbalik dan melihat Mika sudah bersandar santai di tumpukan bantal, dengan kaki bersila dan satu tangan memegang gawai dan satu lagi di belakang kepala. Ia hanya membalas dengan senyum jahil dan kembali melihat-lihat gawainya.

Sampai sore, selama berjam-jam aku diganggu Mika dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting atau gosip-gosip artis yang sungguh tidak ada mutunya. Mika benar-benar sebosan ini. Kesal karena aku tak bisa fokus mengerjakan pr-ku, aku membuka Instagram dan mulai babak prokrastinasi. Menggerakkan jemariku ke bawah, ternyata Aretha baru saja mengunggah foto baru. Tentunya sebagai teman yang baik, pastinya aku beri komentar dan mengetuk dua kali fotonya.

“Itu Aretha ngepost?”

Aku menoleh dan mengangguk. Segera setelah aku menunjukkannya pada Mika sekilas, ia segera melihat profil akun Aretha.

“Kok gue gatau ya dia ngepost… padahal udah sejam yang lalu,”

Senyum tipisku lama-lama melebar melihat Mika berusaha tidak salah tingkah. Oh iya… terlihat jelas dari gerak-geriknya ia tak nyaman dan berusaha menjaga martabatnya. Sebelum akhirnya ia sadar aku memberikan senyum jahil kepadanya dari tadi. Sadar gerak geriknya mencurigakan dan kurasa ia tahu bahwa aku tahu ia tertarik dengan Aretha, mukanya berubah galak.

“Gw ga stalking,” Ia menekankan.

“Gue ga bilang apa-apa kok,” 

Kedua tanganku naik ke udara, telapak tangan terbuka. Aku hanya memikirkannya, tidak mengatakan apa-apa. Masih dengan senyum jahil, aku melihat kebawah dan sesekali melirik ke arahnya. Selesai ia menatap tajam padaku dan bibirnya tak lagi maju, aku menurunkan tanganku. Posisi dudukku menghadapnya dengan kaki bersila dan bantal di pangkuanku. Tanganku menyangga beban kepalaku dan aku menunggu Mika untuk bercerita. 

“Apaan?”

“Lu kesini ga cuman karena bosen kan?” 

“Ga kok karena bosen,” 

“Masa?”

“Iya.” 

“Masaaa….”

“Iyaaaa…” 

“Yakin?” 

Senyumku makin lebar mendengar Mika gelagap tak menjawab pertanyaanku. Ia tahu aku tidak akan berhenti menanyakan akan suatu hal hingga akhirnya diberi tahu. Jadi selama ini ada alasan untuknya menggangguku dikamar. Begitu jengkel mukanya ketika ia sadar, datang ke kamarku untuk membicarakan tentang seorang perempuan idamannya bukan ide yang bagus. Ia lupa bahwa aku suka memperhatikan hal-hal kecil ketika membicarakan soal menaruh rasa. 

“Kan lu yang mau kesini bukan karena gue paksa,”

“Iya dan mulai nyesel gue,”

“Ceritalaahhh....”

Aku memohon. Sambil menghela nafas, ia mulai menceritakan bahwa sejak awal, menurutnya Aretha memang cantik. Semakin lama mereka berkenalan, semakin nyaman Mika berada di dekat Aretha. Apalagi ketika Aretha humor recehnya sederajat dengannya. Padahal aku juga sering tertawa mendengar candaannya, tapi ternyata aku terkadang masih melihatnya sebelah mata jika sudah benar-benar tidak lucu. Ia kembali bercerita berkat bermain di ruang teka-teki, mereka menjadi lebih sering mengobrol dan ternyata tanpa kuketahui Mika pernah  tidak sengaja menelpon Aretha malam-malam, dan telpon berlanjut hingga tengah malam. Mika ada benarnya, dan standar Mika ternyata tidak sejelek yang kuduga. Aretha orang yang sangat ekspresif tapi ia sangat peduli dengan teman-teman sekitarnya. Mungkin dia kami anggap sebagai anak kecil di kelompok kami, tapi ketika ada salah satu dari kami yang butuh tempat curhat, dia selalu ada disana menyediakan telinga, pelukan dan kukis cokelat yang membantu meningkatkan mood lagi. Makan kukisnya saat sedang baik-baik saja rasanya luar biasa. Apalagi ketika sedang sedih.

Karena Mika sebelumnya sudah berpengalaman dengan dunia kencan, tidak sering ia bertanya padaku apa yang harus ia lakukan. Malah, dia tahu apa yang harus ia lakukan. Mendapatkan atensi Aretha, memperlakukannya sebagai seorang perempuan, tidak mengekang Aretha. Aku jika dalam posisi Aretha sih sudah terbang menuju angkasa raya disana. 

Semakin kesini, aku sering melihat mereka pulang sekolah jalan berdua dan mengobrol berdua. Kadang Mika akan mengusili Aretha dengan mendorongnya pelan. Menjadi sosok lelaki yang berwibawa sedari dulu, ia membukakan pintu, ikut menjaga barang-barang milik Aretha, dan setiap kali Aretha PMS ia selalu membelikan makanan untuknya. 

“Waw… gue PMS aja gapernah digituin,” Aku menceletuk, iseng padanya. 

“Heh seenak jidat ngomong gitu lu ya! Lu PMS yang bikinin susu coklat, manasin kompres sama dengerin lu ngeluh marah-marah 24 per 7 siapa hayoo…”

Ia membalas dengan sindiran dan candaan. Sudah cukup lama hubungan antara Mika dan Aretha berjalan, sampai titik dimana hampir satu sekolah tahu Aretha milik Mika, walaupun belum secara resmi. 

Sudah lama aku dan Aretha tidak bermain berdua saja. Jadi selama tiga hari kedepan, Aretha akan tidur dirumahku dan kami akan membahas segala kabar burung, menonton film-film drama, maskeran, layaknya acara inap-menginap  perempuan remaja. Mama dan Om Kasa memperbolehkan kami untuk makan pizza di kamar sambil mencari-cari di daftar film, apa yang akan kami tonton malam ini. Untungnya pr dan ulangan untuk minggu depan sudah kami selesaikan. 

Sembari mengecat kuku Aretha dengan warna biru muda dan putih, iseng aku bertanya padanya soal dia dan Mika. Jawabannya sih baik-baik saja, tetapi dari caranya menjawab dan adanya keraguan dalam nadanya aku bertanya lagi.

“Masa?” 

“Fine! Ayo ghibah. Jadi kita kan deket gitu kan, tapi tuh gue gatau dia nganggep sebagai temen deket banget ato HTS kan. Karena dia aja gapernah ngomong apa-apa. Ngerti ga sih?”

“Lu ga dikasi kepastian gitu?” 

“Emm gimana ya… kek jujur dia berhasil baperin gue, tapi dia juga suka gak sih… Ato gue buang waktu gitu yak? Karena kalo dari gerak-geriknya sih kek suka tapi gue ga pengen terlalu berharap,”

Mendengarkan curhatan Aretha aku membayangkan sosok Mika. Dasar ya sebelas dua belas sama Joshua. Perasaannya diambang-ambang. Untung saja malam ini, Mika ikut menonton konser bersama teman angkatannya hingga larut malam. Jika dia di rumah bisa jadi sudah babak belur kepalanya kupukul. Berani-beraninya dia membuat Aretha merasa bimbang seperti ini. Kami pun memutuskan menggunakan waktu ini untuk membicarakan Mika. Aku jelas tahu Mika menyukai Aretha. Namun, jika aku membocorkannya pada Aretha, rasanya aku mengkhianati kakakku sendiri. Aku berpura-pura tidak tahu saja ketika ia bertanya, apakah Mika menceritakan sesuatu padaku.

“Lu ga ngode aja Ret?”

“Gila lu! Freak banget kalo ngode! Kan rada gimana gitu…” 

“Nih ya, kadang tu kita yang cewe juga perlu yang gerak duluan. Make the first move... Kasian cowo mulu yang harus duluan. Kan lu tau kadang cowo-cowo suka rada plongo,” 

Mengiyakan fakta yang baru saja kusebut, kami tertawa. Walaupun kami berdua juga terkadang plongo. 

“Eh tapi beneran deh… Gak dikasi kepastian tuh gaenak tau. Pengen suka tapi kalo tar cuma dimainin hati gue, sakitnya dua kali gitukan. AH GUE GABISA MILIHH!!!” 

“Maaf ya kakak gue. Besok abis lu pulang gue lempar ke mesin cuci deh,” 

“Jatohnya PHP gasih? Karena HTS aja gue gatauuu….” 

Bagi kalian yang tidak tahu, PHP singkatan dari Pemberi Harapan Palsu, sedangkan HTS singkatan dari Hubungan Tanpa Status. Mendengarkan isi pikiran Aretha selama ini, semakin ingin kulempar Mika ke mesin cuci. Aretha memperlihatkan isi chat mereka yang sebelumnya, Mika hanya menunjukkan sebagian. Tapi karena sahabat perempuan selalu nomor satu dari masalah laki-laki, segala macam teh panas malam itu sudah dituang habis diatas meja. 

Aku berjalan cepat menuju lorong kantin dengan gulungan kertas di tangan dan tas ransel bergoyang di belakang. Rambutku yang hari ini dikuncir satu bergerak mengikuti angin, mencari batang hidung sosok Mika.

“LU-BODOH-BANGET-JADI-COWO!” 

Tiap selingan kata aku memukul gulungan kertas tebal proposal kegiatan OSIS ke atas kepala Mika dengan rambut tebalnya yang mengembang ketika gulungan kertas terangkat. 

“Apasih….?” 

Suara Mika lemas bertanya padaku sambil mengusap-usap kepalanya. Aku mendengar suara gumaman Joshua, ‘gaenak kan?’ karena ia pernah kupukul kepalanya sama seperti Mika, setelah melakukan hal bodoh. Aku mengajak Joshua dan Mika duduk di bangku kantin hendak membicarakan kakak pengkhianat yang menyakiti hati sahabat perempuanku. Aku mulai menceritakan kembali apa yang beberapa hari yang lalu Aretha ceritakan padaku. Secara teknis, Aretha tidak pernah memperingatkanku untuk tidak ‘bocor’ ke Mika. Tapi dia bilang kalau dia butuh bantuanku agar bisa membantunya menjaga hatinya. 

“Ga dikasi kepastian tuh gaenak, Mik” 

“Iya tau tapi gw belom siap kita jadi lebih dari temen,”

“Ga siap gimana?! Lu udah berapa bulan PDKT kek gini kakaaaaa”

Mendengar alasannya yang cukup tak masuk akal, karena sudah cukup lama PDKT mereka berjalan diantara kita nadaku meninggi. Joshua hanya mendengarkan di sebelahku sambil menghisap teh kotaknya. 

“Ya kalo gue nyakitin dia gimana? Persahabatan kita semua bisa kaco! Terus kalo Aretha mainin perasaan gue gimana?” 

“Bro, gue baru aja bocorin kalo Aretha juga suka sama lu gimana si…”

“Yaaa, amit-amit kejadian gitu dia jungkir balik terus berubah misinya?”

Alisku naik satu mendengarkan alasan Mika yang cukup konyol. Tak bisa aku memisahkan antara bercanda, atau memang dia serius, atau jika dia serius yang keluar terdengar bercanda. Yang kutahu pasti itu, Aretha bukan tipe yang akan menghabiskan waktunya menyakiti hati orang lain. Dia salah satu manusia yang memang hatinya baik dan suci. Dia rela berkorban demi memastikan sahabat-sahabatnya nyaman. Sudahlah jodoh sekali sih sama Mika.

“Mik, kalo seseorang bener-bener sayang dan peduli sama doi-nya, dalam kondisi apapun dia gabakal mosisiin  dirinya dimana dia bisa kehilangan doi-nya begitu aja,”

Mika menatapku dan berpikir sejenak. Ia sadar aku memiliki poin yang benar. Dan jika ujung-ujungnya keduanya tidak berjalan baik, mungkin memang bukan jodoh. Tapi kalau melihat dari keseharian mereka berdua, sudah seperti pasangan yang kencan sekitar 5 bulan lebih. Tak pernah aku begitu menginginkan dua orang untuk memiliki satu sama lain. Menerima Om Kasa saja butuh waktu. Tapi untuk Aretha dan Mika, tak perlu ditanya aku yakin.

“Kalo gue tembak nanti kita jadi aneh gitu gimana dong? Gue mending sama yang sekarang sih Dine. Orang bisa berubah, Dine. Kayaknya nanti aja deh kalo kita uda makin deket…” 

Mendengar jawabannya. Mukaku semakin masam. Tujuannya ditembak itu agar lebih dekat, agar mereka benar-benar diakui memiliki satu sama lain. Dan kalau aneh, ya wajar baru juga awal-awal. Kukira Mika sudah profesional setelah mantannya dahulu. Tapi kurasa setelah 3 tahun, ia kehilangan keahliannya.

“Di saat lu siap nanti, dia udah keburu cape perjuangin dan nungguin lu.” 

Mika kali ini benar-benar diam mendengarkan ungkapanku. Bimbang apakah ia akan menembak Aretha atau tetap menunggu sampai siap. Ya risikonya, Aretha bisa kapan saja meninggalkannya karena Mika terlalu lama memanggil Aretha sebagai pacarnya.

“Eh Dine, kalo punya perasaan tuh ga harus pacaran tau. HTS juga gapapa. Inget kan yang lu bilang, harus bisa saling toleransi, saling mengerti. Masa Aretha ga bisa ngerti kalo Mika belom siap nembak dia. Irasional tau kalo Aretha ninggalin Mika karena ga ditembak.” 

Seharusnya, Joshua ada disisiku, tapi kenapa malah begini? Oh iya… Walaupun aku dan Mika berkali-kali berusaha memberitahu Joshua untuk tidak menjadi playboy, sebanyak-banyaknya pohon di setek, sifat lamanya pasti masih ada. 

“Irasional? Wajar lah, kalo Aretha milih ninggalin karena hati dan mental dia cape. Cape gadapet kepastian. Lu juga kalo nembak terus gadikasi kepastian sama juga kan rasanya gaenak. Mulai negatif thinking dan mikirin macem-macem.” 

Ketika aku menatap Joshua tajam dan melontarkan kalimat-kalimat fakta, Joshua terdiam. Mendengarkan dan kembali sadar, menyakiti dan memainkan hati orang lain itu tidak baik. Hanya menambah beban orang lain. Akhirnya Joshua mengalah karena faktor takut dengan mataku yang masih menatap tajam, dan menyadari aku benar. Perasaan diambang dan tidak ada kepastian itu sungguh berat untuk dipikirkan. Apalagi, jika menaruh perasaan dengan sahabat dekat adik perempuanmu sendiri. 

“Tapi Dine, ini semua tergantung pilihan Mika sih… Ini kan hubungan dia juga. Yang menjalani juga mereka berdua,”

Ini aku bisa setuju. Aku pun mundur dan berhenti untuk mengatakan kalimat di depan mukanya, begitu juga Joshua. Joshua benar, hubungan ini diantara mereka berdua. Kami sebagai sahabat mereka harus mensupport apapun pilihan yang mereka pilih dan bagaimana hubungan mereka akan berjalan. Kami berdua disini hanya memberi saran dan opini kami. Setelah lama Mika berpikir, dan setidaknya ada 10 kali aku dan Joshua bertukar pandang menunggu jawaban Mika, akhirnya dia mengeluarkan sebuah kalimat,

“Gimana cara terbaik gue nembak Aretha?”

Esok harinya, kami berlima, tanpa Aretha tentunya sudah membahas segala macam detail yang kami butuhkan untuk menyiapkan misi Mika  memastikan Aretha miliknya. Pulang sekolah aku meminta bantuan Aretha untuk menemaniku keliling sekolah menyiapkan segala peralatan yang dibutuhkan untuk acara pesta dansa tahunan sekolah kami di akhir tahun ajaran. Kebetulan karena banyak yang harus kuselesaikan hari ini dan harus memutari gedung SMP dan SMA berkali-kali, kuyakin Aretha akan kelelahan dan mulai kesal. Rencananya di akhir ketika Aretha mulai lelah dan banyak mengeluh, aku akan meninggalkannya bersama Mika dan ACTION!

“Lu beneran gapapa Ret, bantuin gua?” 

“Gapapa deh sumpah. Pertama kita harus apa?”

Aku sudah merencanakan peta yang sungguh belibet untuk kami lewati. Aku yang biasanya akan menyelesaikan segala macam hal di satu sisi lalu pindah ketempat lain agar sekalian dan lebih produktif. Tapi, karena memang sengaja untuk melelahkan Aretha, kita akan pergi ke kanan kiri dan atas bawah menaiki tangga dan menyeberang lapangan tengah sekolah.

Pertama, kami ke atas untuk membawa kardus-kardus untuk donasi, lalu kami ke bawah dan menyeberang ke gedung sebelah. Memberikannya ke anggota OSIS kelas VIII, lalu aku berpura-pura lupa bahwa seharusnya mengambil cat pylox dari ruangan suplai seni dan kerajinan tangan. Turun ke bawah ke lantai dua, aku mengecek galon dan kebetulan galon minuman yang disediakan untuk refil gratis sudah kosong. (Ya, karena Devan dan Bayu yang menghabiskan seperempat air galon tersebut.) Dengan bantuan Aretha, dua anak perempuan berbadan kecil susah payah mengangkat galon dan meletakkannya di dispenser air. 

Setengah jalan menuju gedung SMP di tengah lapangan, aku baru saja ingat harus meminta tolong dan mengingatkan karyawan untuk membuat panggung 3 bulan lagi. Karena pulang sekolah, otomatis karyawan ada dimana-mana dan untuk mencari Ketua Karyawan sekolah, Pak Yanto, kami harus berputar-putar dan mengecek setiap ruang kelas. Satu kali putaran penuh mengelilingi gedung sekolah SMP-SMA. 

“Tumben Dine. Huft… kemana-mana,” 

Ia berusaha berkomentar diantara nafas yang  berusaha ia kumpulkan. Aku berpura-pura seolah-olah aku juga kelelahan. Walaupun, sebenarnya aku tersenyum karena Aretha mulai kelelahan. Setelah akhirnya menemukan Pak Yanto di lantai bawah. Aku harus ke lantai atas lagi bertemu pendamping OSIS untuk meminta tanda tangan proposal. Setelahnya, kebawah lagi dan kembali ke seberang, ke gedung SMA ijin meminjam puluhan rol kabel, sekitar 5 amplifier untuk ditaro di panggung, belasan microphone, walkie talkie dan ijin untuk mencetak rundown. 

“Semangat ayo Ret, terakhir kok!” 

Kataku menyemangatinya kembali naik ke lantai tiga di gedung SMP untuk melihat jalannya ide dan tema pesta dansa tahun ini. Aretha aku minta tunggu diluar selagi aku melihat ke dalam dan melihat berbagai macam tema dalam daftar yang telah mereka tulis di papan tulis. Tahun ini temanya adalah hutan, dimana skema warnanya akan lebih natural, hijau tetapi warna bersahaja. Dalam pesta dansa kami, kita diperbolehkan untuk mengenakan kostum hewan di hutan atau pakaian formal dengan warna-warna sesuai tema, bebas. Karena tahun ini kami bekerja sama dengan organisasi alam dan konservasi alam, maka untuk berterimakasih atas sponsornya, kami memilih  tema hutan. 

“Ret, kita mesti balik ke lantai tiga SMA…”

“Dine!”

“Ada hiasan yang disitu, ketinggalan.”

Padahal hiasan saja belum dibuat. Dengan muka cemberut, ia mengikutiku. Selama perjalan ke lantai tiga di gedung SMA, ia terus menerus melontarkan kata-kata; ‘tasku berat banget’, ‘kaki lu ga mati rasa apa, Dine?’ atau ‘kok lu kuat sih Dine, cardio gini hampir tiap hari!’. Aku mempercepat langkahku selagi Aretha mulai tertinggal dibelakang. Kemudian ketika aku sudah tidak ada dalam jarak pandangnya, aku sembunyi di balik tangga beton yang berputar menuju lantai tiga, dimana Joshua, Devan, dan Bayu sudah duduk mengintip dari tembok sisi tangga dan railing. Gawai, kukeluarkan dari saku. 

“Dine! Dine, lah lu kemana sih? Ga nungguin gue nih…”

Suaranya masih terengap-engap ketika sampai di lantai dua. Hendak menelponku tadinya, namun ia dikagetkan oleh Mika yang tiba-tiba muncul dibalik tembok dan mengagetkannya. Aku yang sembunyi dibalik tembok tangga saja kaget dan dalam benakku, ‘apasih?’ muncul. Aku tak bisa mendengar jelas kata-kata mereka karena kami jongkok di anak tangga setengah jalan ke lantai tiga. Awalnya sungguh canggung karena Mika tak mengatakan apapun, hanya tertawa gugup sambil mengelus-elus rambut. Aretha hanya terdiam melihatnya menunggu apa yang akan keluar dari mulut Mika, masih bercucuran keringat. Gemas, Bayu berdiri dan mengisyaratkan tanpa suara ke Mika untuk segera menyatakannya pada Aretha, sebelum Aretha pergi karena makin lama keadaannya main canggung. Tepat ketika Aretha menoleh kebelakang, yang menyadari mata Mika terarah ke belakang atas tubuh Aretha, Joshua dan Devan menariknya turun. 

“Umm… Mika?” 

Aretha melakukan dorongan pertama dan mulailah basa basi Mika. Bayanganku; ‘Oh Aretha...Sejak pertama kali bertemu aku sudah melihatmu bagai bidadari jatuh dari langit, bla bla bla…’ Di belakang tembok kami berempat cekikikan membayangkan Mika yang berlebihan. Padahal kenyataannya Mika hanya mengatakan beberapa patah kata sampai…

“Iya jadi… mau ga lu jadi pacar gue?”

Dari samping saja aku bisa melihat pipi Aretha merona semakin merah. Bingung menjawabnya bagaimana, Aretha tertawa kecil dan mengatakan iya. Aku melihat Mika tersenyum lega dan tadinya hendak lanjut mengobrol dengan Aretha, namun terhenti ketika aku, Joshua, Bayu dan Devan meloncat dari tempat persembunyian kami dan berteriak kencang seolah kami baru saja menyaksikan pertandingan bola. Yang ditembak siapa, yang heboh siapa.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar