Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Retak Yang Mengutuh (Skrip)
Suka
Favorit
Bagikan
2. (Scene 7 - 10)

7. INT. RUMAH SAKIT - KORIDOR RUANG ICU – SORE.

Cast: BAIM, DINDA, PERAWAT

Terlihat BAIM bergegas berjalan setengah berlari lewat koridor rumah sakit. BAIM menuju ke ruang ICU.

Subjective camera (POV Baim) BAIM kian mempercepat langkahnya ketika ia melihat DINDA sudah berada di depan pintu kamar ICU, sementara pintu dibuka dan keluar seorang perawat. Tampak perawat itu menerangkan sesuatu kepada DINDA, yang membuatnya serta merta menjadi syok.      

Sambil tetap bergegas, BAIM menoleh ke dalam ruang ICU, dan lewat jendela kaca ia melihat, di dalam ruang ICU itu seorang perawat yang didampingi dokter menarik kain menutupi wajah ARUMI (Arumi sudah meninggal).

BAIM segera tahu apa yang telah terjadi dan sedang dialami DINDA!

Langkah BAIM sampai di dekat DINDA tepat ketika itu DINDA meneriakkan....

DINDA

Ibuuu!! Jangan tinggalkan Dinda!!

Di ujung teriakan itu tiba-tiba DINDA tak sadarkan diri. Tubuhnya meluncur siap terbentur lantai sebelum akhirnya.... BAIM refleks bergerak cepat menangkap dan memeluk tubuh DINDA, yang nyaris beberapa inci lagi jatuh ke lantai.

Perawat menyarankan agar DINDA dibawa masuk ke ruang ICU.  

FADE OUT

FADE IN

8. EXT. KOMPLEK PEMAKAMAN – SORE.

Cast: BAIM, DINDA

Kita melihat BAIM dan DINDA sedang duduk bersimpuh di sebelah makam ARUMI yang baru dikebumikan kemarin dulu. DINDA jelas memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Mata sembab, sementara air mata masih sesekali menetes. BAIM di sebelah DINDA, menemani dan menjaga. Kekhawatiran dan kesedihan juga tampak jelas di wajah BAIM. Mereka masih mengenakan seragam dan membawa serta tas sekolahnya.

BAIM Enggan mengusik, tapi khawatir Dinda kian larut dalam kesedihan Dinda, mengelus bahu Dinda

BAIM

Kita pulang yuk, atau mau kuantar dan kutemani ke mana? Aku akan membawamu ke mana saja asal kamu jangan sedih lagi.

DINDA bergeming, seolah tak mendengar ajakan BAIM.

BAIM(CONT’D)

Ibumu pasti tak ingin kamu sedih. Kau tahu, kan, aku juga pernah mengalaminya. Bahkan beruntun. sesudah ibuku, lalu tak lama kemudian Ayahku. Tapi aku dan Mbak Ayu berusaha tabah. Ini sudah kehendak Illahi. Allah Sang Pemilik kita semua. Kapan pun Ia berkehendak mengambil milik-Nya, akan diambil-Nya....

DINDA

(Menyeka air mata dengan sapu tangan)

Iya, Im. Tapi kamu masih punya Mbak Ayu dan kalian bisa punya rasa saling memiliki. Sedang aku? Aku sendiri, Im. Jangan bilang aku masih punya ayah. Meskipun ada ayah, tapi seperti tak pernah ada untukku!

BAIM

(Menyela)

Ada aku, Dinda. Kapanpun kau membutuhkan, jangan pernah sungkan. Aku akan selalu siap dan berusaha ada setiap saat, insya Allah.

DINDA

Ya, terima kasih, Im. Untung ada kamu....  

BAIM

Sekarang kita pulang, ya, hari hampir senja.

DINDA

Temani aku dulu, Im. Aku belum ingin pulang ke rumah.

BAIM

Atau pulang ke rumahku? Nanti biar Mbak Ayu ikut menemanimu?

DINDA

(Setuju dengan anggukan)

Gimana caranya agar aku bisa mengikhlaskan ibu, ya, Im?

BAIM

Terimalah bahwa semua ini takdir Allah. Berdoa meminta agar Allah mengampuni dan menyayangi Ibu, seperti Ibu kita menyayangi kita sewaktu masih kecil dulu.

DINDA (V.O)

(Berurai air mata lagi)

Aku jadi teringat, waktu aku kecil Ibu memperlakukan aku seperti yang paling berharga dan bunga terindahnya...’Dinda kesayangan Ibu, bunga mawarku yang harum dan cantik....’

BAIM

Menangisi yang sudah meninggal, seperti menyesali takdir Allah. Kalau hatimu tenggelam dalam kesedihan setiap ingat Ibu, itu akan terus menghantuimu, Din.

DINDA

Bagaimana mungkin aku bisa cepat melupakan Ibu yang telah memberikan segalanya untukku. Ada kisah perjuangan Ibu yang tak pernah bisa kulupa, Im. Waktu itu Ibu ingin mendapatkan seragam sekolahku. Aku baru masuk SD. Kamu mau dengar, Im?

BAIM

Mau. Asal tak akan membuatmu tambah sedih lagi....

DINDA

Tidak. Ini pesan Ibu yang selalu kuingat, Im. Malam itu aku nungguin Ibu pulang. Hampir tengah malam ia tiba di rumah. Ketika sampai, kulihat pakaian Ibu lembab oleh bekas keringat. Saat kutanya, ia menjawab; sejak siang, ia menjadi boneka ikon produk makanan. Ibu berdiri di depan toserba sambil mencandai pengunjung. Kamu tahu, untuk apa semua itu, Im?

BAIM

Untuk kamu tentunya.

DINDA

Ya, untuk satu setel seragam sekolahku! Demi aku, Ibu menahan gerah dan pengap berdiri selama tujuh jam! Di balik boneka yang mengimpit tubuhnya, di bawah terik matahari! Betapa tersiksanya Ibu. Beliau terpaksa melakukan pekerjaan itu demi aku.

BAIM

Ibumu berpesan apa ketika itu, Din?

DINDA

(Sesaat menghela nafas)

Ibu wanti-wanti; Dinda, kelak kalau kamu cari suami, pilihlah laki-laki yang paham agamanya, sayang kamu dan peduli pada keluarga! Jangan pilih suami yang membiarkan istrinya bermandi peluh seharian agar anaknya bersemangat ke sekolah dan rajin belajar!    

BAIM

Ke mana Ayahmu waktu itu?

DINDA

Entah main catur atau mancing. Itu hobinya kalau lagi enggak ada proyek. Aku sedih setiap ingat kasih sayang dan kebaikan Ibu, sedang aku belum sempat bisa membalasnya.

BAIM

Kau tetap bisa berbakti membalas kasih sayang dan kebaikan Ibumu mulai sekarang!

DINDA

Bagaimana caranya, Im?!

BAIM

Sedekahkan uang yang kita punya. Pahalanya hadiahkan untuk Ibu. Lalu lanjutkan silaturahmi dengan mendatangi orang yang sering almarhumah datangi. Dan tunaikan amanahnya, bila ia beramanah.

DINDA

Aku belum yakin aku kuat untuk melakukan itu dan melanjutkan hidup tanpa Ibu....

BAIM

Kamu belum mencobanya, Dinda. Aku yakin kamu pasti kuat! Kau anak Ibumu, pasti tabah dan sekuat Ibumu!

DINDA

Aku tak sekuat kamu dan Mbak Ayu, Im.

BAIM

Aku akan selalu mendampingi dan membantu agar kamu kuat melanjutkan hidup tanpa Ibumu. Aku janji, Dinda!

DINDA

(Menatap penuh makna ke Baim)

Kenapa kamu begitu peduli padaku, Im?

BAIM

Karena aku...aku...tahu siapa dirimu, Dinda!

DINDA (V.O)

Kalau gitu jangan pernah tinggalkan aku, Im! 

CUT BACK TO

9. EXT. KAFE ARMAN - TERAS – SIANG.

Cast: ODING

ODING sibuk dengan ponselnya. Ia berusaha menghubungi seseorang (namun yang dihubungi tak menjawab) berulang kali ia melakukan hal yang sama hingga ia nampak kesal sekali. Di puncak kekesalannya, ringtone ponsel ODING tiba-tiba berbunyi.

ODING

Hallo Mahmet! Sudah sampai mana?!

SUARA PONSEL (O.S)

Tunggu saza, ana pasti akan sampai kesithu.

ODING

Tapi waktu kita terbatas. Dua jam lagi habis!

SUARA PONSEL (O.S)

Tunggu saza, Oding.

ODING (V.O)

(Mencoba kembali menghubungi. Berkali-kali,

tapi tak dijawab)

Baguslah! Sekalian kamu kayak ponselmu!

ODING lalu menghubungi nomor lain (penghulu).

ODING

Assalamualakum Pak Penghulu!

SUARA PONSEL (O.S)

Waalaikumussalam.

ODING

Bisa datang seperti kesepakatan Pak Penghulu?

SUARA PONSEL (O.S) 

Maaf, Nak Oding. Saya ke kantor dulu. Mungkin saya agak terlambat sampainya nanti.

ODING

Tapi waktu kita sangat terbatas, Pak!

SUARA PONSEL (O.S)

Mudah-mudahan masih ada waktu, insya Allah.

ODING

Ya sudah, Pak Penghulu kami tunggu! Assalamualaikum!

SUARA PONSEL (O.S)

Waalaikumussalam warahmatullah. 

CUT TO

10. INT. KAFE ARMAN - RUANG AKAD NIKAH – SIANG.

Cast: BAIM, DINDA

BAIM termangu. Pikirannya buntu. Ia tak mengira akan menyaksikan akad nikah kekasih yang pernah sangat dicintai sekian lama. Lalu tiga tahun berpisah. Ketika kini ketemu, sang kekasih akan menjadi pengantin.

DINDA masih meratap penuh penyesalan; kenapa ia bertemu BAIM di saat ia telah telanjur bersedia menikah dengan lelaki asing yang baru beberapa hari dikenalnya?

DINDA (V.O)

Kenapa pertemuan ini terjadi, justru ketika aku telah memutuskan akan membina keluarga baru di negeri calon suamiku?

BAIM

Andai aku tahu kau yang jadi pengantinnya, aku pasti punya seribu alasan untuk tidak datang ke sini!

(V.O) Karena aku akan terpuruk lagi!

DINDA

Mungkin untuk mendengarkan suara hatiku, bahwa sesungguhnya aku tetap mencintaimu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menikah dua pekan yang lalu.

BAIM (V.O)

(Terpana. Nyaris tak percaya ucapan Dinda)

Aku yang salah! Terlalu cepat mengambil keputusan dan meninggalkannya!

DINDA

Dengarkan, Im, aku masih selalu mengenang kebersamaan kita! Rentang waktu ternyata tak mampu mengubah; setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga dua pekan yang lalu... aku memutuskan tak lagi akan mengenangnya!

BAIM

(Tegas)

Dinda, bisakah kau batalkan pernikahanmu?!

DINDA

Tak mungkin, Im! Saat ini, buatku mencintai itu ternyata tak cukup hanya sekedar perasaan, tanpa mau mengorbankan dan memahami.

BAIM

Apakah tak ada pengorbananku saat aku bersamamu dulu? Atau tanpa memahami keadaanmu? Ketika kamu tertimpa berbagai masalah, aku selalu siap membantumu, ‘kan?

DINDA 

Kuhargai itu. Maka aku bertahan hingga dua pekan yang lalu. Tapi ini yang aku maksud situasiku saat ini, Im. Antara mencintaimu dan pernikahanku, bagiku kini harus ada yang kukorbankan dan kupaham hakikatnya

BAIM

Aku tak memahami maksudmu, Dinda!

DINDA

Aku tak bisa mempermainkan janji pernikahan. sementara mencintaimu, seiring waktu akan menjadi masa laluku. Kukira, waktu akan menghapusnya, ketika aku ikhlas menjalani amanah pernikahanku. 

BAIM kian terpuruk mendengar tekad DINDA. Dadanya seperti ditusuk beliung berkarat.

BAIM (V.O)

Siklus kepedihan ini terulang lagi! Lebih parah dari tiga tahun yang lalu! Kali ini aku sudah tak bisa berharap sama sekali!

BAIM (CU) memuaskan kerinduannya sambil tak henti-hentinya menatap DINDA dengan pandangan penuh kepedihan. BAIM sadar, sebentar lagi ia tak akan bisa memuaskan diri memandang kecantikan wajah DINDA di hadapannya.

FLASH BACK

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar