Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Perjalanan Bukan Pelarian
Suka
Favorit
Bagikan
4. Nirwana Sederhana #4
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

“Selamat pagi!”

 

Ketokan pintu, serta suara sapaan yang lantang membuat penghuni rumah keluar dan menyambutku. Rencana hari ini adalah aku akan bermalam di tempat ini. Sekalian silaturahmi, berbincang dengan pemilik rumah, dan juga menghemat biaya. . Mampir sejenak ke daerah Taman Siswa, tempat dimana aku dulu pernah tinggal di sana. Di rumah Pakde dan Budeku, di sini aku juga banyak belajar dan dibekali petuah-petuah hidup yang terkadang lucu.

 

“Waalaikumsalam…eh ada mas Aksa toh, ayah iki ada tamu dari kota”

 

Disambut dengan senyum dan saling jabat tangan serta peluk erat. Kedua orang ini sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Selama bertahun-tahun rumah sederhana ini menjadi Nirwana bagiku, karena di sini aku bisa melupakan penat dari pertama kali aku menginjakan kaki di Kota Seniman ini. Di rumah berlantai 2 yang tidak begitu besar, namun sejuk dengan angin sepoi-sepoi dan satu pohon mangga yang rindang di halaman depannya.

Tempat yang indah terkadang adalah tempat yang sederhana namun membekas di hati. Rumah dengan ubin keramik, kursi kayu jati di bagian teras, dan lonceng di pintu depan rumah. Penghuninya ada 3, Pakde Seno, Bude Sisi dan anak perempuannya bernama Tika.

 

 Bisa dibilang ini rumah yang membuat segala sedihku saat menjalankan kehidupan di Yogya sirna. Mereka bertiga ini adalah insan yang guyon, selalu menyebarkan kebaikan dan membuat gundah dalam diri hilang.

“Tumben kamu kok dateng gak ngasih kabar sa”

“Iya pakde ini dadakan juga, sengaja mampir dua hari di sini, tadinya gak kepingin pergi-pergi, cuma aku sekalian ambil cuti dadakan, oh iya bude Tika mana?

“Weh iya nih kamu sampe repot segala bawa titipan, nanti tak telfon ibumu, Tika sudah berangkat kuliah dari pagi”

“Iya bude gak apa, ini juga titipan dari mamah emang pingin dikirim tadinya lewat pos, tapi mumpung aku ke Yogya jadinya sekalian aja”

Sejenak menunggu di ruang televisi, pagi menjelang siang terasa lama. Ini definisi santai dan aku tidak perlu diburu waktu yang memaksa untuk tiba di kantor. Panggilan pun tiba,ternyata bude sudah menyiapkan bungkusan yang saat dibuka tercium aroma khas, yaitu sekotak nasi gudeg komplit.

“Aksa ayo sini nih dahar sek, ada nasi gudeg Bu Djum, tadi bude pesen dan baru aja sampe, ayo mangan sek, laper kan pasti dari perjalanan?”

“Wah… siap bude, pastinya diabisin ini sih gak pake nanti-nanti”

Nasi, sambel goreng krecek, telur bacem, dan potongan ayam bagian paha, dan yang menjadi primadonanya adalah sayur gudegnya itu sendiri. Manis dan gurih menyapa lidah, ini bisa dibilang rezeki nomplok yang tidak bisa ditolak.

Perbincanganku berlanjut sambil aku berjalan menuju lantai 2, tempat dimana aku pernah menghabiskan banyak tugas kuliah, gitaran, serta tidur seharan di sana. Sebuah ruangan kecil dengan balkon yang cukup luas. Ada tempat jemuran dan juga sebuah kamar kosong dengan komputer dan tempat tidur dan lemari plastik.

“Pakde aku turu sek sebentar yo, sama nginep semalem juga”

“Loh monggo, tinggal dibereskan sedikit ya, tak tinggal ngajar sek yo sa”

“Oh siap, Bude aku beres kamar atas ya, tak pake buat istirahat”

“Iya ndak apa, anggap aja rumah sendiri..“

Pakde Seno adalah seorang pengajar di salah satu fakultas swasta. Tidak cuma itu saja, ia juga menjalankan bisnis sampingan yaitu menjual pernak-pernik. Dari bisnis kecil di rumah ini aku belajar, kerjasama sepasang suami istri yang sangat harmonis.

Tidur siang sejenak, di kamar dimana tempat ini sudah lama sekali tidak ku singgahi. Pintu kamar tidak usah aku tutup, angin sejuk menyapa lantai 2 rumah ini. Sangat adem, Jendela kaca tidak ditutup.

Ramai, seperti ada nada dari burung gereja yang hinggap di tali jemuran. Menikmati terik yang tidak begitu panas dari kamar. Rasa-rasanya seperti tidur siang saat sehabis begadang mengerjaka tugas kuliah dulu. Menyiapka headset, memutar lagi dari handphone, membiarkan diri terlelap tanpa beban.

“Fotonya udah gue lihat, nanti kalau gue balik ke Indonesia pokoknya lo harus ajak  gue ke coffee shop itu titik!”

Ada suara indah yang mengalun dari playlist lagu yang bercampur dengan pesan suara. Suara perempuan dengan nada yang seakan merayu, mengajak seakan-akan besok aku sudah pasti berjumpa lagi dengannya, bisa memegang tangannya, dan bisa melihat jelas bola matanya, atau mendengarnya bercerita berjam-jam tanpa bosan sekalipun.

Aku sudah terlanjur membiarkan suara ini dimainkan. Seandainya kau mengerti, dunia ini sudah benar-benar kacau. Ternyata sama saja kamu pun menambah kekacauan panjang bagi aku dan setengah semesta yang berputar di benakku. Tidak ada lagi menagih janjimu untuk sesekali kita duduk berdua dan bercerita di sudut sebuah coffee shop. Harusnya aku hapus satu-persatu pesan suaramu, tapi sebentar lagi pasti aku bisa menghapus semua pesan suaramu.

Lelah terbayar sudah, namun aku syukuri nikmat tidur siang kali ini. Selamat terlelap sejenak wahai diri yang dirundung sendu, esok cobalah sudahi lagi merindu dan membenci. Selamat tidur siang, biarkan aku terlelap sejenak di salah satu tempat yang membuatku tenang.

#

Terbangun di siang menuju sore hari, tidak lupa sembayang. Sehabis itu langsung menuju ruang meja makan. Karena sudah ada aroma kopi yang diseduh. Waktu sore ada sebuah ritual yang biasa aku lakukan dengan penghuni di rumah bergaya tahun 90an ini. Pertama-tama Pakde Seno sudah pulang mengajar, kedua Bude Sisi sudah selesai dengan kegiatannya. Dan Ketiga Tika sudah pulang dan kegiatan belajarnya.

Jadilah jadilah sebuah ritual berkumpul di meja makan menikmati secangkir kopi atau teh beserta kudapan lezat. Kadang diselingi dengan tontonan berita dan obrolan-obrolan berkesan.

“Kamu gimana kerjaan lancar kan?”

“Iya Bude lancar jaya hehe, Pakde belum pulang ngajar?”

“Assalammualaikum…”

Sautan salam dari dua orang, terdengar Pakde Seno dan juga disusul Tika.

“Welahdala ada Mas Aksa toh, apa kabar mas?!”

“Baik tik, kamu apa kabar? Cie akhirnya jadi anak kuliah juga, pas pengumuman kamu keterima, aku kaget kamu bilang keterimanya di jurusan Antropologi”

“Iya nih mas, susah-susah gampang ternyata, kebanyakan susahnya tapi hehe”

Gelas kaca yang disediakan di meja akhirnya dibuka juga dari tutupnya oleh Pakde Seno. Kebiasaan pasangan serasi ini adalah menikmati kopi secangkir berdua. Asap yang mengepul ditiup sedikit lalu diseruputnya dengan perlahan. Pasti sang suami membalikan gelasnya diwadah yang lebih piring kecil. Sehabis itu terkadang si istri bergantian menyeruput lewat wadah yang sudah berisikan air kopi. Aku suka saja saat melihat mereka menikmati secangkirnya berdua, seperti ada cerita bahwa pahit manis dalam menjalin rumah tangga bisa mereka bagi untuk terus memperjuangkan apa yang namanya menjalankan bahtera sampai akhir kelak. Hal kecil seperti ini yang berkesan bagiku, mereka berdua bisa romantis dalam sederhana.

Diiringi menikmati kopi sore mulailah obrolan kami ditemani singkong goreng yang masih panas, serta kacang goreng yang dicampur potongan bawang goreng nan gurih. Tidak bisa dijelaskan betapa enaknya kacang ini, apa lagi pas masih hangat.

“Wong ya kuliah ya sebenarnya mudah kok, kamu aja banyak ngeluh”

“Nggak juga ya Ayah coba kuliah lagi ditempatku po..mben ngerasani”

“Wes wareg ayah ki karo kuliah”

“Nanti ujung-ujungya kalau kuliah tuh yang diambil juga kan bukan semata-mata ilmu, relasi, karir dan hal yang penting bagi cita-citamu juga kok”

“Loh terus apa lagi Pakde?”

“Seng penting yo diambil hikmahnya le le..”

“Wakakaka bisa aja pakde”

“Nah ngomong-ngomong koe piye mas wes ono gandengan urung?”

“Yah.. pakde jangan ditanya”

Aku hanya memasang wajah kecut diiringi senyum-senyum yang kurang ikhlas.

“Bude juga nunggu loh nih dikenalin kalau ada gandengan, jangan kelamaan le,kan enak kamu kalau mampir ke Yogya gak sendirian terus hehe”

“Waduh bude, pinginnya sih begitu dari dulu ahaha”

“Kamu kalah tuh sama adikmu ini, si Tika ini belum ada setengah semester jalan udah dikenalin pacarnya ke budemu ini”

“Hehe udah ah aku mau ke kamar dulu narok tas, mohon maaf loh ya mas, apa perlu aku cariin nih di kampus banyak dedek-dedek gemas”

“Ora usah tik biar tak cari sendiri wae yang mumpuni “

“Besok-besok ajak nih mas mu ke kampus, siapa tau biar cari sendiri”

“Nahlo bisa aja si pakde wahaha”

Kami semua tertawa dan melanjutkan menanyakan kabar keluarga. Banyak sekali topik yang diangkat. Waktu berjalan hingga menjelang maghrib, pun juga langit sudah mulai gelap. Selalu saja seperti ini, makanya terkadang di meja makan bisa memupuk segala banyolan. Namun juga banyak motivasi-motivasi yang dapat membuat aku lebih semangat dan tidak bosan-bosannya menjalankan tugas. Rindu juga dengan hal yang membuat hati tenang. Karena terkadang bukan cuma lawakan setelah seruputan ke tiga secangkir kopiku, namun ada selipan kata bijak.  

#

Malam sudah tiba, saatnya berkeliling dengan meminjam motor Pespa kepunyaan Pakde. Tidak lupa aku mampir ke Nirwana pelipur lara selanjutnya. Sebuah kedai kopi di daerah Prawirotaman. Namanya adalah Legowo Coffe, aku adalah pelanggan setia waktu masih kuliah dulu. Sering ngopi dan mengobrol segala macam hal dengan barista sekaligus pemilik kedai kopi tersebut.

 Lokasinya agak masuk ke gang, namun daerah ini terbilang ramai dengan wisatawan luar serta café maupun hotel bagus. Pelanggannya kebanyakan datang saat sore ke malam hari. Seramai-ramainya kedai kopi Relung pasti tidak sepenuh gerai kopi terkapitalis di ibu kota.

Tapi ada saja yang mampir untuk hanya membeli biji kopi, atau menikmati secangkirnya dengan dibawa pulang. Saat akhir pekan, tempat ini sering dipakai untuk kelas kopi. Kelas tersebut adalah pembelajaran mengenal kopi, dan juga cara menyajikannya.

Kedai kopi dengan konsep minimalis dan open bar, menarik pengunjung bukan hanya dengan secangkir kepahitan. Nuansa putih, dan juga tidak seluas kebanyakan coffee shop yang menyediakan banyak meja.

Tempat ini buka dari siang, hingga jam 12 malam, dan bahkan bisa tutup sampai dini hari. Itu semua tergantung mood dari yang mempunyai kedai nan filosofis ini, sebut saja Mas Pandu.

“Selamat malam mas bro”

“Weh sek sek, siapa ya…?”

“Bajigur! Koe lupa po? Walaupun wes 3 setengah tahun gak mampir tapi hampir tiap bulan aku mesen bean 2000 gram di sini loh, langsung nelfon pula sama yang punya nya”

“Edan akhirnya mampir juga bro Aksara! Wahaha aku ndak lupa kok cuma pura-pura wae hehe”

“Wah kangen banget mas ngobrol ngalor ngidul sampe kedai tutup!”

“Kaget aku koe iso tiba-tiba dateng, aku langsung tawarin kamu bean enak nih, sek tak buatin kopi sek, abis itu kita bincang-bincang”

“Boleh mas, seperti biasa ya pasti masih inget lah kalau aku ke sini mesennya apa”

“Hitam hangat , V60, kali ini beannya aku yang nentuin yo, dijamin wuenak!”

Cerita singkatnya di kedai kopi ini aku mengenal sesuatu yang berbeda dari secangkir kepahitan. Berawal dari mencari kedai kopi untuk mengerjakan tugas hingga larut. Saat mencari informasi di internet munculah nama tempat yang dilihat dari fotonya ternyata cukup tenang. Bisa berjam-jam aku duduk untuk sekedar laptopan atau membaca buku.

 Sampai sangking seringnya sendiri sang barista dan beberapa pegawai lainnya sering menemani dan mengajakku ngobrol. Ada fase dimana aku penasaran dengan kopi-kopi yang mereka buat.

“ Aku ingin mengetahui bahwa secangkir kopi yang dinikmati itu bisa benar-benar nikmat dengan metode yang seperti apa?”

 Sampai akhirnya iseng pun menjadi-jadi, aku menghampiri barista yang sedang sibuk untuk berniat membantu mereka. Tidak disangka Mas Pandu langsung turun tangan mengajariku tentang seluk-beluk kopi.

“Gini bro, bikin kopi itu ada seninya, koe kudu sabar, cukup teliti, pake perasaan untuk dapetin rasa yang nggak biasa wes ikutin caraku ya”

Dengan gaya medoknya yang khas kata-kata itu melekat. Tapi darinya aku mengenal sebuah pembelajaran mengenal sisi lain dari pahitnya kehidupan. Tanganku pun berkenalan dengan grinder, alat-alat menyeduh kopi, cara-cara membuat kopi dari suhu air, sampai cara mengenal biji kopi yang baik.

“Iki bro wes jadi, monggo diminum….”

“Slurp….”

Suara seruputan pertama, dan aku diam sejenak, seperti sudah sangat mengerti akan kopi, padahal tidak juga, aku mengecap rasa dan menikmati rasa pertama.

“Wah enak iki mas! Tenanan!”

“Nah ini biji kopinya baru datang dari Bali, cocok ra?”

“Cocok aku mas sama ini!”

Wajah sumringah karena aku akhirnya menikmati kopi yang dibuat dengan sang penyeduh yang tidak aku ragukan lagi. Orang yang satu ini tidak pelit membagi ilmu tentang kopi. Panjang lebar aku dan barista yang sering memakai topi kupluk ini berbagi kisah.

Berbagai sudut pandang kami utarakan, terlebih lagi tentang perkembangan kehidupan masing-masing dari kami. Teman ngopi di coffee shop ini adalah berbagai macam kue kering dan roti ala Perancis serta sandwich, tapi untuk kali ini aku memilih biskuit jahe yang selalu menjadi pengingatku saat kerap mengerjakan skripsi di tempat ngopi ini. Lalu diakhiri dengan pertanyaan dan ending dari semua senyum palsuku di kedai ini.

“Piye wedoanmu?”

“Aihs.. mas pake ditanya, amsyong nih wes kabur, mboh nang ndi”

“Haiyah….. alesanmu, makanya jangan telat ngomong kalau suka”

“Bajigur… ngerti-ngertine koe mas iso baca pikiranku po?”

“Lagumu iku loh dari dulu ceritanya masih perempuan yang sama, wes cari gantine wae ojo lama-lama dan susah move on”

“Enje ndoro kakung seng paling ahli cinta-cintaan”

“Gini loh bro…tak kandani yo, seng pait iku cukup kopi wae, ojo kisah cinta”

“Wah bajigur!”

Hikmah di kedai kopi ini ditutup dengan tawa, walaupun sempat membahas yang bikin galau. Bagiku Mas Pandu selalu mengerti menertawakan bagian-bagian pahit kehidupan. Dia selalu menelaah hidup dengan filosofi-filosofi kampretnya itu. Maka dari itu, aku selalu punya ruang bahagia di kedai kopi yang mempunyai nuansa putih-putih dan tidak lupa kenangan tersendiri yang menyatu. Dari tempat ngopi ini aku belajar bahwa membuat kopi atau pun menikmatinya tidak ada yang salah, tergantung cara pandangnya, semua sudah ada porsi dan seleranya masing-masing. Maka dari itu, saat balik ke Jakarta aku pun jadi sering mengunjungi berbagai macam jenis Kedai Kopi, pertama untuk menikmati secangkir kopi, kedua untuk menikmati suasananya.

 

#

Daerah Istimewa Yogyakarta, makin malam beberapa ruas kota makin ramai. Aku menyusuri Jalan Maliboro sampai ke Titik Nol, ramai musisi jalanan membuat sepanjang jalan indah, indahnya karena diiringi musik yang harmonisasinya cukup membuat bahagia. Lampu-lampu hias, andong yang parkir, serta banyaknya makanan pinggir jalan meramaikan suasana hati.

Akhirnya aku tiba di Nirwana kecil satu lagi, tempat dimana aku ditawarkan senyum serta rasa kepuasan saat arti bahagia bercampur dengan lidah yang dimanja, perut yang kenyang, dan hangat yang bersahabat.

 Tempat makan pinggir jalan, tenda sederhana dengan gerobak khas jualan pinggir jalan, terutama gerobak Bakmi jawa. Biasanya pemandangan di gerobak ini akan diperlihatkan daging ayam yang sudah direbus lalu digantung, potongan-potongan sayur, kuali dan arang yang siap menyambut bahan-bahan masakannya yang siap matang.

 Kursi panjang dan juga meja kayu, tak lupa suguhan acar timun, wortel, cabai hijau, bawang merah dalam satu toples menjadi pelengkap kawan sepiring bakmi yang masih panas . Sedari jauh saja sudah ada aroma yang sudah lama tak tercium, hidung serasa dimanja oleh kelezat yang sudah memanggil.

Tempat ini mempunyai nama Bakmi Sabar Menanti, penjualnya namanya Pak Sudiman, aku memanggilnya Pak Man. Memang harus sesabar itu menanti, karena memang selain mengantri, metode memasak yang masih menggunakan arang menbuat pesanan seperingnya harus dibuat dengan sabar. Di tempat ini sedikit menyentil bahwa sabar menanti bakmi di seperti menanti jodoh yang datang.

Awal aku menemukan warung bakmi pinggir jalan ini karena tidak sengaja. Saat ingin pulang dari Kedai relung tiba-tiba malam itu dilanda hujan. Alih-alih mencari tempat berteduh, aku melihat tenda terang bertuliskan bakmi jawa, serta pas sekali perut sedang lapar. Alhasil aku berteduh sekaligus membeli satu porsi penghilang kedinginan saat hujan. Bukan main, ternyata saat itu aku serasa benar-benar menikmati masakan yang membuat indra perasa serta perut yang kosong dibuat bahagia.

Bukanya baru sore, hingga kadang pagi dini hari, tepat di depan Museum Perjuangan. Kedai Bakmi Jawa langgananku saat semasa kuliah dulu ini menjadi saksi, menjadi penghibur yang kerap dirindukan.

Pak Man adalah pemilik sekaligus koki dari warung bakmi tersebut. Soal Rasa sudah tidak bisa aku bandingkan dengan rasa sekelas restoran, jelas buatan Pak Man lebih dari sekedar rasa enak. Aku dan temanku kadang harus bersabar dengan ekstra untuk menikmati sepiring kehangatan surgawi. Bakmi Jawa godog yang kaldunya sangat terasa, suwiran ayam diatasnya, dan tidak lupa wedang jahe sebagai penambah romantisnya. Dimasaknya masih menggunakan arang, tidak heran harus menunggu cukup lama. Namun satu-satunya definisi menunggu lama tanpa kecewa adalah di kedai bakmi ini, mengeluh atau berujung hal-hal sedih lainnya hanya kalau bakminya habis saat aku sedang lapar tengah malam. Tapi menunggu bakmi Jawa Pak Man membuatku mengerti akan waktu yang tidak terasa, dan jika ingin sesuatu yang luar biasa pasti menggunakan kesabaran yang lebih.

“Menurutku, Tuhan melebihkan potongan makanan dari surga di tanah Jawa nan istimewa ini, salah satunya bisa ditemukan dan memusat di Warung Bakmi Sabar menanti.” 

Antrian pun suka merajalela jika jam makan malam sudah tiba. Banyak pelanggan yang bahkan memesannya sampai harus ditinggal dulu, ketika sudah jadi mereka akan mengambil lagi.

Menu andalanku cukup banyak, kadang sampai bingung untuk memesan yang mana. Atau kalau mau banyak menikmati menu di sini aku sering mengajak adik sepupuku atau pakde, dan juga beberapa sahabatku saat kuliah dulu. Dari bakmi goreng, bihun rebus, cap cay kuah atau ayam rica-rica, nasi goreng dengan kekian, tapi tetap primadonanya adalah bakmi godok dengan suwiran ayam atau tambahan ampela ati.

“Malem pak”

“Weh akhirnya ke sini lagi si Mas Aksa”

“Masih inget ya pak wehehe”

“Yo masih mas, Pak Man gak pelupa orangnya, wong kalau ke sini suka sendiri atau rame-rame banget sama temennya hampir seminggu ada 3 sampai 4 kali, pasti mau pesen bakmi godog kan?”

“Suwun loh pak masih inget sama saya! Iya nih kebetulan lagi ke Yogya, kalau nggak mampir ke sini aku dosa hehe”

“Wuih mas wahaha, bisa aja itu kata-katanya, ini pasti pesenannya bakmi godog sama ekstra tambahan suwiran ayam ya mas?”

“Yo jelas pak Man hehe, siap tak tunggu nih! “

“Sebentar ya mas, masih ada 3 porsi sek yang mau dimasak”

“Ora popo pak santai wae”

 

Wajahnya selalu ceria, satu-persatu yang memesan tidak lupa diladeninya. Ia memasak dengan hati, terlihat dari pembawaannya yang selalu senang.

 Bahkan terkadang Pak Man masak sambil menembangkan nyanyian berbahasa Jawa yang merdu. Candaan selingan selama memasak pesanan membuatnya selalu semangat, membat orang-orang di sekitarnya juga merasa bahagia. Ini yang selalu membuat diri ini untuk balik lagi dan selalu ingin balik jika berkunjung ke tanah Istimewa ini.

 

Nirwana sederhana yang buka saat malam hari ini membawaku terbawa akan sesuatu yang menggema di hati.

 

 Tempat yang nyaman dan mempunyai keindahan mendalam bagiku bukan tempat yang mewah atau pun menyediakan apa-apa yang mahal. Salah satu tempat di Yogyakarta yang menawarkan kesejukan bagi diriku, penghilang penat, dan bisa tertawa tanpa mengerti duka mendalam.

 

Sesederhana saat pesanan sudah datang, momen dimana aku menikmati sepiring bakmi Jawa kuah dengan tambahan merica, serta cabe rawit.

 Belum lagi potongan daging ayam yang cukup besar untuk ukuran suwiran ayam. Kuahnya kental, wajib dinikmati saat panas-panasnya. Suara kuah bakmi yang sedang dinikmati.

 

 “Slurp…slurp”

 

 Begitulah perlahan kuah diseruput, menikmati panasnya kuah bakmi adalah kenikmatan yang luar biasa. Laksana mengecap lidah ini bertemu dengan rasa makanan yang sudah lama tidak berjumpa. Gurih kuah kaldu, serta tambahan potongan kulit ayam menambah khidmat sepiring bakmi jawa yang sudah lama di rindu. Tidak lupa mencampurnya dengan acar yang terdiri dari wortel, timun dan cabai rawir.

 

 Seperti jodoh dengan malam hari di Yogyakarta yang cukup dingin. Makan malam yang tidak bisa dilupakan, aku bisa berhenti dari perjalanan jauh sekalipun cuma demi makan Bakmi Jawa yang tukang masaknya ramah dan selalu menyenangkan hati.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar