Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Scene 1 – Kafe (SORE HARI)
Visual:
Memperlihatkan suasana langit senja
Mereka bertemu kembali dan duduk berdua setelah lama tidak saling bicara. Obrolan penuh rindu tapi juga menyimpan ketegangan. Mereka ingin kembali bersama, tapi masa lalu membayangi.
Dialog:
Sasa (tersenyum lembut):
“Kafe ini masih kayak dulu, ya. Tapi kita… udah banyak berubah.”
Fariz (duduk, menatap meja):
“Tempatnya masih sama. Rasanya yang beda.”
Sasa :
“Kamu datang… itu udah cukup buat aku.”
Fariz (menahan napas):
“Cukup buat sekarang. Tapi besok? Nanti?”
Sasa :
“Kita bisa cari cara”
Fariz (memotong, lembut):
“Kita udah pernah coba, Sa. Dan luka itu... masih ada.”
(Hening. Kamera fokus ke tangan mereka yang nyaris bersentuhan di atas meja, tapi tak jadi.)
Scene 2 – Kamar (Malam, via telepon)
Visual :
Lampu kamar redup. fariz rebahan di Kasur trus ada telpone dari sasa lalu mereka bertelponan, ponsel mereka di telinga. Wajah lelah.
Sasa di kamarnya sendiri, duduk di Kasur .Percakapan emosional melalui telepon. Keduanya jujur tentang tekanan dari keluarga dan kebingungan masa depan. Dialog semakin dalam dan menunjukkan konflik batin masing-masing.
Dialog:
Sasa :
“halo riz”
Fariz :
“Knpa sa”
Sasa:
“Tadi Mama tanya kamu. Aku nggak tahu harus jawab apa.”
Fariz:
“Nyokapku juga mulai nanya. aku bingung harus gimana?.”
Sasa:
“Kita beda. Bahkan buat sekadar dikenalin aja pun susah.”
Fariz:
“Kita tumbuh dari keyakinan yang nggak sama, Sa.”
Sasa:
“Tapi kita punya rasa yang sama riz.”
Fariz:
“Dan rasa itu... gak cukup kalau dunia bilang kita salah.”
Sasa:
Tapi gimana riz aku juga bingung
Fariz :
Yaudah besok kita ketemuan di Pantai
(Memperlihatkan fariz yg lagi galau di kamarnya)
Scene 3 – pantai (sore)
Visual:
Sasa duduk bareng fariz di bangku mereka mengobrol dengan sangat serius dan penuh kesedihan.
Dialog:
Sasa (pelan):
“Aku pikir... tempat ini bisa bantu kita tenang. Tapi hatiku malah makin ribut.”
Fariz (duduk, menatap tanah):
“aku udah muter-muter dulu sebelum ke sini. Nggak tahu harus ngomong dari mana.”
Sasa:
“Kita cuma mau saling sayang, Riz. Kenapa dunia kayak nggak rela?”
Fariz:
“Karena dunia nggak cuma tentang kita, Sas. Ada keluarga, ada iman, ada prinsip yang udah ditanam dari kecil.”
Sasa (emosi naik):
“Tapi cinta kita juga nyata! Kenapa semua itu harus lebih penting dari kita?”
Fariz:
“Karena cinta nggak seharusnya bikin kita ninggalin diri kita sendiri.”
Sasa:
“Kamu takut aku berubah?”
Fariz (pelan):
“Aku takut kamu kehilangan dirimu. Kehilangan arah. Dan nanti... nyalahin aku.”
Sasa (mata berkaca-kaca):
“Aku siap berkorban, Riz. Tapi kamu... kamu bahkan nggak mau berjuang.”
Fariz (berdiri, menahan tangis):
“Aku berjuang, Sa. Tapi aku juga realistis. Aku nggak mau cinta kita jadi alasan kamu dibenci keluargamu. Atau kamu kehilangan kepercayaanmu.”
Sasa (berdiri juga):
“Jadi kamu milih ninggalin?”
Fariz:
“Aku milih nyelametin kamu... dari aku.”
(Sasa menangis, mencoba menahan Fariz. Fariz perlahan melepas tangan Sasa dan berjalan pergi. Kamera perlahan menjauh, suara isakan terdengar.)
Voice Over (Sasa):
“Cinta kami lahir dari keberanian. Tapi berakhir dengan keikhlasan. Di gazebo ini... aku belajar bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi merelakan.”
END