Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
1. EXT - JALANAN PARIS – SORE HARI
Dibuka dengan pemandangan Kota Paris yang cerah, banyak warga lokal dan turis yang sedang melakukan aktivitasnya.
Hardinata Bagaskara(25 Tahun) berjalan dengan menunduk, melangkah dengan menyeret kakinya secara perlahan. Kita dapat melihat tatapan mata kosong di wajahnya.
HARDINATA (V.O)
Ayahku pernah berkata. Dalam hidup melangkahlah sejauh mungkin, hingga engkau dapat menyalakan api untuk sesama.
(Jeda) Untuk itulah aku disini. Di Kota asing yang tak pernah sekalipun tak terbayangkan dalam pikiranku. Menghirup aroma hujan di kota inipun rasanya seperti mimpi.
Seorang wanita bersama pacarnya yang duduk di kursi taman pergi. Hardinata duduk. Merebahkan tubuhnya di kursi taman. Menatap sekelilingnya yang ramai, dengan pandangan lurus.
Hardinata (V.0)(CONT’D)
Paris... Paris... Paris... (Bernada)
Kota yang indah namun menyakitkan. Aku sepi, aku sendiri dan selamanya begini. Mungkin aku berjalan terlalu jauh, hingga kehilangan arah dan tak tahu jalan pulang.
Kemudian muncul tittle judul
“JATUHNYA PESAWATKU”
2. INT - FLAT HARDINATA – SORE HARI
Musik alunan sedih mengalun.
Hardinata pulang ke indekosnya dengan wajah murung, tak bersemangat seraya menarik erat mantelnya. Ia melangkah ke saklar lampu, untuk memberikan cahaya pada indekosnya yang ruangnya begitu sempit.
Hardinata melepaskan sepatunya, membuangnya secara asal. Seketika alunan musik berhenti. Sunyi.
Beberapa saat kemudian Hardinata menunduk, seperti berpikir. Kemudian ia kembali mematikan lampu, membuka sedikit horden lalu ditutup kembali.
Hardinata mengambil duduk di kasurnya yang berantakan, penuh dengan kertas-kertas lecak.
HARDINATA
Namaku Hardinata Bagaskara. (tersenyum sambil memainkan korek). Akulah pria tanpa sandaran, yang terombang-ambing di negeri asing yang tak kukenali. Benar ataupun salah, tak ada bedanya bagiku. Tetap saja aku berada dititik paling terendah.
HARDINATA (CONT’D)
(Menatap kamera) Kalau kau ingin tahu, aku inilah binatang jalang, dari kumpulan terbuang yang dimaksudkan oleh Chairil Anwar
Hardinata menaruh koreknya lalu meluruskan tubuhnya seraya melihat surat-surat di kasurnya dan mulai membentuk kertas-kertas itu menjadi pesawat.
HARDINATA (CONT’D)
Dua tahun lalu, kugantungkan cita- citaku setinggi langit. Menjadi presiden. (menatap kedepan) Presiden yang jujur, adil, menciptakan kemakmuran, bukan menjadi presiden hasil campur tangan asing atau juga hanya menjadi seorang diktator. (Tertawa sedikit, lebih ke miris).
HARDINATA (CONT’D)
Dulu aku mengira, melangkahkan kaki ke negeri dimana Eiffel tegak berdiri adalah sebuah jalan lurus agar langkah ini akan melesat sempurna mencapai mimpiku.
(Beat) Lalu aku berada diatas bayang-bayang, berharap ilusi yang kuciptakan akan segera menjadi nyata.
HARDINATA (CONT’D)
Aku tak akan berada disini, jika tak ada mereka dihidupku. Dari semangat Simbah yang tak peduli akan hal apapun, aku memiliki sikap yang tak takut mencoba dan acuh pada omongan orang lain. Dari ibu, aku belajar banyak tentang makna hidup, untuk berjuang keras menggapai apa yang kuinginkan. (Tertunduk sedih) Dan bapak, semangatmu yang rela mati dimedan perang dulu, telah mengajarkan aku untuk berkorban.
Hardinata tersenyum, tetapi itu hanya persekian detik. Wajahnya kembali murung tanpa seutas senyum. Pandangan penuh kekosongan. Matanya hanya menatap lurus.
HARDINATA (CONT’D)
Bapak mengucapkan kata terakhirnya diujung senja, sebelum matahari benar-benar menyembunyikan rupanya.
Kemudian, Hardinata bangkit dari kasur. Berdiri dengan sempoyongan. Berdiri tegak. Menutup matanya.
CUT TO :
3. INT - RUMAH HARDINATA, YOGYAKARTA – SORE
Hardinata membuka matanya. Ia berdiri di ujung rumahnya yang hanya berdinding kayu tipis, melihat kejadian bertahun lalu, saat umurnya masih belasan. Tak pernah ia lupakan.
PAK SAMSUDIN
(Menyejajarkan dengan tubuh anaknya)Nata, Bapak lungo dhisik, jogo simbah lan ibuk. Ra’ usah pikirke bapak. Bapak ra’ popo.
HARDINATA KECIL
Aku wedi pak, wedi. Akeh suoro kenceng. (Menutupi telinganya).
PAK SAMSUDIN (O.S)
Nata ra’ usah wedi, Allah kan ono ning kene.(Mengelus dada Hardinata). Nata kudu dadi wong gede, menawi saget dadi presiden.
Hardinata kecil tersenyum, memeluk bapaknya yang akan pergi.
Zoom out ke wajah Hardinata Dewasa. Ia menengok, kamera mengikuti.
HARDINATA DEWASA
Karena dialah aku berhasil menapakkan kakiku disini. (menghela Napas Panjang) Mimpi dan harapanku sepenuhnya tergariskan di wajah mereka.
Hardinata menutup matanya.
CUT TO :
4. INT - FLAT HARDINATA – SORE
Hardinata membuka matanya. Beralih kembali di kamar indekosnya. Ia berjalan ke seluruh sudut ruangan. Memainkan korek apinya.
HARDINATA
Aku ingat pidato sang proklamator malam itu didepan ribuan mahasiswa (Mengikuti gaya bicara Sang Proklamator)
HARDINATA (CONT’D)
Pergilah, cari dan tuntutlah ilmu setinggi- tingginya. Bangun bangsamu ini, negara akan membiayaimu!!!
HARDINATA (CONT’D)
(Mencontohkan ekspresi senang) Aku pasti bisa!!! Aku pasti bisa mewujudkan impianku. (Kembali datar)kataku waktu itu.
HARDINATA (CONT’D)
Oh atau pidatonya yang ini.
(beat)Barangsiapa yang ingin mutiara, harus berani terjun dilautan yang dalam. (Tertawa) Lalu apakah aku harus tenggelam dilautan yang dalam, sampai tubuhku terkoyak, tercabik-cabik sedangkan mutiaranya dirampas begitu saja? Ataukah aku mati sia-sia tanpa mendapatkan apa-apa? Je ne sais pas
HARDINATA (CONT’D)
Demi ini semua, aku rela meninggalkan cintaku. Merelakan segalanya
Mata Hardinata terpejam.
5. EXT - RUMAH SOERINI – MALAM HARI
Mata Hardinata terbuka lebar. Perlahan kepalanya menoleh ke kanan, menatap malam terakhir ia berjumpa dengan kekasihnya.
SOERINI
Aku ingin kau disini, Mas. Tak perlu kau pergi jauh.
HARDINATA
Tidak bisa Rini. Untuk menikahimu, Mas harus setara denganmu.
SOERINI
(Menarik jemari Hardinata) Untuk apa? Ayahku menerimamu apa adanya. Tidak peduli, perbedaan di antara kita. Bagi keluargaku, kita sama. Manusia.
HARDINATA (CONT’D)
Aku sangat tersanjung atas seluruh yang keluargamu berikan untukku. Tapi, aku juga memiliki impian dan cita, Rini. Aku juga ingin menjadi lelaki yang bisa diandalkan.
HARDINATA (CONT’D)
(Berlutut)Izinkan untuk pergi sebentar saja Rini. Akan kuselesaikan studiku, lalu kembali dan meminangmu. Aku janji.
Hardinata mengambil sesuatu di kantung celana cokelatnya. Sebuah cincin yang dilapisi sapu tangan
HARDINATA (CONT’D)
Ini bukti cintaku padamu. (Memakaikan cincin ke jari Soerini) Cincin ini mahar pernikahan orangtuaku. Aku akan segera kembali, dan membelikan cincin yang baru.
Soerini menitikkan air mata dan memeluk raga Hardinata.
SOERINI
Berjanjilah padaku, Mas.
HARDINATA
Percayalah padaku. Aku... (Bersamaan dengan Hardinata dari masa depan) akan segera kembali
CUT TO :
6. INT - FLAT HARDINATA – SORE
Hardinata membuka matanya. Ia meringis pilu.
HARDINATA
Aku yang tak seperti dahulu. Aku yang mengingkari janjiku. Aku yang tak bisa kembali mengepakkan sayapku.
Hardinata kembali duduk dan membuat pesawat kertas.
HARDINATA (CONT’D)
Mula dari kisah ini karena tikus. Ya benar tikus, kau harus percaya. Mereka mencoba menggerogoti keutuhan bangsaku yang baru saja mencoba menjadi negara yang berdaulat, mandiri dan makmur. Tikus itu sangat jahat, lebih jahat dari spesies tikus pada umumnya. Mereka berhasil membunuh tujuh pendekar bangsa tak berdosa.
HARDINATA (CONT’D)
(Memasang wajah serius) Ohh, bukan itu saja, tikus-tikus itu membantai ulama dengan kejinya, mengotori kesucian para gadis bahkan (Terjeda emosi menurun) menginjak-nginjak kitab agamaku. Kau harus tahu itu, harus tahu. (Menyenderkan kepala kembali memainkan korek)
HARDINATA (CONT’D)
Berkat ulah mereka, seorang pangeran tak berkuda berhasil melengserkan sebuah kepemimpinan yang bertahun-tahun diagungkan hanya karena sebuah surat perintah.
HARDINATA (CONT’D)
Kepemimpinan baru itu merubah segala hal. Ia mengusir tikus itu dari kedaulatan negeriku, seakan-akan ia adalah pahlawan super yang telah membasmi monster-monster tanpa tahu diluar sana banyak yang tersiksa, hilang arah dan tercampakkan.(Menunduk dan mengatur napas)
HARDINATA (CONT’D)
(Berdiri tegak) Lalu, bolehkah aku memilih? Sepertinya tidak. Mau salah ataupun benar, aku tetap saja berada di titik ujung itu. Berada di persimpangan goresan luka. Baginya aku sama seperti mereka, seperti tiku-tikus yang telah menggerogoti bangsa, seperti mereka yang telah menodai kesucian ibu pertiwi. Disisinya aku adalah komunis.
Hardinata kembali memejamkan matanya.
CUT TO :
7. INT - RUANG INTEROGASI KBRI – SIANG HARI
Hardinata menyaksikan itu semua. Berdiri di ujung, menatap getir.
PETUGAS KBRI
Kau komunis!!!
Hardinata berlutut sujud, memohon, beberapa kali mencium sepatu pantopel petugas KBRI. Tangannya bersedekap terus memohon
HARDINATA
Tidak tuan, aku berada dipihak yang netral
PETUGAS KBRI
(Menunjuk Hardinata, mata membelalak) Omong kosong!!! Untuk apa kau menyimpan buku-buku ini? (Menunjukkan buku terlarang) Kau adalah komunis. Dan kau tak lain dan tak bukan hanya sampah negara.
HARDINATA
(Menggelengkan kepala, mulai menitikkan air mata) Tidak tuan, aku bukan komunis, aku hanya pemuda yang gemar membaca. Buku itu milik temanku yang belum kukembalikan tuan.
Petugas KBRI menghela nafas lalu menyalakan rokoknya, seakan berusaha menepiskan amarahnya. Petugas KBRI berkata pelan.
PETUGAS KBRI
Dalam 1 kali 24 jam, hak kewarganegaraanmu tak akan berlaku, kau komunis hanya beban negara. Kami tak membutuhkan pemuda sepertimu.
HARDINATA
(Berlutut sambil menciumi sepatu petugas KBRI) Aku mohon tuan, aku bukan seperti mereka. Biarkan aku tetap menjadi warga negara Indonesia. Aku akan sepenuhnya mengabdi pada negara.
Dalam ujung tangisnya, Hardinata berdiam menunduk, tangan masih keadaan memohon lalu mengacak-ngacak rambutnya. Kepalanya terasa sangat sakit. Ia berteriak sekencang-kencangnya sambil memukuli alas.
Hardinata di masa depan mendatanginya. Ia memeluk raga Hardinata yang merungkuk di lantai menangis.
HARDINATA MASA DEPAN
Lepaskan Hardinata! (Berteriak kencang) LEPASKANNN!!!!
CUT TO :
8. INT - FLAT HARDINATA – SORE HARI
Hardinata membuka matanya, seketika berada di flatnya kembali. Ia terduduk lesu, terasa sangat menyakitkan. Ia menyeret duduknya ke pojok kasur.
HARDINATA
Aku harus apa? Harus apa? (Berteriak kencang menahan tangis) Langkahku seakan mati, jiwaku yang dulu, hilang entah ke mana. Apakah aku berhak melanjutkan hidupku? Apakah aku berhak menentukan dimana hati ini pantas kuletakkan?
HARDINATA (CONT’D)
(Perlahan tempo suara amarahnya memudar, seperti pasrah dalam keadaan) Aku juga merasa, dimanapun kaki ini melangkah, setitikpun tak pantas meninggalkan jejak-jejak.
HARDINATA (CONT’D)
(Mengambil surat terakhir yang belum dibentuk pesawat) Surat ini adalah yang terakhir dari ibu.
Hardinata membaca surat, mengikuti intonasi bicara ibunya yang penuh kelembutan.
HARDINATA (CONT’D)
Nata, anak lanangku
Piye kabare le? Mugo-mugo apik yo sampe mengko lulus lan balik nang Indonesia.
Ngapurone, ibu wis suwi ora kirim kabar, keadaan kene soyo parah sak wise peristiwa iku. Ono sing kudu kowe ngerti Nata, Mbah Kakungmu wis tinggal telung wulan kepungkur, piyambake di pateni karo komunis wektu ngajar ono pesantren. Ngapurone nembe ngei kabar saiki
Mugo-mugo kowe cepet lulus yoo, cepet balik nang indonesia, bagas waras terus ya nang kono...
Dengan perasaan marah, surat itu dilempar dengan kencang. Lalu Hardinata berdiri kembali menunjuk-nunjuk.
Seiring, instrumen musik sedih mengudara.
HARDINATA (CONT’D)
Siapa yang harus bertanggung jawab? Siapa? (Menengok kanan-kiri)Siapa? Dari awal seharusnya tak punya cita-cita yang tinggi, tak seharusnya aku disini, lebih baik aku… lebih baik aku… (Terduduk lemas tak bisa melanjutkan ucapannya)
HARDINATA (CONT’D)
(Menarik nafas, mengatur emosi) Kembali ataupun tidak, aku memang tak berhak mendapatkan pilihan. Jika sebelumnya aku berhasil kembali, sama saja aku tak bisa bertemu ibu.
HARDINATA (CONT’D)
Yang ada aku dijagal, ditangkap, diinjak-injak macam tikus yang menjijikan itu. Belum lagi keselamatan ibu jika aku disana, mereka tidak akan tinggal dia kan? (membuang napas) Di titik ini kau pasti paham kan, betapa beratnya aku yang berada dipersimpangan pilihan?
HARDINATA (CONT’D)
Cinta? Bagaimana dengan cintaku yang tertinggal di tempat nan jauh di sana? Bagaimana janji-janjiku padanya? Apakah hanya akan menjadi angan-angan yang akan memenuhi relung hatinya? Yang jelas aku harus merelakannya.
Hardinata mengelap air mata di wajahnya dengan tangannya yang gemetar. Menghela napas kasar, menerbangkan satu-satu kertas itu yang sudah dibentuk pesawat dengan kasar.
HARDINATA (CONT’D)
Aku menganalogikan impianku dengan pesawat terbang yang tengah mengudara, berkelana ke setiap sudut dunia untuk mencapai posisi tertinggi.
HARDINATA (CONT’D)
Sampai akhirnya pesawatku berada di titik terjauh. Ia retak, luka dan akhirnya terjatuh, runtuh dan hanya bisa patuh dengan realita.
Hardinata menatap atap kamarnya. Ia mengacak rambutnya kemudian memainkan korek apinya kembali.
HARDINATA (CONT’D)
Patah ini akan selalu kusembunyikan dalam diam, dalam setiap doaku, dalam hari-hariku. Walau langkah ini telah tercekat aku tak akan kembali berkutat pada langkah yang sama. Biarkan pesawat terbangku datang, menemui hati yang tepat.
Perlahan, instrumen musik sedih berganti dengan lagu Gelap Kan Sirna oleh Chrisye mengalun. Kita bisa melihat Hardinata yang menyender di dinding, memeluk kedua kakinya.
TAMAT