Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara piring dan gelas yang bergesekan terdengar kurang nyaman. Seorang gadis dengan sarung tangan karet yang melekat ditangannya sibuk membilas sabun dari piring dan gelas.
"Git, ini masih banyak cucian piringnya. Agak cepet, ya. Pelanggannya banyak."
"Iya, Mbak."
Sagita, gadis kelas sepuluh yang hidup sendirian. Ia bekerja di banyak tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untung saja ia bisa mendapatkan beasiswa penuh sehingga ia tidak perlu pusing memikirkan biaya sekolah.
Setelah berjam-jam di dapur, akhirnya pekerjaan Sagita selesai. Ia bergegas mengambil tas selempangnya dan mengganti bajunya.
"Mbak, saya boleh pulang?" tanyanya pada pemilik rumah makan.
"Oh iya, Git. Boleh. Makasih, ya."
Sagita tersenyum dan mengangguk. Setelah berpamitan, ia keluar menuju parkiran untuk mengambil sepedanya. Sebelum mengayuh, ia sedikit merapikan rambutnya dan menghela napas. "Oke, Sagita. Tetep semangat!"
...
Di perjalanan menuju rumahnya, Sagita bersenandung ringan. Akhir-akhir ini ia sangat suka bernyanyi. Baginya, hal itu bisa mengurangi rasa lelah yang selalu ia rasakan bila malam hari.
Tiba-tiba ia melihat seekor kucing yang terkulai lemas di pinggir jalan. Segera, ia menepi dan mengambil kucing itu. "Kasian."
Gadis itu mengeluarkan air mineral dari tasnya dan meminumkannya secara perlahan. Matanya menangkap supermarket di seberang jalan. Ia meninggalkan kucing itu sebentar untuk membeli makanan khusus kucing, hatinya tidak tega melihat seekor kucing yang kelaparan.
Sekitar tiga menit kemudian, Sagita kembali dengan makanan kucing ditangan kanannya. Ia membuka plastik dan membiarkan kucing itu untuk makan.
Selagi menunggu kucing itu selesai menghabiskan makanannya, Sagita membuka buku catatan yang sengaja ia bawa. Buku itu berisi rumus-rumus matematika. Besok, ia harus mengikuti kompetisi matematika nasional yang diselenggarakan pemerintah.
Sebenarnya ia sendiri sudah beberapa kali memenangkan kompetisi seperti ini sejak SMP. Hanya saja, ia selalu merasa bahwa dirinya tidak cukup pandai.
"Meow."
Sagita menoleh, rupanya kucing itu sudah selesai makan. Segera, Sagita membersihkan sisa sampah dan membuangnya. Sebelum benar-benar pergi, ia mengelus kepala kucing itu. "Maaf, ya, aku gak bisa bawa kamu pulang."
...
Tok.. Tok.. Tok..
Suara pintu membuat Sagita bangun dari tidurnya, ia menatap jam. Pukul delapan malam. "Gue ketiduran rupanya."
Gadis dengan balutan piyama lusuh itu berjalan ke arah pintu kemudian membukanya. Ternyata itu Mbak Narsih, tetangganya. "Ada apa, Mbak?"
"Gak apa-apa, Neng. Ini saya tadi syukuran," kata Mbak Narsih, memberikan sekotak nasi kepada Sagita.
"Wah, Alhamdulillah. Makasih, Mbak."
"Iya, sama-sama. Kalau gitu saya pamit, ya. Mau nganter nasi buat yang lain."
Sagita tersenyum dan mengangguk. Setelah Mbak Narsih pergi, ia menutup pintu dan duduk di ruang tamu. "Kebetulan lagi laper, Alhamdulillah ada nasi."
Kehidupan sehari-hari Sagita memang biasa saja. Tidak mewah seperti teman-temannya yang lain. Tapi, Sagita selalu bersyukur dengan apa yang diberikan Allah. Setidaknya, ia masih diberikan kemudahan dalam hidupnya yang sepi.
Sambil menikmati nasi kotak, Sagita membuka kembali buku catatannya. Hal yang mudah bagi Sagita untuk memahami rumus-rumus baru. Satu bulan lalu, gadis itu berhasil memenangkan kompetisi sains tingkat kabupaten. Jadi, ia sangat berharap ia juga dapat memenangkan kompetisi besok.
Semoga saja.
...