1. Penulis belum melihat buku itu secara langsung. Tetapi, penulis membacanya dari kutipan muqaddimah Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qur"ân edisi tahqîq oleh tim pen-tahqîq Markaz Al-Dirâsah Al-Islâmiyah yang diterbitkan oleh Mujamma‘ Al-Malik Fahd li Thabâ‘ah Al-Mushaf Al-Syarîf tahun 1426 H. Dalam catatan kakinya, disebutkan bahwa mereka merujuk pada kitab Al-Tahadduts Bi Ni‘matillâh terbitan 1392 H.
2. Pasaran adalah kegiatan pengajian kilat yang lazim diselenggarakan di pesantren-pesantren tradisional pada bulan-bulan tertentu sesuai dengan kebijakan Kiai. Biasanya, para santri mengkhatamkan coretan (terjemah kosakata dan kedudukan gramatikal) satu judul kitab, hingga beberapa judul kitab. Istilah lain untuk pasaran adalah Sanlat dan Daurah.
3. Membaca Al-Quran tidak dengan melihat mushaf.
4. Ketika itu, penulis sedang mendawamkan puasa setiap hari. Puasa ini penulis lakukan sejak bulan Rajab tahun 1998 dan berakhir pada 2008. Banyak teman dan sebagian guru yang menyarankan penulis agar berpuasa Daud, karena puasa setiap hari itu diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, bahkan ada yang mengharamkannya, karena termasuk puasa dahr yang dilarang Rasulullah Saw. Tetapi penulis berpendapat, sebagaimana Imam Al-Ghazali (w. 505 H.) bahwa puasa setiap hari itu tidak termasuk ke dalam puasa dahr karena dalam satu tahun itu pasti ada tidak puasanya, yaitu dua hari raya dan hari-hari Tasyriq. Ketika itu, hal yang menjadikan penulis bertahan dengan puasa setiap hari adalah hadis Rasulullah Saw. yang memerintahkan agar anak muda yang sudah puber, tetapi belum mampu menikah, harus melakukan puasa untuk mengendurkan syahwatnya. Penulis memahami perintah puasa dalam hadis itu sebagai perintah yang mendekati wajib bagi remaja, seperti penulis, untuk menundukkan syahwat dan pandangan agar tidak terjebak ke dalam sesuatu yang haram. Oleh karena itu, setelah penulis menikah, penulis langsung menghentikan puasa setiap hari itu karena sudah tidak ada lagi alasan syar"i yang mendesak.