Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Pernahkah kau bertanya, seperti apa surga yang didambakan segenap manusia? Apakah sama dengan yang diceritakan dongeng-dongeng tua—suatu ranah yang steril dari segala duka? Arunika, gadis kecil itu, Si Kuncup yang kaki-kakinya selincah kijang dan tawanya secerah pagi, diberi kesempatan untuk mengalaminya sendiri.
Arunika tak diberi cukup waktu, bahkan untuk memandang seperti apa wajah ibunya. Dia meninggal saat tubuhnya masih sebesar ibu jari. Dunia tak menginginkannya. Kematiannya tak menumbuhkan duka di dada siapa pun. Namun, Maut yang penyayang—ibunya yang lain—ibu sejati bagi setiap makhluk yang bernapas—menangis untuknya. Dengan tangannya yang tak memiliki temperatur, dia membawa anak itu ke surga, untuk menjalani hari-hari bersahaja bersama keluarga barunya di asrama Bintang Utara.
Surga, ternyata, tak banyak bebeda dengan apa yang kaulihat di Bumi, bahkan mungkin lebih sederhana. Ada sentral kota yang menawarkan berbagai macam hiburan, ada perpustakaan yang koleksi bukunya tidak terlalu lengkap, dan ada toko-toko yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Ada yang pergi dan ada yang datang.
Terletak di sisi Hutan Purba, Asrama Bintang Utara—bangunan tiga lantai itu, terlihat hampir roboh dengan cat yang mulai mengelupas. Namun, setiap saat dapat kaudengar suara tawa dan keceriaan yang seolah tak ada habisnya. Dengan sayap kelabu yang membentang indah, juga lingkar cahaya di atas kepala mereka—yang begitu sering dihinggapi seekor kupu-kupu saat mereka tak sengaja lelap di bawah kanopi dedaunan, malaikat-malaikat itu memilih bahagia, meski tanpa orangtua. Namun, benarkah demikian?