Adik duduk di sampingku, sementara Tio menjatuhkan diri di kursi plastik di dekat kami. Mereka membawa aroma pagi dan kenangan yang masih hangat.
"Aku baru dapat kabar tadi malam," kata Adit sambil membuka botol air mineral."akhirnya. Minggu depan aku berangkat ke Jogja dapat beasiswa kuliah teknik."
"?Gokil,Dit,"aku menepuk pundaknya, ikut senam, meski ada rasa asing yang tak bisa kusebut.
Mungkin.. semacam Rasa tertinggal.
"Alhamdulillah,"ucap Adit, senyumnya lebar, tapi matanya menyimpan kegugupan."senang sih, tapi juga deg-degan jauh dari rumah, semua sendiri".
"Berarti kita makin ke sini makin dipisah-pisah ya," sela Tio pelan. "Aku sendiri kayaknya nggak kemana-mana. Ngebantuin bapak urus bengkel di rumah. Mungkin nanti buka cabang, Siapa tahu."
Aku mengganggu. Sunyi sebentar. Bukan karena tak tahu harus bicara apa, tapi karena.... Ada sesuatu dalam hati yang sedang kami proses masing-masing. Waktu rupanya mulai membawa kami ke arah yang berbeda.
"Aku juga mau berangkat,"kataku, akhirnya. "Tapi bukan kuliah. Aku mau kerja, merantau. Coba keberuntungan di kota."
"Adit menoleh cepat. "Sendirian?"
"Sendirian."
Jawabanku sederhana, tapi mengandung lebih banyak hal daripada yang bisa ku ucapkan.Tekad, takut, harapan, semuanya campur jadi satu.
Tio menatapku dalam, lalu mengangguk."kita sama-sama berangkat, ya. Meski arahnya beda."
Kami bertiga tertawa kecil, tapi tawa itu rasanya sedikit pahit.
Pagi itu kami duduk lama.
Bertiga, seperti biasa. Tapi masing-masing dengan isi kepala yang berbeda. Mungkin ini terakhir kalinya kami bisa duduk begini.. tanpa beban, tanpa batas waktu.
Aku sadar.. hidup sedang membagi jalan. Dan di jalan masing-masing itulah, kami akan bertumbuh. Pelan-pelan, dengan cara kami sendiri.