Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Awas monyet, Nak!”
Kalimat itu kembali meluncur dari bibir keriput lelaki tua yang selalu dipanggilnya “Bapak”. Gopar menoleh enggan dengan raut muka kusut. Pagi ini sudah tiga kali didengarnya ocehan itu. Tak sabar dia ingin masuk hutan, biar bebas telinganya dari kicau si lelaki tua.
Hastina, ibu tiri Gopar yang tak pernah akrab dengan putra sambungnya itu lantas keluar dari kamar, menatap setengah iba pada suami yang ia cintai sepenuh hati. Dia mendengus tatkala pandangannya beralih ke Gopar.
“Pergi lagi?” tanyanya ketus.
“Aku bekerja!” Gopar menjawab asal.
“Lalu kapan kau perbaiki pagar kebun kita sesuai amanat ayahmu?”
“Nanti!”
Gopar meraih ransel tuanya dan bergegas keluar, meninggalkan kedua orang tua tanpa salam. Hastina mendesah. Lelaki tua yang tadinya duduk dekat pintu akhirnya berdiri, berjalan tertatih menuju kebun di belakang rumah.
Hari itu Gopar menemani turis dalam hutan dan bertemu Tanduk, teman seprofesinya, sesama pemandu wisata.
“Belum kau perbaiki pagar kebun kalian?” tanya Tanduk saat mereka menunggui para turis memotret.
“Nanti saja. Jengah aku tiap hari mendengar nasihat berulangnya. Awas monyet, Nak! Awas monyet! Lah kerjaku tiap hari mempertontonkan monyet pada orang-orang!”
“Tapi pagar rusak rawan dimasuki kawanan monyet, Gop. Rusak nanti hasil bumi bapakmu yang sudah ditanamnya berbulan-bulan.”
Gopar terdiam membayangkan rumah lapuknya dan kebun di halaman belakang yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Dia ingin tak peduli namun sukar.
“Gopaaar! Gopaaaar! Bapakmu!”
Tetangga dari kampung nampak tergopoh menyusuri jalur dalam hutan, berlari menemui Gopar dengan panik mencekam. Dahi Gopar mengerut saat menyambutnya.
“Ada perkara apa, Pak Talim? Bapakku kenapa?”
“Kawanan monyet menyerbu masuk kebun kalian, Gopar! Bapakmu diserang para pejantan! Dia terluka parah!”
Gopar mendelik lalu kalang kabut pulang ke rumah, meninggalkan turisnya yang bingung menganga. Bayangan monyet jantan yang menyeringai dengan taringnya terus muncul di kepala. Bapaknya terlalu tua untuk melawan satwa liar itu. Dicakar saja pasti langsung tak berdaya.
Sesampainya di rumah, si lelaki tua sudah terbaring bersimbah darah pada lantai tanah. Hastina terduduk lemas di sisinya, meraung dengan bulir air mata. Gopar mendadak sesak. Seribu penyesalan menyeruak. Andai ia segera menunaikan permintaan ayahnya… Andai ia tak menulikan telinganya… Andai hatinya masih mampu menyerap nasihat sang lelaki tua…
Tungkai Gopar gemetar dan lemah. Dia bahkan tak sanggup mengurai air mata. Hastina menoleh perlahan pada anak sambungnya yang ia benci separuh jiwa. Tatapnya penuh dengan kemarahan.
“Terkutuk kau, Gopar!”