Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkah kakiku sudah seperti maling yang dikejar pemilik rumah.
Aku tak ingin mengejar kereta yang berjalan … karena ini bukan adegan di film.
Walau aku merasa tak ada lagi oksigen yang masuk ke dalam tubuhku, aku terus berlari melewati anak tangga.
Tas ranselku terasa begitu berat di punggung. Tidak hanya itu, tas jinjing yang ada di tanganku juga sangat menggaggu langkah kakiku. Jika saja ini bukan hari yang spesial, aku tidak akan melakukannya.
Terdengar bel stasiun kereta api berbunyi.
“Oh … tidak,” ucapku sembari terus berlari menerobos kerumunan orang yang berlalu lalang.
“Tepat pada pukul delapan lebih empat puluh lima menit dari jalur 1 Kereta Api Argo Parahyangan tujuan akhir Stasiun Bandung akan segera di berangkatkan ….”
Suara itu masih nyaring, tapi beberapa saat fokus pendengaranku tergantikan oleh sosok tinggi gagah dan berkumis tebal di depanku.
“KTP!”
“Haaah?” tanyaku sembari melongo. “Sebentar ….” Secepat kilat aku membalik tas ranselku . “Ini!” Aku menyerahkan KTPku yang terbalik.
Petugas loket membalik KTP, melihat dengan seksama. Entah apa yang ia lihat, identitasku atau fotoku yang terlihat imut.
Tak lama kemudian ia menyerahkan KTPku.
Aku segera memasuki ruang tunggu keberangkatan kereta. Semua orang terlihat bergerak cepat memasuki kereta. Hanya ada beberapa orang di dekatku yang juga berjalan cepat, mungkin tujuan kita sama. Aku segera berlari sembari melihat layar ponsel. “Gerbong mana? Aah sial …,” ucapku sembari berbalik arah.
“Mbak tasnya terbuka.” Terdengar seseorang berkata.
Aku menoleh ke belakang.
“Tasnya terbuka,” ia mengulangi kata-kata itu dengan wajah datarnya.
“Aku?” tanyaku sembari melotot tak berkedip.
Oh Tuhan … Siapa gerangan manusia berhidung mancung, alis tebal, mata bersinar di depanku ini? Apa boleh aku menanyakan kepanya, Mas namanya siapa?
Ini bukan waktunya berdrama. Oh … tidak.
Aku mungkin terlihat aneh di depannya saat itu.
“Tasnyaaa … teer … buuu …. ka,” ucapnya pelan sembari menunduk mengimbangi tinggi badanku.
“Oh ya,” jawabku yang sudah tersadar dari mimpi sekian detik sembari membalik tasku. “Terimakasih,” ucapku saat melihat punggungnya yang telah menjauh dari jangkauan mataku.
Sreeeet ….
Aku menaikkan kedua pundakku, membenarkan posisi tas yang aku bawa.
“Huh,” dasar aku.
“Gerbong dua … ya … gerbong dua.” Aku terus berjalan.
Nomor A4.
Setelah sampai, aku menunduk, melihat seseorang yang ada di samping kursiku. Oh tidak … mimpi apa aku? Dia lelaki tadi?
Dia menoleh melihatku yang masih belum menutup mulut dan menundukkan badan.
“Hai, ini kursi kita ternyata,” ucapnya sambil tersenyum dan menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Aku berlahan berjalan dan duduk di sebelahnya—di dekat jendela. Kepalaku menunduk, tubuhku meringkuk ke tepian jendela, berharap semua ini hanya ilusi. Aku berusaha membuka ponselku tanpa sepengetahuannya, memastikan apakah itu dia? Ahmad Zamroni Ishaq—lelaki yang hendak melamarku esok.