Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Zona Hijau
Sinopsis
Ajie datang ke Zona Hijau dengan tujuan akademik: membawa laporan, pengamatan, dan pengukuran. Namun hutan tak memberinya angka. Yang ia temukan justru lebih dalam: keheningan, gema, dan tanah yang seperti berbicara dalam diam. Dalam pelatihan singkat bersama Mang Sura dan Tama, Ajie perlahan belajar—bahwa tidak semua tempat bisa diukur, dan tidak semua perjalanan membutuhkan peta.
Cerpen ini adalah kesaksian dari seseorang yang memilih duduk dan mendengarkan. Sebuah kisah tentang perubahan dari catatan tanah, tentang rasa takut yang berubah menjadi penasaran, dan tentang seseorang yang datang kembali bukan untuk mencatat, tapi untuk berada.
Zona Hijau adalah wujud hidup dari ayat kedua: "al-ḥamdu lillāhi Rabbil-‘ālamīn"—tempat pujian disuarakan bukan dengan kata, tapi dengan keberadaan. Di sini, manusia hanya satu dari banyak makhluk yang memuliakan kehidupan. Daun, burung Kecitran, dan jamur Kudil Gelap masing-masing punya ritme sendiri. Ketika Rahman sampai di sini pertama kali, langkahnya menjadi lebih ringan tanpa ia sadari—seolah ada yang menyambutnya sejak dulu.
Langkah Pertama ke Tanah
Ajie Wicaksana tiba di Curugparay dengan punggung yang pegal dan pikiran yang sibuk. Ranselnya lebih berat dari yang seharusnya, penuh dengan peralatan lapangan: laptop, perekam suara, kamera kecil, drone kecil, dan sebotol semangat akademik yang dikemas dalam proposal setebal delapan belas halaman.
Ia turun dari mobil bak terbuka yang berdebu, lalu berdiri sejenak di bawah pohon jambu biji yang tumbuh miring. Di depannya, rumah kayu berdinding anyaman bambu berdiri seperti benda yang sengaja dilupakan zaman. Di serambi, seorang lelaki tua duduk bersila, menggulung daun nipah sambil sesekali meniup potongan tembakau kering dari jari-jarinya.
“Ajie?” tanya lelaki itu, tanpa menoleh.
Ajie mengangguk ce...