Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Zona Hijau
Sinopsis
Ajie datang ke Zona Hijau dengan tujuan akademik: membawa laporan, pengamatan, dan pengukuran. Namun hutan tak memberinya angka. Yang ia temukan justru lebih dalam: keheningan, gema, dan tanah yang seperti berbicara dalam diam. Dalam pelatihan singkat bersama Mang Sura dan Tama, Ajie perlahan belajar—bahwa tidak semua tempat bisa diukur, dan tidak semua perjalanan membutuhkan peta.
Cerpen ini adalah kesaksian dari seseorang yang memilih duduk dan mendengarkan. Sebuah kisah tentang perubahan dari catatan tanah, tentang rasa takut yang berubah menjadi penasaran, dan tentang seseorang yang datang kembali bukan untuk mencatat, tapi untuk berada.
Zona Hijau adalah wujud hidup dari ayat kedua: "al-ḥamdu lillāhi Rabbil-‘ālamīn"—tempat pujian disuarakan bukan dengan kata, tapi dengan keberadaan. Di sini, manusia hanya satu dari banyak makhluk yang memuliakan kehidupan. Daun, burung Kecitran, dan jamur Kudil Gelap masing-masing punya ritme sendiri. Ketika Rahman sampai di sini pertama kali, langkahnya menjadi lebih ringan tanpa ia sadari—seolah ada yang menyambutnya sejak dulu.
Langkah Pertama ke Tanah
Ajie Wicaksana tiba di Curugparay dengan punggung yang pegal dan pikiran yang sibuk. Ranselnya lebih berat dari yang seharusnya, penuh dengan peralatan lapangan: laptop, perekam suara, kamera kecil, drone kecil, dan sebotol semangat akademik yang dikemas dalam proposal setebal delapan belas halaman.
Ia turun dari mobil bak terbuka yang berdebu, lalu berdiri sejenak di bawah pohon jambu biji yang tumbuh miring. Di depannya, rumah kayu berdinding anyaman bambu berdiri seperti benda yang sengaja dilupakan zaman. Di serambi, seorang lelaki tua duduk bersila, menggulung daun nipah sambil sesekali meniup potongan tembakau kering dari jari-jarinya.
“Ajie?” tanya lelaki itu, tanpa menoleh.
Ajie mengangguk cepat, lalu sadar orang itu mungkin tak melihat anggukannya.
“Ya, saya. Mahasiswa dari Bandung. Tugas akhir, Pak. Surat tugasnya—”
“Simpen dulu suara itu,” potong lelaki itu. “Kalau kau mau bicara dengan hutan, simpan dulu suara sendiri.”
Ajie mengatupkan mulutnya. Tangannya masih menggenggam surat tugas yang baru dicetak semalam.
Mang Sura, begitu nama lelaki itu, berdiri pelan-pelan. Gerakannya lambat, tapi tidak renta. Seperti orang yang tahu cara berdiri agar bumi tidak terganggu. Ia menatap Ajie sejenak, lalu memanggil seseorang dari dalam rumah.
“Tama. Siapkan ransel kecil. Kita antar yang baru ini.”
Dari dalam rumah muncul seorang pemuda. Rambutnya pendek, kulitnya gelap, matanya tajam tapi tenang. Ia tidak bicara. Hanya mengangguk singkat kepada Ajie, lalu memungut seutas tali dan sebuah tas lapangan yang tak lebih besar dari lengan.
“Kita jalan kaki, Kang,” katanya, suara pertama yang Ajie dengar hari itu selain suaranya sendiri.
“Berapa lama?”
“Kalau langkahnya benar, setengah hari. Kalau salah, bisa dua.”
Ajie sempat ingin protes, tapi tak jadi. Ia menengok ke belakang—mobil bak itu sudah berlalu, menyisakan debu dan bunyi mesin yang menjauh. Di depan, jalan setapak kecil menurun ke arah hutan.
Langkah mereka dimulai.
Ajie berjalan di belakang Tama, berusaha menyesuaikan diri. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencatat vegetasi, kontur tanah, dan arah cahaya. Hutan di sini rapat, tapi tidak gelap. Ada celah langit di antara daun-daun, seperti kisi-kisi cahaya yang berubah bentuk tiap kali angin lewat.
“Ini jalur lama?” tanya Ajie.
Tama tidak menjawab.
Ajie mengira Tama tidak dengar, tapi ketika ia ulangi pertanyaan itu, Tama hanya menjawab, “Ini jalur yang dipakai.”
Sesekali mereka melewati batang pohon tumbang, akar yang melintang seperti jembatan, dan bekas tapak kaki binatang yang Ajie tak kenal. Ia mencoba menyalakan GPS kecil dari saku rompinya—tidak ada sinyal. Ia nyalakan drone kecil, sekadar mengambil footage awal. Drone itu terbang, mengambang sebentar, lalu mendadak melesat ke arah semak dan hilang.
“Lho—” Ajie kaget.
Tama menoleh sejenak, lalu tersenyum samar. “Mungkin dia tidak suka difoto.”
Ajie tidak tahu Tama sedang bercanda atau serius.
---
Menjelang sore, mereka tiba di tempat datar kecil dekat aliran air. Tama menurunkan tasnya, lalu mulai menyalakan api kecil dari kayu kering. Mang Sura sudah duduk di batu besar, entah datang dari arah mana.
“Kalau mau tidur, tidur. Kalau mau nulis, nulis. Tapi jangan tanya arah. Arah ditentukan kaki, bukan mulut,” katanya sambil meniup rokok.
Ajie tidak menjawab. Ia hanya duduk di akar pohon besar, membuka buku catatannya, dan menulis kalimat pertama:
“Saya merasa tidak sedang melakukan penelitian. Saya sedang diajak diam oleh sesuatu yang belum saya pahami.”
---
Malam turun pelan, seperti daun yang jatuh satu-satu. Api unggun kecil menyala redup. Mang Sura menggumamkan sesuatu pada api, kata-kata yang Ajie tak mengerti. Tama sudah berbaring dengan kepala ditutup kain, wajahnya menghadap batang pohon yang diam.
Ajie memandang ke langit. Tak ada sinyal, tak ada data. Tapi ia mulai merasakan sesuatu lain yang lebih nyata: tanah di bawahnya hangat. Udara mengandung sesuatu yang menenangkan.
Lalu, dengung nyamuk mulai terdengar. Kecil, tapi mendekat dengan cepat, seperti bunyi silet kecil berputar di telinga.
Ajie mengibas-ngibas udara. Tapi nyamuk itu seperti tahu di mana titik paling lemah—tulang pipi, jari, sela-sela leher. Ia menoleh ke Tama, hendak bertanya apakah ada penangkal, tapi Tama tetap diam, napasnya tenang.
Ajie bangkit perlahan, mengambil daun dan mencoba menepuk-nepuk dirinya sendiri. Lalu terdengar bunyi serangga malam yang mendesing keras, seperti gemeretak halus—berlapis, menjalar dari balik semak.
Ia duduk kembali, kali ini bersandar ke batu. Tapi posisi itu justru membuat punggungnya terasa geli karena akar kecil menjulur seperti urat kasar.
“Ah...” gumamnya. Ia menggeser diri, tapi hanya menemukan permukaan tanah yang lebih keras. Ia mencoba mengatur napas, tapi ada rasa seperti gelisah halus yang menempel di kulit.
Mang Sura membuka mata dan menatapnya, tidak heran, tidak marah—hanya seperti seseorang yang sudah sering melihat hal itu.
“Kalau kau masih menganggap tempat ini harus nyaman, kau belum selesai sampai,” katanya pelan.
Ajie terdiam.
Ia ingin mengatakan: Ini bukan masalah kenyamanan, tapi tubuhku tak biasa. Tapi ia urungkan. Karena mungkin memang itu masalahnya: tubuhnya belum terbiasa.
Tama menggeliat pelan di tikar daunnya, tanpa membuka mata. Lalu berkata, “Nyamuk di sini cuma dengar ketenangan. Kalau kau gelisah, mereka datang.”
Ajie mengangkat alis. “Kau serius?”
“Cobalah tenang,” jawab Tama. “Bukan karena nyamuk, tapi karena dirimu sendiri.”
Ajie menarik napas panjang. Ia bersandar lagi. Tetap ada nyamuk, tetap ada akar, tetap ada desis serangga. Tapi ada juga suara api yang mengerut, dan aroma kayu terbakar perlahan.
Dan di balik semua itu, ia merasa: mungkin ini memang bukan perjalanan biasa.
Malam itu ia tak benar-benar tidur. Tapi ia juga tidak ingin cepat-cepat pagi. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa sedang diuji bukan oleh orang, tapi oleh tempat.
Di Antara Dua Diam
Ajie terbangun lebih pagi dari biasanya. Kabut masih melayang rendah, menempel di punggung daun dan ujung rambutnya yang lembap. Di sekitarnya, belum ada suara. Bahkan burung pun belum bicara.
Ia duduk, memeluk lutut, memperhatikan titik-titik embun di permukaan tanah. Api semalam sudah padam. Hanya arang menghitam yang masih hangat. Tama belum terlihat.
Dari arah bawah, terdengar suara air. Ajie berdiri pelan, menuruni lereng kecil menuju sungai sempit yang mengalir tenang. Di seberangnya, berdiri seorang lelaki dengan pakaian kusam dan bahu lebar. Ia membelakangi Ajie, diam, seakan sedang berbicara dengan aliran air.
Ajie ragu sejenak. Ia hampir memanggil, tapi entah kenapa, memilih diam.
Lelaki itu duduk perlahan di atas batu, menunduk dalam. Kedua telapak tangannya menyentuh tanah di samping, lalu diam seperti berdoa, atau mendengar.
Lalu—tanpa menoleh—lelaki itu berdiri dan melangkah masuk ke semak. Hilang.
Ajie masih terdiam ketika langkah ringan terdengar di belakangnya.
“Itu siapa?” bisik Ajie.
Tama berdiri di sampingnya, membawa dua gelas bambu berisi air hangat.
“Orang yang tidak perlu kita ganggu,” jawabnya singkat.
Ajie menerima salah satu gelas. Mereka duduk di batu datar, memandangi sungai yang perlahan jadi terang. Embun naik dari permukaan air, menciptakan ilusi kabut yang berjalan pelan di atas arus.
Mata Ajie tak lepas dari arah tempat sosok itu berdiri.
Bayangan hitam telah pergi. Tak ada suara jejak, tak ada dahan patah, seolah hutan sendiri yang membuka dan menutup jalan baginya.
“Dia bagian dari tempat ini?” tanya Ajie perlahan.
Tama menyesap air. “Mungkin. Atau mungkin tempat ini bagian dari dia.”
Ajie tidak menjawab. Tapi di dalam dadanya muncul sesuatu yang sulit dijelaskan. Rasa seperti sedang diamati—bukan dengan mata, tapi dengan pemahaman.
Seolah orang asing itu—siapa pun dia—telah membaca lapisan dirinya yang bahkan belum ia pahami sendiri.
Dan bukannya marah atau merasa dilanggar, Ajie justru ingin tahu.
“Kenapa dia datang diam-diam?” gumamnya.
“Karena tempat ini hanya bicara dalam sunyi,” jawab Tama, datar.
Ajie menatap aliran sungai. Ia mencoba menghapus bayangan lelaki itu dari pikirannya, tapi gagal. Bukan karena ia takut. Tapi karena ia merasa ada sesuatu yang tertinggal—kemungkinan.
Kemungkinan bahwa kehadirannya di sini tidak kebetulan.
“Dulu kau cerewet, ya?” tanya Ajie tiba-tiba, mencoba menghilangkan bayangan itu.
Tama melirik.
“Warga bilang begitu,” lanjut Ajie. “Suka ganggu orang yang baru datang, suka cerita macam-macam.”
Tama diam, menyesap airnya.
“Aku pernah. Dulu banyak ngomong. Apa-apa dijawab. Apa-apa diceritakan. Sampai satu malam Mang Sura bilang... ‘Kalau kau terus pakai mulut, kapan kau dengar tanah?’”
Ajie tertawa kecil. “Lalu?”
“Lalu aku diam. Awalnya seminggu. Sekarang… belum berhenti.”
Ajie memperhatikan wajah Tama. Bukan wajah serius. Bukan wajah keras. Hanya wajah yang tidak lagi ingin jadi pusat suara.
“Lucu juga,” gumam Ajie, “bagaimana hutan mengajari orang diam.”
Mereka terdiam sejenak. Di kejauhan, seekor burung kecil menjerit, lalu sunyi lagi.
---
Menjelang siang, mereka melanjutkan perjalanan. Jalur hari ini menurun, menyusuri lereng tua yang ditumbuhi lumut dan akar menjuntai seperti tirai. Di beberapa titik, jalan menghilang. Tapi Tama terus berjalan, seolah tahu arah bukan dari mata.
Ajie mencoba mengikuti, tapi langkahnya sering ragu. Di satu tikungan, ia hampir tergelincir—tapi Tama menahan bahunya, lalu menunjukkan cara berpijak di akar yang tidak licin.
“Kau tahu jalur ini dari Mang Sura?” tanya Ajie.
“Dari tanah,” jawab Tama.
Ajie menghela napas panjang. Ia merasa sedang membaca buku yang halamannya terus berpindah sebelum sempat dipahami.
---
Sore hari, mereka tiba di tempat yang berbeda. Lebih terbuka, dengan cahaya yang menembus seperti bayangan dari langit lain. Udara di sini lebih lembut, seperti sudah disaring oleh sesuatu yang tak terlihat.
Ajie menghentikan langkahnya tanpa sadar. Di depannya, sebaris pohon tinggi berjajar rapi seperti pilar alami, dan di antara sela-selanya, cahaya matahari sore menembus pelan, membentuk lorong-lorong emas yang menyentuh rerumputan. Udara menggantung, seolah waktu melambat agar momen itu bisa dirasakan lebih lama.
Beberapa burung kecil melintas diam-diam di antara cahaya, sayap mereka menangkap kilau jingga yang membuatnya tampak seperti kilatan kaca terbang. Sebuah kupu Wulungu melayang pelan, lalu hinggap di ujung akar menggantung, seolah ikut menatap apa yang Ajie lihat.
Langit tidak lagi biru, tapi tidak pula merah. Ada warna samar seperti abu hangat dan madu tua, menyelimuti seluruh bentang pandang dalam gradasi yang tak bisa dilukis.
Ajie menelan ludah. Tak tahu harus berkata apa.
Ia menoleh pada Tama, yang berdiri di sampingnya, wajahnya seperti biasa: tenang.
“Ini...” Ajie mencoba bicara. “Tempat ini...”
Tama tersenyum tipis. “Hutan tahu kapan harus indah kalau kau tiba tepat waktunya.”
Ajie kembali menatap ke depan.
Semua yang keras dalam dirinya—ambisi, teori, peta—tiba-tiba terasa kecil. Ia merasa seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat langit malam tanpa lampu kota.
Ia ingin mengabadikannya. Kali ini, ia merasa tidak perlu.
“Tempat ini mengajarkan saya... bahwa keindahan bisa membuat orang diam,” gumamnya.
Tama menoleh sebentar, lalu berkata, “Diam itu awal dari mendengar.”
Mang Sura sudah duduk di bawah pohon besar, matanya terpejam. Ia membuka mata perlahan saat mereka datang.
“Besok kita masuk ke dalam,” katanya. “Hari ini istirahat. Biar tubuhmu berhenti melawan.”
Ajie tidak paham maksudnya. Tapi ia mengangguk, lalu duduk, membuka buku catatannya, dan menulis:
“Hari kedua. Langkah terasa lebih pelan, menemukan keindahan. Mungkin karena hutan mulai bicara dalam bahasa yang belum kukenal.”
Zona Hijau
Pagi berikutnya, mereka berjalan tanpa banyak bicara. Hutan seolah menahan napas. Udara lebih jernih, lebih pelan. Ajie merasa langkahnya sendiri mulai menyesuaikan ritme—tanah di bawah sepatunya terasa mengatur kecepatan.
Di satu kelokan, semak-semak terbuka. Cahaya menembus seperti berkas doa yang turun tegak dari langit. Di depan mereka, terbentang cekungan lembut yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi, akar menjuntai seperti tirai hidup, dan suara air gemericik dari celah batu.
Mereka menuruni lereng kecil. Begitu kakinya menyentuh tanah yang lebih dalam, Ajie merasa hawa berubah. Udara tidak dingin, tapi ada kelembapan halus yang menyentuh kulit seperti embun yang belum lahir.
Pohon-pohon di sekitar tumbuh lebih tinggi dari yang biasa ia lihat, batangnya tidak lurus—melainkan melingkar, seolah sedang menari perlahan. Daun-daunnya bergerak pelan, padahal tidak ada angin.
Di tanah, semacam jamur kecil menyala samar dalam bayang-bayang. Jamur Kudil Gelap, kata Tama. Ajie mengangguk, meski tak tahu apa maksudnya. Cahaya biru kehijauan dari jamur itu memantul di bebatuan lembab, menciptakan ilusi seperti aliran sungai di bawah akar.
Ajie menyadari, tempat ini tidak memperlihatkan dirinya sekaligus. Ia mengungkapkan satu lapisan, lalu diam. Jika kau diam lebih lama, ia akan membuka lapisan lain. Tapi tak pernah seluruhnya. Seperti seseorang yang menjaga rahasia karena percaya kau bisa memahaminya tanpa perlu diberi tahu.
Ajie tidak langsung menyadari bahwa mereka telah sampai. Ia hanya berdiri diam, menatap ke depan, merasa seluruh tubuhnya pelan-pelan berhenti bicara.
“Ini?” bisiknya.
Tama mengangguk.
Mang Sura tidak menjawab. Ia berjalan lebih dulu, langkahnya tidak menimbulkan bunyi.
Ajie menuruni lereng kecil. Ia memandangi udara—ya, udara di tempat ini tidak sama. Terasa sedikit lebih berat, seperti udara yang menyimpan rahasia.
Di sisi kanan, seekor burung Kecitran melintas rendah, warna bulunya hijau keemasan, membentuk kilasan cahaya di udara. Ajie refleks merogoh sakunya, ingin merekam. Tapi kamera saku tak menyala.
Tama hanya berkata, “Jangan. Di sini, alat tidak bicara.”
Ajie menunduk. Jari-jarinya sedikit gemetar—karena terlalu banyak yang tak bisa dijelaskan.
Mereka menyiapkan tempat duduk dari anyaman daun besar. Mang Sura duduk dengan lutut tertekuk, mata terpejam. Tama menyusun ranting-ranting kecil, membentuk pola melingkar di tanah.
Ajie duduk dan membuka buku catatannya.
Belum sempat menulis, dari balik akar pohon besar terdengar bunyi gesekan lembut—sret… sret… sret…
Ajie menoleh cepat. Seekor ular besar berwarna tembaga melata perlahan di tanah, sisiknya memantulkan cahaya hijau dari dedaunan. Lidahnya menjulur, melengkung seperti bayangan air.
Jantung Ajie melonjak. Ia hampir mundur, tapi tubuhnya kaku.
Tama bergerak cepat, berdiri di depannya, satu tangan terangkat, tenang.
Ular itu berhenti sejenak, lalu bergeser pelan, masuk ke semak kembali.
Ajie menarik napas keras. “Itu… nyaris kena.”
Tama menoleh sebentar. “Kalau kau bergerak, ya.”
“Kenapa tak diusir?”
“Dia bukan datang untuk mengganggu. Kau saja yang kaget.”
Ajie masih menahan napas.
Mang Sura membuka matanya, menatap ke arah mereka.
“Dia sedang lewat. Sama seperti kita,” katanya. “Bedanya, dia tahu ke mana.”
Senyum tipis muncul di wajah Mang Sura, lalu menghilang secepat cahaya pagi yang tersapu awan.
Ajie duduk kembali, lebih pelan dari sebelumnya. Ia membuka catatan. Tulisan sebelumnya terasa terlalu bising. Ia mencoret beberapa baris, lalu menulis ulang:
“Tempat ini bukan hutan. Ia bukan lokasi. Ia bukan wilayah riset.
Tempat ini seperti… orang tua yang menunggu cucunya duduk tenang.”
---
Menjelang sore, Tama mengajaknya mengisi air dari mata sumber kecil. Ajie menunduk, mencium aroma tanah basah, lalu melihat sebuah kupu-kupu besar bertengger di batu. Sayapnya ungu lembayung, nyaris transparan. Saat ia dekati, kupu itu terbang naik—dan warnanya berubah menjadi biru kehijauan.
“Kupu Wulungu,” kata Tama. “Ia muncul hanya kalau udara cukup jujur.”
Ajie menoleh. “Apa maksudmu 'cukup jujur'?”
Tama tidak menjawab. Ajie mengerti. Atau mulai mengerti.
---
Malam di Zona Hijau datang seperti bisikan. Tidak tiba-tiba, tidak pekat. Hanya bayangan perlahan yang memeluk dari tepi langit.
Ajie berbaring menatap dahan. Ia tak bisa tidur cepat, tak juga ingin bicara.
Dari tempat duduknya, Mang Sura berujar pelan, seperti berbicara pada udara.
“Hutan tidak minta dipahami. Ia hanya ingin kau ada.”
Dari Akar ke Nadi
Pagi datang. Bias cahaya di antara dedaunan yang memberitahu bahwa hari telah mulai. Ajie duduk bersila di atas tanah, buku catatan tergeletak terbuka di sampingnya. Tidak ada tulisan baru sejak semalam. Hanya sebaris yang dicoretnya setengah hati:
“Zona Hijau adalah….”
Lalu kosong.
Tama mengajaknya ke titik yang disebut Mang Sura sebagai “leher bumi.” Tempat itu berada di bawah rimbunan akar pohon tua yang melengkung seperti kubah. Tanahnya lembut, sedikit cekung, seperti telapak tangan raksasa.
“Duduk,” kata Tama.
Ajie terkejut, meski tubuhnya masih tegang, ia mengangguk. Bersila perlahan di atas tanah lembut yang dibersihkan dari dedaunan. Di sekelilingnya, akar pohon besar membentuk semacam pelindung melengkung. Sunyi menggantung di udara.
Tama duduk bersila di sampingnya. Ia tidak memberi petunjuk lebih lanjut.
Ajie menunggu. Lalu menutup mata. Tapi yang pertama ia rasakan justru kebisingan dari dalam—detak jantungnya sendiri, suara napasnya yang berat, kilasan pikiran yang tak mau diam: Apa yang seharusnya kurasa? Bagaimana cara tahu ini bekerja? Apa aku harus mengira-ngira sesuatu?
Ia membuka mata kembali. Menatap tanah di depannya.
"Belum," gumamnya.
Tama tidak menjawab. Ia hanya mengambil satu helai daun kering dan meletakkannya di telapak tangannya, membiarkan daun itu diam, lalu perlahan jatuh ke tanah.
Ajie memperhatikan gerakan itu—sederhana. Begitu daun menyentuh tanah, ada semacam jeda yang tak bisa dijelaskan, seolah bumi menyambutnya.
Ajie mencoba menutup mata lagi.
Awalnya kosong. Lalu gelisah.
Lalu... pelan-pelan, ia berhenti mendengar dirinya sendiri. Ia tak lagi mencemaskan bagaimana posisi duduknya, atau bagaimana napasnya terdengar.
Yang ia rasakan berikutnya bukan getaran. Seperti keheningan yang lebih berat dari udara. Sebuah hening yang perlahan masuk ke dalam tubuhnya, membuatnya tenggelam sedikit demi sedikit—dirangkul dengan sabar.
Lalu, dari kejauhan yang tak bisa disebutkan jaraknya—terdengar sesuatu. Bukan suara. Bukan denyut.... kehadiran. Ia tidak datang seperti petir. Ia tumbuh seperti akar: pelan, pelan, lalu tiba-tiba terasa di dada.
Ajie mengerutkan alis.
"Ada yang bergetar," katanya perlahan.
Tama menoleh, suaranya rendah dan tenang.
"Itu bukan tanah. Itu kau yang mulai berhenti menolak."
Ajie membuka mata. Hutan di sekelilingnya tampak sama. Tapi sesuatu dalam dirinya sudah berubah. Ia tidak tahu apa, hanya tahu: ia tidak sedang duduk di atas tanah. Ia sedang duduk bersama tanah.
Ia menyentuh tanah dengan telapak tangan. Rasanya hangat.
“Kau bisa tanam sesuatu di sini,” ujar Tama. “Bukan untuk panen. Untuk menghormati.”
Ajie menerima sebungkus kecil benih dari Tama—biji pohon kecil dengan kulit keras, dibungkus daun. Ia menggali sedikit, menanamnya, lalu menutup kembali dengan hati-hati. Tangannya kotor, tapi tidak risih.
Di sisi lain, Mang Sura duduk di atas batu, mengamati dari jauh. Ia tidak berkata-kata. Hanya matanya yang memperhatikan, seperti guru yang sudah tahu muridnya paham tanpa perlu ujian.
Di balik semak rimbun di sisi barat Zona Hijau, ada satu bayangan yang tak bergerak. Sesosok lelaki berdiri, tubuhnya menyatu dengan gelap pucat batang pohon di belakangnya. Gerak napasnya pelan. Hanya sorot matanya yang tajam mengikuti Ajie—dari saat ia ragu, gelisah, hingga mulai menyerah pada diam.
Rahman.
Ia tidak datang untuk berbicara. Hanya mengamati. Kehadirannya bukan bagian dari pelatihan atau tugas. Ada sesuatu dalam tubuh Ajie yang menariknya ke tempat itu.
Rahman pernah duduk di tempat itu. Ia tahu seperti apa bunyi di dada saat tubuh dan tanah bersentuhan lewat sunyi. Ia juga tahu, tidak semua orang bisa melewati tahap itu tanpa menciptakan kebisingan batin.
Mata Rahman sempat berpindah ke arah Mang Sura. Keduanya tidak saling menyapa, tapi saling menyadari.
Mang Sura hanya menoleh sedikit, lalu tersenyum samar—sebuah anggukan tanpa gerak.
Seperti berkata: “Kau lihat, yang ini bisa.”
Rahman membalasnya dengan diam.
Lalu ia berbalik, menyusuri bayang-bayang dan menghilang seperti uap dari akar pohon.
Ajie berjalan mendekati mang Sura setelah menanam benih.
“Apa yang baru saja saya lakukan?”
“Menunduk,” jawab Mang Sura. “Untuk pertama kalinya sejak kau datang.”
Ajie terdiam. Ia tahu Mang Sura tidak sedang merendahkannya. Justru sebaliknya—ia sedang membuka ruang makna.
“Jadi… tidak apa-apa jika saya tidak bawa pulang data?” tanya Ajie.
Mang Sura tersenyum tipis.
“Data bisa hilang. Jika tanah ini ingat kau pernah duduk, kau sudah pulang dengan cukup.”
---
Malam terakhir mereka di Zona Hijau, Ajie duduk dekat api yang hampir padam. Ia membuka bukunya perlahan, halaman yang sebelumnya ia isi dengan diagram dan definisi kini terasa terlalu ramai. Ia membuka lembar kosong di belakang. Sunyi menemaninya.
Ia mulai menulis. Bukan sebagai laporan, bukan sebagai skripsi, tapi sebagai kesaksian—tentang sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan metodologi.
“Di bawah akar itu, aku tak mencari pengertian.
Aku menemukan gema—yang tidak memantul ke luar, tapi masuk ke dalam.
Tempat ini tidak menjelaskan apa-apa. Ia hanya diam. Tapi dalam diam itu, aku belajar bahwa yang paling penting bukan untuk mengerti, melainkan untuk hadir.
Hutan ini tidak menilai. Tidak membimbing. Tidak menyuruh. Tapi ia melihat, dan dalam cara yang tak bisa aku terangkan, aku merasa... diterima.
Aku datang membawa alat, pertanyaan, dan rencana. Tapi pulang membawa sesuatu yang tak bisa diukur.
Mungkin... aku tak bisa menulisnya. Tapi aku bisa menjadi bagian kecil dari apa yang telah aku rasakan di sini.
Dan jika nanti seseorang bertanya: ‘Apa yang kau temukan di Zona Hijau?’
Mungkin aku akan menjawab:
Aku menemukan cara mendengarkan tempat yang lebih tua dari kata-kata.”
Ajie berhenti menulis. Angin malam menyentuh tengkuknya pelan. Ia menutup buku itu, menempatkannya di atas lutut, lalu menatap ke langit. Tak ada bintang malam itu. Tapi tak berarti langit kosong.
Ia tersenyum tipis, lalu membisikkan satu kalimat yang tak ia tulis:
“Terima kasih telah mengizinkanku diam di sisimu.”
---
Sebelum tidur, Ajie bertanya kepada Tama, “Kau akan kembali ke gaya lamamu? Yang banyak ngomong, suka bercanda?”
Tama menatapnya dari balik api unggun kecil.
“Mungkin. Kalau sudah tak perlu diam lagi.”
“Lalu… kau masih belajar dari Mang Sura?”
Tama mengangguk. “Selalu.”
Ajie tertawa pelan. “Berarti tak akan tamat, ya?”
Tama tersenyum, untuk pertama kalinya agak lebar. “Belajar dari tanah tidak tamat. Kita hanya makin larut.”
Kembali Tanpa Data
Ajie turun dari angkutan umum di depan gerbang kampus dengan tas yang lebih ringan, tapi dada yang lebih padat. Ia berjalan melewati lorong-lorong fakultas, menyapa beberapa teman, lalu duduk di taman kecil dekat perpustakaan.
Ia membuka catatannya.
Laporan akhirnya hanya tiga puluh halaman. Tidak ada grafik, tidak ada foto, tidak ada peta digital. Hanya satu sketsa tangan tentang jalur masuk ke Zona Hijau, dan penanda yang tertulis kecil: leher bumi.
Isi laporan itu lebih mirip jurnal perjalanan. Tentang bagaimana tanah bisa membuat seseorang diam, tentang binatang yang tidak menyerang, tentang burung yang hadir hanya jika udara cukup bersih.
Pada bagian pendahuluan, ia menulis:
“Zona Hijau tidak bisa diteliti seperti wilayah lain. Ia tidak mengizinkan itu. Yang ia izinkan hanyalah kehadiran—dan itu sudah cukup.”
Di akhir laporan, ia tidak menuliskan kesimpulan. Hanya sebuah kalimat:
“Saya membawa pulang keheningan.”
---
Di ruang pembimbing, Ajie duduk tegak. Buku laporan bersampul coklat diletakkan di meja, di antara dua gelas air yang tidak disentuh. Dosen pembimbingnya membaca diam-diam selama lima belas menit. Tidak ada suara selain kertas dibalik dan napas yang tertahan.
Wajah dosen itu datar, sedikit tegang. Ia pria yang sudah lama dikenal Ajie sebagai orang yang cermat dan logis. Tak mudah luluh oleh kesan, apalagi oleh kalimat yang terdengar seperti puisi.
Akhirnya, dosen itu menutup laporan.
“Ajie,” katanya pelan. “Saya membaca ini bukan sebagai laporan, tapi sebagai... semacam jurnal pribadi.”
Ajie diam.
“Tidak ada data terukur. Tidak ada rekaman suara. Tidak ada peta visual. Hanya catatan perasaan, pengamatan yang tidak bisa diverifikasi.” Ia menatap Ajie dalam-dalam. “Kau tahu, ini tidak lazim. Ini bisa dianggap tidak sah.”
Ajie menarik napas. “Saya tahu, Pak.”
“Lalu kenapa kau tetap menyerahkan ini?”
Ajie menatap meja sebentar, lalu berkata pelan, “Karena saya tidak bisa membawa Zona Hijau dalam bentuk lain. Tempat itu... tidak memberi angka. Ia memberi pengalaman. Dan saya pikir, satu-satunya cara untuk jujur adalah dengan menuliskan apa yang benar-benar terjadi—bukan apa yang bisa dibuktikan.”
Sang dosen tidak segera menjawab. Tangannya menyentuh sampul laporan. Ia membuka halaman tengah, membaca ulang satu bagian, lalu menutupnya lagi.
“Di halaman dua puluh lima, kau menulis: ‘Hutan ini tidak menilai. Tidak membimbing. Tidak menyuruh. Tapi ia melihat, dan dalam cara yang tak bisa aku terangkan, aku merasa... diterima.’”
Ajie mengangguk.
“Dan kau ingin saya menerima laporan ini... seperti hutan menerima kehadiranmu?”
Ajie tersenyum kecil. “Bukan. Saya tidak meminta Bapak menerima. Saya hanya ingin Bapak tahu... bahwa saya pun berubah.”
Diam.
Dosen itu menyandarkan punggung ke kursi. Matanya menatap langit-langit sejenak, lalu kembali ke Ajie. Wajahnya sedikit melunak.
“Ini bukan laporan. Tapi ini kesaksian.” Ia mengangguk pelan. “Dan kadang, dunia butuh lebih dari sekadar data.”
Ajie tidak menjawab. Tapi dalam dirinya, ada sesuatu yang hangat tumbuh perlahan.
Dosen itu tersenyum tipis. “Baiklah. Kadang, yang tak bisa diukur justru paling kuat.”
Ia menuliskan satu kata di lembar pengesahan: “Selesai.”
---
Sebulan kemudian, Ajie kembali ke Curugparay. Ia tidak membawa surat tugas, tidak membawa drone, bahkan tanpa ransel. Hanya membawa sebotol air, selembar kain kecil, dan buku catatan yang kini sudah nyaris penuh.
Tama menyambutnya di depan rumah kayu.
“Kau kembali.”
Ajie mengangguk. “Kali ini, tak ada yang harus kukumpulkan.”
Tama tersenyum. “Kau mau ke mana?”
“Ke akar itu. Mau duduk sebentar.”
Mang Sura muncul dari balik pintu, membawa secangkir air rebusan akar.
“Duduklah,” katanya. “Tanah itu belum lupa padamu.”
Ajie pun duduk.
Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi perlu menulis. Ia hanya ingin diam. Karena dalam diam, ia menemukan rumah yang tak tertulis di peta manapun.
**
Catatan
Zona Hijau bukan sekadar cerita pendek—ia adalah pintu sunyi menuju semesta yang lebih dalam dan menjadi bagian awal dari semesta Novel Resonansi Bayangan Menyala. Di sanalah gema-gema larangan berubah menjadi langkah perlawanan.