Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tanyakan kepada semua orang di desa ini tentang masa remaja dr. Gombloh Mukio. Niscaya mereka akan menjawab bahwa Gombloh adalah sosok yang menyedihkan, jarang bergaul, terlalu banyak menghabiskan waktu dengan novel dan film romantis, tetapi ironisnya, tetap fakir cinta.
Memang begitulah kenyataannya. Gombloh adalah pecundang sejati di bidang asmara. Mendekati gadis untuk dijadikan teman saja ia gemetar.
Pernah, ia dekat dengan teman sekelasnya di SMA Wufi, Ave. Gombloh memang menyukainya, dan Ave sepertinya tidak ada masalah dengan itu, karena ia juga diam-diam mengagumi kecerdasan Gombloh.
Masalahnya, teman-temannya di kelas 10-lah yang resek. Mereka mencibir, "Iiiih... Ave, kok, jalan sama zombi, sih?"
Gombloh memang cadel, sehingga menyimaknya berbicara hampir sama dengan mendengarkan zombi yang menggeram ketika menemukan mangsa, seperti di film-film. Maka, Ave pun mulai menjaga jarak.
"Yo wis lah," Gombloh mendesah pasrah, sadar posisi. Ia hanya berharap, suatu hari nanti, ada gadis lain yang mampu melihat dirinya secara apa adanya.
Tahun demi tahun berjalan, Gombloh melanjutkan studi di pulau seberang. Namun, harapannya soal asmara kian suram. Ia makin sadar, tidak ada cinta yang hanya memandang apa adanya. Yang ada, gadis-gadis normal selalu melihat ada apanya.
"Yo wis lah," Gombloh sekali lagi mendesah. "Dunia emang enggak pernah bisa sempurna."
Untuk menghibur diri, ia menuliskan versi sempurna dari dunia dalam karya-karya fiksinya. Meskipun ia calon dokter yang sedang menjalani program koas, walaupun di bidang cinta ia seperti macan kertas, harus diakui daya khayal Gombloh memang tanpa batas.
Begitulah ia menjadi penulis cerita romansa yang produktif. Kebanyakan, novelnya bercerita mengenai seorang dokter yang diperebutkan banyak cewek. Kendati terkesan picisan, karya-karya itu berhasil jadi buku melalui penerbit-penerbit besar. Bahkan, beberapa laris manis dan bolak-balik cetak ulang.
Namun, demi menjaga imajinasi pembaca, Gombloh selalu menggunakan nama pena Go Asmara. Ia tahu benar konsekuensinya bila pembaca memergoki buku-buku romansa itu ternyata ditulis oleh seorang pecundang cinta. Reputasinya bisa porak poranda. Penjualan bukunya bisa menderita.
Hingga masa mudanya terlompati, di usianya yang sekarang sudah 37 tahun, gadis yang pernah dekat dengan Gombloh hanya dua: Ave dan Hartanti. Dik Har, sapaan akrab Hartanti, adalah perempuan yang ia nikahi dua tahun lalu. Pernikahan itu sekaligus membuktikan bahwa Gombloh bukanlah zombi yang tak layak mendapat cinta.
Sejak menikah, "Aku benar-benar merasa jadi manusia seutuhnya," tulisnya jemawa di bawah foto Instagramnya yang menggambarkan ia sedang menggendong Har.
Sialnya, Dik Har kemudian meninggal setelah mengalami kecelakaan motor tunggal di Jalan Drs. Counteaux, Dusun Kawufian. Sosok Hartanti kini hanya dapat ia jumpai di konten-konten Instagram atau mimpi-mimpinya. Di luar itu, sang dokter kembali menyandang gelar "zombi yang tak layak mendapat cinta". Kembali ke titik nol!
Buntu dan frustrasi, sang duda produktif menulis lagi. Akan tetapi, industri perbukuan ternyata sudah banyak berubah sejak terakhir ia meninggalkannya setelah menikah. Selepas pandemi COVID-19 yang meluluhlantakkan banyak bisnis, penerbit-penerbit konvensional tidak seloyal dahulu dalam meloloskan karya penulis.
Barangkali penyebabnya krisis ekonomi dan daya beli masyarakat yang makin tiarap. Diperparah dengan menggilanya kemampuan Akal Imitasi (AI) di era digital, buyar sudah niat Gombloh untuk kembali turun gunung sebagai pendekar pena yang suka memamerkan jurus-jurus cintanya di kertas.
"Yo wis lah!" Gombloh mendenguskan kejengkelannya menerima surel dari penerbit, penolakan yang ketiga dalam bulan itu.
Sedikit yang tahu, Gombloh selama ini menyimpan kedongkolannya terhadap sistem perbukuan konvensional. Ia sering uring-uringan mengetahui jatah royaltinya hanya 10 persen, sementara distributor dan toko buku memperoleh sekitar 40 persen dari harga buku. Padahal, mereka tidak ikut jungkir balik memikirkan isi buku. Sudah mendapat royalti hanya seperempat dari jatah toko buku, Gombloh masih dituntut bekerja ekstra untuk mempromosikan buku-bukunya!
Sementara itu, apakah 40 persen sudah membuat toko buku senang? Ternyata belum. Secara tidak langsung, mereka masih juga tega mengultimatum Gombloh, "Kalau penjualan novel Anda sampai bulan depan tidak luar biasa, tidak ada ampun! Kami bakal segera menurunkannya dari rak-rak kami!"
Mental dan kesabaran Gombloh benar-benar diuji saat menjadi penulis. Padahal, ia sudah cukup pusing dengan masalah minat baca masyarakat yang tidak pernah membaik secara signifikan, pembajakan buku yang seolah dibiarkan, pajak royalti yang langsung disikat bahkan sebelum ditransfer ke rekeningnya, sudah begitu ia pula yang disuruh repot-repot melaporkan pemotongan royaltinya ke Dinas Pajak tiap tahun. Belum lagi saudara-saudara dan teman-temannya yang suka minta buku gratisan, alih-alih membelinya.
Macam-macamlah problem penulis yang Gombloh alami! Bikin makan hati. Jadi, tidak ada ruginya juga bila Gombloh sekarang memutuskan mengakhiri kiprahnya di jagat pernovelan. Malah ia merasa lebih merdeka.
Bagaimanapun, Gombloh tetap menulis romansa. Karena otaknya bisa meledak bila ide-idenya tidak segera ia tuangkan ke dalam tulisan. Menulis adalah sarana pelampiasan kegelisahan serta angan-angannya. Gombloh berhasil melewati masa-masa gelap remajanya berkat hobi menulis. Sekarang, ia sedang mengalami kembali masa-masa gelap itu. Maka berbahaya sekali bila ia berhenti menulis!
Ya, Gombloh terus menulis. Hanya, ia kali ini tidak memublikasikannya. Selama berbulan-bulan, karyanya menumpuk di laptop.
Tanpa pembaca, ia pun menyadari satu fakta baru: sungguh sepi rasanya jika penulis tidak memiliki pembaca. Terkadang, ia sampai menghadapkan foto mendiang istrinya ke layar laptop dan memaksanya, "Baca! Ini karya terbaruku."
Memang, semenyedihkan itu keadaan Gombloh.
Titik terang baru datang di suatu siang, ketika Gombloh kedatangan seorang pasien. Dalam wawancara untuk mendiagnosis penyakit asam lambungnya, pasien tersebut mengaku pekerjaan utamanya bloger yang suka begadang. Aneh, batin Gombloh, bagaimana mungkin bloger menjadi profesi? Kerjaannya sampai begadang-begadang pula!?
Namun, penjelasan sang pasien pada akhirnya seperti teriakan "Eureka!" di kepalanya. Kenapa selama ini tidak terpikirkan untuk memanfaatkan blognya yang sudah lama terbengkelai?
Maka sepulang dari puskesmas, ia mulai mengutak-atik blognya yang sudah bersawang. Blog itu aktif kembali! Tulisan-tulisannya yang menganggur satu per satu ia publikasikan di sana. Siapapun dapat membacanya secara gratis.
Jalan tiga bulan, pengajuan Adsense-nya diterima, sehingga blog tersebut sudah bisa meraup dolar dari iklan. Walaupun, dalam praktiknya, hasil dari iklan itu hanya cukup untuk membelikannya kuota internet bulanan. Gombloh tetap bangga dengan pencapaian recehnya ini.
Apalagi blognya ternyata cukup populer. Ratusan pembaca singgah setiap hari. Bahkan pernah menembus angka 8.513 pengunjung dalam sehari. Rekor terbaiknya itu berkat novela yang berjudul Pria Yang Memilih Menikahi Pohon Kamboja Dibanding Tiga Gadis dari Kamboja. Meskipun belum pernah menyentuh angka 8.513 lagi, setidaknya novela itu terus-terusan menyumbang banyak pengunjung untuk blognya.
Gombloh memublikasikan konten baru hampir setiap pagi, sebelum berangkat ke puskesmas atau membuka kliniknya di rumah. Produktivitasnya setara dengan saat belum mengenal Dik Har, mendiang istrinya. Bedanya, kali ini ia menggunakan nama asli. Usia yang makin beranjak rupanya membuat seseorang makin masa bodoh dengan penilaian orang lain.
Ia bukannya tidak paham dengan risikonya. Pernah, suatu ketika, ada komentar menyelusup, "Oh, ini novelis yang biasanya pakai nama palsu Go Asmara itu, ya? Kasihan banget, penulis cinta tapi kehidupan asmaranya apes terus. Awokawok," begitu tulis Sans Syarif.
Dokter Gombloh tidak tersinggung. Ia hanya membalas komentar itu dengan tiga emotikon wajah menangis. Setelah itu, ajaib, Sans Syarif tidak lagi berkomentar!
Bagaimanapun, kebanyakan komentar yang masuk positif dan kondusif. Ada yang mengatakan bahwa novela Gombloh mirip dengan pengalaman hidupnya. Ada yang menyampaikan testimoni bahwa cerpen-cerpen itu indah dan menyentuh.
Kalaupun ada komentar negatif, biasanya bukan menyenggol personal seperti Sans Syarif tadi. Calibri, misalnya, berkomentar negatif tetapi konstruktif, "Maaf, cerita yang ini seperti digarap asal-asalan, Bang Gombloh. Ide komedinya mirip-mirip dengan cerpen 'Mertuaku Ternyata Anak dari Kakek Istriku'. Plot twist-nya kebaca banget. Lagi kehabisan ide apa gimana, Bang? Hehehe…."
Pengunjung blog Gombloh datang dari berbagai kota di Indonesia, bahkan juga TKW-TKW di luar negeri. Siapa sangka, di antara ribuan pengunjung per bulan, ternyata ada yang jomlo dan sedang mencari jodoh.
Sesuatu yang tidak disangka-sangka pun terjadi. Saat Gombloh mulai pasrah karena tidak kunjung berhasil mengubah statusnya sebagai “zombi” tanpa cinta, beberapa perempuan malah mendekatinya di dunia maya.
Mungkin mereka merasa nyaman dengan cerita fiksi Gombloh. Mungkin cocok dengan profil dan keterusterangannya. Mungkin mereka dapat melihat sisi lain dari foto-foto yang ia pajang di blog. Entahlah.
Niat Gombloh menulis blog secara rutin sebenarnya hanya untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sepi. Selain itu, blog ia anggap sebagai dokumentasi kehidupan pribadi serta portofolio karya-karyanya di luar bidang kedokteran.
"Hayoooo!" Seseorang tiba-tiba mengagetkannya dari belakang. "Dari tadi, kok, main ponsel? Kliniknya belum dibuka? Kalau ada pasien datang, gimana?" Perempuan itu muncul di depan Gombloh, memegang cangkir yang beruap sembari mengaduk-aduk isinya.
"Hari Sabtu gini jarang ada pasienlah, santai aja dulu."
"Tapi, minimal ngapain, kek! Masa udah jam 9, main ponsel melulu, kayak pengangguran aja?" ketus perempuan berhijab itu.
Namanya Rara Avestaini. Ya, Ave yang dahulu pernah merasa malu kepergok dekat dengan Gombloh. Namun, ia akhirnya kembali menyambung kontak, setelah awalnya tanpa sadar "terperangkap" menjadi salah satu pembaca setia blog dr. Gombloh Mukio.
"Jangan kayak orang-orang gaptek dari generasi kolonial gitu, dong! Lihat orang mainan ponsel, langsung memvonis pengangguran. Ini justru lagi kerja. Menulis memoar!"
"Oh ya? Apa judulnya?"
"Entahlah," jawab Gombloh dengan wajah usil. "Kalau kamu mau buatkan aku kopi, mungkin aku bakal kasih tahu."
"Ini emang buat kamu, kok," ucap Ave seraya menyodorkan cangkir itu.
Sang dokter menerimanya dengan mata berbinar. Ia memandangi wajah istrinya itu dengan antusias. "Kalau judulnya Zombi Yang Tak Layak Mendapat Cinta, bagaimana menurutmu, Sayang?"