Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ziarah
0
Suka
1,949
Dibaca

Dari honor yang baru saja kuterima aku memesan hotel ini meski tak ada yang istimewa dalam ulasannya apalagi cuma diberi bintang tiga di kolom komentar. Ini pagi pertamaku dari sepetak jendelanya. Di luar sana matahari dikerek meninggi dan awan berarak menjadi formasi yang acak. Manusia mulai berkerumun, kendaraan silih meraungkan mesin. Di ponselku, selain notifikasi aplikasi hotel, tak ada yang menarik. Malam lalu aku menerima pesan dari Ida, adikku, ia ingin aku tinggal di rumahnya. “Biar di hotel saja. Tak enak sama suamimu yang sedang sakit,” kubalas. Ida tak membalas, namun kami bercakap lumayan panjang setelahnya di telepon.

Bukan berarti rencana itu kami batalkan. Aku tetap melangkahkan kakiku keluar hotel, mencegat angkutan kota yang melemparkanku ke suatu tempat, ke makam ibu dan bapak. Makam yang dalam lima tahun tak pernah kusentuh dan kubicarakan bersama Ida. Meski Ida masih tinggal tak jauh dari rumah tempat kami dilahirkan dan tumbuh dewasa, aku tak pernah mendengarnya bicara tentang nyekar atau ziarah. Biarlah yang telah pergi itu pergi. Kepergian akan lebih baik bila perlahan dapat kita ikhlaskan dan lupakan.

Tapi belakangan tabiat Ida membuatku gusar. Tengah malam ia menelponku dengan suara ngos-ngosan, seolah esok tiada lagi dapat bercerita.

“Aku merasa berdosa, mas,” keluhnya. Sementara aku, sebagai kakak, lebih sering mendengarnya dengan paras tercenung, sesekali merokok, atau berdehem bila ada sesuatu yang harus kukerjakan mendadak di tengah telepon darinya.

“Jangan berpikir seperti itu,” kubalas, embusan asap dari mulutku pecah di langit-langit kamar, buyar, seperti ingatan yang lambat-laun buyar oleh usia. Tapi, benarkah seperti itu?

“Aku merasa, mas. Bukan berpikir. Mas tahu, kan, bedanya di mana?” nadanya meninggi dan membuat napasku tertahan.

“Iya, biarlah yang sudah-sudah. Itu bukan sepenuhnya salahmu.”

“Tetap saja ada, sebagian, atau bahkan banyak, perbuatanku yang membuatnya salah sejak di awal. Aku tak bisa hidup terus-menerus seperti ini, mas.”

“Lalu mau apa? Ibu dan bapak sudah pergi selamanya, tugas kita hanya mendoakan.”

“Ngomong memang gampang.”

“Kamu mau menyusulnya?”

Terdengar tuuutt panjang. Itulah pembicaraan telepon kami yang membuatku menyusulnya. Jujur, aku pun khawatir. Kehilangan, bagi kami, bukan sekali dua terjadi. Kedua paman, adik ibu berserta keponakannya, telah lebih dulu pergi. Pesawat yang ditumpanginya mengalami peristiwa nahas dan memaksa kami menguburkan 6 orang sekaligus tanpa organ tubuh yang lengkap. Sementara kakek-nenek kami, baik dari pihak ibu maupun bapak, telah berpulang akibat terpapar pandemi yang belakangan menggila. Hanya aku dan Ida yang mungkin tersisa.

 

AKU MENGENAL bapak dan ibu sebagai pasangan sejati yang paling romantis. Tak ada yang romantis melebihi keromantisan bapak dan ibu. Keduanya seperti amplop dan perangko, sendok dan garpu, matahari dan rembulan. Tak bisa dipisahkan, di mana ada bapak di situ pasti ada ibu. Begitupun sebaliknya.

Suatu hari mereka tengah asyik bergenggaman jemari di ruang tamu. Sudut mata bapak melirikku dan Ida dengan tajam. Diikuti lirikan ibu dan bisikan yang tak terdengar oleh kami. Meski tak terdengar, bisa kupastikan hal itu yang membuat Ida merasa muak. Seketika aku membuang muka dan Ida loncat dari sofa menuju kamarnya. Di lain waktu aku dan Ida diminta Bapak menemani ke mall. Tentu saja bersama ibu. Mereka berdua, tak bisa dipisahkan, tak bisa pula disebut satu persatu. Perlu kupertegas, kami hanya menemani mereka. Lebih tepatnya, membawakan bungkusan kain pantalon. Mereka bukan mengajak kami seyogyanya orang tua mengajak anak-anaknya. Mereka hanya membutuhkan kami untuk membawakan barang belanjaan yang akan mengganggu eratnya genggaman jemari mereka.

Ida tak seperti aku yang piawai menyimpan perasaan. Ia muak dengan segala, entah sandiwara atau bukan, yang sejak SMA rajin sekali menolak sekaligus membantah apapun yang diperintahkan oleh bapak padanya. Sedang ibu, perempuan paruh baya yang selalu terlihat cemas dan rikuh bila tak disamping bapak, “Tak pernah menganggap kita ada, mas, mungkin sejak dalam kandungan,” ungkap Ida suatu waktu.

Seingatku, ibu memang tak pernah bertanya, menyapa, atau bahkan melihat kami dengan kedua matanya secara saksama. Kehadiran kami di dunianya ibarat semut dan angin. Yang satu tampak tapi tak penting; yang satu lagi tak tampak tapi terasa. Kami angin bagi bapak. Setidaknya ia yang merasakan kehadiran kami. Setidaknya ia kerap memerintahku dan Ida. Bapak tak pernah marah, meski tak selalu menuruti permintaan kami. Ia hanya berhenti menjadi bapak saat aku selesai sekolah, dan berhenti menjadi kepala keluarga saat Ida pada akhirnya selesai sekolah.

“Mulai saat ini, pilihlah sendiri kebebasanmu,” ujarnya suatu ketika. Itu akan terdengar menyenangkan bila seseorang yang menyebutnya benar-benar mengharapkan yang terbaik bagimu. Tapi dengan seorang bapak, atau mungkin juga seorang ibu yang tak pernah menganggap aku dan Ida ada, perkataannya tak jauh berbeda dengan sebuah perintah untuk enyah dari hidupnya.

Maka, setelah Ida selesai dengan sekolah, aku mengajaknya angkat kaki dari kota itu. Tapi tak berhasil. Ia memilih bertahan dengan seseorang yang kini menjadi suaminya. Syukurlah, tak selang beberapa tahun Ida melangsungkan pernikahan dengan cara yang sederhana. Dan yang paling memilukan dari acara yang membahagiakan itu adalah ibuku seperti orang yang kehilangan akal warasnya. Ia tak sudi bersalaman, ia hanya terduduk di dapur dan enggan menemui para tamu undangan. Tak jelas betul apa yang dirisaukan, tapi wajah bapak saat itu tampak merah padam.

Kutengok, sesekali bapak menghampiri ibu yang mematung di dapur. Seperti seorang remaja yang dilanda cemburu, ibu menggusah bapak dan tak lama bapak pun pergi. Didorong oleh rasa gasal yang meggedor-gedor dadaku, dengan ludah yang berkali-kali kutelan, kuberanikan melangkah dan berdiri di hadapan ibu.

“Apa ibu sedang tak enak badan? Mau kubawakan teh hangat?”

Ia hanya melirikku dengan tatapan setajam belati yang menyayat pelepah pisang berembun di malam tenggat. Mungkin Ida benar, ibuku, perempuan yang mengandung dan melahirkanku dengan selamat ke dunia ini, sama sekali tak menganggap anaknya ada. Barangkali saja ia mendengar, tapi tatapannya itu membuatku tak lebih dari seonggok tinja. Dadaku seperti disodok bogem setelahnya, lantas kulipat lenganku di dada.

“Ibu mendengarku, kan? Ini anakmu, anak sulungmu, bu.”

Ia hanya menggeliat, menelengkan wajahnya, menyisakan lirikan tajam itu, belati yang tak sedikitpun menumpul.

“Aku dan Ida tak pernah ibu inginkan untuk ada di dunia ini, ya, bu?”

Tampak rahangnya mengeras. Bulir-bulir keringat jatuh di dahinya yang berkerut. Ia memakai pulasan rias yang tipis, dengan lipstik merah marun dan sanggul sebesar mangkuk. Dengan kebaya kencana, wanita paruh baya ini, ibuku, yang jaraknya hanya serentangan tangan orang dewasa, terasa amat jauh tak terperi. Aku tak bisa menggapainya, tak pernah bisa, bahkan oleh bapak sekalipun. Di saat seperti ini, lelaki itu tak lebih dari buntalan apak yang bisa ibu lemparkan ke mana suka. Di saat seperti ini, aku, Ida, dan bapak, sama-sama tak berguna di hadapan wanita anggun yang kepalanya lebih keras dari baja lambung kapal tanker pengangkut pasir lintas benua; yang pandangan matanya lebih tajam dari katana paling tajam di dunia.

 

SAAT IBU meninggal dua tahun kemudian, disusul bapak setahun setelahnya, aku dan Ida tak meratap. Tak ada setetespun air mata kami yang menetes atas kepergian mereka. Aku dan Ida sudah terbiasa dengan kehilangan. Sejak awal kami merasa tak punya orang tua. Ibu dan bapak di rumah tak ubahnya induk semang, dan kami hanya menumpang, sekadar tidur dan makan-minum. Sehingga, di hari mereka berpulang, kami bereskan administrasi dan prosesi selayaknya petugas pemulasaran jenazah bekerja dengan baik.

Sempat kukira ibu akan menghabiskan bulan yang panjang sejak ia divonis menderita penyempitan pembuluh darah di otak. Aku dan Ida bergantian menginap di rumah sakit, dan tepat di hari ketujuh ia mengembuskan napas terakhir. Tanpa menoleh dan tanpa berkata apa-apa kepada Ida, juga kepada bapak yang terduduk lemas menggenggam jemari ibu. Aku memberitahu tetangga terdekat lalu menyiapkan rumah untuk menggelar tahlilan.

“Bahkan di hari terakhirnya, ibu tak menganggapku ada,” kenang Ida, sesaat sebelum kami berangkat ke makam.

“Akupun merasakan hal yang sama saat berada di sisi bapak di hari-hari terakhirnya.”

“Kita ini memang keluarga yang aneh, ya.”

“Begitulah.”

“Jadi, kapan mas mau mengenalkan calon istri mas?”

“Yah, jika gusti Allah sudah kasih mas pilihannya, kukenalkan langsung nanti di pelaminan.”

Kami disambut ilalang, serakan daun kering pohon kamboja, kerikil dan pasir, serta dua nisan kayu yang terpacak di atas dua gundukan. Kami menabur bunga tujuh rupa, bergantian dengan Ida kuguyur kedua gundukan yang bersisian itu dengan sebotol air mineral. Tak lama kami pun bertolak. Ida ke rumahnya, lagi-lagi memaksaku untuk tinggal, sementara aku lagi-lagi menolaknya dengan alasan klise tentang mengerjakan tulisan yang akan jatuh tempo.

Aku kembali ke hotel dan mengempaskan tubuh ke atas kasur seketika. Kuusap layar ponsel dan secara acak kuketuk beberapa ikon. Tak lama, aku menengok himpitan rumah-rumah dari jendela hotel. Sayup azan magrib berkumandang dari kejauhan. Langit lembayung, matahari merunduk. Klakson dan azan saling sahut menyahut. Tak pernah aku meminta untuk dilahirkan. Tak pernah sepeserpun aku mengiba pada ibu dan bapak yang kini berada di dunia yang entah. Semoga kalian paham, bu, pak, betapa menyedihkannya kesepian itu. Semoga ibu dan bapak tak merasa kesepian di alam sana.

Sekarang matahari telah sempurna tenggelam menyisakan sepuh oranye di horison. Angin terasa menusuk. Ingatan tentang masa kecil, tentang panggilan ibu padaku, panggilan bapak, tentang hari pertamaku masuk sekolah ditemani keduanya karena aku merengek takut diculik, serta lambaian tangan bapak dari kejauhan yang memberanikanku untuk tetap setegar hari ini. Itu sudah cukup. Dengan membuatku ada di dunia ini pun itu sudah cukup. Aku merasa cukup, aku merasa bahagia. Aku tahu mataku basah, aku teringat ada tulisan yang harus kuselesaikan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Harmonika Penghubung (kenali dirimu dan aku)
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Bronze
Batu Ajaib Nenek
Dedy Tri Riyadi
Cerpen
Ziarah
Zaki S. Piere
Novel
Jatuh Terlalu Jauh
Unira Rianti Ruwinta
Novel
Kamu Adalah Kenangan (Mengenalmu)
Ruang Kenangan
Novel
Bronze
JAM MAHAL
Didiiswords
Novel
SEJUTA KISAH
BulanBintang
Skrip Film
Script Film : Al Kahfi Land - Delusi
indra wibawa
Flash
Rindu di Balik Jendela
Ravistara
Flash
WARNA YANG HILANG
Aston V. Simbolon
Cerpen
Bronze
Putri Penenun Bintang
Kemal Ahmed
Novel
Bronze
Aku kamu dan koma
yulindraaulia
Novel
Singgah
Aulia
Novel
Bronze
Pohon Imajinasi
Janeeta Mz
Novel
Empat Cangkir
Ati Raah
Rekomendasi
Cerpen
Ziarah
Zaki S. Piere
Cerpen
Seperti Bulan Sabit di Tengah Malam
Zaki S. Piere
Cerpen
Kabut Mata
Zaki S. Piere
Cerpen
Don
Zaki S. Piere
Cerpen
Sial
Zaki S. Piere
Cerpen
Dor!
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Mumu, Karnap, dan Cerita yang Tak Perlu Dipercaya
Zaki S. Piere
Cerpen
Sehabis Hujan
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Suami
Zaki S. Piere
Cerpen
Algojo
Zaki S. Piere
Cerpen
Kristal Filsuf
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Akhir yang Tak Selalu Baik
Zaki S. Piere
Cerpen
Apokalips Pukul Lima Sore
Zaki S. Piere
Cerpen
Dahaga
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Nanas
Zaki S. Piere