Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Zenki, Elya, El-Zenki, Zenki, Zenki
0
Suka
9
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pukul nol-nol. Hari berganti. Angka pada tanggal bertambah satu, sembilan menjadi sepuluh. Bulan Agustus. Ulang tahun bagi Zenki. Pemuda berjenggot awut-awutan itu kini berusia dua puluh enam tahun. Setidaknya itu menurut perkiraan orang tuanya. Sebab ketika ditanya petugas catatan sipil, bapak dan ibunya bingung sendiri kapan tanggal persis lahirnya Zenki.

Zenki brojol sendiri dari perut, tanpa bantuan siapapun kecuali ejanan ibunya sendiri, di atas kasur palembang tempat ibunya mengusir sunyi dengan menonton Dunia dalam Berita TVRI. Si bapak baru pulang pukul menjelang fajar, sehabis memenuhi kewajiban sebagai warga kampung yang baik yaitu menjaga kampung dari dunia gelap yang menyimpan niat-niat jahat, alias ronda malam.

Alangkah senangnya si bapak ketika mendengar suara tangis dari ruang tengah rumah. “Aku punya anak!” Ia menimang bayi itu. Ibunya juga tersenyum bahagia dengan baju daster yang penuh cairan merah.

Zenki, pemuda dua puluh enam tahun. Kalaupun salah, paling-paling cuma meleset sedikit. Ibunya cukup yakin kalau kelahiran itu di bulan Agustus karena tak jauh dari diselenggarakannya konser musik rock di taman kabupaten. Mengacu ke bekas-bekas spanduk pengumuman konser, grup musik yang divokali oleh seorang pria keturunan Arab berambut kribo itu tampil pada tanggal tiga belas Agustus. Karena suka tanggal sepuluh, bapaknya memilih tanggal itu. 

Tak ada yang menarik dalam hidup Zenki selama seperempat abad ini, kecuali, dan benar-benar hanya satu kecuali, yaitu ketika suatu sore gerimis kecil ia secara tidak sengaja bersepeda bareng dengan seorang artis cantik pemegang Piala Citra.

Zenki yang kala itu berusia lima belas tahun sedang bersepeda menuju rumahnya, seusai menonton teman-temannya bermain Playstation di tempat rental. Di perjalanan, ia melihat seorang perempuan di atas sepeda, seorang kakak-kakak berkacamata yang terlihat celingak-celinguk kebingungan.

Zenki menyamper perempuan itu. “Kak, tersesat ya?”

“Eh, iya,” ucap si perempuan.

“Mau kemana?”

Perempuan itu menyebutkan sebuah nama komplek perumahan.

“Ah, aku tahu! Aku sering mengambil buah hampalam yang jatuh di rumah paling depan komplek! Kalau Kakak mau, aku bisa mengantar. Tak begitu jauh dari sini. Aku juga kebetulan akan lewat sana.”

Jadilah si perempuan mengikuti jalannya sepeda si bocah. Pemandangan lucu sebenarnya. Seorang perempuan muda yang berpakaian olahraga lengkap, berhelm, bersepatu, dan sepeda fixie, mengikuti seorang remaja bau yang bersandal jepit, celana seragam pramuka yang belum diganti, dan sepeda butut macam mau semaput. 

Mereka akhirnya sampai di depan komplek.  

“Terima kasih ya, Dek.”

“Sama-sama, Kak!”

Si perempuan lalu mengambil uang kertas pecahan lima ribu sebanyak dua lembar dari kantong trainingnya, menyerahkannya ke Zenki. Yang diberi terdiam. Lalu tersenyum. Si perempuan lantas mengayuh sepedanya menuju ke dalam perumahan tanpa menunggu ucapan terimakasih dari Zenki. 

“Haduh, dapat uang. Enggak nyangka, enggak nyangka,” kata Zenki kemudian, sambil mengibaskan dua lembar duit lalu memasukkannya ke celana pramuka. 

Kejadian itu telah dilupakan Zenki, lebih tepatnya tidak begitu perlu diingat. Ia baru ingat lagi satu tahun kemudian. Masih dengan sepeda bututnya yang sama (tentu saja kali ini makin butut), ia menuju rumah seusai menonton teman-temannya bermain futsal di lapangan indoor yang bisa disewa. Di perjalanan, ia melihat ribut-ribut di depan komplek yang ia sering mengambil hampalam jatuh di depannya, dan yang ia pernah mengantar seorang kakak perempuan yang memberinya imbalan sepuluh ribu rupiah.

Seperti orang-orang pada umumnya, tentu saja Zenki penasaran dan mencari tahu. Ia ingin terlihat dalam keramaian. 

“Maaf, Mbak Elya tidak bisa diganggu,” tegas si satpam komplek.

“Kita sudah janjian kok, Pak. Kami cuma butuh lima menit saja,” seru salah seorang yang memegang mikrofon.

“Maaf ya, tidak bisa.”

“Setidaknya kami ingin mendapat pesan satu-dua kalimat dari dia soal dugaan plagiat film Kukejar Kau Terjatuh dan soal dugaan sumber dana yang berasal dari mafia judi,” seru yang lain, ia membawa kamera.

“Saya sendiri juga tidak bisa menghubunginya. Mbak Elya hanya ingin istirahat di kota ini.”

“Nah, kami cuma butuh sore ini, Pak. Itu juga lima menit. Setelah itu, kami janji tidak akan ke sini lagi. Mbak Elya bisa istirahat.”

“Saya kira kalian bisa datang lagi lusa. Semoga saat itu Mbak Elya sudah enakan.”

“Kami butuh hari ini, Pak. Kami perlu perspektif Mbak Elya sebagai pemeran utama dan sebagai pemegang nominasi Piala Citra.” 

“Ya sudah ya sudah, begini saja. Bagaimana kalau saya saja yang diwawancara?”

“Memangnya apa informasi yang Bapak tahu?”

“Saya tahu cara mengusir hantu kuyang agar tidak dekat-dekat ibu hamil. Dan apa yang harus dilakukan kalau suatu waktu kita tak sengaja berjumpa kuyang.”

Melalui selentingan-selentingan yang Zenki dengar dari warung nasi kuning kecil di samping komplek, di perumahan itu ada seorang aktris muda yang lagi pulang kampung. Ia lelah dengan hiruk-pikuk ibu kota, dengan kemacetannya, dengan sinetron kejar tayang, dengan rekan-rekan artis pengejar viewers, dan kesumpekan itu mencapai titik kulminasi manakala warganet meributkan tuduhan terhadap film yang ia banggakan. Ia ingin istirahat bersama orang tuanya dari kejenuhan.

“Nah itu beritanya!” kata acil pemilik warung menunjuk televisi. Pembawa berita sedang membacakan berita perihal keributan di media sosial sementara layar menunjukkan tangkapan layar komentar-komentar warganet yang membeberkan temuan-temuan mereka, disertai dengan tuntutan agar pihak Kukejar Kau Terjatuh memberikan klarifikasi serta membuktikan bahwa tuduhan itu salah. Ada pula yang mendesak agar KKT didiskualifikasi dari Piala Citra. 

Layar berganti dengan rekaman wawancara singkat dengan salah satu produser film yang membantah mati-matian, menyatakan kalau film KKT ditulis secara orisinal. Bahwa kalau ada kesamaan, itu hanyalah kebetulan. Dan kalaupun ada, kebetulan itu sangatlah sedikit. Dan soal sumber dana dari mafia judi, ya… salah satu produser memang ada yang terlibat di bisnis itu, tapi antara film dan bisnis tersebut tidak ada hubungannya. Satu tidak “menyuapi”, juga tidak perlu “mengubur” yang lain. 

Layar berganti lagi dengan cuplikan film KKT. Sebuah film romansa-komedi yang berbalut aksi. Tampak seru sekali. Seorang pemuda tampan berkemeja dan jas, juga berdasi, mengegas mobilnya menelusur kota. Tak jarang ia menunduk, membanting stir, mengerem mendadak, lalu mengebut lagi.

Sementara di belakangnya, seorang perempuan muda yang dibonceng ojek online, menembak-nembaki si pemuda dengan pistol kecilnya. “Ayo pak! Kalau dia sampai lolos, Bapak saya kasih bintang tiga!” Si ojek pun meliuk-liuk melewati kendaraan lain di hadapan. Jaket seragamnya bergelombang-gelombang melawan angin.

Uma ay, uma ay. Keren banget si Elya! Cantik begitu. Saya bangga banget bisa jadi tetangganya.”

Kita lihat Zenki di sana, ia melongo melihat Elya yang wajahnya masih tersimpan dalam laci-laci memorinya. Pada bibir Zenki terbentuk huruf “o”. Seusianya, tentu saja Zenki sudah bisa mengumpulkan ingatan yang terserak. 

Ia baru sadar dari khayalan ketika sepeda bututnya terjatuh mengenai tubuhnya oleh karena standarnya yang juga butut lagi keropos itu. Saat itulah sensasi itu muncul dalam hati dan pikirannya, “Ya! Ya! Aku Zenki! Telah melakukan hal luar biasa!” Sambil menyungging sedikit senyum, dilihatnya acil warung yang tadi begitu bangga bisa tinggal di dekat rumah orang tuanya Elya. “Cih!” batin Zenki. 

Lalu ia berbalik lagi menuju wartawan yang sudah mulai bubar, wajah-wajah penuh kecewa karena malam ini batal menaikkan berita hangat yang akan membuat mereka dipuji-puji atasan. “Hahaha!” tawanya tanpa suara demi melihat para pengejar berita itu. 

Zenki mengayuh sepedanya dengan gerak seorang pemenang, seorang prajurit yang pernah mengantarkan sesosok putri cantik jelita pulang ke kerajaannya, menyelamatkannya dari ketidakmenentuan arah dan pula kerisauan hati. Ah, atau dia sebenarnya hanya seorang budak kerajaan, tapi budak yang loyal penuh dedikasi. Pikiran lain menggelayutinya: ia adalah lelaki pilihan Tuhan yang ditugaskan untuk memenuhi ruang-ruang kosong di hati Elya, yang suatu saat akan diingat Elya manakala kesepian sudah tak terbendung lagi sejalan usia. 

***

Keesokan harinya, saat pergi ke sekolah, Zenki adalah Zenki yang baru. Ia datang dengan kesadaran yang baru. Sebelumnya ketika ia melihat Nurdin, ia tidak melihat si Nurdin sebagai remaja pintar peraih peringkat pertama berturut-turut (bahkan menurut desas-desus, ia sudah mempertahankan peringkat pertama sejak masih di bangku taman kanak-kanak). Ia kini melihat Nurdin sebagai bocah yang patut diiri. Nurdin adalah sainganku, otak Zenki berbicara. Tak ada lagi Nurdin sebagai remaja belaka yang masih menginap di ketiak orang tuanya sebagaimana halnya dirinya.

Lalu ia lihat lagi Fahmi. Lelaki tinggi dengan lengan berotot itu juga kini adalah kompetitornya. Dulu ia senang melihat remaja yang serba bisa itu. Bermain basket, oke. Panahan, oke. Bulu tangkis, oke. Silat, oke. Dan yang paling ia jago adalah bermain futsal. Zenki senang sekolahnya sering menang jika ikut kompetisi futsal karena sang playmaker bernama Fahmi. Kini, Fahmi adalah musuhnya. Ketika Fahmi lewat, Zenki berusaha untuk tak menatap. 

Siswa berprestasi seperti halnya Nurdin dan Fahmi adalah idola di sekolah. Lain teman ada yang menonjol karena baik rupanya, atau merdu suaranya, atau kreatif jiwa seninya. Kadang-kadang ada yang punya dua-tiga kombinasi sekaligus. Mereka-mereka itu temannya banyak. Guru-guru senang jika berbicara dengan mereka. Dan yang paling membuat Zenki sedih, ia tak punya daya tarik apa-apa untuk membuat satu-dua kaum hawa terpikat kepadanya. Lain halnya dengan teman-temannya itu, seperti Nurdin dan Fahmi, yang digandrungi perempuan-perempuan. 

Tapi kini Zenki bukan orang cupu lagi. Zenki telah bereinkarnasi. Zenki bukan lagi orang yang bukan siapa-siapa. Sebab, ia kenal Elya. Bahkan pernah bersepeda bersama dengannya. Teman-teman lain boleh hanya menatap Elya di teve, atau sejauh mereka beruntung, paling-paling hanya minta berfoto. Zenki memang baru merasa bahwa ia hidup sebagai orang culun selama ini, tapi seketika pula ia merasa keculunan itu telah tamat karena lauhul mahfudz mencatatnya sebagai penyelamat Elya, seorang seleb yang kini dibincang-bincang warganet se-Indonesia dan yang akan menghadiri Anugerah Piala Citra untuk kedua kalinya. 

Masih dalam pekat awan khayali, Zenki menyungging senyum yang tipis. Ia telah memperoleh ide cemerlang. 

***

Bel sekolah berdentang, tandanya pulang. Tak pernah sesemangat dan setergesa-gesa itu Zenki menuju ke parkiran sepeda. Sampai di rumah, ia langsung menghambur ke kamarnya. Ibunya sendiri terkejut, anaknya yang pemalas tiba-tiba dilihatnya begitu bergairah. Ibarat sekali dalam bulan biru, begitu peribahasa Inggrisnya jika diterjemahkan secara kasar.

Di dalam kamar, Zenki mengambil gunting besar miliknya. Diambilnya seekor ayam. Lebih tepatnya celengan berbentuk ayam. Ia menggunting celengan tersebut. Uang kertas dan recehan pun tumpah dari pantat celengan ayam yang telah disembelihnya. Zenki merapikan uang-uang tersebut, menghitungnya, lalu menyeringai bahagia.

***

Di dalam warnet penuh sesak, Zenki dengan setia menunggu antrian di bangku panjang di dekat operator. Lagi lagi, baru kali ini rasanya Zenki bersedia bersabar menunggu. Tiga puluh menit, seorang bocah SD ingusan keluar dari bilik komputer. Zenki langsung menghambur ke sana.

Di layar komputer itu, Zenki membuka Facebook.com. Ia log-in-kan akunnya. Klik. Tik Tik Tik. Klik. Tik tik tik. Padahal literasi digital Zenki biasa saja. Tapi entah mengapa, seperti ada kekuatan yang memaksanya belajar pada saat itu juga. Klik. Tik tik tik. Klik. Tik tik tik. Klik. Jeder! Zenki berhasil membuat grup Facebook yang sudah dilengkapi gambar dan deskripsi yang baik. Grup FB yang bernama: Elya Fans Club Kalimantan Selatan. Ia juga membuat akun Twitter serupa dengan id @ElyaFansClubKalsel. 

Setelah dari warnet, Zenki tidak buru-buru pulang. Ia singgah di sebuah ruko. Di ruko tersebut ada sebuah toko yang menurut spanduknya “Melayani Sablon Baju, 1 Jam Selesai”. Zenki keluar dari ruko tersebut dengan dua buah kaos baru.

Dan entah bagaimana pula, Zenki tidak perlu repot-repot pada masa itu ikut kelas social media marketing, tapi dia bisa dengan mudah mengumpulkan ribuan anggota di grup FB, juga ribuan pengikut di Twitter hanya dalam waktu kurang sebulan. Zenki tentu diuntungkan dengan hiruk-pikuk media sosial.

***

Kaos baru sudah di tangan, sudah dicuci dan sudah disetrika dengan sabun dan pewangi paling mahal yang bisa dibeli di toko kelontong di samping rumahnya. Dua hari lagi baru mata pelajaran olahraga, membuat Zenki gelisah tak karuan. Kali ini ia tak bisa sabar menunggu. Tapi apa mau dikata? Dan, bagi Zenki, semenarik apapun hidupnya sekarang, apa gunanya jika orang lain tak tahu kalau hidupnya memang menarik?

Maka tibalah hari yang dinanti-tunggu itu. Pagi itu, sarapan dari ibunya dilahap dengan sungguh-sungguh, malah dia tambah nasi segala. Pikir Zenki, ia akan membutuhkan lebih banyak karbohidrat karena hari ini pasti melelahkan sekali. Ia mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan takjub dari temannya. 

Maka, dengan kepercayaan diri berlipat, Zenki berangkat menuju ke sekolah. Gugup membersamainya. Ketika mata pelajaran Ilmu Ekonomi selesai, maka bersiap-siaplah Zenki untuk menuju pelajaran berikutnya: Penjaskes. Di toilet sekolah, Zenki memasang celana training. Lalu dikenakannya kaos bersablon itu, identitas yang akan menaikkan harga jual seorang Zenki. Sumringah Zenki dibuatnya sekaligus hatinya dag-dig-dug. 

Zenki melangkah ke lapangan sekolah. Teman-temannya melongo melihat ia memakai kaos itu. Kaos pink yang bergambarkan wajah Elya yang diunduh dari blog antah-berantah. Di belakang kaos tersebut tentu saja tak ketinggalan tulisan “Elya Fans Club Kalsel”.

Didatanginya guru olahraga dengan sikap yang sopan, “Maaf, Pak. Baju olahraga saya hilang. Saya belum sempat beli lagi.” Guru olahraga yang tidak begitu peduli dengan kedisiplinan itu bergeming saja, menunjuk barisan siswa-siswa yang sudah siap melakukan pemanasan. 

Hati Zenki melambung ketika teman-temannya memandangnya. Sebagian kecil berbisik-bisik seperti membincangkan Zenki. Rasa-rasanya baru kali ini dia jadi pusat perhatian. Entah mereka menertawakan atau mengagumi, Zenki tidak perlu memikirkan itu.  

***

Tapi hasil memang tak jarang milik orang-orang yang benar-benar berusaha. Di waktu istirahat, Zenki yang sedang duduk di bangku koridor sekolah memandang pot-pot dengan tumbuhan yang mati, didatangi oleh dua siswa perempuan. 

“Aku baru tahu ada klub penggemar Elya di banua kita ini, padahal aku juga mengikuti dia di media sosial.”

“Hehe, iya.”

“Di mana kamu membeli kaosnya?”

“Bikin sendiri.”

“Hah? Iyakah?”

“Iya.”

Perempuan satunya kemudian ikut berbicara. 

“Kamu tahu kan film Elya dituduh plagiat. Bagaimana menurutmu?”

“Ah, itu fitnah. Aku kenal baik dengan Elya.”

Seriously?”

Zenki gelagapan. Dia tidak tahu apa artinya seriously”. Tapi dengan cepat ia menguasai diri. Zenki tahu apa yang harus diucapkannya. 

“Aku pernah bersepeda bareng dengan Elya. Waktu itu dia minta tolong kepadaku agar ditunjukkan arah jalan ke rumahnya. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Jadi aku menyanggupi saja. Saat itulah aku tahu Elya adalah artis yang baik. Berintegritas. Berkarakter. Tak mungkin dia mau main di sebuah film asal-asalan.”

Are u fucking serious seakrab itu dengan Elya?

Untunglah si perempuan kedua berbahasa campuran, jadi Zenki kurang lebih merasa paham saja. 

Yes.

“Bagaimana kabarnya sekarang?”

“Dia baik-baik saja. Maaf, belum bisa diganggu.”

Perlu Kawan tahu, itulah pertama kali Zenki bisa berbicara cukup lama dengan perempuan. Zenki pun mengajak mereka berdua masuk ke grup Facebook dan mengikuti akun Twitter yang ia buat.

***

“Apa benar kamu kenal Elya?” Nurdin, si remaja peringkat satu itu memberondongnya. Nurdin dan Zenki jarang saling bicara. Tapi apa boleh buat, karena Nurdin ternyata juga penggemar Elya.

“Yoi” jawab Zenki singkat. Dalam benaknya, ia sedang mengangkat trofi kemenangan karena berhasil berada di tingkat yang lebih baik dari Nurdin dalam hal ini. 

“Bisakah kamu mengajakku bertemu dengannya?”

“Kukira tidak bisa, Kawan. Elya akhir-akhir ini butuh istirahat.” Duh, Zenki bangga sekali bisa memberikan penolakan itu kepada Nurdin yang menurutnya sekarang adalah seorang musuh.

“Oh, begitukah, Kawan?” 

Yes.” Zenki mengarahkan matanya ke ruang kosong.

“Oh iya, sejujurnya aku agak kecewa juga sama Elya, kok dia belum bersikap tentang filmnya yang bermasalah itu?”

Demi mendengar itu, hidung Zenki kembang kempis. Matanya melotot. Ditariknya napas cukup dalam. “Kau sebut kau penggemar Elya, Nurdin? Tak layak. Sungguh tak layak. Kau macam penggemar baru saja. Dasar karbitan!”

Nurdin terkesiap.

“Seharusnya kau tahu Elya tak mungkin bersikap sembarang,” lanjut Zenki.

Yang diceramahi mengangguk-ngangguk salah tingkah. Sebagai penggemar newbie, Nurdin merasa takluk. Nurdin pamit undur diri. Sebelum itu, tak lupa Zenki mengajak Nurdin masuk ke grup FB dan mengikuti akun Twitter Elya Fans Club Kalsel. 

Minggu depan, pada saat jam olahraga, Zenki kembali menggunakan kaos yang lain. Hanya berbeda jenis font dan warna kaos (kali ini biru langit). Tuhanlah yang menakdirkan bahwa si guru penjaskes memang tak acuh dengan kedisiplinan seragam. Zenki juga kembali mengulanginya minggu depan.

Dan Tuhan memang merencanakan segalanya, termasuk ketika sekolah kedatangan murid baru. Siswa tersebut juga bernama Zenki. Padahal di dunia ini, jarang sekali ada orang bernama Zenki. Kalau ada nama yang sama di satu kelas, kita tak heran jika namanya adalah Rizki, Reza, Putra, Putri, Nisa, atau Budi. Tapi ya, sekali lagi, Tuhan memang telah mengatur semuanya. Semesta nampaknya bahu-membahu mendukung kesuksesan seorang Zenki.

“Wah, kita punya dua Zenki sekarang. Bagaimana sebaiknya kita membedakan dua Zenki?” tanya wali kelas. 

Seisi kelas diam. Tak punya pendapat apapun.

Zenki merobek satu kertas dari buku tulisnya. Mencoret-coret sesuatu. Lalu melemparkannya ke Nurdin. Yang dilempari membuka gumpalan tersebut, membacanya: PANGGIL AKU EL-ZENKI.

Sebagai penggemar level junior, ia memang menyimpan rasa hormat dan segan kepada sang senior. Maka diangkatnyalah tangannya sendiri. 

“Eh iya, Nurdin. Silahkan.”

“Mmm. Begini Ibu. Menurut saya kita dapat memanggil Zenki yang lama,” Nurdin menoleh ke arah Zenki, “dengan sebutan El-Zenki.”

“Hah. Kenapa El-Zenki?”

“Ah, itu hanya sekadar pembeda, Bu. Kan yang penting kita tidak tertukar nama.” Nurdin si peringkat satu terlatih dengan soal-soal yang sulit. Apalah artinya pertanyaan tersebut baginya. 

“Oh ya sudah kalau begitu, apakah kamu setuju Zenki?” Guru wali kelas menatap Zenki.

“Ah, terserah saja, Ibu. Saya setuju-setuju saja.”

“Ya sudah. Kalau begitu, setiap menyebut Zenki yang lama, kita perlu menambahkan kata ‘El’ dibelakangnya.”

“Baik ibuuu,” serempak seisi kelas menjawab. Mereka sendiri sudah tahu apa maksud dua huruf “El” disitu.  Mereka tak mempermasalahkan untuk tidak menyebutnya sebagai tidak begitu peduli. Sementara itu, hati El-Zenki melambung ke angkasa. 

***

Pertemuan El-Zenki dengan Elya memang mengubah banyak kehidupannya. Benar kata salah seorang bijak bestari, kita bisa saja beribu kali bertemu seseorang tapi seseorang itu tak memberikan signifikansi apa kepada kita. Sementara, dalam momen yang sangat jarang, kita dapat bertemu individu tertentu secara singkat, hanya berucap sepatah-dua patah kata, tapi itulah momentum perubahan hidup. 

Kini El-Zenki menikmati hidupnya sebagai pencinta Elya. Ia belajar dengan cepat –meski seadanya– cara mengedit gambar dan menulis caption. Hampir setiap hari ia mengunggah segala tentang Elya di Facebook dan Twitter. Ia juga membeberkan alasan mengapa Elya berhak mendapat Piala Citra untuk kedua kalinya.

Ia juga membuat post bantahan bahwa filmnya Elya adalah film plagiat dan didanai mafia judi. Giginya seakan-akan bergemeretak saat meladeni warganet yang tak henti-henti meng-cancel Elya. Dan memang, tim khusus yang dibentuk pemerintah akhirnya mengumumkan bahwa film itu bebas dari kedua tuduhan dengan alasan dan bukti yang logis. Alangkah leganya El-Zenki.

Lalu, hari pengumuman Piala Citra itu pun tiba. Kali pertama El-Zenki menyaksikan Piala Citra. Ditunggunya pengumuman aktris pemeran utama terbaik. Ketika Elya disebut sebagai salah satu nominasi, hatinya tak karuan, seperti mau meledak, dan entah apa yang terjadi jika nama Elya disebut sebagai penerima piala bergengsi itu. Ia bersiap menjadi penggemar yang lebih hebat lagi. 

Seorang aktris senior yang sudah nenek-nenek membuka sebuah amplop bersegel. Ditariknya secarik kertas dari dalam amplop itu. Lalu dibacanya dengan antusias, “Pemeran utama terbaik Piala Citra 2015, jatuh kepada Pasta Khairunnisa dari film Temui Aku di Perempatan!”

Lemah lunglai lutut El-Zenki mendengar pengumuman itu. Televisi langsung dimatikannya dengan kasar. Tak sempat dilihatnya wajah sumringah Elya di teve. Elya gembira karena sahabatnya, Pasta, telah mendapat satu Piala Citra sama seperti dirinya. El-Zenki langsung berbaring di kamarnya, menarik selimut, dan berusaha tidur dengan gemuruh di dalam dada.

Namun, ketika pagi tiba, saat cahaya matahari menyelinap ke dalam kamarnya lewat kisi-kisi jendela, El-Zenki memutuskan hidup harus terus berlanjut sesakit apapun juga takdir menghukum. Diyakinkannya bahwa Elya akan segera memperoleh prestasi lain di kemudian hari. Ia yakin Elya tak akan mengecewakan para penggemarnya khususnya yang bernama El-Zenki.

Ia pun bersemangat lagi. Dibawanya kaos Elya untuk pelajaran olahraga. Pulang sekolah, ia ke warnet. Ia masukan url Twitter dan Instagram Elya, hendak melihat kiriman terbaru lalu me-repost-nya di fanbase seperti biasa.

Akun Instagram Elya itu harusnya selalu dipenuhi dengan foto-foto Elya, baik sendiri maupun bersama teman, rekan, atau siapalah. Tak pernah ada kiriman lain selain foto. Namun, kali ini, di kiriman paling terbaru, El-Zenki melihat gambar yang berisi teks. Ia bertanya-tanya, “Apakah ini?”, sambil tangannya mengklik gambar tersebut untuk kemudian ukurannya membesar. 

Teman-teman penggemar yang baik, setelah menimbang-nimbang, juga berdiskusi dengan, ehm, hehe, calon suami saya, juga dengan orang tua saya, calon mertua, dan teman-teman dekat saya, saya memutuskan untuk rehat dulu dari dunia entertainment. Entah sampai kapan, saya tidak tahu, yang jelas saya segera akan menikah, dan saya ingin anak saya nanti tumbuh besar di bawah asuhan saya dan suami. Sincerely, yours, Elya Sufina.

El-Zenki terdiam membaca pengumuman itu. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ia menutup tab akun Instagram Elya. Masih diam. Lalu ia masukkan lagi URL yang ia hafal betul. Dilihatnya kembali gambar berisi teks belaka itu, yang latarnya putih, warna hurufnya hitam tak terlalu. Masih sama. Ia muat kembali laman tersebut. Enter. entah untuk apa. Tak sampai dua menit, El-Zenki keluar dari bilik komputer, pergi dengan pikiran yang terguncang. 

Kali ini El-Zenki, entah lupa atau sengaja, tidak me-repost kiriman terbaru Elya. Ia tidak pernah kembali ke warung internet itu dalam waktu yang cukup lama. 

***

El-Zenki. Ia sendiri menyesal telah mengusulkan nama panggilan itu untuk dirinya sendiri. Tapi apa mau di kata, sebutan itu telah melekat. Syukurnya setelah lulus SMA, ia sudah tak lagi dipanggil El-Zenki. Walau kadang-kadang jika bertemu teman SMA, ia terpaksa kembali mendengar sebutan itu.

Zenki berkuliah di program studi pendidikan jasmani di kampus di kota ini. Setelah empat tahun, ia lulus menyandang gelar S.Pd. (Soal gelar S.Pd. ini, Kawan, ia pernah memasangnya di nama akun Instagramnya. Tapi setelah ia timbang-timbang, ia hapus kembali. Terutama karena ia melihat temannya yang lulusan luar negeri bergelar B.Ed.juga mencantumkannya di Instagram)

Kembali seperti biasa. Tak ada hal yang benar-benar menarik dari hidup Zenki. Dan karena hidupnya yang biasa-biasa saja, Zenki tidak ingin memamerkannya. Ia bekerja menjadi guru penjaskes di madrasah ibtidaiyah tak jauh dari rumahnya. Empat tahun sebagai guru yang biasa-biasa saja, tak menyedihkan, tak pula menyenangkan. 

Zenki sudah hidup selama seperempat abad. Usianya 26 tahun, baru saja bertambah. Dipikir-pikirnya usia 26 tahun ini sudah lebih dari cukup untuk menikah. Sebagai PNS, gajinya lancar. Uang tabungan ada. Ia juga sudah melunasi setengah dari cicilan rumah yang belum pernah ia tempati. Di rumah juga sudah sepi, orang tuanya sering bengong tidak punya kegiatan apa-apa. Kalau punya anak (dan cucu bagi orang tuanya) mungkin akan menambah keramaian. Menambah sukaria. 

Ia teringat dengan guru IPA baru di sekolahnya. Seorang fresh graduate, perempuan berpipi bakpao, manis dan menggemaskan. Hasratnya tiba-tiba saja mulai menggebu untuk menikah. Untuk itu, ia ingin mencari akun Instagram si guru IPA baru. Belum sempat Zenki menuliskan nama si incaran di kolom pencarian, ia tertegun dengan sebuah postingan di beranda Instagram dengan beratus ribu like. Bukan foto, tapi hanya gambar berisi tulisan. Latarnya putih, warna hurufnya hitam tak terlalu.

“Hai teman-teman, apa kabar? Aku kangen sekali. Maaf telah menghilang sekitar sepuluh tahun. Dengan ini aku mengumumkan, aku telah memutuskan untuk kembali ke dunia seni peran. Saatnya menekuni lagi hal yang kucintai ini.

Anak-anakku sudah cukup besar untuk sesekali ditinggalkan. Seorang produser telah meyakinkan padaku bahwa inilah saatnya aku memang harus kembali. Film pertamaku setelah sekian lama ini, Dua Puluh Enam Makam Tanpa Nama, akan mulai melakukan proses syuting besok hari. Mohon doanya. Aku sungguh tak sabar bertemu teman-teman kembali, Elya Sufina.”

El-Zenki sekonyong-konyong lupa ia harus memasukkan nama siapa di kolom search. El-Zenki akan kembali segera.[]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Zenki, Elya, El-Zenki, Zenki, Zenki
Muhammad Ilfan Zulfani
Komik
Sebutir Manusia
Sukriyadi
Flash
Kampung Suka Salah
Penulis N
Cerpen
Ini Bukan Perkara Remeh-Temeh
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Bronze
Galon vs Gas Melon
Claire The
Komik
Creamy & Rem
Ictos Gold
Komik
Siblings
Anintan Savytri
Komik
Bronze
Petualangan Athan dan Detektif Mammo
Andy widiatma
Flash
Nyai Roro Kidul-Chan - Legend of South Sea
Donquixote
Flash
Mbak Kunti yang Cengeng
9inestories
Komik
Bronze
KEMBAR SIAL
Agam Nasrulloh
Flash
Bronze
Cinta Di Antara Ayam Penyet
Ghiyas
Cerpen
Bronze
Begitulah Kelakuan Kawan Kita Si Rohim
Habel Rajavani
Komik
Bajaj bajuri the series
m.rifan.daru.s
Komik
This Classroom!
mrizkysaputraa
Rekomendasi
Cerpen
Zenki, Elya, El-Zenki, Zenki, Zenki
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Ini Bukan Perkara Remeh-Temeh
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Bocah Pecandu Lem
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Dua Puluh Enam Makam Tanpa Nama
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Perihal Nama Bapak
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Mesin Waktu
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Jatuh Jauh
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Kisah Maling yang Tolol
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Buku Puasa Dhoni
Muhammad Ilfan Zulfani