Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Zaman Membara
1
Suka
50
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Burning Age

(Zaman Membara)

Cerpen oleh Cléa Rivenhart

14:19, Kamis, 29 Mei 2025



Pelmma bersyukur lahir di tahun 90-an, di masa ketika suara manusia masih lebih nyaring dari notifikasi. Sementara adiknya, lahir di era ketika segala sesuatu diukur dari kecepatan sinyal dan kapasitas memori. Sejak kecil, adiknya dibesarkan oleh layar, bukan oleh cerita-cerita sebelum tidur. Seolah dunia baginya hanya sebatas yang bisa digeser dengan ibu jari.

Tak mudah menjadi saksi dari keretakan jiwa yang perlahan tapi pasti. Adiknya mulai menutup diri, bicara sendiri, menatap kosong tanpa arah. Kadang menangis di tengah malam, kadang tertawa tanpa sebab. Pelmma hanya bisa menatap dari balik pintu yang tak pernah benar-benar tertutup, tapi juga tak benar-benar terbuka.

Bertahun-tahun ia membiarkan adiknya larut dalam dunia ciptaan algoritma. Hingga suatu sore, ketika senja mengguyur langit dengan warna-warna luka yang tertahan, Pelmma berkata, “Ayo pergi kemping.”

Tak ada jawaban. Hanya tatapan kosong yang menggantung, seperti layar yang menunggu disentuh. Tapi keesokan paginya, adiknya bangun lebih awal dari biasanya. Tanpa protes, tanpa gawai di tangan, ia masuk ke dalam mobil dengan langkah pelan.

Perjalanan mereka membawa mereka ke lereng gunung, tempat pepohonan berdiri seperti penjaga sunyi. Matahari mulai condong ke barat ketika mereka tiba. Warna keemasan menyentuh pucuk-pucuk cemara, dan udara beraroma tanah basah menyusup ke paru-paru. Pelmma melihat adiknya mengangkat kepala—pertama kalinya dalam waktu lama.

Di tepi danau kecil yang tenang, mereka mendirikan tenda. Permukaan air seperti cermin, memantulkan langit jingga yang perlahan berubah ungu. Angin berembus lembut, membawa aroma pinus dan bisik-bisik dedaunan. Pelmma menyalakan api unggun. Cahaya oranye menari-nari di wajah mereka, menghangatkan dingin yang datang bersama malam.

“Dulu, waktu kecil, kita pernah ke tempat seperti ini,” kata Pelmma sambil mengaduk air panas dalam cangkir logam.

Adiknya diam, lalu bergumam, “Aku nggak ingat…”

“Itu waktu kamu masih sering tertawa.”

Api unggun berderak, meletup kecil, seolah ikut mengungkapkan sesuatu yang lama dipendam. Pelmma tidak menuntut jawaban. Ia hanya ingin adiknya tahu bahwa ia tidak sendiri. Malam itu mereka duduk dalam diam yang hangat, ditemani bintang-bintang yang tak pernah terlihat dari jendela kamar.

Hari Kedua

Keesokan harinya, mereka berjalan menyusuri hutan, mengikuti suara gemericik air dan bisikan dedaunan. Pelmma sengaja tidak banyak berbicara. Ia tahu, untuk sembuh, kadang manusia hanya perlu diam bersama alam.

Malam kedua tiba lebih cepat dari yang mereka harapkan. Udara lebih dingin, bintang-bintang lebih banyak. Kali ini, Pelmma menatap wajah adiknya yang sudah terlelap lebih dulu di dalam kantung tidur, napasnya pelan dan damai. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, tidur itu tampak nyenyak, seperti mimpi buruk yang perlahan melepaskan cengkeramannya.

Pelmma menarik napas panjang. Dalam sunyi, ia membisikkan doa pendek, semoga kebahagiaan yang sederhana ini bisa terus tumbuh. Api unggun kecil menyala tenang, seolah ikut menjaga malam.

Hari Ketiga

Di pagi terakhir, mereka menyiapkan barbekyu sederhana: jagung bakar, roti lapis, dan teh hangat. Mereka duduk di atas terpal, tertawa kecil ketika asap mengepul dan mengusir nyamuk. Tidak ada musik, tidak ada notifikasi. Hanya suara bara, desis mentega, dan keheningan yang tak lagi menyakitkan.

Setelah makan, mereka berbaring di rerumputan, memandangi langit biru yang jernih.

Adiknya berkata pelan, “Aku belum tahu harus jadi siapa.”

“Tak apa,” jawab Pelmma, “Tapi kau pasti tahu apa yang kau mau.”

Adiknya menghela napas, menunduk. Lalu dengan suara kecil ia berkata, “Aku ingin membangun sesuatu... sesuatu yang benar-benar lahir dari aku sendiri. Bukan tren. Bukan viral. Bukan demi validasi.”

Pelmma tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah buku lusuh dari ranselnya. Ia menyerahkannya dengan dua tangan. “Ini buku list hidupku. Aku menulisnya sejak kuliah. Semua ideku ada di situ. Lengkap dengan sketsa, langkah, bahkan risiko dan solusinya.”

Adiknya membuka halaman-halaman itu perlahan. Mata yang tadinya kosong kini berkilat pelan. Di sana ada cetak biru mimpi-mimpi: taman belajar ramah anak, sistem kerja mandiri berbasis komunitas, bengkel kreativitas digital. Ia tersenyum lebar.

“Kenapa nggak dari dulu cerita?” tanyanya.

Pelmma menjawab lembut, “Kau yang nggak pernah bertanya... atau bercerita.”

Mereka saling diam beberapa saat, hanya api unggun pagi yang mulai padam perlahan. Lalu Pelmma menatap mata adiknya, serius.

“Kau punya ambisi. Aku punya ide. Bagaimana kalau kita jalankan mesin mimpinya bersama?”

Adiknya menatap balik, lama. Lalu tersenyum. “Kita seperti sepasang otak kiri dan kanan yang akhirnya sadar harus bekerja bareng.”

Mereka tertawa. Pandangan mereka bertemu dan di balik mata itu, seolah ada bayangan masa depan yang mengangguk puas: ruang kerja di tengah hutan, sekolah kecil dengan jendela terbuka lebar ke danau, senyum anak-anak dan angin yang berbau pinus.

Pelmma dan adiknya saling menatap, dan di antara mereka, tak ada lagi ruang untuk diam.

***

Epilog

Tiga tahun setelah percakapan itu di bawah bintang dan api unggun, lembah kecil yang dulu sunyi kini ramai oleh tawa dan semangat. Di sana berdiri sebuah bangunan mungil beratap kayu, berdinding kaca dan penuh tanaman merambat. Di depannya, papan kayu sederhana bertuliskan: “Rumah Ide: Ruang Tumbuh untuk Jiwa dan Cita.”

Tempat itu bukan sekadar bangunan. Ia adalah mimpi yang berubah menjadi nyata—mesin impian yang dulu hanya berupa sketsa di buku catatan kini berdenyut dalam kenyataan. Setiap akhir pekan, anak-anak dari desa sekitar datang ke sana membawa buku, ide, dan rasa ingin tahu. Mereka belajar menulis, merakit robot sederhana, menanam bunga, hingga membuat podcast mini.

Pelmma mengatur jadwal dan mengajar kelas literasi kreatif, sementara sang adik menjadi motor di balik teknologi dan program inovasi. Ia membangun aplikasi sederhana yang membantu anak-anak mengembangkan ide mereka sendiri, dan platform kecil untuk memamerkan hasil karya ke publik.

Beberapa kali, komunitas kota datang berkunjung. Mereka duduk melingkar di bawah rindangnya pohon pinus, mengikuti pelatihan kreatif dan diskusi hangat tentang masa depan yang inklusif. Bahkan, universitas dari kota mengundang Pelmma dan adiknya sebagai pembicara. Bukan karena gelar, tapi karena mereka membuktikan bahwa ide kecil di lereng gunung bisa jadi pijakan perubahan besar.

Kadang di pagi yang sepi, mereka duduk bersama di teras Rumah Ide, menyesap kopi, memandangi danau yang masih berkabut. Tak banyak kata, tapi ada rasa yang utuh: damai. Di mata mereka ada sinar yang dulu sempat redup—kini menyala terang, tak karena dunia yang memberi izin, tapi karena mereka memilih untuk hidup dengan makna.

Sang adik pernah berkata pelan, “Ternyata, membangun sesuatu bukan soal jadi besar, tapi soal jadi nyata.”

Pelmma mengangguk. Mesin impian itu tak lagi hanya berputar di kepala. Kini, ia hidup, bernapas, dan tumbuh—bersama cinta, kerja keras, dan keyakinan bahwa setiap manusia pantas diberi ruang untuk bermimpi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Zaman Membara
Cléa Rivenhart
Cerpen
Bronze
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Melepas Kala
Nurul faizah
Cerpen
Dua Wanita yang Berteduh
anjel
Cerpen
Bronze
AKU PULANG, MAK
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Ini tentang Cinta; Mati
Andriyana
Cerpen
Bronze
Beban di Pundak Pak Darmawan
Ron Nee Soo
Cerpen
Obrolan Burung
zain zuha
Cerpen
Bronze
Dua Gadis Harukis & Lelaki Wibu
Juli Prasetya
Cerpen
Bronze
"Puss. . . Meong. . . "
Izzatunnisa Galih
Cerpen
Bronze
Best Independent Models in Delhi
Juicy Glamour
Cerpen
Bronze
SEVGILI ÇOCUĞUM
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Wacana Pengen Nyimeng
Ifan Reynaldi Yz
Cerpen
Bronze
Hiraeth
Illa Fadillah
Cerpen
sosok anak ketiga
sriastuti
Rekomendasi
Cerpen
Zaman Membara
Cléa Rivenhart
Cerpen
Saat Sedang Basah-basahnya
Cléa Rivenhart