Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Yang Tetangkap
0
Suka
4,971
Dibaca

Sore itu di pinggiran sungai yang sudah mulai tercemar oleh limbah buatan manusia, seorang pria duduk di tepian dengan sebungkus roti hangat di tangan. Kepalanya menengadah menatap langit dengan datar, entah sudah berapa keluhan yang ia lontarkan setiap hari, tapi yang maha menghidukan tidak juga mau membantu. Mungkin hidup ini hanya sebatas menjalani kehampaan, pikirnya. tidak ada yang namanya 'Sang Maha Kuasa' sejak awal itu hanya para orang tua agar bisa mengatur anak - anak nya dengan mudah. Dengan dalih, para anak yang menurut akan mendapat kehidupan penuh suka cita setelah dibangkitkan dari kematian. Bodoh. Bahkan, dunia ini mengambil semua yang ia miliki. Anak baik yang selalu menurut pada orang tua tanpa pernah melawan, apa ini balasan yang dia berikan kepadanya sebagai anak baik. Apa gunanya menahan diri agar menjadi anak baik kalau yang ia dapat tidak ada bedanya dengan anak berandalan di luar sana.

Pria itu memakan roti yang sedari tadi ia ajak bicara. Tentang tidak adil nya dunia, tentang perih nya menjalani hari tanpa rasa percaya, tentang perih nya di khianati oleh keluarga sendiri.

"Oi, roti sialan. Sebentar lagi aku akan mengambil nyawamu. Padahal kamu tidak pernah minta untuk berada di dunia ini, tapi malah berakhir menyedihkan. Kita itu sama, ya," satu buah roti yang menjadi teman nya sore ini sudah sirna, cahaya matahari yang menyinari kota juga perlahan menghilang.

Setelah menghabiskan makanannya, pria itu segera pergi beranjak dari tepian sungai menuju rumah. Berjalan melewati perkampungan yang kumuh dan memasuki gang yang mengeluarkan bau tidak sedap. Di ujung gang, baru saja ia keluar dari tempat bau sampah yang sangat lembab oleh lumut, tiga orang berjalan menghampiri.

"Wihh, ada anak setan. Keliaran dari siang, nggak kasihan sama orang - orang liat wujud menjijikkan mu ?!" cerca Dema, si anak kaya raya dari seorang penagih hutang.

Salah satu dari tiga orang itu merangkul nya, "Rigi, dengar kata - kata Dema. Wajah buruk rupa mu itu hanya akan membuat orang lain ketakutan. Orang yang dikutuk cuma boleh diam di hutan, jangan sampai kutukan kamu nular ke yang lain." Keci, salah seorang anak petani beranggotakan 8 bersaudara. Ia yang merupakan anak tengah selalu mendekati Dema agar bisa dapat kehidupan enak.

"Ehh~ di kutuk ? Bukannya yang di kutuk itu manusia? Kalau dia... sejak awal memang bukan manusia. Iya, kan ?" Lanar satu - satunya wanita di rombongan itu menarik Rigi lalu mendorongnya. Dengan mudah tubuh ringkih Rigi yang hanya diisi sepotong roti tersungkur.

Mereka semua tertawa bersama, tertawa dengan kencang seakan telah menyaksikan tontonan yang sangat memuaskan. Rigi hanya bisa meringkuk menekuk lututnya, tidak ada keberanian untuk melawan. Ia hanya bisa berharap dalam hati semoga para pengganggu segera pergi. Telinganya terlalu pedih mendengar kebisingan dari ranum ke tiganya.

"Muka penuh luka bakar seperti ini, apa lagi kalau bukan anak terkutuk. Kau melakukan dosa besar apa memang nya ?!" Dema kembali mencerca Rigi disambut dengan tawa menggelegar dari teman -temannya. Mereka saling bergantian menginjak - injak tubuh Rigi yang ringkih tanpa daging.

Dirasa puas dengan permainan kesukaan mereka, ke tiga orang itu pergi meninggalkan Rigi dengan badan yang gemetar. Roti yang baru saja ia makan rasanya ingin kembali naik ke tenggorokan, dengan susah payah Rigi pertahankan agar tidak memuntahkan asupan satu - satunya hari ini. Perlahan, ia mulai bangun dan kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju rumah. Rumah kecil, bukan, gubuk kecil yang bahkan tidak pernah memiliki akses matahari masuk sama sekali itu mengeluarkan bau yang tidak sedap. Dinding bagian luar mau pun dalam rumah diselimuti oleh lumut - lumut hijau. Rigi masuk ke dalam rumah yang diselimuti dengan hawa dingin. Sisa tenaga yang tersisa ia gunakan untuk mengambil selimut yang terlipat di pojok ruangan. Ia menjadikan selimut yang terlipat sebagai bantal, tubuh ringkihnya sudah tidak perduli lagi dengan rasa dingin yang menusuk. ia hanya ingin menjaga kepalanya tetap nyaman selama tertidur.

---

Pagi hari, Rigi terbangun dengan rasa pusing dan nyeri di seluruh tubuh. Kondisi rumahnya sama seperti biasa, tetap gelap, lusuh, dan berbau tidak sedap. Ia dapat mengetahui sudah pagi dari hewan - hewan sekitar yang mulai berisik. Dengan langkah yang tertatih, Rigi berjalan memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap berangkat kerja.

Rigi kembali melewati gang tempat ia dirundung kemarin. Langkahnya sejenak terhenti, ia menghela napas lalu kembali berjalan.

Bar kalsik yang ada di pinggir kota, di sana tempat Rigi bekeeja. Bar hanya beroperasi si malam hari, tempat berkumpul para manusia frustasi yang sibuk mengejar kemewahan dunia. Rigi kerja sebagai orang yang membersihkan bar, mulai dari mencuci piring dan gelas kotor sampai membersihkan sisa muntahan para pengunjung. Kata mejijikkan sudah ia hapus dari benaknya, atau mungkin sudah mulai menyatu dengan dirinya. Semenjak orang - orang mulai merundung dirinya, semenjak ibunya berkata bahwa Rigi memiliki wajah yang menjijikkan. Tidak ada lagi hal yang menjijikkan di dunia ini, ia bagian dari hal menjijikkan itu sendiri.

"Rigii~ Maaf ya, hari ini sangat berantakan. Semalam ada segerombolan pekerja kantoran yang menyewa seisi bar untuk mengadakan pesta," seorang wanita memeluk Rigi dari belakang. Jura, wanita berusia 35 tahun yang merupakan pemilik bar.

"Tidak apa, nyonya. Memang sudah tugas saya," jawab Rigi, abai dengan Jura yang memeluknya. Ia memilih fokus dengan alat pel di tangan.

Jura berdecak, ia menarik bangku di samping mereka memperhatikan Rigi dengan seksama. "Kamu itu, nggak ada niatan buat cerita apa -apa ? Memang aku terlihat seperti tipe bos kejam yang tidak perduli pada pekerjanya?" pertanyaan yang terlontar hanya di balas dengan gelengan, Jura menghela napas dengan pasrah. Pekerjanya satu ini tidak pernah bisa diajak bicara.

Rigi membersihkan tiap sudut bar, ia juga dengan sangat teliti mencuci gelas yang biasa digunakan untuk menyajikan minuman alkohol sampai mengkilap. Jura sedang sibuk menghitung debit bar sesekali mengalihkan atensi untuk memperhatikan Rigi. Pria aneh yang tidak pernah mengeluh dan sangat penurut. Tapi justru sifat Rigi yang seperti itu membuat Jura jengkel. Tidak pernah mengeluh tentang pekerjaan, tidak mengeluh saat Jura telat membayar, tidak mengeluh saat Jura meminta menjaga bar selama 24 jam.

Tangan kirinya menopang dagu Jura dengan pipi yang mengembung. "Apa - apaan bocah itu," lalu kembali fokus pada buku keuangan toko.

"Nyonya, cuciannya sudah selesai. Ada lagi yang perlu saya kerjakan ?" Rigi berjalan menghampiri Jura yang sedang merebahkan kepala di atas meja.

Dengan malas Jura mengangkat kepalanya, hanya 3 detik lalu ia menunduk. Jura menggelengkan kepala pelan. Rasa kantuk mulai menyerang, dari semalam ia memang belum sempat tidur sama sekali. Pendapatannya hari ini cukup banyak, tapi banyak hal juga yang haus ia korban kan. Hidup itu memang tentang timbal balik. Dirasa sudah tidak ada keperluan lagi, Rigi segera berpamitan. Saat hendak membuka pintu, seseorang dari luar mendorong pintu. Wajah Rigi terhantam cukup kencang sampai meminbulkan kemerahan di dahi.

"Eh ?!!" Kosong, tidak ada siapa pun di balik pintu. Apa mungkin angin, pikir Rigi sampai akhirnya ia menyadari seonggok makhluk kecil di depannya. Anak perempuan dengan pipi bulat dan mata yang sudah berkaca - kaca.

'Ahh, seperti biasa anak kecil pasti akan menangis karena muka buruk rupa ku-'

"HHUUUAAAAAA, maafin Mistiii. Paman kepalanya benjol nggak ?!!" anak itu merengek sambil memeluk kaki jenjang Rigi. Rigi mematung, kepalanya masih mencerna apa yang terjadi.

"Hahhh..." Jura menghampiri makhluk kecil pembuat onar, tangan kanannya memijit pelipis kepala yang menjadi pening 2x lipat.

"Oi, bocah. Lihat si manusia triplek ini jadi lupa cara untuk bergerak. Wah, ini bisa sangat bahaya," Jura mensejajarkan tinggi dengan Misti lalu mengelus kepala anak itu dengan lembut. Sayang, kata-kata yang ia keluarkan tidak sama sekali menenangkan anak berpipi tembam di depannya.

"Rigi~" Jura mengangkat kepala menatap Rigi yang masih memandang mereka tanpa bereaksi apa pun, ia menarik-narik celana Rigi pelan. "Ada lagi yang harus kamu kerjakan," satu kalimat yang keluar dari ranum Jura berhasil membuat Rigi tersadar dan membulatkan kedua matanya.

---

Misti berlari dengan sangat cepat membuat Rigi yang mengejarnya agak kelimpungan. Napasnya tidak teratur, tangan kanannya sibuk mencengkram perut yang mulai perih.

'Kau, jaga anak ini dulu ya. Aku mau tidur.' Itu hal yang 'Harus rigi Kerjakan.'

"PAMAN !!" teriak Misti yang sudah berada jauh di depan, ia menunjuk ke sebuah pedagang bakpao. "MAU, PAMAN CEPAAT!!"

Tanpa sadar, seutas senyum terpahat di wajah Rigi. Ia menggendong Misti untuk memilih bakpao yang ada di dalam etlase kaca.

"Iya, silakan adik kecil .... " pedagang yang awalnya berbicara dengan ramah itu terdiam. Tubuhnya menjadi kaku. "penculik," guamamnya pelan.

Rigi sudah tebak, pasti akan ada salah paham seperti ini.Tidak heran jika hari ini ia berakhir di balik jeruji besi. Tidak buruk juga, ia tetap bisa dapat makanan bahkan dengan gratis.

"STOP!!" Misti kembali berteriak, ia mengajukan telapak tangan yang terulur ke depan wajah si pedagang bakapo. "Jangan hina pengawal baru Misti," bocah itu bersidekap dada kepalanya terangkat dengan angkuh.

"Bibi Ura yang mengangkat paman keren ini untuk jadi pengawal Misti!" si penjual bakpao menggaruk tengkuknya dengan canggung lalu membungkus pesanan Misti.

Kini mereka berdua duduk di sebuah bangku yang berada di taman. Misti sibuk dengan bungkusan bakpao yang baru saja ia beli. Ia mengeluarkan dua buah bakpao yang ia pegang di masing - masing tangan.

"Ini paman !" ia menyerahkan salah satu bakpao itu untuk Rigi, "anak kecil itu belum boleh makan yang isi daging." Jelas bocah yang tengah sibuk mengunyah bakpao isi cokelat.

"Terus kenapa beli 3 yang isi daging ?" heran Rigi, pasalnya mereka baru saja beli 3 bakpao daging dan 2 bakpao cokelat.

"Untuk paman, paman lapar, kan? Dari tadi pegang perut terus," bocah itu tersenyum dengan gembira. Lagi, tanpa di sadari Rigi itu tersenyum.

"Tapi kasian, ya. Habis ini bakpao nya hilang," rigi menatap bakpao dengan melankolis.

"Paman!" Misti berdiri di depan Rigi," justru tuan bakpao akan senang, misinya untuk ada di bumi ini berjalan dengan lancar. Hidupnya berguna!"

Mendengar jawaban Misti, Rigi terkekeh. Ia menganguk dan mulai memakan bakpao isi daging milik Misti untuknya.

'Pedas, pantas saja tidak boleh'

Waktu sudah menunjukan sore hari, Rigi membawa Misti yang sedang tertidur lelap di punggungnya. Misti itu anak dari kakak Jura, kedua orang tuanya sedang ada keperluan dan baru pulang sore ini, jadi mereka menitipkan anak semata wayang nya kepada sang bibi. Ditengah perjalanan, Misti terbangun. Ia meminta Rigi berjalan mendekati pohon mangga yang sedang berbuah, ia bilang hadiah untuk adik.

"Adik memang belum muncul, tapi ibu bisa memakannya untuk adik," ucap si bocah beripipi bulat dengan nada yang sangat menggemaskan.

"Baik nyonya kecil, ayo kita kumpulkan yang banyak," dengan semangat, Rigi membantu Misti untuk duduk di bahunya sementara si bocah dengan riang memetik beberapa mangga yang bisa ia gapai.

Selesai dengan kegiatan memetik buah, Rigi segera mengantar Misti kembali ke Jura. Orang tua Misti masih dalam perjalanan, syukur lah batin Rigi ia tidak mau bos nya adu argumen dengan sang kakak karena menitipkan anaknya dengan makhluk jelek dan menjijikkan seperti dirinya.

Rigi pulang dengan sebungkus ayam bakar satu paket dengan nasi, sambal, dan lalaban yang diberikan Jura. Ia bilang bonus karena sudah mau mengurus bocah pengambil ketenangan. Hari ini tidak terlalu buruk untuk Rigi, bahkan tidak ada hal yang buruk menimpanya. Ia mulai berpikir untuk menarik kembali semua sumpah serapah yang sering ia lontarkan, sang maha pencipta itu adil, dunia itu baik, hidup itu akan jadi bermakna kalau memiliki sesuatu yang sangat berharga. Tujuan hidup itu penting. Dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya, ia berjalan dengan gembira.

Cibiran para penduduk kampung bisa ia abaikan dengan mudah, tidak ada satu pun yang menyangkut di kepala. Benar - benar bagai istilah masuk telinga kanan keluar telinga kiri. bahkan, setelah melewati gang pun ia tidak bertemu dengan tiga orang yang biasa merundung dirinya. Rigi memasuki rumah yang dihuni oleh hawa dingin. Kali ini ia tidak langsung tertidur, ada makanan untuk mengisi tenaganya saat bermimpi nanti. Mungkin hari ini dalam tidurnya, ia bisa kembali mendapatkan mimpi. Kapan terakhir Rigi bermimpi, mungkin sekitar 11 tahun yang lalu. Rigi memakan suap demi suap dengan bahagia. Membayangkan pipi bulat Misti dihiasi ranum yang merekah lebar. Ia kembali merasa hidup.

"Mungkin aku harus mengunjungi Zeni besok," Rigi merogoh sakunya mengeluarkan beberapa lembar uang. "Kakak akan bawakan bunga peony kesukaanmu."

--

Saat berumur 6 tahun, Rigi adalah anak laki - laki yang ceria. Para tetangga mengenal dan juga menyayanginya. Para anak seumuran Rigi selalu merasa iri, sebagai anak laki - laki pertama Rigi sangat disayang, ibunya sering memasak makanan kesukaan Rigi, sepulang kerja ayahnya selalu mengajak Rigi bermain bersama. Ditengah kebahagiaan itu, keberkahan kembali menghampiri Rigi ibunya melahirkan seorang anak perempuan yang sangat cantik. Rigi selalu menjaganya, bahkan saat sang adik menangis baik saat sedang bermain di halaman luar atau pun sedang tidur Rigi segera berlari memastikan adiknya baik - baik saja. ia juga sudah tidak pernah main dengan teman - teman lagi.

Zeni, nama adik perempuan Rigi. Rigi yang memberi bayi perempuan bermata biru itu nama. Saat itu Rigi sedang bermain dengan kamus usang milik sang ayah, lembar demi lembar ia buka dan Rigi menemukan sebuah kata. Zeni, genius. Rigi bilang ingin memberikan kata itu untuk sang adik agar sang adik bisa tumbuh menjadi perempuan yang jenius lalu mereka membangun istana cokelat bersama. Seorang anak dengan gembira sambil mengangkat sebuah kamus dan sedikit berjingkrak memaksa kepada kedua orang tuanya, tentu saja pasangan itu langsung luluh. Nama yang diberi juga memiliki makna yang bagus.

3 tahun berlalu, Rigi selalu bermain dengan Zeni setiap hari. Anak perempuan bermata biru itu kini sudah bisa berdiri dan berlarian. Terkadang Rigi bertanya kepada kepada sang ayah, kenapa mata Zeni berbeda dengan mereka bertiga. Kata ayah, karena Zeni akan menjadi tuan putri yang membawa kesejahteraan. Rigi yang berusia 9 tahu tidak begitu paham apa itu 'kesejahteraan' ia pikir sang adik akan mempunyai kekuatan super yang dapat melawan penjahat. Semakin besar saja rasa bangga Rigi terhadap sang adik.

Walau ternyata tebakan Rigi salah besar. 

Sore hari tepat saat Rigi baru saja pulang bersama sang ibu dari rumah saudara, ia melihat adiknya tengah memberontak dalam gendongan seorang wanita tua.

"ZENI!!!" Rigi berlari dan memukuli kaki wanita tua yang hendak membawa sang adik. Ayahnya berusaha menarik Rigi, Ibu yang sempat mematung segera berlari menarik Zeni dengan paksa. Tapi, si waita tua tetap menahan tubuh Zeni. Perebutan terjadi, tangis Zeni melengking hebat. Si wanita tua dengan segenap tenaga menarik Zeni.

"Aku sudah membayar mahal untuk anak ini !" bentak si wanita tua membuat Ibu dari kedua anak itu terkejut. Tangannya yang menarik Zeni seketika melemas bertepatan dengan si wanita tua yang menarik Zeni sekuat tenaga.

Zeni, anak kecil yang bahkan belum mengenal apa itu rasa pedas, anak kecil yang setiap hari tertawa bersama Rigi, di depan mata kepala Rigi anak itu terpental hingga medarat di atas batu besar. Kepalanya terhantam lebih dulu dengan sangat kencang. Rigi berteriak histeris, ia berlari lalu memeluk tubuh Zeni yang sudah penuh dengan darah. Cairan merah segar itu terus mengalir dari sisian wajahnya yang remuk. Rigi terus berteriak, meraung penuh kebencian.

"Huh, sekarang sudah tidak berguna lagi. Jangan lupa kembalikan uangku," tanpa rasa bersalah si wanita tua beranjak dari tempat.

"Ze...ni," lirih sang ibu. Jangankan melangkah menghampiri tubuh gadis kecilnya, untuk berdiri saja kaki ibu sudah tidak memiliki kekuatan.

Tidak ada suara apa pun lagi yang keluar dari mulut Rigi, sekeras apa pun ia berteriak tidak ada satu pun suara yang mau keluar, sekeras apa pun ia berteriak tidak ada satupun yang membantunya.

Sudah seminggu berlalu sejak pemakaman Zeni. Tidak ada lagi anak ceria yang selalu menyapa tetangga, tidak ada lagi anak yang bermain dengan ayahnya setiap sore, tidak ada lagi wangi masakan sedap buatan seorang ibu. Di kediaman itu semuanya saling menutup diri. Rigi sesekali mencoba menghibur sang ibu, ia tau, walau berhasil membuat sang ibu kembali tersenyum itu semua hanya tipuan semata. Rigi sudah tidak perduli dengan ayah, baginya pria itu hanya orang asing jahat yang berusaha menjual adik tercinta.

Rigi lebih sering menghabiskan waktunya bermain dengan teman, rumah sudah bukan hal yang hangat lagi untuknya. Saat itu sedang musim panas, siang hari Rigi pulang dari sekolah dengan baju yang basah dengan keringat. Sesampianya di rumah ia segera berjalan menuju dapur untuk mengambil air es. Udaranya sangat panas, bahkan pedagang es lilin mengeluh dagangannya jadi mencair. Sepanas itu.

"Rigi, sudah pulang nak ?" Ibu yang sedang duduk di kursi meja makan menyapa anak sulungnya.

Rigi sedikit terkejut, wajah ibu kembali bersinar. Ia segera berlari memeluk wanita yang sangat berharga di hidupnya itu. Ibu Rigi membelai rambutnya dengan lembut, sesali menyenandungkan lagu yang biasa ia nyanyikan saat Zeni tidak bisa tidur.

"Rigi," Ibu mengangkat wajah Rigi, mengelus wajah Rigi dengan penuh kasih sayang. "ibu lelah. Ibu mau baikan sama ayah. Kamu mau bantu ibu, kan?" Rigi sempat agak ragu, ia membenci ayahnya, sangat. Tapi mau bagaimana pun mereka keluarga. Sebagai anak laki - laki pertama ia harus bersikap dewasa dan mengembalikan keluarganya. Rigi pun mengangguk dengan mantap. Senyum di wajah ibu semakin melebar. Ini adalah hari terbaik setelah seminggu penuh kabung.

Sore hari saat ayah pulang, ia tidak menemukan tanda siapun ada dalam rumah. Biasanya terdengar suara sang putra sedang menghibur istrinya, tapi kali ini sepi, sangat sepi. Tidak ada suara apapun, ia hanya dapat mencium bau daging terbakar dari arah dapur. Ayah berjalan menuju dapur, baru dua langkah ia jejakan tubuhnya menegang dengan sempurna.

"Wahh, sudah pulang. Lihat ini hadiah permintaan maaf," dengan senyum lebar, Ibu menunjukan Rigi yang ada di sampingnya. Kedua pundak Rigi di cengram dengan kuat.

"WANITA GILA! Apa yang ... kamu?!" Ayah menatap lurus ke arah Rigi yang hanya mematung. Mata anak itu sangat merah, entah karena sedih atau menahan sakit. Dan wajahnya ....

"Kamu bilang Rigi mungkin bukan anak kamu juga karena muka kalian beda, aku bisa buat muka kalian jadi sama," Ibu mendorong Rigi ke hadapan ayah. Ibu tertawa dengan sangat kencang, melihat suaminya yang masih tidak bergeming. Tawanya seketika berhenti.

"Apa? masih ada yang kurang ?" tanya nya dengan sangat datar. Ia membalikan tubuh Rigi menghadap ke arah nya, tangan kanan yang masih memegang pematik api kembali ia nyalahkan. Mendekatkan korek itu ke wajah anak laki -laki yang hanya diam sedari tadi.

Ayah yang kesadarannya mulai datang segera menghentikan sang istri dan menyuruh Rigi untuk masuk kamar. Rigi hanya dapat menurut tanpa sepatah kata, dari dalam kamar ia mendengar kedua orang taunya saling berteriak. Ia gagal, gagal untuk menyatukan kedua orang tuanya kembali, ia malah memperkeruh keadaan. Semua hinaan ia lontarkan kepada dirinya. Keributan yang terjadi di luar berganti dengan raungan tangis sang ibu. Suara ayah tidak lagi terdengar, kalimat terakhir yang ia dengar dari ayahnya adalah pria itu bilang ia sudah lelah dan akan memulai hidup baru dengan bibi.

Rigi terbaring di lantai kamar, luka di wajah terasa perih tapi ia tidak tau apa yang harus dilakukan. menutupnya dengan plaster hanya akan membuat luka di sebelahnya terasa lebih perih. Semakin larut, hawa dingin semakin menusuk dirinya. Rigi bangkit lalu keluar dari kamar, ia berjalan keluar mengikuti semaunya kaki bergerak. Langkahnya terhenti di depan sebuah batu besar yang ada di halaman rumah, Rigi tertergun, air mata mulai mengalir. Dadanya sesak mengingat kembali apa yang terjadi pada Zeni, wajahnya perih dengan luka bakar yang diberikan sang ibu, tangannya bergetar karena tidak mampu menghentikan sang ayah. Rigi tertunduk dalam kembali menyalahkan diri sendiri.

Tapi, saat itu, ada satu celah. Rigi berjongkok mengambil sebuah batu sebesar dua kepalan tangan ayahnya. Rigi kembali berjalan masuk sambil mengelus batu di tangannya. Rigi berjalan mendekati sang ibu yang tertidur di pinggir dapur, wanita dengan tubuh kurus kering itu meringkuk tepat di samping kulkas. Rigi menatap ibunya dalam, kalau semua ini terjadi karena ibu tidak terima dengan apa yang terjadi dengan Zeni, ibu tinggal menyusul adik manisnya itu saja, pikir Rigi.

---

Rigi terbangun dari tidur dengan napas yang bergemuruh, ia segera bangkit dari tidurnya. Meremat dada yang menjadi sesak. Ia memang berharap malam ini dapat kembali bermimpi, tapi bukan mimpi buruk tentang masa lalu.

Rigi segera berjalan menuju kamar mandi, melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Kali ini, senyum kembali menghiasi wajah. Ia berjalan menuju bar dengan bahagia, mungkin ia bisa bertemu dengan Misti lagi, dengan senang hati Rigi rela diperlakukan sebagai pengawal. Rigi terkekeh mengingat saat Misti bilang bahwa ia adalah pengawalnya.

Rigi membuka pintu bar seperti biasa menyapa pemilik. "Pagi, nyonya."

Jura, pagi itu terlihat sangat berantakan. Wajahnya terlihat sangat lesu badannya sangat tidak bertenaga, area matanya dipenuhi jejak - jejak tangis.

"Ah, Rigi. Langsung mulai aja kayak biasa," Jura tersenyum, tapi Rigi kenal senyum itu, sama seperti ibunya dulu, senyum tipuan.

"A-ada apa ?" tanya Rigi dengan ragu.

Jura berjalan ke hadapan Rigi, wanita pemilik bar menggenggam tangan Rigi dengan erat dengan kepala yang tertunduk dalam. "Kakak ... menjual Mist," lirih Jura.

Mata Rigi membulat sempurna, ia menarik kerah baju Jura. Amarah menyulut dirinya. Lagi, jangan lagi. Rigi hanya orang menjijikkan, bukan orang bodoh yang akan mengulang kesalahan dua kali.

"Kemana ?" satu kata, hanya satu kata tapi Jura tau anak buahnya satu ini sedang sangat emosi. Hanya dengan merasakan emosi Rigi saja sudah membuat Jura merinding, ketakutan setengah mati. Ia tidak pernah takut dengan sosok Rigi, tapi Rigi yang marah seperti ini lebih mengerikan dari tampilan wajahnya.

"Rentenir kaya yang tinggal di sekitar perkampungan," suara Jura bergetar, baru kali ini ia ketakutan berhadapan dengan seorang pria. Rigi melepaskan cengkramannya, ia segera beranjak dari tempat itu. Rigi tau betul siapa yang jura maksud. Satu - satunya rentenir kaya yang melakukan hal keji, meghalalkan segala cara untuk uang, hanya ada satu di wilayahnya.

Rigi mengetuk - memukul - pintu rumah Dema dengan sangat keras. Kebetulan, si anak perundung yang membuka pintu.

"Loh, ada anak setan-!" Rigi menendang Dema hingga tersungkur.

"Ya, dan setan ini akan membawamu ke dalam neraka," Rigi menendang Dema tanpa ampun.

Ibu Dema yang mendengar keributan dari depan memeriksa apa yang terjadi, bertepatan dengan Rigi yang akan menendang Dema. Si ibu dengan sigap menggunakan badannya untuk melindungi sang putra. Tendangan Rigi mendarat di punggung ibu Dema.

Napas Rigi semakin memburu, amarah sudah sangat menguasai. Ia kesal, sangat kesal dengan pemandangan di depannya. Dengan tanpa ampun Rigi menghajar kedua orang itu lalu mengikatnya dengan tali, ia bawa sepasang ibu dan anak penagih hutang ke tengah rumah.

"Kapan pak tua datang ?" datar, perkataan Rigi sangat datar seperti orang yang tidak memiliki perasaan. Tapi, hanya dengan pertanyaan itu saja Dema dan sang ibu tidak berani menjawab. Mereka hanya sanggup menggeleng dan mengangguk.

keberuntungan sepertinya ada di pihak Rigi, ayah Dema, Tuan Adrat yang terhormat memsauki TKP aksi peluapan emosi Rigi.

"Buruk rupa, sialan! Apa yang kau lakukan ?!" melihat anak dan istrinya terjerat, langkah Adrat terhenti. Ia tidak berani melangkah semakin dalam.

"Misti, anak kecil yang baru saja kau beli. Dimana dia sekarang ?!" perlahan, Rigi melangkah ke arah Adrat.

"Anak wanita pencuci baju... aku hanya perantara aku tidak tau pasti, jadi tolong-" Rigi mendaratkan serangan di perut Adrat dengan lututnya.

"Jawab dengan jujur !" bentak Rigi.

"Aku tau, aku bisa beri tau di man-!!" satu buah tembakan Adrat luncurkan.

"DEMA!!" pelurunya melesat tepat menuju kepala Dema. Ibu Dema yang berada tepat di sebelah anaknya, menyaksikan langsung saat terakhir putra semata wayang menyumpah serapahi sang suami.

Rigi yang sempat terdiam karena terkejut membuat peluang untuk Adrat. Pria paruh baya di usia pertengahan kepala empat itu mendorong Rigi, ia membidik senapan nya tepat ke arah Rigi. Saat pelatuk hendak ditarik, Rigi dengan cepat menghindar. Adrat berusaha membidik jantungnya tapi mendarat di bagian perut kiri, keberuntungan besar untuk Rigi.

"Dasar iblis!" maki ibu Dema, ia manatap Adrat penuh amarah."Anggur merah, para anak itu akan dikirim ke kota kla-!" satu tembakan kembali Adrat layang kan, kali ini istrinya yang menjadi korban.

Rigi berusaha bangkit dengan satu tangan yang menekan perut kanannya.

Terdengar suara langkah yang sangat terburu-buru mendekat, seorang pria dengan masker hitam berbisik di telinga Adrat. Pria paruh baya itu terlihat panik, ia segara pergi meninggalkan tempat. Tanpa ada niatan untuk berbalik sedetik pun.

Rigi dengan susah payah berusaha untuk berdiri, ia berusaha kabur dari rumah lewat pintu belakang. Ia yakin, Adrat pasti akan menyebarkan fitnah tentang dirinya yang melakukan sebuah pembantaian. Rumah Dema yang berada di bagian sisi kampung berbatasan dengan hutan, membuat Rigi dengan terpaksa harus bersembunyi ke dalam hutan.

"Anggur merah." Rigi bergumam, ia berusaha memikirkan apa yang akan di katakan ibu Dema. "Kla...?" langkah Rigi terhenti, ia menatap langit lalu terkekeh. "Jadi begitu ya, kota para pujangga."

----

"Cepat kapal akan segera berangkat!"

Saat ini kondisi pelabuhan sangat ramai, musim libur bagi anak sekolah menanti. Banyak dari mereka yang berlibur dengan keluarga. Ada juga orang yang ingin menghabiskan waktu jalan -jalan untuk memperbaiki otak yang tertimbun debu pekerjaan.

Para petugas kapal memperingati penumpang mereka untuk memperhatikan anak - anak dan barang bawaan. Beberapa dari petugas juga berbaik hati membawakan barang - barang penumpang, tentu dengan harapan mendapat uang jasa.

" Silakan, hati - hati dengan dek yang licin," satu - satu para penumpang mulai menaiki kapal.

"Oi, orang dengan jaket hitam di sana," panggil petugas kapal menghampiri seorang pria dengan jaket hitam dan masker yang menutup wajahnya. Tudung jaket yang tersampir di kepala membuat wajahnya semakin susah untuk di lihat.

"Kertas ini jatuh dari saku anda," petugas memberikan sebuah kertas yang sepertinya peta praktis. "Klaret, ya. Kota yang sangat cantik saya pernah ke sana sekali." Petugas menyerahkan peta itu lalu segera pamit untuk kembali melakukan pekerjaan.

Pria itu menatap peta yang baru saja petugas berikan. "Misti, setelah ini aku akan belikan bakpao cokelat yang banyak," ia meremat peta di tangan dengan erat. Kapal mulai melaju, angin laut menerpa tudung jaket yang Rigi kenakan. Beberapa orang melihat ke arah Rigi, luka bakar di sisian muka yang tidak tertutup makser menjadi perbincangan beberapa penumpang.

"Jangan didengar," seorang kembali memakaikan tudung jaket Rigi. Rigi menoleh, ia terkejut dengan seseorang di sampingnya.

"Walau menjalankan bisnis yang tidak baik, aku tetap bibi yang mencintai ponakanya, loh," Jura, dengan kaca mata hitam dan kemeja merah marun melapisi tubuh berjalan mendahului Rigi.

"KAPAL MENUJU KLARET AKAN BERANGKAT !"

Kecepatan kapal mulai bertambah, ditengah terpaan angin tanpa Rigi sadari, beberapa petugas kapal mulai meperthatikan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Tak Seindah Fiksi
Ravistara
Komik
Out From The Dark
Joshua
Cerpen
Yang Tetangkap
godok
Novel
Gold
Karena Aku Perempuan
Mizan Publishing
Skrip Film
KOMPLEKSITAS
Albert Stefanus
Skrip Film
Minoritas
Andita Rizkyna N
Skrip Film
LOVE DRAWS
Cloverbean
Skrip Film
Gue Anak IPA
Gading A
Flash
Bronze
Jujur Untuk Kebenaran Atau Bohong Untuk Pencitraan?
Gita Sri Margiani
Flash
Kafe? Kafe. Kafe!
Adinda Amalia
Novel
Bronze
One Last Cry
Hello Dino
Novel
Gold
I Love Cat
Mizan Publishing
Komik
Pristine Spring
Izumi
Skrip Film
Serendipity
Salma Maydinah
Skrip Film
Kekasih Halu Jadi Nyata (Skrip)
sapriani
Rekomendasi
Cerpen
Yang Tetangkap
godok
Flash
Candala
godok
Novel
Gubuk Tengah Hutan
godok
Cerpen
Figure Skating
godok
Cerpen
Dua Sisi LainNya
godok
Cerpen
Kedai Suram
godok
Cerpen
Kemusnahan
godok
Flash
Nasi
godok
Cerpen
Agnosia
godok
Cerpen
Tuan Kutukan dan Warisan Terakhir
godok
Cerpen
Beras Orang Kaya
godok
Novel
Hunter for The Phantom
godok