Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Yang Tak Pernah Tersembuhkan"
Aku bukan siapa-siapa.
Dan barangkali, aku memang tidak pernah benar-benar ada.
Aku hanya bayangan yang berjalan di antara tubuh-tubuh hidup. Mereka tertawa, mereka berbincang, mereka saling menyapa dan memeluk, seolah dunia ini adalah taman bermain yang tak ada batas bahagianya. Sementara aku... menonton dari jauh, dari sudut-sudut yang selalu dingin. Dari tempat yang tak pernah ada cahaya.
Aku bukan orang suci, aku hanya tumpukan dosa yang menggunung. Dulu aku pernah jadi orang baik, terlalu baik mungkin, hingga dunia mencabik kebaikanku pelan-pelan, tanpa pernah mengembalikannya. Aku diam karena tak ingin menyakiti, tapi diamku malah dianggap salah. Aku menyendiri karena dunia terlalu bising, tapi kesendirianku dianggap penyakit.
Sejak kecil, aku sudah tahu: aku tak seperti mereka.
Aku tidak pandai bercanda. Aku tak tahu caranya mengobrol basa-basi. Aku kaku. Aku bingung bagaimana harus menanggapi pujian, atau menyikapi ejekan. Ketika teman-teman saling menggoda dan tertawa di bangku belakang, aku duduk diam, memeluk buku dan memperhatikan hujan di luar jendela. Bagiku, hujan lebih jujur dari manusia.
Dan dunia tak suka orang sepertiku. Orang-orang tak suka hal yang tak bisa mereka pahami. Maka aku diasingkan, diejek, dijauhi, seperti penyakit yang menular lewat keberadaan.
“Kenapa kamu gak pernah ikut kumpul?”
“Kenapa sih kamu kayak hantu?”
“Kenapa wajahmu kayak gak pernah bahagia?”
Pertanyaan-pertanyaan itu datang seperti jarum, menyayat kecil tapi terus-menerus. Dan setiap aku mencoba menjelaskan, aku malah terdengar lebih aneh. Jadi, lama-lama aku berhenti bicara.
Mereka bilang aku terlalu sensitif. Terlalu lembek. Terlalu aneh. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang pernah duduk di pojok kamar, memeluk diri sendiri sambil bertanya-tanya kenapa rasanya hidup ini begitu berat padahal aku bahkan tidak melakukan kesalahan.
Aku pernah menangis dalam sujud. Bertahun-tahun yang lalu.
Saat malam-malamku masih diisi doa dan harapan, saat aku masih percaya bahwa Tuhan akan mendengar. Aku pernah berbisik, lirih, sambil menggigil:
Tuhan, tolong... aku ingin dimengerti. Aku ingin dicintai walau hanya sekali.
Tapi pagi-pagi setelahnya selalu datang dengan kosong. Dengan sunyi. Dengan tidak ada.
Lalu aku mulai bertanya—bukan karena aku membenci Tuhan, tapi karena aku merasa dikhianati olehNya.
“Kenapa Kau menciptakanku dengan luka, lalu meninggalkanku sendirian untuk menjaganya?”
Aku tahu ini terdengar sesat, tapi apa gunanya iman yang tak pernah dijawab? Aku meminta bahagia, tapi diberi lebih banyak ujian. Aku meminta seseorang yang bisa mendengarkan, tapi yang datang justru lebih banyak mulut yang menghakimi.
Aku ingin mencintai seseorang. Tapi cinta selalu menjauh saat aku mendekat. Mereka bilang aku terlalu serius, terlalu gelap, terlalu ‘bermasalah’. Lalu mereka pergi, satu per satu, tanpa pernah menoleh ke belakang. Katanya, aku membuat mereka lelah.
Lucu. Padahal akulah yang paling lelah.
Hari-hari bagiku bukan soal hidup. Tapi soal bertahan.
Setiap pagi, aku buka mata bukan karena semangat, tapi karena tubuh ini belum mati juga. Setiap malam, aku memejamkan mata dengan harapan semoga besok tidak perlu bangun lagi.
Ada luka yang tak pernah terlihat. Tapi terasa seperti lubang hitam di dada. Menghisap segala yang pernah membuatku ingin hidup: harapan, cinta, bahkan kemauan untuk bicara.
Aku pernah mencoba bercerita. Tapi setiap kali aku membuka mulut, mereka mengangkat alis dan berkata,
> “Ah, kamu terlalu lebay. Semua orang juga punya masalah.”
Kalimat itu seperti belati. Karena aku tahu mereka tak pernah paham apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam kepalaku yang bising ini.
Di dalam kepalaku, selalu ada suara yang berbisik:
> “Kau gagal.”
“Kau menyedihkan.”
“Tak ada yang benar-benar peduli padamu.”
“Tuhan pun tak lagi melihatmu.”
Dan aku percaya. Karena buktinya tak ada yang menyangkal.
Pernah suatu malam, aku berdiri di tepi jembatan kota. Di bawahku, sungai hitam berkilau karena lampu jalan. Angin malam menggigit, tapi tubuhku dingin bukan karena cuaca.
Aku berpikir, mungkin akan lebih baik jika aku hilang.
Tidak ada yang akan kehilangan. Tidak ada yang akan bertanya.
Mereka mungkin hanya akan bilang: “Oh, dia? Kasihan sih, tapi emang dia dari dulu kayak gitu, ya.”
Lalu melanjutkan hidup seperti biasa.
Tapi aku tidak melompat malam itu.
Bukan karena takut mati, tapi karena aku tahu… bahkan kematian pun mungkin tidak sudi menerima jiwa sejatuh ini.
Jadi aku pulang, kembali ke kamar sempit dengan lampu redup, dan duduk di lantai, memeluk diri sendiri. Seperti biasa.
Aku ingat saat kecil, bagaimana aku belajar diam sebelum belajar bicara. Orang tua bukanlah sumber kehangatan, tapi ketegasan dan tuntutan yang tak pernah berujung.
“Aku harus begini, harus begitu.”
Kalimat itu seperti mantra yang terpatri dalam otakku. Jika aku menyimpang sedikit saja, aku dihukum dengan tatapan dingin yang lebih menyakitkan daripada kata-kata.
Aku bertanya-tanya, apakah aku terlahir dengan cacat? Apakah ada yang salah dengan diriku hingga tak pernah ada yang merasa cukup dekat? Di sekolah, aku berusaha keras agar diterima, tapi teman-teman hanya menganggapku bahan tertawaan. Ketika aku berani membuka hati, aku dilukai. Ketika aku memilih diam, aku dianggap aneh dan menyedihkan.
Aku merindukan pelukan, tapi aku takut jika aku meraih, aku justru akan terluka. Aku merindukan teman, tapi aku takut jika aku terbuka, mereka akan mengkhianatiku.
Aku mencoba mencari Tuhan di doa-doaku yang sunyi, berharap ada tangan yang menggenggam tanganku di saat aku jatuh. Namun, suara doa itu seperti terhisap oleh ruang hampa. Tidak ada balasan. Hanya kesunyian yang semakin menyesakkan.
Hari-hariku berlalu dengan gelap yang kian menebal, di mana aku dan bayanganku menjadi satu-satunya teman. Di dalam kamar kecilku yang remang, aku menulis surat-surat yang tidak pernah aku kirim, mengutarakan rasa sakit yang tak pernah bisa kuucapkan.
Aku pernah mencoba melangkah keluar dari kesendirian itu, membuka diri sedikit demi sedikit. Namun, orang-orang malah menjauh, menjadikan aku bahan gosip, atau bahkan menghinaku tanpa belas kasihan. Aku mulai percaya, dunia ini memang tidak ramah bagi mereka yang memilih sunyi.
Malam-malamku kerap diisi dengan pertarungan batin. Antara ingin menyerah dan bertahan. Aku tahu aku lelah, sangat lelah. Tapi entah kenapa, ada api kecil yang tak pernah padam dalam diriku, api yang membuatku tetap bernapas meski rasanya berat.
Aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku akan terus hidup dalam bayang-bayang kesepian ini? Atau aku harus menemukan cara untuk menyembuhkan luka yang tak pernah bisa kutunjukkan?
Namun, aku tahu jawaban itu tidak mudah. Karena dalam luka ini, ada bagian dari diriku yang mulai terbiasa, bahkan takut untuk sembuh. Sebuah paradoks yang membuat aku terjebak dalam keheningan yang panjang.
Aku menulis ini bukan untuk dimengerti. Aku menulis ini untuk tetap merasa ada, meski hanya oleh diriku sendiri. Karena dalam dunia yang penuh penilaian, aku hanyalah bayangan yang mencari sinar.
Malam-malam sunyi menjadi saksi bisu perjuanganku yang tak tampak. Aku menggenggam luka ini erat, membiarkannya menjadi bagian dari diriku yang rapuh dan rawan. Tapi sekaligus, aku berusaha mencari celah kecil untuk berharap.
Aku berharap suatu saat nanti, seseorang akan melihatku bukan sebagai sosok aneh yang harus dihindari, tapi sebagai manusia yang juga ingin dicintai dan dimengerti.
Aku berharap Tuhan yang dulu aku percayai itu kembali hadir dalam hidupku, bukan sebagai hakim yang menilai, tapi sebagai teman yang memahami.
Aku tahu jalan ini panjang dan gelap. Aku tahu aku mungkin akan terus terjatuh dalam bayang-bayang kesendirian. Tapi aku ingin percaya, ada secercah cahaya yang suatu saat akan menyembuhkan luka yang tak pernah tersembuhkan ini.
Aku masih di sini. Meski terluka, meski sendiri, aku masih bertahan. Dan aku akan terus bertahan, walau dunia berkata aku tak akan bisa.
Karena aku percaya, bahkan dalam kegelapan yang paling pekat sekalipun, ada harapan yang menunggu untuk ditemukan.
END....