Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Panggilan terdengar dari tribun. menyampaikan agar siswa siswi segera menuju lapangan karena upacara sebentar lagi akan di mulai. Lapangan perlahan-lahan mulai penuh dengan barisan yang rapi. Anggota OSIS berdiri di pinggir lapangan untuk memeriksa kelengkapan siswa dan mencatat nama yang melanggar. Matahari sangat terik, tidak sedikit dari siswa-siswi yang mengeluh kepanasan, bahkan ada yang sampai tidak sadarkan diri atau memilih meninggalkan barisan karena merasa sudah tidak kuat.
Rena berdiri diantara banyaknya siswa-siswi di tengah lapangan. Ia membungkuk sedikit di belakang temannya untuk menghindari terik matahari. Rena termasuk siswi yang rajin ia tidak pernah absen megikuti upacara. Menurutnya, upacara tidak begitu buruk. Sebab ia bisa melihat seseorang yang berdiri lumayan jauh dari barisannya. Meskipun jauh dan terhalang terik matahari. entah kenapa orang tersebut selalu tampak jelas di penglihatannya. Namun, hari ini ia belum melihat orang itu di barisan yang biasa ia tempati.
Rena mengeluarkan botol minum dari tasnya, meneguknya beberapa kali. Itu cukup mengembalikan sedikit energinya setelah upacara. Rena menatap halaman kosong buku di depannya sambil mendengarkan guru yang sedang menjelaskan materi. Rena bukan hanya tak paham tapi memang tidak ada niat untuk memahami. Ia bukan siswa yang pintar, namun juga bukan siswa yang bodoh, Rena juga bukan orang yang terkenal di sekolanya, ia bahkan hanya dikenal oleh sekelasnya.
Di tengah pelajaran, Rena kembali memikirkan seseorang yang belum ia lihat hari ini. Mungkin izin, atau lagi sakit, pikirnya. Semuanya berawal dari setahun lalu, di hari pertama PLS, saat Rena melihat seseorang yang tanpa permisi memasuki pikirannya. Ia bertemu lagi di kantin, untuk kedua kalinya saat sedang mengantri makanan. Tanpa sengaja, melihat Name tag di bagian kanan bajunya Raden A, jantungnya berdetak lebih cepat. Pikirannya terus-menerus mengulang nama yang baru saja ia baca, tapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Itu pertama kalinya Rena mengetahui nama orang tersebut. Sejak saat itu Rena mengaguminya diam-diam sampai kini ia sudah kelas sebelas semester dua. Tanpa di ketahui oleh siapa pun.
Setelah pulang sekolah, Rena memasuki kamar nya mengganti pakaian sekolahnya dengan pakaian santai. Ia membuka hp dan mengecek beberapa notif yang masuk, menurutnya tidak penting, jadi ia keluar kamar menuju dapur untuk mengambil beberapa cemilan. Sudah sekitar satu minggu sejak ia mulai berani mengikuti akun Instagram Raden, tapi sampai sekarang belum juga di konfirmasi, apalagi diikuti balik, akun itu diatur privat, jadi Rena tidak bisa melihat isinya sebelum disetujui oleh pemiliknya.
Rena berfikir, mungkin Raden hanya menerima pengikut yang di kenalnya saja dan raden jelas tidak mengenal dirinya. Tapi itu tidak masalah bagi Rena. Baginya, dirinya terlalu kecil untuk dikenal seorang Raden.
...
Hari ini hari jumat. Rena hampir saja terlambat, gerbang sebentar lagi ditutup. Ia berlari menuju gerbang dan buru-buru berjalan menuju kelasnya yang berada cukup jauh. Tanpa sadar, ia berjalan beriringan dengan seseorang yang juga datang terlambat seperti dirinya.
Setibanya di kelas, guru yang mengajar jam pertama sudah datang dan sedang mengabsen murid. Jam istirahat tiba, memberi waktu rehat setelah dua mata pelajaran yang cukup melelahkan, Rena bersama ketiga temannya menuju kantin dan makan disana. Ia merasa salah fokus saat mendengar percakapan dua orang di belakang meja mereka. Topiknya sangat familiar, tentang Raden. Rena tidak menangkap semua yang dibicarakan, tapi nama itu cukup membuatnya kembali larut dalam pikirannya sendiri.
Rena melamun memikirkan obrolan yang ia dengar tadi. Katanya, Raden sedang ada masalah. Entah masalah sekolah atau pertemanan, Rena juga tidak begitu paham, dan ia pun tidak berani bertanya lebih lanjut kepada temannya. Pantas saja akhir-akhir ini ia jarang melihat Raden, pikirnya.
Hari-hari berlalu tanpa kejelasan tentang Raden. Beberapa kali Rena melihatnya kembali di sekolah, sekilas. Ia sempat berpikir mungkin masalah Raden telah selesai. Tapi perlahan, Rena menyadari sesuatu: ia hanya melihat Raden sebentar di sekolah lalu menghilang ia sudah sangat jarang terlihat bersama dengan teman-temannya.
Rena tau ada yang berubah dari raden. Tapi ia juga sadar, ia tidak punya hak untuk bertanya.
Suatu siang, saat pelajaran terakhir selesai. Rena dan temannya memutuskan pergi ke perpustakaan untuk mencari buku yang bisa ia baca. Ruangan itu tidak ramai, hanya beberapa siswa yang sibuk dengan buku dan tugasnya masing-masing. Rena memilih meja belakang, dekat jendela, di susul oleh temannya yang duduk di sebelahnya.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan diiringi suara ribut-ribut kecil yang spontan membuat Rena menoleh dari buku yang ia baca. Ternyata suara itu berasal dari beberapa kakak kelas yang mungkin mereka hendak mengerjakan tugas atau sekedar mencari buku di perpustakaan.
Ternyata itu adalah raden dengan teman sekelasnya. Rena kembali berpura pura membaca bukunya. Tapi matanya tidak benar-benar mengikuti kalimat di halaman. Dari sudut pandang tempat duduknya, ia bisa melihat raden yang berdiri di antara rak, membolak balik buku, lalu duduk di salah satu meja yang tak jauh darinya.
Sesekali Rena melirik, tanpa alasan yang jelas. Melihat raden dari jarak sedekat ini, membuat semuanya terasa lebih nyata. Lebih nyata daripada sekedar melihatnya dari dapangan atau lorong sekolah. Tapi tak ada yang terjadi. Tak ada sapa, tak ada tatapan balik, dan tidak ada tanda bahwa Raden tahu dirinya sedang diperhatikan.
Dan Rena tahu, ia tidak akan dapat lebih dari itu.
...
Malam hari, Rena berbaring di tempat tidurnya, namun matanya tak kunjung terpejam. Ia bagun pelan, lalu membuka sedikit jendela kamarnya. Membiarkan angin malam masuk. Langit gelap. Bintang-bintang tidak terlihat jelas, tertutup oleh kabut tipis yang menggantung di udara.
Rena berjalan menuju meja belajarnya dan duduk. Ia membuka buku harian yang selalu menemaninya selama ini. Hening. Lalu tangannya mulai menggores halaman kosong, perlahan.
"aku tidak tahu kamu lebih dekat, tidak tahu ceritamu. Tapi aku selalu merasa jantungku berdetak lebih cepat saat melihatmu bahkan tanpa sengaja. Tak jarang aku mencarimu di kerumunan orang, hanya ingin melihatmu dari jauh."
Itu adalah pertama kalinya Rena menulis tentang Raden di buku hariannya. Kalimat itu ia tulis tanpa harapan akan dibaca oleh siapa pun. Itu hanya untuk dirinya sendiri, untuk menenangkan isi kepalanya setiap kali nama Raden lewat di pikirannya.
...
Hari-hari setelahnya terasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Ujian sekolah mulai berlangsung, dan persiapan perpisahan membuat suasana sekolah semakin sibuk. Termasuk Rena, yang mulai jarang melihat raden karena pokus menghadapi ujian kenaikan kelas.
Namun bukan berarti ia benar-benar mengabaikan Raden.
Lapangan dihias dengan panggung kecil di tengah. Musik mengalun dari pengeras suara, dan balon balon mengambang cerah tertiup angin. Perpisahan kelas dua belas telah tiba dengan sederhana tapi cukup ramai. Semua siswa-siswi kelas dua belas berkumpul di lapangan sedangkan yang lain berada di pinggir lapangan menyaksikan kegiatan tersebut. Siswa-siswi terlihat tertawa dan berpoto untuk mengabadikan momen terakhir mereka di bangku SMA.
Rena berdiri diantara kerumunan. Ia hanya penonton di acara itu. Tetapi matanya pokus pada satu titik.
Raden.
Ia mengenakan jas biru tua dengan dasi abu-abu. Wajahnya tenang sedikit lebih damai. Raden berdiri bersama teman-temannya, mengobrol, tersenyum kecil hingga tertawa.
Rena tahu, ini terakhir kalinya ia akan melihat Raden. Terakhir kalinya berada di tempat yang sama. Setelah itu Raden akan pergi yang mungkin tidak bisa Rena jangkau meskipun dari kejauhan.
Acara berjalan lancar. Ada sambutan, ada tawa. Lalu satu persatu naik ke panggung. Matahari sore memantul menyoroti mereka seperti memberikan salam perpisahan.
Setelah acara selesai, semua menjadi ramai. Suara tangis, pelukan, kamera di mana-mana. Tapi Rena tidak ikut mendekat. Ia berdiri dari jauh, berlindung di bawah pohong dekat pagar sekolah. Ia manatap raden, menghapal langkahnya, senyum kecil yang muncul sesekali. Ia menatap seseorang yang tak pernah tahu bahwa selama dua tahun, ada sepasang mata yang selalu mencari keberadaannya, Raden tidak pernah tahu bahwa selama ia di sekolah ada seseorang merasa senang saat melihatnya.
Saat Raden dengan temannya mewati lapangan. Mata mereka bertemu. Hanya sepersekian detik. Tidak ada senyuman, ataupun sapaan.
Tapi bagi Rena, itu cukup.
Rena tau, ia tidak akan pernah menjadi bagian dari cerita Raden. Tapi Raden adalah bagian dari perasaan yang akan ia kenang suatu saat nanti. Bukan sebagai cinta yang gagal, tapi sebagai diam yang utuh.
...
Sehari setelah perpisahan. Rena kembali ke sekolah. Suasana jauh lebih sepi, tidak ada lagi keramaian kelas dua belas. Tidak ada lagi raden.
Rena melangkah ke perpustakaan tempat terakhir dimana ia merasa begitu dekat. Rak buku masih sama, ia duduk di meja dekat jendela yang dulu sering ia tempati, lalu menoleh ke arah meja yang pernah di tempati Raden.
Kosong.
Dan Rena tahu meja itu tidak akan pernah di tempati raden lagi, bahkan untuk sekali saja.
Rena kembali ke kelasnya.,bergabung dengan teman-temannya. berusaha mengisi ruang kosong yang entah mengapa begitu terasa meskipun tidak terlihat.
Di kamarnya sore itu, Rena membuka Instagram. Jari-jarinya menuju akun yang masih dikunci, permintaannya untuk mengikuti belum juga dikonfirmasi.
Tanpa keraguan, Rena mengetuk tombol "batal ikuti".
Bukan karena marah atau kecewa. Tapi karena ia tahu, ceritanya sudah selesai.
Tidak ada lagi yang harus di tunggu. Tidak ada lagi pencarian diam-diam di tengah kerumunan. Tidak ada lagi pencarian di barisan upacara. Tidak ada lagi jantung yang berdebar hanya karena melihat sosok yang berdiri beberapa meter darinya.
Untuk yang terakhir kalinya, Rena menulis tentang Raden di buku hariannya.
"Terima kasih, Raden.
Terima kasih sudah mampir di hari hariku, meski hanya sebentar dan jauh.
Terima kasih sudah menjadi bagian dari cerita masa sekolahku,
dan diam-diam membuat ku semangat datang ke sekolah setiap senin pagi.
Kamu tidak pernah tahu, kamu pernah jadi alasan kecilaku tersenyum."
Tangannya berhenti. Ia menatap tulisan itu sejenak lalu menghela nafas panjang.
Rena menutup bukunya perlahan. Dan sore itu, segalanya tidak benar-benar berakhir, tapi cukup untuk tidak di lanjutkan.