Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Yang Penting Bisa Hidup
Pagi itu, kabut masih menggantung di atas Sungai Katung yang lebarnya tiga kali lapangan bola yang ditarik memanjang. Airnya berwarna cokelat keemasan, memantulkan cahaya mentari yang malu-malu menembus sela daun rumbia di tepian. Suara burung enggang terdengar jauh, bersahutan dengan dentuman kapak kayu dari arah hutan.
Di situlah Balik berdiri di atas perahu besar, bersama saudaranya yang lebih tua, Otong. Mereka baru saja selesai mengikat sepuluh batang balok belian; kayu yang terkenal paling keras dan paling mahal di kampung itu. Batang-batang itu tersusun rapi seperti barisan pasukan yang siap berangkat perang.
“Sepuluh batang, Tong. Kalau satu batang harga pasarannya seperti sekarang tiga ratus ribu, berarti kita dapat tiga juta,” kata Balik sambil tersenyum penuh harap. “Bisa beli beras satu karung, minyak, garam, sama baju buat Bapak.”
Otong hanya mengangguk. Ia tidak menimpali. Sudah lama ia hidup di dunia yang tahu persis bahwa harga di kampung bukan urusan logika, melainkan urusan siapa yang punya toko, siapa yang punya perahu, dan siapa yang punya kekuasaan.
“Balik, jangan banyak hitung dulu. Kau kan tahu, yang beli cuma satu orang: si Tauke Laukose. KaLaukose dia bilang segitu, ya segitu,” katanya akhirnya, lirih tapi tegas.
Balik meringis. “Tapi kan nggak adil, Tong. Kayu kita bagus, lurus semua, berasal kayu tebelian besar. Nggak kayak punya orang sebelah yang bolong-bolong masih dibeli juga. Masa harga sama?”
Otong menarik napas panjang. “Dunia ini jarang adil, Lik. Kau masih SMA, belum banyak tahu.”
Namun, Balik tidak mau menyerah pada logika tua itu. Ia baru pulang dari kota karena libur sekolah. Di sekolahnya, ia sudah belajar soal hak dan kewajiban, kejujuran, harga pasar, dan segala teori yang terdengar indah di buku-buku Ekonomi kelas sebelas.
Ia ingin membuktikan bahwa kejujuran bisa hidup di kampung, waLaukose tanpa listrik dan Wi-Fi. Mereka pun berangkat ke arah hilir, menuju toko terapung milik Tauke Laukose, satu-satunya tempat jual beli di sepanjang sungai itu.
Toko Tauke Laukose berdiri di atas tongkang besar, beratap seng, dan dipenuhi tumpukan karung serta drum minyak. Dari jauh sudah terlihat papan namanya yang agak miring:
“Toko Laukose Sekeluarga; Menjual dan Membeli Segala Macam Barang.”
Tapi semua orang tahu, kata “segala macam barang” di situ maksudnya: barang dari rakyat murah, barang ke rakyat mahal.
Begitu perahu Balik dan Otong menepi, Tauke Laukose yang bertubuh gempal keluar sambil menggoyang sandal jepitnya.
“Eh, Otong datang! Bawa apa hari ini?” serunya dengan logat Dayak yang kedengaran sangat totok
“Kayu belian, Ke. Sepuluh batang, ukuran sepuluh kali sepuluh, empat meter,” jawab Otong sopan.
Balik berdiri di belakangnya, menatap wajah tauke itu dengan mata tajam seperti anak macan lapar.
Tauke Laukose mengelus dagu. “Haiyaaa, Kayu belian, ya. Banyak juga orang kirim balok kayu tebelian hari ini. Tapi pasaran sedang turun, ah. Aku cuma bisa bayar seratus ribu saja satu batang.”
Balik langsung melangkah maju. “Seratus ribu? Tapi minggu lalu tetangga kami jual tiga ratus ribu per batang!”
Tauke tertawa pendek, seperti mendengar lelucon. “Itu minggu lalu, ah! Sekarang harga turun! Kamu mau jual, jual. Nggak mau, simpan aja di rumah buat tiang bendera!”
Tentu saja Balik tersinggung, darah mudanya dan rasa keadilannya bergejolak. Ia menggertakkan gigi. “Tauke main harga sendiri! Kami capek bawa dari hulu, ngapung semalam suntuk, mana makan pun cuma singkong. Masa cuma seratus ribu?”
Otong mencoba menenangkan. “Sudah, Lik. Jangan ribut di tempat orang. Kalau harga segitu ya sudahlah”
Tapi Balik sudah kepalang basah. Ia merasa darah mudanya menuntut keadilan. “Bapak saya bilang, rezeki itu jangan dimakan sendiri. Tapi Bapak makan rezeki orang lain, Tauke!”
Tauke Laukose memerah mukanya. “Apa kau bilang, ha?! Kurang ajar! Anak ingusan berani ajar aku dagang, ha?!”
Tanpa aba-aba, tangan besar tauke itu melayang menampar pipi Balik. Suara “plak!” terdengar keras di antara gemericik air sungai.
Sungguh Balik tidak mengira tauke itu menamparnya, sehingga dia tidak sempat menghindar, dia terhuyung, tapi tidak jatuh. Matanya berkilat. Ia ingin membalas, tapi Otong segera menahan lengannya.
“Sudah, Lik! Jangan! Kita pulang saja!”
Namun keadaan berubah cepat. Dari dalam toko, muncul dua anak laki-laki Tauke Laukose. Yang pertama, Lenson, anak bungsu yang baru pulang dari Hongkong, seorang Mafia yang masih aktif.
Dia memakai celana pendek mahal dan rantai emas di lehernya. Yang satu lagi, si menantu tauke, membawa mandau di tangan.
“Ayah, siapa anak kurang ajar ini?” teriak Lenson.
“Dia mau ajar aku dagang!” jawab sang ayah dengan marah.
Tanpa pikir panjang, menantu tauke menghunus mandau dan maju ke arah Balik. Melihat itu, Balik mundur, sementara Otong berusaha berdiri di tengah. Tapi suasana sudah meledak.
“Lepas! Biar aku ajar dia sopan!” teriak Lenson lagi.
Tiba-tiba Lenson mengambil senapan lantak, senapan tradisional untuk berburu babi, yang tergantung di dinding toko.
Balik sadar ia tak punya waktu. Ia menatap air sungai yang bergelombang di belakangnya, lalu meloncat tanpa pikir panjang.
Byuuur!
Air yang dingin menusuk kulit, tapi ia terus menyelam dalam dan berenang sekuat tenaga di dalam air sungai dan mengarah ke arah hilir. Di belakangnya terdengar suara letusan senapan dan peluru yang memercikkan air.
Balik tidak berhenti. Ia terus berada di kedalaman dan berenang ke arah seberang, tempat yang belum ada rumah, hanya hutan lebat. Sungai itu lebar, mungkin tiga ratus meter, tapi semangat hidup lebih lebar dari rasa takut.
Setelah hampir setengah jam berenang, Balik akhirnya mencapai tepi seberang. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar, tapi hatinya tetap membara. Ia duduk di bawah pohon meranti, menatap ke arah seberang sana, tempat toko terapung itu kini tampak kecil seperti mainan.
Ia baru sadar, bajunya sudah sobek, dompetnya tenggelam, dan kakinya lecet karena tersangkut akar kayu air. Tapi anehnya, Balik justru tertawa pelan.
“Kalau tabiat Laukose hidup cuma begini, ya sudahlah. Yang penting saya masih bisa hidup,” katanya pada diri sendiri.
Ia pun berjalan menembus hutan menuju kampung. Suara serangga, daun kering, dan percikan air rawa mengiringi langkahnya. Ia merasa seperti tokoh dalam buku petualangan yang sering ia baca, hanya saja kali ini bukan fiksi. Ini hidupnya sendiri.
Sementara itu, di toko terapung, Otong menunduk dalam-dalam. Ia meminta maaf kepada Tauke Laukose berkali-kali. “Anak itu masih sekolah, Ke. Masih darah muda. Janganlah Tauke ambil hati. Maafkanlah dia.”
Tauke mendengus, tapi akhirnya mengibaskan tangan. “Lain kali bawa orang lain. Aku tak mau urus anak kurang ajar begitu. Sok bicara keadilan, sok mengerti HAM.”
Setelah suasana agak reda, Otong pulang ke kampung. Satu jam kemudian, ia menemukan Balik duduk di tangga rumah dengan wajah kusam dan mata masih merah.
“Balik! Kau hidup juga, rupanya,” katanya setengah lega, setengah marah.
Balik hanya mengangguk. “Aku berenang, Tong. Kalau aku nggak loncat tadi, mungkin sekarang sudah jadi berita di koran: Anak Kampung Ditembak di Sungai.”
Otong duduk di sebelahnya. “Kau itu nekat. Orang kota bikin kau jadi terlalu percaya teori keadilan.”
Balik menatap kosong. “Aku cuma mau adil, Tong. Apa salahnya?”
Otong tersenyum getir. “Bukan salah. Tapi di kampung, adil itu barang langka. Kalau orang punya uang, dia benar. Kalau dia punya toko, dia jadi raja. Kalau punya senapan, dia jadi hukum.”
Ia menghela napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara pelan tapi dalam, seolah menuturkan kebenaran yang sudah lama membatu di hatinya.
“Balik, kita ini cuma rakyat kecil. Kalau ada emas dan minyak di tanah kita, katanya itu milik negara. Tapi kalau ada ganja di tanah kita, kita ditangkap. Padahal dua-duanya tumbuh di tanah yang sama. Kalau negara mau adil, emas dan ganja itu sama-sama hak negara. Tapi nyatanya? Emas diambil, ganja bikin orang masuk penjara.”
Balik terdiam. Ia baru sekarang benar-benar paham perbedaan antara pelajaran sekolah dan kenyataan di lapangan. Ternyata hidup lapangan tidak sama dengan teori di bangku sekolah.
Otong melanjutkan, “Orang tua kita nggak boleh kerja lagi karena umur lewat empat puluh. Mau daftar kerja, disuruh punya tampang menarik dan tinggi minimal seratus tujuh puluh. Lah, kalau orangnya pendek tapi rajin, apa dosanya?”
Balik mengangguk pelan. “Lalu apa gunanya sekolah, Tong?”
“Gunanya? Supaya kau tahu bahwa dunia ini memang tidak seperti di buku. Tapi kalau kau pintar, setidaknya kau bisa memilih cara hidupmu sendiri. Itu saja.”
Balik menatap kakaknya lama. “Tapi bagaimana dengan bantuan dari pemerintah? Katanya ada bantuan sosial, BLT, PKH…?”
Otong tertawa, pahit sekali. “Ah, itu juga mainan. Banyak yang dapat justru orang yang punya mobil. Yang betul-betul miskin malah tidak. Kadang bantuannya jadi modal orang buat main judi online.”
Balik menunduk. “Berarti... tidak ada yang peduli dengan kita, ya, Tong?”
Otong menghela napas panjang. “Mungkin ada, tapi tidak cukup banyak. Jadi, yang penting sekarang, bukan soal adil atau tidak. Yang penting bisa hidup.”
Malam itu, ibu mereka menanak nasi dari beras terakhir di karung. Lauk hanya ikan sungai yang diasap. Bapak duduk di depan rumah sambil merokok daun pisang kering.
Ketika Balik menceritakan semuanya, Bapak hanya mengangguk pelan. “Kau sudah belajar hal penting hari ini, Nak. Bahwa tidak semua orang menghargai kerja keras. Tapi itu tidak berarti kau berhenti jujur.”
Balik menghela napas. “Tapi rasanya percuma, Pak. Orang jujur malah dimarahi, ditampar, hampir ditembak.”
Bapak tersenyum kecil. “Kau masih muda. Dunia memang kejam, tapi kalau kita berhenti jadi manusia baik, maka dunia akan kehabisan manusia baik. Jadi tetaplah jujur. Walau cuma satu batang kayu yang kau jual, asal halal, itu sudah cukup.”
Ibunya menambahkan, “Yang penting bisa hidup, Balik. Bisa makan, bisa tertawa, bisa saling sayang. Rezeki itu bukan cuma uang.”
Balik menatap keluarganya; wajah mereka lelah, tangan mereka kasar, tapi matanya hangat. Ia merasa malu karena sempat ingin menyerah.
Lima tahun berlalu. Sungai Katung masih mengalir, tapi toko terapung Tauke Laukose sudah berubah jadi toko beton di tepi sungai. Balik, kini bukan anak SMA lagi. Ia lulus kuliah jurusan Kehutanan berkat beasiswa kecil dari gereja dan kerja paruh waktu sebagai penebang kayu legal.
Suatu hari ia kembali ke kampung. Ia membawa sebuah proposal usaha: ingin membuka koperasi hutan rakyat, tempat warga bisa menjual hasil hutan dengan harga yang wajar, tanpa tergantung pada satu tauke.
Otong menatapnya kagum. “Kau serius, Lik? Ini bisa bikin orang kampung hidup layak.”
Balik tersenyum. “Aku belajar, Tong. Kalau keadilan tidak bisa dicari, kita bikin sendiri.”
Mereka pun mulai bekerja. Perlahan, warga kampung bergabung. Mereka belajar menanam pohon, menebang dengan izin resmi, dan menjual kayu lewat koperasi. Harga memang belum tinggi, tapi setidaknya tidak ada lagi yang ditampar karena menawar.
Suatu siang, ketika Balik duduk di tepi sungai menatap arus yang dulu pernah hampir menelannya, ia tersenyum kecil.
“Yang penting bisa hidup,” gumamnya lagi, kali ini bukan dengan putus asa, melainkan dengan syukur.
Otong datang membawa dua gelas kopi hitam. “Kau tahu, Lik, aku dulu pikir kau cuma anak nekat. Tapi sekarang aku tahu, orang nekatlah yang bikin dunia bergerak.”
Balik tertawa. “Aku nekat karena waktu itu lapar, Tong. Kalau tidak lapar, mungkin aku diam saja.”
Otong ikut tertawa. “Ya, lapar memang guru paling jujur.”
Mereka berdua diam sejenak, menatap sungai yang perlahan mengalir membawa pantulan cahaya senja.
Dunia memang tidak pernah sepenuhnya adil. Kadang orang baik kalah, kadang orang jahat untung. Tapi selama manusia mau hidup, mau bertahan, mau berbuat sesuatu yang lebih baik, dunia masih punya harapan.
Balik belajar bahwa hidup bukan soal berapa uang di tangan, tapi bagaimana cara kita tetap manusia meski dunia memperlakukan kita seperti tidak penting.
Dan di antara gemericik air Sungai Katung yang abadi, suara tawa dua saudara itu menggema, seperti doa sederhana:
“Yang penting bisa hidup.”
***