Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kami memang sama tapi konsep kehidupan kami tidak.”
“mas, abang” panggil seorang wanita dari arah dapur. Suara goresan piring dengan piring mulai terdengar di telinga Samudra dan Samuel. Mereka berlari menuju arah meja makan, duduk bersama Dirga yang sedang sibuk dengan koran.
“yah, ayah tau ga kalau kemarin Samudra dapat juara kelas. Ayah bangga tidak punya anak kaya Samudra”
mendengar pernyataan dari anaknya, Dirga langsung menutup korannya dan langsung menggendong Samudra melambung lambungkannya ke atas langit langit rumah, menciumnya layak saat ia masih bayi.
“Bangga dong, anak ayah kan Hebat” puji Dirga
Samudra sangat suka dipuji oleh ayahnya, sebab itu adalah satu satunya cara agar semangat Samudra membara lagi untuk belajar. Namun berbanding kebalik dengan saudara kembarnya, Samuell. Ia terkenal menjadi anak yang nakal dan suka membangkang. Meskipun mereka masih berusia delapan tahun tak jarang pihak sekolah selalu memanggil orang tua Samuel ke sekolah entah diberi peringatan atau pun saran agar Samuel berubah.
Dirumah Dirga dan Soya memperlakukan Samudra dan Samuel sangat berbeda padahal mereka adalah saudra kembar, dimana kebanyakan orang yang memiliki anak kembar akan selalu menyamaratakan semua tetang kehidupan mereka. Dirga dan Soya lebih Sayang kepada Samudra sebab ia anak yang pintar dan penurut, dari ia balita sampai ia menjadi anak anak Samuel lah yang harus mengalah dari adiknya itu.
“bang el, tolong ibu angkat jemuran. Ibu sibuk mengajari mas Samudra matematika ini nak”
Samuell dulu hanya bisa menuruti perkataan soya dan Dirga sebab dulu jika tidak melalukan semua perkataan ibu dan ayah, Samuel tidak akan diberi makan yang lebih parah biasanya Samuel disuruh tidur dikamar mandi oleh Dirga.
Seiring berjalannya waktu mereka tumbuh dan berkembang dengan pikiran dan perilaku yang berbeda. Samuel sangat tidak akrab dengan saudara kembarnya itu sebab Samulel selalu menggap Samudra sebagai musuhnya sendiri begitu pula dengan Samudra, ia juga menganggap Samuell sebagai musuhnya. Pernah suatu ketika saat mereka diajak berbincang bicang perihal ingin melanjutkan sekolah dimana, dengan antusias Samudra langsung memilih sekolah menengah pertama yang terbaik dan memiliki akreditasi yang sangat bagus sedangkan Samuell hanya diam mendengarkan obrolan mereka.
“el, kamu gimana? Nilai kamu bisa buat kamu masuk sekolah negeri ga?”
“yah, pertanyaan Samuell Cuma satu. Kalau aja Samuel bisa masuk ke sekolahan negeri ayah mau biaya in sekolah Samuel enggak?”
Mata Soya melotot, ia terkejut anak pertamanya melontarkan kalimat itu. “Bang el, kok ngomongnya gaya gitu?. Ibu sama ayah masih orangtua kamu, sudah jadi kewajiban kami membiayai hidup mu bang”
“loh iya to buk, Samuell pikir dari aku kecil sampai sekarang aku ini pembantu kalian sedangkan Samudra itu anak kalian.”
“el, jaga omongan lu ya. Gua juga bantu in pekerjaan ibu dirumah ini” bentak Samudra
“Sekarang gua tanya, kapan lu punya waktu dirumah selain malam?. Setiap hari lu berangkat les sana sini sedangkan gua aja Cuma dikasi tempat les sama ayah. Asal lu tau, dari dulu gua yang selalu ada buat ibu dan ayah tapi mirisnya kalian lebih sayang sama anak yang ga selalu ada saat susah.”
“itu karena lu bodoh, ayah lebih mentingin gua karena gua pinter”
Meledak, amarah yang Samuel tak bisa ditahan lagi. Ia menggeret tubuh adiknya itu ke kamarnya dan mendorongnya ke etalase piala piala samudra yang ia dapatkan saat pertandingan basket.
“Bodoh?” tanya Samuel keras kepada Samudra
“Mana hasil lu les sana sini, gua hitung hitung ada 5 tempat les les an? Ada hasilnya ga, oh iya lupa. Hasilnya kan Cuma ada dirapot ya”
Dirga membabi buta, langkah sangat cepat menghampiri kedua anaknya itu. Ia mendorong Samuell dari arah belakang, Samuell terjatuh tepat disamping saudaranya Samudra. Samuell terkena tendangan dari Dirga dan sebagaikan tubuhnya terasa sangat sakit.
“berani beraninya kamu geret anak saya? Kamu pikir kamu siapa, kamu itu sudah tau kalau kamu itu pembantu dirumah. Kalau saja kamu tidak menjadi pembantu dirumah ini tidak mungkin saya sekolahkan kamu, buang buang uang saya saja. Dan juga ingat bahwa kamu itu bodoh, setidaknya kalau bodoh itu sadar diri. Memang saya kurang membelikan banyak cermin dikamar mu?, untung saya mau mempungutmu kalau tidak kamu sudah mati dijalan” suaranya pelan namun sangat terngiang ngiang di telingan dan otak Samuell.
“berarti anak kesayangan ayah ini juga anak pungut dong, syukur setidaknya aku tidak sendiri yang dipungut dirumah ini”
“jaga omongan kamu Samuell”
“ngapain ayah repot repot berdebat dengan ku? Aku ini bercermin dari sikap ayah. Jadi jangan marah kalau saja AKU ANAK PUNGUT AYAH ini menirukan sikap ayah yang kurang ajar itu, apa yang aku lihat akan aku contoh”
“PRAKKK” tangan Dirga melandas tepat dipipi Samuell lalu ia pergi dengan menggandeng tangan Samudra dan mengunci kamar Samuell dari luar. Melihat sikap Dirga dan Samudra, ia hanya bisa menghela nafas panjang. Ia berbaring diatas dinginnya lantai, memandangi langit langit atas rumah.
Tiba dimana hari pendaftaran sekolah menengah pertama Samuell dan Samudra, mereka ditemani oleh Dirga dan Soya. Sampai dimana, Samuell dan Samudra harus pergi keruang Tes pengetahuan akademik. Sebelum Samudra membalikkan badannya untuk pergi Dirga mencium kening anak keduannya itu. Memberikan semangat penuh dukungan untuk Samudra sedangkan Samuell hanya diam memaku sembari menunggu kepergian Samudra.
Beriringan mereka berjalan menyusuri sekolah yang mungkin mereka akan bersekolah disana. Satu jam berlalu namun dibalik wajah mereka ada cerita yang Samudra sembunyikan. Ternyata Salah Satu dari mereka mendapat masalah akibat kesalahannya sendiri dan diketahui oleh guru pengawas disana. Samuell dan Samudra berdebat, mereka saling menuduh satu sama lain agar salah satu dari mereka jatuh dan tidak bisa bangun lagi.
“saya tidak mau tau, kalian berdua keluar dari ruangan ini” bentak guru pengawas mereka.
“Tapi, saya tidak bersalah sama sekali. Dia ” bela Samudra
“Apa hak mu berbicara seperti itu? Sudah jelas tadi ibu melihat kalian berdua menukar lembar jawaban”
“sumpah bu, saya ga bohong”
“dia yang nyontek bu, lembar jawaban saya dirampas. Bahkan saya diancam, kalau memang saya bersalah silahkan ibu langsung mencoret nama saya dari sekolahan ini” ucap datar samuell
“Sudah sana kalian, ke ruang Tu dan minta vidio cctv ruangan ini” suruh guru pengawas
Tak lupa guru pengawas juga meyuruh salah satu kakak osis untuk mengarahkan mereka ke ruang TU sekaligus menjelaskan apa yang menjadi kendala mereka.
Pada saat mereka melihat CCTV terbukti bahwa Samudra melakukan kesalahan fatal yang membuat namanya dicoret oleh pihak sekolah hingga ia tak bisa bersekolah disana. Sedangkan Samuell masih diberi kesempatan untuk bersekolah disekolah yang Samudra dulu inginkan, Samuell segera kembali keruang Tes dan melanjutkan tes yang ia lakukan.
Masa tes sudah selesai, dan semua anak anak sudah keluar dari runganya masing masing. Namun saat Samuell keluar dari ruangan, ia ditarik oleh Samudra yang sedari tadi menunggunya didepan ruangan. Ia menggandeng Samuell kearah toilet.
“gua mohon, lu ngalah sama gua. Lu ga berhak sekolah disini, gua mohon kalau lu lolos dan masuk sekolahan ini biar gua aja yang sekolah disini”
“kenapa? Otak lu ketinggalan kah di kelas tadi? Kalau gua ga mau gimana? Lu takut sama ayah? Lu takut kasih sayang ayah pindah ke gua?’
“gua mohon, gua akan melakukan apapun yang lu mau seumur hidup tapi biar in gua sekolah disekolahaan ini” kaki Samudra tak kuat lagi meyangga badanya ia berlutut dihapadan Samuell.
“baik, lagi pula gua juga ga minat disekolahan ini. Ngapain juga gua sekolah disekolahan yang ga gua mau, buang buang waktu. Mending cari duwit. Gua setuju tapi yang lu bilang tadi bukan syarat yang gua mau, tenang gua ga sejahat lu kok. Syarat yang gua ajukan adalah bikin ayah dan ibu sayang banget sama gua dalam waktu seminggu, pas sekali dimana hari pengumuman tes. Kalau lu gagal, sorry kesempatan tidak datang dua kali”
“oke, gua setuju”
Samuell mengulurkan tanganya pada Samudra, membantunya bangun dari jatuhnya itu. Samuell rela kehilangan sekolah yang sebenarnya ia impi impikan dari dulu demi ia bisa mendapatkan kasih sayang dati orang tuanya. Saat mereka menghampiri kedua orang tua mereka yang menunggunya di lapangan sekolah.
“ yah anak ayah. Gimana nak tes nya? Mudahkan ayah yakin anak ayah ini pasti lolos”
“a-a-aman kok yah” ucap ragu Samudra
“aman kan bang ell” lanjutnya mengajak Samuell menimbrung pembicaraan Samudra dan Dirga.
“aman yah, aman banget malah” balas Samuell
Namun Dirga tidak menanggapi omongan Samuell, ia mengajak masuk Samudra kedalam mobil rencana dirga akan mengajak keluarga kecilnya makan di tempat kesukaan Samudra namun Samudra menolak keras, ia takut eksepetasi ayahnya menjadi lebih tinggi lagi.
Seminggu berlalu, hari ini adalah hari yang ditunggu tunggu oleh Samuell yaitu hari pengumuman hasil tes yang telah ia laksanakan minggu lalu. Sesuai dengan apa yang Samuell dan Samudra sepakati dulu, ternyata Samudra tidak bisa meyelasaikan syarat yang diajukan oleh Samuell. Dirga dan Soya masih bersikap cuek dan tidak mau tau tentang apapun tentang Samuell. Pada saat malam hari sebelum hari pengumunan tes, Samudra pergi kekamar Samuell.
“Ngapain lu?”tanya Samuell yang melihat Samudra masuk kekamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“gua mau ajak lu negosiasi” tawar Samudra
“ga bisa, gua sibuk” jawab Samuell ketus
“halah, Cuma baca buku doang sibuk. Sejam gua udah tamat in buku ini, ayolah. Pertama dan terakhir aja”
“pantes aja tuhan kasi lu hukuman kaya gini, lu coba ngaca sana. Ngaca, sadar diri bahwa lu terlalu meninggikan diri lu sendiri yang terlalu rendah itu. Membanggakan, menyombongkan diri seakan diri lu sendiri yang paling hebat didunia ini, seakan lu yang paling terbaik didunia. Ga ada kesempatan kedua disini, dari dulu gua udah bilang bahwa didunia ini tidak ada yang namanya nomer dua yang ada adalah nomer satu, pertama atau ke tiga, terakhir. Sesuai kesepakatan bersama, tidak ada kesempatan nomer dua.”
“Selamat atas kegagalan anda” lanjut Samuell
“gila, parah lu. Sama saudara sendiri ngomong kaya gitu” samudra tak terima atas omongan Samuell, ia perlahan mendekati badan Samuell yang tersender di bahu tempat tidurnya.
“mundur in badan lu, gua selalu memperlakukan orang sesuai apa yang mereka lakukan kepada gua. Apa yang gua lakuin ke lu itu adalah perlakuan yang lu lakuin kepada gua bahkan lebih parah, emang karna Cuma perasaan gua aja yang ga tegaan jadi gua lebih perhalus aja. Dan pertanyaan yang belum pernah bisa dijawab oleh pikiran gua adalah bagaimana cara gua bisa jadi lu. Lu itu sempurna, tapi lu bodoh. Punya kasih sayang ayah ibu, support dari mereka, tiap hari dapat ciuman dari mereka, bisa makan masakan ibu setiap saat, gua dapat apa? Lu coba mikir, selama gua hidup gua dapat sia sia dari lu. Setidaknya mikir kocak, gua ngomong kaya gini bukan berari gua merasa paling tersakiti tapi biar pola pikir li terbuka bahkan kalau bisa tidak bisa ditutup lagi. Belajar bagaimana dewasa sam, kalau ayah masa ibu mati lu berdiri dikaki siapa? ” akhirnya, setelah sekian lama mereka memanggil nama satu sama lain
“ngaco lu” balas santai samudra
“Bahkan bacotan yang gua keluarin untuk membuka pola pikir lu tidak bisa diterima maknanya, ngomong sama lu itu rugi apa lagi hidup selamanya bareng lu bisa bisa bangrut. Mau segimana pun gua bacot sana sini ga bakalan masuk kalau lu ga mau ngosong in gelas yang lu punya, percuma. Selain lu lihat banyak piala dan mendali dibelakang lu, coba lihat rak disamping. Baca tu semua buku, biar lu paham apa yang gua matsud”
“loh, kapan lu punya banyak buku sebanyak ini. Enak ya lu bisa habisin uang ayah” Samudra membalikan bandanya dan berjalan menuju rak buku yang dimatsud oleh Samuell”
“enteng banget mulut lu, di dalam konsep kehidupan ayah gua ini Cuma sampingan dan uang yang diberi ayah ke gua itu buat sekolah, makan, dan bayar club basket. Gua kerja boss, buat dapat in buku mendali, piala yang lu pegang itu”
“kalau gua jadi lu, bisa aja gua beli buku dan ikut pertandingan basket sana sini dari hasil kerja keras dan gua ubah kerja keras ayah jadi rasa bangga dia ke gua. Sayang tapi, hidup gua ga seberuntung lu”