Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pukul 1 berdetak
Lampu dimatikan. Hampir di seluruh ruangan. Pesta baru saja surut, riuh seanak-cucu yang tadi menghangat di seisi rumah menyusut seiring menghilangnya mereka ditelan pintu-pintu kamar. Hanya satu lampu yang masih menyala. Lampu kamar dua sejoli tua.
“Pak, bisakah aku menunda waktu tidurmu sekejap?” Mak duduk di sisi kanan Pak, di atas ranjang yang telah mereka tiduri sejak 50 tahun lalu.
“Tentu, bahkan jika kau meminta aku untuk tidak tidur pun, aku tidak keberatan, kekasihku,” jawab Pak. Selalu manis bahkan setelah 50 tahun mereka bersama tak pernah kurang manisnya.
“Kupikir, kau akan menarik ucapanmu tadi, setelah aku bicara,” sahut Mak, kemudian matanya menatap mata Pak serius dan dalam. Tak pernah sedalam ini bahkan selama 50 tahun mereka bersama.
Pak mengerutkan kening. Keriputnya bertambah mengenaskan. Rasanya, kulit putih itu hampir saja tekelupas dari tulang-tulangnya yang renta.
“Ada apa, Kekasihku?” suaranya mengandung sendu, ragu, dan takut. Pikiran Pak melayang jauh. Terdengar dari getaran di tenggorokannya yang tiba-tiba kering. Pak tercekat dalam firasat yang tiba-tiba tidak enak yang bahkan tak pernah datang selama 50 tahun mereka bersama.
“Maukah kau berjanji sebelum kuutarakan yang sebenarnya?” Mak tetap dengan suaranya yang halus namun tegas.
“Berjanji?”
“Untuk tidak menangis,” jawab Mak cepat sebelum Pak mengeluarkan kata lainnya.
Pak hanya mengangguk. Sebelumnya tidak pernah ia membisu di depan Mak. Namun firasatnya terasa semakin kuat mendorong pada suatu lingkaran yang tidak mengenakan. Ada apa? Pak semakin berdebar jantungnya. Baru saja pesta ulang tahun pernikahan mereka yang ke 50 dirayakan semarak bersama anak-cucu tapi seakan tidak tersisa sedikitpun segala semarak yang tadi. Habis diserap takut-takut yang kini memeluknya bersama tatapan Mak yang mencekam namun tajam dan bersinar.
“Aku harus minta maaf. Ini tidak aman untuk jantungmu,” Mak bangkit. Ia mengambilkan segelas air untuk Pak. “Minumlah dulu, kuharap kamu bisa lebih tenang.”
Pak meraih gelas itu. Air yang biasanya tidak sedingin ini. Pak meneguknya perlahan namun tak mampu melapangkan tenggorokannya yang tetap saja tercekat. Pak teramat terkejut. Mak tidak pernah seperti ini sebelumnya, selama 50 tahun mereka bersama. Ada apa sebenarnya?
***
Pukul 2 berdetak
Waktu berjalan cepat bagi Mak. Waktu menyayat kulit keriput Pak. Hari semakin larut. Pak tidak pernah merasa tersiksa seperti ini sebelumnya. Gelas di genggamannya perlahan ditaruh di meja di sisinya. Airnya yang tinggal setengah bergelombang akibat getar tangannya yang rapuh.
“Pak...”
“Iya, Kekasihku...”
“Sudah jam dua. Kamu ...”
“Aku menunggu sesuatu yang kau simpan itu, Kekasihku,”
“Kamu siap?”
“Sebegitu membahayakannya?”
“Mungkin,”
“Aku selalu siap, mesti.”
Mak terdesak. Setelah empat puluh menit lamanya waktu terbuang sia-sia hingga jam berdetak pada angka dua. Dini hari. Namun, Mak tentu tidak ingin gegabah. Apa yang akan diungkapnya ini tentu akan membuat suaminya itu terpukul. Mak mesti hati-hati agar jangan sampai ia menjadi pembunuh lelaki tua di depannya. Mak memperhatikan kembali dengan jeli semua yang ada pada Pak. Adakah tangannya bergetar hebat seperti tadi? Syukurlah, getarnya sudah mereda.
“Maaf jika aku harus mengatakan ini padamu. Karena kurasa aku tidak bisa lebih lama lagi begini. Bahkan ketika aku menjemput keabadian, aku ingin pulang dalam kebebasan.”
“Kebebasan? Apa yang kamu bicarakan, Kekasihku?”
“Hmmm...” Mak mengulum kata yang sesaat lagi akan menjadi semacam proklamasi kemerdekaan dalam hidupnya.
Pak menanti dengan sabar. Matanya mendadak berkaca-kaca. Firasatnya semakin kuat, tapi tidak mengguncangkan tubuhnya seperti tadi.
“Tahukah kamu jika aku tidak pernah mencintaimu? Sekuat apa pun aku mencobanya, maaf, aku tidak pernah bisa.”
Pak mengatur napasnya yang mendadak berantakan. Apa yang baru saja didengarnya benar-benar seperti gempa dahsyat yang mengguncang seluruh tubuhnya. Meruntuhkan segala yang ada dan menimpanya ikut menjadi reruntuhan.
“Jadi, kau terpaksa selama lima puluh tahun ini?”
“Maaf ...”
“Kenapa tak pernah jujur?”
“Aku tak punya siapa-siapa lagi.”
“Dulu kau masih punya Ibu-Bapak, kenapa tidak pulang?”
“Aku tidak ingin mengecewakan mereka.”
“Dulu kau masih punya kesempatan menolakku, kenapa tidak menolak?”
“Andai berita bohong itu tidak pernah ada. Aku tidak akan membawamu pada suasana yang menyiksa ini.”
“Berita bohong apa?”
“Soal kematian Edwin.”
“Kau mencintainya?”
“Selalu,” Mak berlinang. “Maaf”
Pak tidak bisa lagi menahan air matanya. Akhirnya mengalirlah sampai menjadi titik-titik di seprai mereka yang putih.
“Aku selalu menunggu kepulangannya. Bahkan ketika orang-orang tidak lagi mengharapkannya. Tapi, aku yakin dia akan kembali. Sampai entah siapa yang begitu jahat menyebarkan kabar itu dan membuatku hancur. Aku tak bisa mencintai siapa pun lagi. Tapi, dia tidak ingin aku sendirian. Kamu sahabat karibnya. Ketika kutahu kamu juga mncintaiku dan lalu melamarku, kuterima saja. Mungkin dia akan tersenyum di sana. Karena dia tidak ingin aku sendirian, dia tidak ingin aku sendirian.”
Pak tidak mampu berkata-kata. Hatinya terasa sesak.
“Dan aku semakin hancur ketika seminggu lamanya kita menikah tiba-tiba akumelihatnya di muka rumahnya. Ia tersenyum dan beberapa hari kemudian kabar kematiannya benar-benar nyata. Katanya sakit karena aku dan lalu aku ikut mengantarkan jenazahnya, bersamamu.”
Pak tetap diam. Matanya basah, seketika menjadi mata air air mata.
“Dia pernah mengirimiku surat. Dia berpesan agar aku menjalankan tugasku dengan baik. Sebagai istrimu. Dia bilang senang, tapi kurasa dia teramat menderita. Karena aku juga. Kami tidak bisa membohongi hati. Orang tidak pernah tahu apa yang terjadi di antara kami, tapi apa yang ada di antara aku dan dia sudah terjalin bahkan sebelum kau kembali dari studimu di Belanda. Kenapa dia tidak pernah meceritakannya padamu?”
“Dia selalu memuji kekasihnya dalam surat-surat yang dia kirim untukku. Kupikir kekasihnya bukan kau. Dia benar-benar tidak pernah memberitahuku siapa kekasihnya itu” Pak bersuara. Suaranya menyedihkan.
Mak hanya terisak. Luka itu selalu basah. Tapi ada kelegaan selepas apa yang dia tutup rapat terbuka juga.
Pak bisa merasakan juga luka itu. Luka yang setengah abad lamanya disimpan dan ditutup rapat. Yang entah berapa tebal dan lusuh tambal yang dipakai Mak untuk menutup lukanya selama itu, kepada dia dan kemudian anak-cucunya. Mak wanita tegar dan kuat. Tapi, sekokoh-kokohnya tanggul adapula waktunya jebol, begitu juga hati Mak.
“Jadi, apa yang kau lakukan selama ini semata-mata hanya menuruti permintaan Edwin? Kau memasak setiap hari untukku, kau melayaniku, kau ...” tanya Pak dengan suara bergetar.
“Ya!” jawab Mak, tegas dan pilu. “Dan kurasa tugasku sudah selesai. Aku sudah memberimu lima putra sesuai keinginanmu yang kini mereka pula sudah memberimu cucu-cucu yang menggemaskan. Kamu tidak lagi kesepian, bukan?”
Pak hanya menunduk. Betapa terpukul bahwa dia telah menjadikan perempuan yang kini di hadapannya sebagai budak yang hanya melakukan sesuatu untuk memenuhi keinginannya—lelakiyang terpaksa diterimanya sebagai suaminya—bukan semata-mata karena ketulusan hatinya, jauh dari kata kebahagiaannya.
“Mungkin aku harus berterima kasih, juga meminta maaf. Seandainya aku tahu sejak awal ...”
“Tidak ada yang perlu disesali, semua sudah terjadi, dan tidak ada pilihan lain,” sahut Mak.
“Apa itu juga alasan kau selalu menghilang tiap kali kau telah melakukan tugasmu melayaniku sehari-hari? Karena kau tidak mencintaiku?” tanya Pak.
“Aku hanya pergi ke ruang belakang. Kukira aku tidak perlu banyak waktu bersama denganmu, itu membuatku sakit. Yang penting kewajibanku sebagai istri sudah kutunaikan, bukan?”
“Tidak semua.”
“Apa yang belum? Sebutkan! Mungkin bisa kutunaikan sebelum pergi.”
“Tidak perlu, kukira kau tidak akan bisa, seperti yang kau katakan tadi. Karena sebagai lelaki, menjadikan seorang perempuan istri bukan hanya untuk melayaninya tapi juga menemaninya dan kau tidak melakukan yang kedua selama lima puluh tahun ini,” jawab Pak.
“Tentu, kalau itu, tentu. Karena kupikir, menjadi teman, menghabiskan waktu bersama tidak bisa dilakukan dengan pura-pura, perlu ketulusan hati, perlu kasih dan sayang. Dan aku tidak memiliki itu, padamu. Kamu pun bisa merasakannya jika aku tetap memaksa untuk menemanimu dengan tidak tulus. Lawan bicara selalu bisa merasakan apakah yang dia ajak bicara ini tulus atau tidak dari segi apapun, kukira.”
Pak hanya mengangguk. Sudah cukup penegasan itu. Lukanya semakin menganga.
“Dan, mungkin saatnya kau tahu pula apa yang aku lakukan berjam-jam di ruang itu dan menghilang darimu.”
“Apa?” sahut Pak, cepat. Sebab memang itu menjadi tanda tanya besar yang tak pernah terjawab, selama lima puluh tahun ini.
“Aku menemui kekasihku dalam sunyi, dalam ketiadaanya secara lahir. Tapi aku bisa merasakan kehadirannya dalam batin. Aku melukis wajahnya di sana, selama lima puluh tahun. Mengukir senyumnya, mengukir senyumku juga. Dan dalam hati aku selalu berjanji, ketika lukisan ini selesai, aku akan pergi darimu dan kembali menyatu dengannya, dalam kesendirian lahirku, lahirnya juga,” jawab Mak, mantap dan senyum manis itu tersungging di bibirnya. Yang bahkan tak pernah tersungging selama lima puluh tahun ini.
“Bahkan, jika kau bisa menutupi itu selama lima puluh tahun lamanya, aku pun bisa menutupi sesuatu darimu,” jawab Pak, tak mau kalah.
“Kurasa, aku tidak peduli. Tapi, ceritakan saja. Jika kamu mau.”
“Tentu saja kau takkan peduli. Tapi aku ingin menceritakannya saja kalau aku juga memiliki tempat ternyaman sepertimu di ruang itu dengan lukisan kekasihmu itu. Aku juga memiliki Emily, tempat paling nyaman untukku berbagi cerita. Aku bertemu dengannya di sudut taman suatu sore, dari sanalah kami kian dekat dan sering berbagi cerita. Hanya, kami tak pernah bisa menyatu, dia punya kekasih, aku juga akan menikah denganmu waktu itu. Tapi, dia selalu ada untukku, selalu,” Pak tersenyum ketika bibirnya menyebut nama Emily, kekasihnya.
“Masihkah ada kekasihnya? Atau kini dia janda?” tanya Mak.
“Untuk apa kau menanyakan itu?”
“Jawab saja!”
“Setahun yang lalu, suaminya meninggal karena stroke dan ia belum lagi menikah.”
“Tepat. Kukira ini saatnya kau menyatu dengannya.”
“Tidak. Aku mencintaimu!”
“Tapi, kan kau nyaman dengan dia, bukan?”
“Apa itu jaminan? Mungkin memang dia nyaman jika kuajak berbincang, tapi, mungkin dia bukan istri yang dapat menjalankan tugasnya dengan baik, sepertimu.”
“Ya, karena terpaksa.”
“Cukup!”
Mak tertunduk. Baru sekali ini, selama lima puluh tahun lamanya Pak membentak Mak.
“Maaf, aku terlalu keras. Tapi, bukankah cinta hadir karena terbiasa. kenapa itu tidak terjadi padamu?”
“Tidak jadi jaminan. Toh, seberapa kuat aku mencoba dan berusaha, aku tetap tidak bisa. Aku tidak mencintaimu!”
“Tapi, kita berjodoh...”
“Hanya lima puluh tahun!”
“Jadi, kau mau apa, kekasihku?"
“Berpisah! Dan aku bukan kekasihmu!”
“Pisah? Cerai? Tidakkah kita terlalu tua untuk bercerai? Kita hanya akan ditertawakan di pengadilan.”
“Ya. Peduli apa!”
“Kita sudah terlalu tua, tidakkah kau coba lunakkan hatimu, habiskan masa tua ini bersamaku, daripada hidup sendiri.”
“Bahkan seperti kubilang, aku ingin menjemput kematian dalam kebebasan. Toh, sendirian aku bebas. Karena memang kita sendirian bukan? Omong kosong apa itu cinta sejati yang mereka bilang karena mereka tetap terikat dalam satu ikatan pernikahan sampai benar-benar dipisahkan oleh kematian. Karena semua ini sementara, begitu juga pernikahan, begitu juga cinta!” Mak menghela napas sejenak. “Ketika aku mati, apa cintamu kubawa mati? Di sana jelas aku sendiri. Hanya aku dan amalku yang tak seberapa ini.”
“Ya jelas aku akan selalu mendoakan kau, karena aku mencitamu. Entah, jika aku yang mati duluan.”
“Mendoakan sambil menangisi setiap hari? Begitukah cinta? Yang ada hanya mempersulit keadaanku di sana. Cinta itu mengikhlaskan. Aku milik-Nya, dan ketika diambil lagi oleh-Nya, ikhlaskan aku. Ikhlas adalah bentuk cinta paling agung, kukira. Jadi, lepaskan aku!”
“Tapi, kau tidak akan mati sekarang bukan? Dan, kau bukan diambil oleh-Nya. Kau hanya diambil oleh egomu. Dan satu lagi, jika padaku kau bisa bilang cinta sejati itu omong kosong, bagaimana denganmu dan Edwin? Bukankah itu juga berarti omong kosong, tentu cintamu tidak dibawa Edwin, bukan? Kau tidak konsisten!”
“Barangkali begitulah cinta. Kamu juga mengerti bukan? Cinta bisa membuat orang cerdas sekalipun menjadi gila. Aku bisa bilang begitu padamu karena aku tidak mencintaimu, tapi pada Edwin, ya jelas aku mencintainya maka kubilang lain lagi. Bahkan, cinta membuat orang paling kuat sekalipun menjadi lemah, jadi apalah hanya sekadar konsisten dan inkonsisten!”
Mereka saling bisu sejenak. Setelah naik turun suara mereka bersahut-sahutan. Mungkin jika tembok ini terlalu tipis, bisa saja ada salah satu anaknya atau cucunya yang tiba-tiba haus dan ingin minum lalu keluar dan melewati kamar ini, mereka akan mendengarnya dan mungkin tersebar segera kabar: kakek dan nenek bertengkar.
“Aku tidak akan melepasmu,” kata Pak, sebagai penutup.
“Aku tetap akan pergi!” sahut Mak.
***
Pukul 3 berdetak
Pak menggusur tubuhnya untuk terbaring dan membalik membelakangi Mak. Dalam hatinya yang rapuh dan remuk dini hari ini, ada yang gugur dan habis. Selain rambutnya yang tipis dan putih itu rontok, ada harapan yang juga ikut berjatuhan, habis seketika dalam hitungan jam. Harapan bahwa cinta yang ia bina selama ini abadi dan sejati sampai ajal menjemput. Dalam kerapuhan itu pula, Pak menyadari bahwa perempuan selalu punya bom yang akan meledak sewaktu-waktu. Pak sadar, ketika ia melamar Mak, Mak dalam keadaan lemah dan pilu karena kepergian Edwin, dan rupanya kelemahan yang dimanfaatkannya itu perlahan menjadi sebuah kekuatan yang kini meledak dan menghancurkan seluruh hatinya. Perempuan selalu punya kekuatan tersembunyi, Pak meyakini itu.
Mak pun mengambil langkah serupa. Dalam hatinya yang bimbang dini hari ini, ada yang habis dan melegakan. Selain otot-otot rentanya yang mengendur namun terasa rileks, ada hati yang merdeka, ada keterpaksaan yang habis dilepas di samudera lepas kejujuran yang kemudian serupa angin kebebasan. Lepas beban itu. Mak tersenyum dalam denyut yang tenang. Meski ada bimbang, kalau-kalau ia akan membuat lelaki tua di belakang punggungnya itu menderita. Tapi, peduli apa? Cukup lima puluh tahun hatinya yang sakit. Bahwa, perempuan bisa sekuat itu, lebih kuat dari apa yang kita kira.
Mereka, dua sejoli renta, tepat pukul tiga pagi saling membelakangi dan menitikkan air mata dalam dua rupa: senyum dan sedih.