Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Yang Fana Adalah Kamu
0
Suka
4,019
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pukul enam pagi. Aku terbangun dengan sesak di dada yang teramat menyiksa. Sesak yang telah kubawa ke mana-mana selama beberapa tahun ini. Rasa-rasanya seperti ada tangan yang menembus dada, mencengkeram jantungku, kemudian mencerabutnya secara paksa. Kutemukan sebuah kenyataan yang membuatku tersadar. Betapa aku telah kehilangan kamu sejak begitu lama.

Aku sudah mendengar kabar itu. Tentu saja tak langsung dari mulutmu. Barangkali aku memang termasuk ke dalam daftar orang yang tak penting bagimu, orang-orang yang tak perlu tahu perihal hari bahagiamu. Atau mungkin aku termasuk orang yang berbahaya, yang bisa saja mengacaukan hari terpenting dalam hidupmu sehingga kau merahasiakan semuanya dariku. Hari ini kamu akan menikah bukan? Selamat ya.

Sampai hari ini aku masih susah untuk percaya. Mendapatimu menikah itu di luar imajinasiku. Kamu telah banyak berubah, menjadi orang yang lebih baik. Dan kamu juga terlihat lebih bahagia. Harusnya, aku ikut senang bukan? Tapi entah kenapa ada setitik kesedihan yang mengganjal. Mungkin karena bukan aku orang yang bisa membahagiakanmu itu. Dan, bukan aku juga orang yang bisa membuatmu menjadi lebih baik.

Dia. Kenapa dia? Kenapa bukan aku? Kamu tentu punya alasan hingga akhirnya menjatuhkan pilihan padanya. Mungkin karena dia, orang yang selalu ada di sisimu saat kamu membutuhkan dukungan. Mungkin karena dia, orang yang mampu menguatkanmu saat kamu merasa lemah. Mungkin karena dia, orang yang bisa kamu ajak berbagi cerita sehari-hari, mulai dari hal-hal yang lucu, keluh kesah hingga sumpah serapah. Mungkin karena dia, orang yang bisa kamu percaya untuk menyimpan rahasia-rahasiamu. Dan, mungkin karena dia jugalah orang yang kamu syukuri kehadirannya di dalam hidupmu. Terlalu banyak kemungkinan tentangnya, yang tak bisa kulakukan. Sampai hari ini aku hanya bisa menjadi orang yang sekadar ingin melakukan semua itu. Aku sekadar ingin membahagiakanmu tapi tak pernah kulakukan itu. Bagaimana mungkin aku bisa membahagiakanmu, kalau kau tak pernah memberiku kesempatan untuk itu?

Sisi gelap dalam diriku berbicara. Seperti iblis yang sedang merencanakan dosa, aku memikirkan banyak kemungkinan buruk. Aku sudah mencoba untuk menepisnya, namun pikiran jahat itu tetap muncul juga. Aku berharap agar dia menyakitimu, agar dia meninggalkanmu. Kemudian kau akan menangis. Kemudian kau akan terluka. Lalu kau akan datang padaku.

Dari dulu aku tak tahu pasti apa inginmu. Ada kabut tebal yang sengaja kau tebar. Seolah kau ingin berlindung dariku. Bagiku semua terasa abu-abu. Aku gagal memasuki celah-celah pikiranmu. Seperti juga aku gagal mengisi ruang di hatimu. Namun sampai hari ini, yang aku tahu, penghuni hatiku cuma satu. Masih kamu. Entah sampai kapan.

Aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta. Namun sekalinya terjatuh padamu, sialnya aku tak pernah mencapai dasarnya. Jatuh dan terus terjatuh. Aku terus jatuh di kedalaman matamu. Aku terus jatuh di sungging senyummu. Aku terus jatuh di rentang pelukmu. Aku terus jatuh juga di lelap tidurmu. Bahkan untuk hal paling remeh sekalipun, aku terjatuh pada caramu memanggil namaku. Kalau kamu mau tahu, sejak hari pertama aku melihatmu, sejak kaulambaikan tangan dan tersenyum saat matamu menemukanku, kemudian kamu berjalan menujuku, mencari celah-celah di antara kerumunan orang itu, aku telah jatuh padamu. Hingga sekarang.

Kadang aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa seseorang mencintai sedemikian rupa, sementara orang yang dicintainya itu punya perasaan sedikit pun tidak? Aku tak tahu jawabannya. Yang aku tahu, aku mencintaimu, walaupun kamu tidak. Dan meski begitu, meski kau tak pernah tahu, aku masih saja menunggumu.

Gila. Aku tahu ini gila. Untuk apa kuhabiskan sekian tahunku hanya untuk menunggu seseorang yang tak tahu kalau aku menunggunya? Untuk apa kuhabiskan waktuku melamunkan seseorang yang memikirkanku sebentar saja tidak? Sekarang coba jawab pertanyaanku, apakah kau pernah memikirkanku? Apa kau pernah merasakan rindu seperti rinduku padamu? Tak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya. Mungkin ada sedikit peluang untukku terlintas di pikiranmu, tapi itu hanya seperseribu dari seluruh waktuku yang kuhabiskan untuk melamunkanmu. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, untuk apa kulakukan itu semua? Barangkali karena aku masih punya harapan padamu. Barangkali karena aku pernah begitu yakin padamu.

Rasanya baru kemarin ketika duniaku serba merah muda. Betapa sebuah pemberitahuan pesan darimu saja bisa membuat senyumku mengembang begitu lebarnya. Rasanya baru kemarin ketika kurasa kita sama-sama tergila-gila. Rasanya baru kemarin ketika kuyakin kaulah orang yang akan menangkapku saat aku terjatuh. Rasanya baru kemarin ketika kuyakin kaulah orang yang akan menemukanku saat kutersesat dalam perjalananku. Tapi, seperti yang kubilang, aku tak pernah tahu pasti apa inginmu. Apa kau benar-benar memiliki perasaan yang sama denganku? Aku tidak tahu. Bisa saja itu cuma halusinasiku.

Kemudian tiba-tiba duniaku berubah menjadi abu-abu. Kamu hilang. Tak ada kabar. Belakangan kutahu kalau kamu telah menemukan seseorang yang baru, yang ternyata namanya pernah kudengar dari mulutmu. Sementara aku telanjur terjatuh padamu. Sayangnya kau tak lagi berniat untuk menangkapku. Aku telanjur tersesat dalam rimbamu dan tak bisa kutemukan jalan untukku pulang. Aku kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat kumiliki. Waktu terus berjalan. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Kau pun berganti-ganti orang yang baru sementara aku di sini bersetia pada bayanganmu.

Beruntungnya, aku terlatih menjadi orang yang mudah menerima. Aku terlatih menjadi orang yang mudah memaklumi. Telah banyak kekecewaan yang aku alami. Begitu banyak kenyataan yang jauh dari harapan. Tapi aku bisa memaklumi itu semua. Selalu ada alasan untuk semua kejadian dan beberapa hal memang tak bisa untuk dipaksakan. Aku tak bisa memaksamu untuk memiliki perasaaan yang sama denganku. Aku tak bisa memaksamu untuk mempunyai cinta yang sama besar dengan yang kumiliki. Akan selalu ada yang memendam perasaan lebih dalam, akan selalu ada yang menyimpan perasaan lebih lama, dan akan selalu ada yang menumbuhkan harapan lebih besar. Orang itu jugalah yang akan merasa lebih kehilangan. Orang itu adalah aku. Tapi tenang saja, aku tidak apa-apa.

Aku mencoba berdamai dengan pengharapanku sendiri. Aku mencoba bernegosiasi dengan perasaanku sendiri. Kalau memang aku tidak akan pernah bisa memiliki, kuharap aku masih bisa bertemu denganmu, mungkin untuk yang terakhir kali. Apakah keinginanku itu masih terlalu tinggi? Tapi aku tahu, bagaimanapun manusia tidak akan pernah merasa cukup. Aku tak mau hanya bertemu denganmu. Apalagi cuma sekali. Aku masih ingin menghabiskan malam bersamamu. Aku ingin berbaring di sampingmu. Ingin kudengar cerita-ceritamu seperti dulu. Atau mungkin kau tak perlu bercerita apa-apa. Kita cukup menghayati detik-detik jam dinding yang terdengar nyaring di keheningan malam. Kita pandangi langit-langit kamar sambil menunggu mata terlelap karena kantuk. Dan, sesekali bolehlah kulihat wajahmu lekat-lekat untuk kusimpan dalam ingatan, kemudian kubelai-belai rambutmu sampai kau tertidur. Kurasa satu pelukan terakhir akan bisa dimaklumi. Atau sekalian saja, satu kecupan terakhir. Ah, omong kosong dengan semua ini. Perasaan itu bukan harga di pasar yang bisa ditawar. Aku cuma mau kamu.

Sekian bulan dengan tawar-menawar perasaan, rasanya sungguh melelahkan. Sudah cukup malam-malamku gelisah tak bisa tidur karena memikirkan kamu. Sudah cukup waktuku habis untuk melamunkanmu. Aku harus merelakanmu. Sayangnya itu tidak mudah. Sulit. Dan, yang tersulit itu justru bukanlah merelakan yang telah lalu, tapi mengikhlaskan kemungkinan-kemungkinan yang belum sempat terjadi. Kemungkinan-kemungkinan yang ingin kulakukan bersamamu.

Seperti laut yang kadang pasang kadang surut. Begitupun upayaku untuk merelakanmu pun tak selalu berhasil. Aku terombang-ambing di gelombangmu. Ada kalanya ketika aku telah berhasil memantapkan diri untuk mengucapkan “selamat tinggal”, tiba-tiba kau muncul dan bilang “hey, apa kabar?”. Kamu sungguh menyebalkan. Apa kabar? Sekian lama hilang tanpa kabar, kemudian tiba-tiba kau muncul dan bertanya “Apa kabar?”. Kau ingin aku jawab dengan apa? Dengan “Aku baik-baik saja.”?

Satu hal yang aku tak pernah bisa jujur padamu, jauh darimu aku tak pernah baik-baik saja. Namun aku selalu berusaha tenang saat kau datang, seperti juga aku selalu berusaha tenang saat kau pergi. Aku mencoba terlihat biasa saja. Dan usaha untuk menjadi biasa saja itu justru membuat semuanya semakin terasa tidak biasa. Meski telah kututup rapat-rapat pintu hatiku, selalu kupersilakan masuk saat kau mengetuk. Semudah itu aku gagal membebaskan diri darimu.

Bagaimana bisa aku terbebas darimu kalau aku sendiri tak pernah benar-benar berniat untuk melepaskan diri darimu. Aku masih sering berandai-andai tentangmu. Sampai hari ini, masih ada sehelai handuk yang terlipat rapi di lemari dan sebatang sikat gigi yang masih utuh dalam kemasannya. Semata-mata kusiapkan itu semua kalau-kalau kau akan datang tiba-tiba. Kalau-kalau kau akan datang saat akhir pekan atau kalau-kalau kau akan datang saat libur lebaran. Bahkan tadi pagi aku masih sempat berandai-andai, kalau-kalau kau akan membatalkan pernikahanmu, lalu menghubungiku untuk datang padaku.

Tapi aku tahu, semua itu hanyalah harapan semu. Sayup-sayup kudengar azan zuhur bersahutan dari pengeras suara masjid. Hari sudah siang dan tentu saja kau tak datang. Pasti pernikahanmu sudah dilangsungkan. Bisa kubayangkan orang-orang berseru “Sah” ketika selesai kau ucapkan ijab kabul. Semua bahagia atas pernikahanmu. Semestinya aku pun juga begitu.

Kini aku sudah tak punya keinginan apa-apa lagi tentangmu. Semoga kau bahagia. Itu saja. Memangnya apa lagi yang bisa aku pinta? Barangkali seperti inilah akhir ceritanya. Mendoakanmu adalah cara terakhirku untuk mencintaimu.

Aku sadar, dalam kehidupan cintaku, segala yang indah tentangmu hanyalah cerita fiksi. Kau tak lebih daripada makhluk khayalan yang kureka. Semakin hari, wujudmu sebagai tokoh imajinasi bahkan lebih besar daripada kenangan yang tersimpan dalam memori. Bagaimana caramu tersenyum, bagaimana caramu berjalan, bagaimana caramu bercerita, semua tidaklah nyata.

Mungkin hari-hariku tak akan seberat ini kalau kita tak pernah bertemu. Tak perlu ada pergantian hari, minggu, bulan, hingga tahun dalam pengharapan dan penantian. Tapi aku tak pernah menyesal. Bahkan jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku ingin kembali ke hari pertama kita bertemu. Bukan untuk mengubahnya, melainkan untuk mengulangnya kembali dan mengabadikan setiap detilnya dalam ingatanku.

Jarum jam telah lewat angka dua belas. Hari telah berganti tanggal. Kupandangi langit-langit kamar sendirian di keheningan malam. Sampailah aku di titik ini, satu titik yang membuatku menghirup napas begitu dalam kemudian mengembuskannya dengan penuh kelegaan. Masih bisa kurasakan keberadaanmu di sana. Ada sebentuk harapan yang penuh mengisi rongga dadaku, beserta perasaan dan pengharapan yang mengendap di tiap relungnya.

Di titik ini aku ikhlas untuk melepaskan harapan itu. Di titik ini juga aku ikhlas untuk menerima bahwa perasaanku padamu dan kenanganku tentangmu telanjur mengendap di dalam diriku, dan akan kubawa ke mana-mana bersamaku. Selamanya.

Barangkali seperti inilah perpisahan yang paling sepi itu. Hanya ada aku dan pengharapanku akan dirimu.

Selamat tinggal. 

Yogyakarta, 2017- 2018

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Bronze
JUTAAN WAKTUKU MENUNGGUMU
Rian Widagdo
Cerpen
Yang Fana Adalah Kamu
Suryawan W.P
Novel
Bicara Cinta (Kumpulan Cerpen)
Zaid Alkhair
Novel
Gold
Islah Cinta
Falcon Publishing
Novel
Bronze
Diandra
Galih Aditya
Cerpen
Senandung Tanah Lado
Wulan Ews
Novel
AMERTA
Nisya Nur Anisya
Flash
Bronze
Sebuah Kebetulan
Meliawardha
Cerpen
Ayunda dan Semestanya
Ani Hamida
Novel
Kesedihan dan kebahagiaan
Dewi Wulan
Novel
Then Here I Am
El⁷
Novel
Cinta di Langit Istanbul
nayla shafiyah
Novel
Bronze
(Bukan) Orang Ketiga
Miss Sarah
Skrip Film
Jalan ke Awal
Aneidda
Skrip Film
DREAMS AND LOVE
Rizqy Kurniawan
Rekomendasi
Cerpen
Yang Fana Adalah Kamu
Suryawan W.P
Cerpen
Kemboja Kelopak Empat
Suryawan W.P
Cerpen
Restu Majene
Suryawan W.P
Cerpen
Surat untuk Ding Jun
Suryawan W.P
Cerpen
Tentang Burung dan Pohon Kersen
Suryawan W.P
Cerpen
Apakah di Luar Hujan Sudah Reda?
Suryawan W.P
Cerpen
Sampai Bertemu di Garis Finis
Suryawan W.P
Cerpen
Ratri Menari
Suryawan W.P
Cerpen
Kejutan
Suryawan W.P
Cerpen
Kenangan Akan Selalu Sama
Suryawan W.P
Cerpen
Lelaki Jambu Air
Suryawan W.P
Cerpen
Akhir Bahagia
Suryawan W.P
Novel
Antara Cinta, Karir, dan Berat Badan
Suryawan W.P
Cerpen
Gelembung Sabun
Suryawan W.P
Cerpen
Di Kota Mati
Suryawan W.P