Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Yang Ditulis Setelah Tak Ingin Jatuh Cinta
0
Suka
15
Dibaca

Aku menghembuskan nafas panjang setelah perjalanan tiga jam dari rumah menuju kost telah kulalui. Kubaringkan tubuhku di tempat yang rasanya baru kemarin kutinggalkan untuk pulang sejenak bertemu kedua orang tua sebelum melanjutkan perjalanan kewajiban kuliahku lagi.

Sepertinya, yang membuat pikiran dan nafasku berat, bukan tentang meninggalkan rumah, bukan juga tentang rindu, karena aku sudah biasa memeluk rindu sendirian, tapi yang aku khawatirkan adalah bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenal. Banyak sekali ketakutan yang menghantuiku saat ini, tentang takut tidak akan diterima, tentang bagaimana aku bisa hidup bersama-sama, dan bagaimana hidup empat puluh hari selama KKN akan kujalani.

Saat pikiran kacau seperti ini, mataku menangkap koper pink yang berdiri di samping lemari. Aku segera bangkit dan membukanya.

"Rasanya baru kemarin aku datang, ini sudah mau pergi lagi," aku mengatakan itu sambil membuka koper yang menampakkan susunan pakaian rapih, belum semuanya aku keluarkan setelah magang satu bulan dari rumah sakit. Sekarang aku harus membawanya lagi dalam perjalanan empat puluh hari itu.

Aku mengambil sisa pakaian yang akan aku bawa ke tempat KKN, lalu memasukkannya ke dalam koper. Meski terpaksa, rasanya ini harus kulakukan sebagai kewajiban pendidikan, dan itu adalah nyata.

"Semua akan baik-baik saja," aku meyakinkan diriku sendiri dengan kalimat itu, menjadikannya penyemangat sambil membayangkan bagaimana bahagia setelah lulus kuliah dan bagaimana aku bisa melewati semuanya.

"KKN di Desa Laska?" aku terkejut dengan kalimat itu. Seseorang berdiri di sampingku, dan aku mengenalinya karna dia satu-satunya orang yang aku hubungi ketika ada keperluan untuk KKN yang ingin kutanyakan. "Bisa ikut?" Pertanyaan selanjutnya terlontar saat aku sedang memperbaiki semua barang yang kubawa diatas motor. Saat itu acara pelepasan dari kantor camat baru selesai. Setiap perwakilan Desa, datang dan menjemput setiap mahasiswa yang KKN di desanya.

"Bisa, naik saja." Namanya Nur Aiza, katanya bisa dipanggil Ica. Dia bergabung bersamaku dan kami melanjutkan perjalanan ke rumah kepala desa Laska.

Rasanya seperti asing sekali. Benar kata orang, bahwa waktu akan terasa lambat berjalan jika kita menunggunya cepat berlalu, dan benar itu yang aku rasakan. Memperhatikan sekeliling rumah yang nantinya menjadi tempat tinggal kami, masyarakatnya, yang paling utama, teman-temanku yang wajahnya belum pernah kulihat dan tidak aku kenal sama sekali.

"Semoga semuanya baik-baik saja." Kalimat semoga itu selalu aku upayakan sebagai keyakinan. Berani meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak akan ditempatkan di tempat yang tidak Dia Ridhoi.

Jumlah kami ada lima belas orang, yang didominasi oleh kaum perempuan. Bahkan diantara mereka, tidak ada yang aku kenali sama sekali. Seperti pertemuan pertama pada umumnya, kami hanya banyak diam, sekedar bertanya nama dan jurusan apa, setelah itu sibuk dengan urusan masing-masing.

Sepertinya, tujuan utama kegiatan KKN bukan sekedar mencukupkan SKS, tapi untuk saling menyatukan perbedaan pendapat agar program kerja yang dirancang bisa dilaksanakan.

Seminggu berada di tempat KKN sudah banyak sekali hal yang membuatku kaget. Ternyata kita harus menekan sikap egois selama bersama-sama. Seperti mengikuti kesepakatan melakukan evaluasi meskipun jam tidur sudah lewat, menerima kesepakatan meskipun diri sendiri tidak sepakat dengan pendapat teman yang lain, dan yang paling utama, harus menabung kesabaran yang sangat banyak menghadapi semua karakter manusia posko.

Seminggu itu, kami melakukan observasi ke semua dusun yang ada di desa Laska. Sebagai bahan untuk bisa membuat program kerja yang bisa bermanfaat bagi masyarakat. Dan setelahnya kami melakukan seminar program kerja di kantor Desa dan memperkenalkan kegiatan apa saja yang akan kami laksanakan selama KKN.

Biar kukatakan, tidak ada sama sekali niat KKN yang aku bawa menuju tempat dimana aku KKN. Seperti mengikuti alur kehidupan saja, karena KKN salah satu kegiatan yang menjadi kewajiban perkuliahan. Kehidupan yang dipenuhi dengan program kerja yang membuat waktu satu hari rasanya tidak akan cukup untuk mengerjakan program kerja. Setelah melakukan seminar program kerja, kami disibukkan dengan pelaksanaan program kerja tersebut.

Sepertinya, ketidak perduliku selain pada program kerja KKN menjadi hal yang menarik bagi salah satu remaja yang membantu kami selama melakukan kegiatan. Sangat tidak terbesit dalam diriku akan ada yang seperduli itu sampai menyampaikan tentang perasaannya padaku.

Niat KKN yang sama sekali tidak aku kantongi terlupakan seketika. Yang kukatakan bahwa tidak ada yang menarik selain menyelesaikan program kerja dan segera pulang, sekarang waktu itu ingin aku pukul mundur kembali.

"Nanti saya bantu mencarikan juri untuk lombanya." Namanya Rafiq, salah satu remaja Desa Laska yang sering membantu dalam melaksanakan program kerja kami. Caranya membantu, komunikasi dengan kami, dan caranya memberikan solusi adalah cara paling dewasa menurutku. Pekerjaan sulit pun dia akan bersedia membantu dan mencarikan solusi dari masalah yang kami alami. Sayangnya, kenapa harus aku yang dia sukai?

Aku memanggilnya Kak Rafiq karena usianya yang terpaut empat tahun di atasku. Dia sudah lulus kuliah, menjadi alumni salah satu universitas di kota, dan memilih kembali ke desa untuk ikut membangun kampung halamannya. Hal itu, entah kenapa, membuatku kagum. Di tengah-tengah kerumunan teman-teman KKN dan warga desa yang sibuk dengan urusan masing-masing, Kak Rafiq seperti lampu sorot yang tiba-tiba menyorotku, padahal aku hanya bayangan abu-abu yang tak ingin terlalu terlihat.

"Kak Rafiq tidak keberatan pulang larut terus?" tanyaku suatu malam saat kami sedang membereskan properti untuk lomba keagamaan dan kebetulan penanggung jawab lomba itu adalah aku. Ini sudah jam sebelas malam, dan posko KKN kami masih terang benderang karena sisa-sisa energi yang harus dikeluarkan untuk program kerja.

Dia tersenyum, senyum yang entah mengapa mulai terasa menenangkan. "Tidak apa-apa. Lagipula, saya senang bisa membantu. Senang melihat kalian semua semangat. Kalian ini seperti energi baru untuk desa Laska."

"Tapi rasanya kami merepotkan, Kak. Kakak kan harusnya istirahat setelah seharian kerja." Aku mengalihkan pandanganku ke laptop dan printer yang kugunakan membuat prosedur penilaian lomba. Aku tahu, aku tidak sepenuhnya jujur. Aku hanya ingin mengajaknya bicara lebih lama, tanpa harus terlihat terlalu peduli.

"Merepotkan? Justru saya jadi ada kegiatan, dek. Lagipula, ini kan juga bentuk pengabdian, bedanya saya bantu kalian. Saya tidak bisa diam kalau ada orang yang butuh bantuan," jawabnya tulus. "Oh ya, besok pagi sudah siap untuk kunjungan ke SD kan? Sudah disiapkan bahan untuk penyuluhan cuci tangan?"

Sejak hari itu, Kak Rafiq seolah menjadi orang dalam kami di Desa Laska. Dia yang memperkenalkan kami pada tokoh-tokoh masyarakat, dia yang mencarikan alat dan bahan yang sulit kami temukan, dan dia yang menjadi penengah saat ada perbedaan pendapat antar anggota kelompok KKN dan warga. Dia solutif, dewasa, dan sangat sabar.

Kami semakin sering menghabiskan waktu bersama, yang awalnya hanya dalam kegiatan kelompok, perlahan berubah menjadi percakapan-percakapan pribadi yang terjadi tanpa sengaja, seringnya saat kami hanya berdua yang tersisa mengurus detail program kerja. Dia menceritakan tentang masa kuliahnya, harapannya untuk desa Laska, dan sesekali, dia akan melontarkan pertanyaan tentangku, tentang kuliahku, tentang keluargaku, dan tentang rencana masa depanku.

Semakin sering berinteraksi, semakin sulit bagiku untuk menolak hadirnya rasa kagum. Aku telah menanamkan tembok tinggi di hatiku, bersumpah untuk fokus pada kewajiban kuliah dan karir. Aku tidak mau terjebak pada hal-hal yang hanya akan mengganggu fokus. Namun, Kak Rafiq datang bukan sebagai gangguan, melainkan sebagai penyeimbang. Dia tidak meminta perhatian, dia hanya memberi bantuan dan pengertian, dan itu yang membuatku luluh.

Mendekati minggu terakhir KKN, sebagian besar program kerja sudah terlaksana. Tumpukan data dan laporan mulai menanti untuk diselesaikan. Desa Laska ini indah sekali, letaknya dekat dengan pantai dengan pasir putih yang indah. Kami semua, para mahasiswa KKN, berencana untuk mengadakan acara perpisahan kecil dengan warga, diiringi hiburan sederhana dari kami.

"Dek, besok mau ikut saya sebentar?" tanya Kak Rafiq suatu sore. Dia berdiri di depan posko saat aku baru selesai mengurus laporan.

"Ke mana, Kak?" tanyaku, kemudian menatapnya. 

"Ke pantai. Ada spot bagus yang belum pernah kamu lihat" jawabnya. Aku mengangguk. Entah kenapa, aku merasa ini akan menjadi momen yang berbeda.

Kami berjalan berdua menyusuri jalan setapak, menuju pantai dengan deburan ombak yang saat itu sedikit lebih tenang. Di sana, sudah ada perahu kayu kecil yang siap mengapung. Perahu itu tidak besar, hanya cukup untuk dua sampai tiga orang.

"Ayo, dek. Hati-hati naik perahunya," katanya sambil mengulurkan tangan membantuku naik.

Pemandangan laut saat jauh lebih indah. Airnya berkilauan memantulkan cahaya matahari pagi yang mulai menampakkan dirinya. Hanya ada kami, suara dayung Kak Rafiq yang memecah air, dan ketenangan yang jarang kutemukan. Aku merasa semua ketegangan dan ketakutan yang kubawa sejak awal KKN mencair.

"Bagaimana KKN-nya, dek? Sudah mau selesai," ucap Kak Rafiq memecah keheningan. Dia menawariku untuk mencoba dan belajar mendayung dan memberikan dayung yang dipegangnya ke tanganku.

Aku tersenyum sambil mencoba mendayung, meski beberapa kali posisi tanganku ditegur karena salah posisi. "Rasanya baru kemarin saya takut tidak bisa diterima, takut tidak punya teman. Sekarang, rasanya cepat sekali. Empat puluh hari itu tiba-tiba saja jadi kurang."

"Itu artinya, kamu berhasil meyakinkan diri sendiri, 'semua akan baik-baik saja'. Saya senang melihat kamu jadi lebih terbuka, tidak seperti di awal-awal," katanya, menatapku lembut.

"Saya kan tidak ada niat KKN, Kak. Cuma mau cepat selesai," kataku, mencoba mencairkan suasana dengan candaan.

"Tapi yang tidak punya niat itu, justru berhasil mengalihkan niat saya," ucapnya, nadanya berubah serius. mendengar ucapan seriusnya, aku berhenti mendayung dan Perahu kami terdiam, sampai ombak menyadarkan bahwa kami bisa saja tenggelam kalau saja berhenti mendayung, akhirnya aku kembali fokus.

"Saya tahu ini mendadak, dek. Tapi saya tidak bisa menunggu empat hari lagi, saat kamu pulang," katanya, mengambil napas panjang.

"Sejak awal kamu datang, ada sesuatu dari dirimu yang membuat saya tertarik. Kamu dingin, fokus pada urusanmu sendiri, tapi kamu sangat tulus dan pekerja keras. Kamu tidak banyak bicara, tapi setiap ide program kerjamu sangat matang."

Aku hanya terdiam, tenggorokanku tercekat. Pandanganku bertemu dengan matanya. Itu adalah tatapan yang tidak bisa disangkal.

"Saya tertarik sama kamu, dek. Lebih dari sekadar rasa ingin membantu teman KKN. Mungkin saya salah waktu dan tempatnya, di atas perahu kecil ini, tapi ini adalah tempat paling tenang yang saya tahu. Saya tidak ingin jatuh cinta, karena saya tahu kamu harus kembali ke kota, tapi saya tidak bisa mengendalikan perasaan itu."

Kak Rafiq kemudian menyampaikan pengakuan yang jujur dan tulus. Dia tidak meminta jawaban. Dia hanya ingin menyampaikan apa yang dia rasakan. Dia mengatakan bahwa usianya yang sudah lulus dan pengalamannya membuatnya tahu apa yang dia cari, dan dia merasa menemukannya pada diriku.

"Saya tahu kamu punya tujuan besar. Saya tidak akan mengganggu tujuanmu itu. Saya hanya ingin tahu, setelah ini, apakah ada kesempatan bagi saya untuk mengenal kamu lebih jauh?"

Aku merasakan sensasi hangat yang menjalar. Tembok yang kubangun runtuh seketika. Siapa yang menyangka, di tempat yang aku datangi tanpa niat apapun selain kewajiban, aku justru menemukan orang yang mengutarakan perasaannya dengan cara yang begitu dewasa dan tidak terduga?

"Kak... saya juga... saya tidak pernah berpikir akan ada yang se peduli Kakak. Saya tidak tahu harus jawab apa. Saat ini, fokus saya memang masih kuliah," jawabku jujur.

"Saya tidak butuh jawaban sekarang. Saya hanya butuh satu hal, izinkan saya untuk tetap berkomunikasi dengan kamu setelah KKN ini selesai. Biarkan waktu yang membuktikan."

Aku mengangguk perlahan, senyum tipis akhirnya merekah di bibirku. "Iya, Kak. Saya izinkan."

Sisa perjalanan kami kembali ke tepi danau diisi dengan keheningan yang berbeda. Keheningan yang manis, penuh harapan, dan janji tak terucapkan.

Empat hari kemudian, KKN selesai. Acara perpisahan berjalan lancar, dan perpisahan dengan Kak Rafiq terasa paling berat. Bukan perpisahan yang air mata, tapi perpisahan yang penuh janji.

Sejak kembali ke kota, komunikasi kami tidak pernah putus. Kak Rafiq sangat konsisten. Setiap pagi, ada pesan menyemangati kuliah. Setiap malam, ada panggilan telepon untuk menceritakan hari yang dilewati. Dia menjadi orang pertama yang ku cari saat aku punya kabar baik, dan orang pertama yang menenangkan saat aku menghadapi kesulitan.

Jarak memisahkan, tapi komunikasi kami menjadi jembatan. Kami menjalani hubungan yang tak terdefinisi, tapi terasa sangat nyata. Kami tidak pernah secara resmi menyatakan "kita pacaran," tetapi kami menjalani komitmen untuk saling menjaga hati dan menumbuhkan perasaan. 

Dia selalu menjadi pendengar yang baik. Dia dewasa, dan dia menunjukkan keseriusan dengan cara yang tidak pernah aku duga. Dia mulai merencanakan kunjungannya ke kota dan menemuiku, dia selalu bertanya tentang kuliahku dan masa depanku, seolah-olah dia sudah memasukkan diriku ke dalam rencana jangka panjangnya.

"Nanti kalau kamu sudah lulus, kita bangun perpustakaan kecil dalam rumah kita, kamu suka membaca 'kan?" tanyanya suatu malam lewat telepon.

Aku tertawa. "Jauh sekali Kak, saya lulus saja belum."

"Tidak apa-apa. Saya mau kamu tahu, kalau saya serius. Saya sedang berjuang di desa Laska, kamu sedang berjuang di kota. Nanti kita satukan perjuangan ini."

Kata-kata itu membuatku sangat bahagia. Aku merasa, penantian dan pengorbananku untuk fokus pada karir tidak sia-sia, karena ternyata Tuhan mengirimkan seseorang yang dewasa dan suportif untuk menemaniku di tengah perjalanan. Aku, yang semula tak ingin jatuh cinta, kini benar-benar telah jatuh pada sosok Kak Rafiq.

Komunikasi kami berjalan lancar selama lima bulan. Rasa cinta itu tumbuh subur, meyakinkanku bahwa Kak Rafiq adalah orang yang tepat. Sampai suatu hari, ada yang berubah. Kak Rafiq mulai sering sulit dihubungi. Panggilan telepon yang biasanya rutin, kini berganti menjadi pesan singkat yang terlambat dibalas. Alasan yang diberikan selalu sama: sibuk mengurus program desa, jaringan susah.

Aku mencoba memahami. Aku tahu betul bagaimana sibuknya dia mengurus masyarakat di desa Laska. Namun, hati perempuanku mulai menangkap kejanggalan. Nada bicaranya di telepon menjadi datar, dan dia menghindari topik tentang rencana masa depan kami.

Puncaknya terjadi ketika aku menghubunginya untuk menceritakan tentang sidang proposal skripsiku. Aku sangat antusias. Itu adalah langkah besar pertamaku menuju kelulusan.

"Kak, saya berhasil. Proposal saya di-ACC!" kataku penuh semangat saat dia akhirnya mengangkat telepon setelah beberapa kali aku mencoba.

"Oh, baguslah. Selamat ya, dek," jawabnya, suaranya datar. 

"Maaf ya dek, saya lagi di luar, lagi ada urusan mendadak. 

Nanti saya telepon balik." Telepon itu ditutup. Dia tidak menelepon balik.

Keesokan harinya, aku memberanikan diri mengirim pesan panjang, menanyakan apa yang terjadi. Aku tidak ingin menduga-duga. Aku ingin dia jujur.

Butuh waktu sehari semalam baginya untuk membalas. Pesannya singkat, tapi menghancurkan semua keindahan yang telah kami bangun selama lima bulan.

“Maafkan saya, dek. Saya minta maaf karena sudah membawa kamu sejauh ini. Saya kira saya bisa. Tapi ternyata saya belum selesai sama masa lalu saya. Ada seseorang yang kembali, dan saya merasa… saya masih memiliki ikatan yang sulit dilepaskan.”

“Ini tidak adil buat kamu. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang fokus seratus persen padamu. Maafkan saya. Saya harus menyelesaikan urusan hati saya sendiri dulu.”

Membaca pesan itu, udara di sekitarku seolah menipis. Lima bulan penuh perhatian, harapan, janji-janji masa depan. Semua terasa seperti kebohongan manis. Kak Rafiq, laki-laki dewasa dan solutif yang kukagumi, ternyata belum sepenuhnya dewasa dalam urusan hati. Dia adalah mahasiswa yang sudah lulus secara akademik, tapi hatinya masih tertinggal di semester masa lalu.

Aku tidak membalas pesannya. Tidak ada kata yang bisa menjelaskan rasa sakit karena dikhianati oleh harapan. Aku hanya menghapus kontak Kak Rafiq, mengarsipkan semua chat kami, dan mencoba mengubur kenangan tentang desa Laska, perahu, dan janji-janji yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Semua kembali seperti semula. Aku kembali fokus pada kewajiban kuliah. Aku kembali sendirian memeluk rindu, kali ini, rindu yang dibungkus oleh rasa kecewa. Tapi kali ini aku belajar, bahwa terkadang, yang membuat kita tidak ingin jatuh cinta itu bukan karena kita takut akan kehilangan fokus, tapi karena kita takut pada ketidakpastian hati orang lain.

Seminggu setelah perpisahan komunikasi itu, aku menerima paket kecil. Isinya adalah bingkai foto. Foto kami berdua saat di desa Laska, sedang tertawa lepas. Di bagian belakang bingkai, ada tulisan tangan Kak Rafiq.

“Terima kasih sudah mengajariku cara jatuh cinta yang benar. Maaf karena saya belum bisa menjadi laki-laki dewasa yang sepenuhnya bertanggung jawab atas perasaanmu. Kamu pantas bahagia. Saya doakan, semua akan baik-baik saja, bahkan tanpaku.”

Aku memeluk bingkai foto itu, membiarkan air mata yang selama ini kutahan tumpah. Ya, semua akan baik-baik saja.

Aku tahu, cinta hadir saat aku tidak ingin jatuh cinta, memberiku pelajaran berharga tentang komitmen, kejujuran, dan yang paling penting, tentang kekuatan untuk bangkit kembali. Cinta itu mungkin tidak bertahan, tapi pelajarannya akan terus kubawa, menjadikanku pribadi yang lebih matang, dan bersiap menyambut babak baru kehidupan, yang sungguh-sungguh layak untuk kuarungi.

Aku kembali menata koper pink-ku. Kali ini, bukan untuk KKN, tapi untuk kembali ke rumah dan memikirkan langkah kehidupan selanjutnya lagi di rumah. Aku sudah lulus. Aku sudah mencapai tujuanku. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku sudah berhasil melewati KKN yang menakutkan, perpisahan yang menyakitkan, dan kini aku siap untuk tantangan hidup yang lain.

Cinta mungkin datang tanpa diundang, tapi pergi mengajarkan sebuah kenyataan yang harus diterima, bahwa sebelum mencintai orang lain, seseorang harus selesai dan berdamai sepenuhnya dengan masa lalunya. Dan aku bersyukur, kenyataan itu terungkap sebelum terlambat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Typhoon
Mizan Publishing
Novel
Bronze
S
Riyana
Novel
Gold
Sorry, Tryphosa!
Bentang Pustaka
Novel
Kayla gadis salah arah
Bambang Supriono
Cerpen
Boulevard
Dina prayudha
Cerpen
Yang Ditulis Setelah Tak Ingin Jatuh Cinta
Marliana
Novel
Bronze
Leesya
Lutfia
Novel
MAWAR
siti rahmah
Flash
Under The Rain #2 (END)
Yooni SRi
Novel
Bronze
The Proposal-Be A Girl Friend
Eounyjeje
Flash
Bronze
Dipukuli istri tetep saja menerima
yati and abi
Novel
The Lolipop Girl
Nia Ramadani
Novel
Why Fall in Love?
AkuOsa
Cerpen
Bronze
Cinta Harus Dimengerti
Yattis Ai
Komik
Alice & Mad Hatter
Scarlet Hyne
Rekomendasi
Cerpen
Yang Ditulis Setelah Tak Ingin Jatuh Cinta
Marliana
Novel
MEI KE 25
Marliana
Cerpen
Sembuh datang Setelah rindunya tuntas
Marliana
Cerpen
Karena Kita Tidak Punya Kendali
Marliana
Cerpen
Rumah Itu, Keluarga.
Marliana
Novel
Bu, Jahit Juga Luka Ku
Marliana