Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebanyak 76 kali aku berkata tidak. Aku menolak realitas ini, yang menurutku hanyalah serpihan dari dimensi yang lebih luas, semacam sandiwara singkat yang tak pernah benar-benar kupilih perannya. Dunia, bagiku, bukan tempat tinggal, hanya persinggahan yang dibungkus ambisi, ekspektasi, dan luka-luka warisan yang menurun tanpa aba-aba. Tapi, pada pertanyaan ke-77, Tuhan berbisik lirih, "Nala Arumi telah ada di antara waktu." Dan entah mengapa, aku menjawab: iya. Karena mungkin, dalam logika keberadaan yang berulang, aku ingin tahu bagaimana rasanya hidup di sisi seseorang yang tidak menggandakan keberadaanku, tapi justru menyeimbangkannya. Seorang perempuan yang bukan pantulan, tapi kontras. Dan dalam kontras itu, untuk pertama kalinya, aku merasa… layak untuk seluruh sisa waktu yang kupunya.
Kami tumbuh dalam dua semesta yang paralel, berjalan berdampingan, tapi tak pernah bersinggungan. Aku, si pemuja panggung, vokalis dari denting bising yang menjadikan malam sebagai rumah. Dibesarkan dalam limpahan gemerlap dan kebebasan.
"Kamu tuh hidupnya kayak orang yang enggak tahu cara pulang," kata Nala suatu malam, saat aku pulang dengan mata merah dan napas masih menyisakan alkohol.
Aku tertawa, “Yah, setidaknya pestaku rame. Hidupmu terlalu sunyi, Nala.”
Dia hanya tersenyum. Bukan senyum sinis, tapi senyum seseorang yang sudah lama tidak terpengaruh ucapan orang.
Kata orang, hidupku adalah ladang eksperimen. Segala hal harus kucoba, setiap rasa wajib kujajal. Bagiku, kalau tidak dicicip, bagaimana tahu mana yang pahit, mana yang manis? Sementara dia? Nala Arumi? Hidupnya seperti senja yang nyaris kehilangan jingga, tenang, tapi nyaris padam.
"Kamu enggak pernah bosen ya hidup kayak gitu?" tanyaku suatu hari, saat melihatnya duduk di depan laptop yang berisi angka-angka aneh.
"Kayak gimana?"
"Ya... datar, kayak lagi menunggu hidup selesai."
Nala menutup bukunya pelan, menatapku. “Tenang bukan berarti kosong, Laskar.”
Aku diam. Mungkin karena belum cukup tua untuk mengerti, atau terlalu keras kepala untuk mendengar.
Dia tumbuh di tengah kehilangan dan keharusan. Tidak pernah benar-benar diberi waktu untuk berduka, apalagi memilih. Hidup menuntutnya kuat, bukan demi dirinya semata, tapi demi adik yang harus ia lindungi. Dia menyerahkan sayapnya agar adiknya bisa terbang tinggi, sementara dirinya rela menjadi tanah, yang diam-diam memar, tapi tetap menyangga langkah-langkah orang lain dengan setia.
Aku tahu betul bagaimana dunia memandangnya. Katanya Nala itu membosankan. Tidak berwarna. Tak secantik Nula, tak semenarik Nula.
“Kak Nala tuh,” kata seseorang dulu di pesta ulang tahun Nula. “Ada, tapi enggak pernah bikin mata natap lama.”
Dan aku? Aku tertawa. Aku ikut menertawakan. Ya, aku juga pernah menjadi bagian dari suara sumbang itu. Aku pernah bilang dia terlalu datar. Terlalu sunyi. Tidak cocok dijadikan teman hidup. Terlalu biasa untuk disandingkan dengan hidupku yang riuh dan liar.
“Aku kayaknya memilih lajang seumur hidup deh dibanding harus seumur hidup sama orang kayak Kak Nala,” ucapku, sekali waktu, dalam obrolan singkat yang seharusnya tak pernah kusampaikan.
Aku bodoh. Karena, butuh 77 pertanyaan dari Tuhan untuk menyadarkanku, bahwa semua jawabanku ternyata sudah lama bernama Nala Arumi. Mungkin itulah sebabnya Mama menjodohkan Nula dengan Masku. Tapi aku tahu, ada sebuah kisah yang tumbuh diam-diam antara Masku dan Nala. Sebuah kisah yang harus terkubur dalam kedalaman yang tak terjangkau, oleh Nala, sendirian.
“Kamu cinta ya sama Masku?” tanyaku suatu malam, terlalu tajam dan jujur.
Nala tidak langsung menjawab. Hanya menatap gelas kopinya, kosong.
“Enggak penting sekarang,” bisiknya. “Karena yang lebih penting... dia milik Nula.”
Pertama, karena pria yang diam-diam ia cintai ternyata sudah terikat oleh janji dengan adiknya sendiri. Kedua, karena adik yang begitu ia cintai yang lebih dari dirinya sendiri terjebak dalam kepingan pecah yang tak bisa disatukan kembali.
“Aku cuma... pengen dia bahagia. Termasuk kalau itu berarti aku yang harus pergi.”
Dan dalam kalimat itu, aku mendengar suara yang lebih keras dari teriakan: suara seseorang yang benar-benar hancur, tapi terlalu mencintai dunia untuk membiarkan kehancurannya merusak yang lain. Aku menyaksikan dengan jelas bagaimana tatapan Nala berubah, seolah dunia runtuh di hadapannya, saat dua kenyataan itu datang bertubi-tubi. Ia tak menangis. Namun, diamnya lebih mencekam daripada apapun. Diamnya adalah keheningan yang menggema, memporak-porandakan apa yang tersisa dalam hatinya.
Di saat yang sama, aku pun sedang terjatuh, bukan hanya tersandung, tapi ambruk sepenuhnya, ke dalam kekosongan yang lebih dalam dari yang pernah kutahu. Seperti jatuh ke sumur gelap tanpa dasar. Tidak ada gema, tidak ada pegangan. Kata-kata Mama menggema dalam pikiranku seperti nada-nada sumbang yang mengisi ruang kosong, merobek setiap bagian dari apa yang kubangun.
“Laskar... sampai kapan kamu hidup hanya untuk dirimu sendiri? Apa sih yang kamu harapkan dari band-band nggak jelasmu itu?”
Sebuah kalimat pendek. Tapi entah bagaimana, terasa seperti peluru yang ditembakkan tanpa aba-aba. Apa yang sebenarnya aku perjuangkan? Sebuah konser yang tidak pernah dimulai. Sebuah panggung yang seolah hanya dibangun untuk runtuh. Semua yang kucapai, plakat-plakat, sorakan, gemerlap cahaya ternyata hanya hiasan sementara, seperti aksara yang tak pernah ditulis dengan benar. Retak dari dalam, dari akar yang tak kukenal. Langkah yang kutapaki kini adalah irama yang sumbang, kacau, terseret menuju kehampaan yang bahkan tak bisa kupahami.
“Siapa aku kalau bukan suara?” tanyaku dalam hati, getir.
Lucunya, di tengah luka yang kami bawa, aku dan Kak Nala justru saling menemukan. Luka kami memang berbeda, tapi sunyinya terasa sama, seperti dua nada yang terpinggirkan, berusaha menemukan irama di antara kesunyian. Di malam yang kelam itu, ia datang ke balkon tempatku menyepi. Membawa sepotong kue slice dan minuman dingin. Tanpa kata, seperti biasa.
“Tadi kamu belum makan apa-apa, jadi aku bawain ini,” katanya, suaranya meresap dalam sepi malam. Ia duduk di sampingku tanpa berusaha mencari perhatian, tanpa mengganggu ruang kosong yang ada di antara kami.
Aku masih marah. Kata-kata Mama 30 menit lalu masih terngiang dengan keras, membekas seperti luka yang belum sembuh. Tapi suara Kak Nala, dengan segala ketenangannya, seolah mampu menembus segala kebingunganku, mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata yang menusuk.
“Laskar, kalau aku nggak salah, di lirik lagumu kamu bilang gini:
Tak ada yang tahu kapan kau mencapai tuju.
Dan percayalah bukan urusanmu untuk menjawab itu.
Bersender pada waktu.
Kuatkanlah dirimu, atas pertanyaan yang memburu.
Tentang masa depan, pernikahan, pendidikan, pekerjaan, keimanan.
Kamu sendiri yang bilang, hidup bukan lomba. Bahwa semua orang punya waktu masing-masing. Terus kenapa? Kenapa orang yang biasanya menguatkan orang lain lewat lagu-lagunya sekarang goyah cuma karena satu orang?”
Ia tidak menungguku menjawab. Hanya tersenyum tipis, lalu bangkit dan melenggang pergi. Tapi aku tahu, ada sihir yang tertinggal dalam langkahnya. Dan malam itu, tanpa aku sadari, aku jatuh. Bukan karena kelembutannya, tapi karena kekuatannya. Perempuan yang katanya datar itu, baru saja menamparku dengan pelan, dengan lirikku sendiri.
Dan aku mengerti. Aku mengerti kenapa ia menjawab “ya” pada 77 pertanyaan Tuhan. Karena barangkali, hidup memberinya tugas yang lebih besar dari luka-lukanya sendiri: menyelamatkanku. Menarikku keluar dari kubangan rasa tidak berguna yang kutanam sendiri. Dan barangkali, Tuhan memang sengaja mengiriminya, dalam bentuk perempuan paling tenang yang pernah kutemui.
Malam itu aku tidak langsung kembali ke kamar. Kupandangi langit dari balkon, membiarkan kata-katanya terpantul di kepala, berulang-ulang seperti kaset rusak yang tak kunjung habis. Aku pernah berpikir bahwa dunia ini panggung dan aku adalah pemerannya. Bahwa aku bisa mencoba semua peran, semua rasa, semua kesenangan yang bisa dibeli oleh waktu dan uang. Bahwa tidak ada yang salah dengan menjajal segala hal, minuman, pesta, panggung, perempuan, ketenaran. Itu cara aku hidup. Hidup yang liar, bebas, dan penuh dentuman seperti drum bandku.
Tapi perempuan itu… Kak Nala… hidupnya seperti kertas kosong. Datar. Teratur. Sunyi. Saking sunyinya, aku sempat meremehkan. Kupikir, hidup seperti itu hanya milik mereka yang takut gagal. Padahal ternyata… dia bukan takut gagal. Dia hanya sudah terlalu sering dikecewakan oleh harapan. Dia tidak mencoba segala hal seperti aku. Tapi dia sanggup menahan segalanya, bahkan luka yang tidak ia ciptakan sendiri.
Dan malam itu, aku tahu, aku tidak lebih kuat dari dirinya.
Aku ini Laskar. Seorang vokalis dari kelompok kecil yang sering dianggap tak lebih dari sekadar kebisingan. Anak yang selalu jadi bahan perbandingan di meja makan, adik dari Masku yang sempurna, dan anak Mama yang katanya tak punya masa depan. Tapi hanya Nala… hanya perempuan bernama Nala yang mau mengingatkanku akan lirik laguku sendiri, lirik yang sudah lama aku lupakan. Terkadang aku berpikir, mungkin jika aku tidak seberisik ini, aku tak akan pernah ditemukan. Tapi Nala... dia menemukanku, bahkan di saat aku terbungkam oleh kesendirianku.
Suatu hari, kulihat Mama memeluknya erat. Nala. Perempuan itu. Setelahnya, kulihat ia melangkah pergi, membawa serta sesuatu dari Mama, mungkin luka, mungkin rindu, entahlah. Yang jelas, Mama tidak menyembunyikan gurat kesedihannya.
“Mama khawatir sama Nala.” Nada suaranya turun. Tak ada lagi ketegasan yang biasa terdengar saat Mama membahasiku atau bandku. Yang ada hanya rasa kehilangan.
“Kenapa?” tanyaku, sok santai, padahal jantungku memukul-mukul tulang rusuk.
“Bandung itu kota baru. Gimana kalau dia nggak bisa adaptasi?”
“Dia mau ngapain ke Bandung?”
“Dia pindah karena dapat kerjaan di sana.”
Dan saat itu aku tahu, dia sedang kabur. Kabur dari luka. Dari rumah ini. Dari kenangan akan Masku, yang sudah menikah dengan adiknya sendiri. Luka yang tak pernah sempat ia keluhkan.
Lalu, seperti adegan dalam film yang terlalu klise, aku melihatnya lagi. Masih Nala yang sama, tenang, teduh, dan… bersama lelaki lain. dr. Bayu, dokter yang dulu menangani Kakek. Senyum mereka sopan, langkah mereka berjarak, tapi tetap saja, dadaku serasa diguyur es. Cemburu dan penyesalan berpadu jadi racun.
Lewat sedikit kuasa orang tuaku, aku gali kabar tentangnya. Dan yang kutemukan bukan hanya kabar, tapi hantaman. Nala sedang sakit. Sakit yang membuatnya menggigil di balik selimut rumah sakit. Kupandangi dia dari balik kaca, langkahku berat, tapi akhirnya kuhampiri juga. Dia kaget saat melihatku. Tapi tak sempat menolak, kugenggam tangannya. Kuberi dia genggaman yang dulu pernah ia berikan padaku, di saat dunia seolah ingin menelanku bulat-bulat.
“Aku bisa sendiri,” katanya. Tapi aku menatapnya lekat.
“Enggak. Kali ini, giliranku yang nemenin kamu.”
Hari-hari setelah itu kami habiskan bersama. Aku, si anak band yang dulu cuma tahu hidup dari panggung ke panggung, tiba-tiba menemukan arti tenang di balik hiruk-pikuk. Kukorbankan banyak hal. Bahkan semuanya. Nama, kebebasan, bahkan egoku. Tapi semakin lama aku bersamanya, semakin kabur rasanya... siapa sebenarnya yang lebih dulu menyelamatkan siapa.
Terapis menutup buku catatan di pangkuan. Sesi itu terasa lebih lama dari biasanya. Hari ini aku akhirnya menyelesaikan cerita tentang Nala Arumi.
“Dia kuat, ya,” kata Bu Terapis pelan. “Perempuan yang kamu ceritakan itu.”
Aku menatap keluar jendela. Langit pucat. Suara jam berdetak seolah memantul dari dinding-dinding pikiranku.
“Iya,” jawabku, pelan. “Terlalu kuat untuk dilahirkan di dunia yang salah.”
Bu Terapis mengangguk kecil. Lalu setelah jeda yang sunyi, ia berkata,
“Laskar... kamu ingat, ya? Nala itu hanya tokoh fiksimu. Dia tidak nyata.”
Aku tidak langsung menjawab. Tanganku mencengkeram kursi roda yang kududuki. Udara di ruang itu jadi lebih dingin dari biasanya.
“Kalau dia nggak nyata, Bu... Kenapa rasanya semua jadi kosong sejak dia pergi?”
Kami terdiam. Sunyi menggantung di antara kami. Lalu ia mulai merapikan mapnya dan berkata,
“Oke, kita cukupkan sesi hari ini. Oh ya, besok kamu akan berbagi paviliun dengan penghuni baru. Namanya... Nala Arumi.”
Darahku seperti berhenti mengalir.
“Maaf?”
“Nala Arumi. Dokter bilang, dia dulunya penulis. Tapi sejak kecelakaan, dia kehilangan kemampuan bicara. Kupikir... akan menarik melihat dua penulis saling menginspirasi.”
Aku terpaku. Nama itu, yang selama ini kupikir hanya milik tokoh fiksi dalam pikiranku, ternyata hidup. Bernapas. Berjalan.
“Dia... nyata?” tanyaku nyaris berbisik.
Bu Terapis tersenyum samar.
“Sangat nyata. Mungkin... terlalu nyata untuk bisa dimengerti.”
Aku menggerakkan kursi rodaku ke dekat jendela. Di taman paviliun yang mulai sepi, aku melihatnya. Seorang perempuan duduk di bawah pohon kamboja. Rambutnya dikepang longgar. Matanya kosong, menatap langit.
Aku mengamati jemarinya yang pelan-pelan menggoreskan sesuatu di buku catatan di pangkuannya. Lalu dia berhenti menulis, menutup buku itu, dan menatap ke arah jendela. Menatap ke arahku. Seketika dadaku sesak oleh sesuatu yang tidak bisa kutuliskan.
Dan kembali aku bertanya, bukan tentang dunia, tentang realitas: Apakah Nala adalah tokoh yang kutulis? Atau sebenarnya, akulah yang hidup di dalam kisahnya, kisah yang pelan-pelan ia lupakan, tapi tak pernah selesai?