Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin bertiup kencang dari ujung selatan pusat kota. Hamparan laut membentang mempertunjukkan lembaran biru yang menyerupai lukisan cakrawala seorang seniman. Rumah-rumah anyaman bertengger malu di kejauhan, seolah kehadirannya ingin bersembunyi di balik keramaian dunia. Burung camar beterbangan di atas taman, diiringi tawa anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki, beban, dan luka.
Di atas sebongkah batu karang, seorang perempuan duduk terdiam menatap kosong pemandangan di hadapannya. Namanya Arunika. Perempuan yang baru menginjak kepala tiga, dengan tubuh tegap dan rambut panjang yang diikat bak ekor kuda, terlihat murung sedari tadi. Kemeja linen longgar dan celana bahan yang ia pakai sedikit terlihat kusut, sama seperti pikirannya yang sedang beradu suara dengan dentuman ombak di lautan.
Arunika memilih untuk menghabiskan jatah liburannya di sebuah pantai. Baginya, pantai merupakan tempat ternyaman untuk melepaskan semua penat dan keluh kesah yang ia hadapi. Di sanalah, segala luka bisa lepas sementara. Segala perih bisa reda meski tak sepenuhnya sirna.
Meskipun ia tahu bahwa apa yang ia lakukan tidak akan pernah bisa menyelesaikan semua hiruk-pikuk di perkotaan, ia tetap butuh energi lebih supaya dirinya bisa bangun lebih kuat lagi. Sebab, dalam beberapa bulan terakhir, Arunika sering merasa sesak. Awalnya ia pikir hanya sakit biasa, tetapi setelah diperiksa, ia sedikit mengalami masalah kesehatan terhadap mentalnya.
Dokter menyarankan untuk tidak terlalu memikirkan semuanya sendirian.
“Kalau kamu sudah mulai merasa capek, jangan dipaksakan dulu untuk bekerja terlalu ekstrem, ya. Sesekali coba kamu kasih waktu untuk diri kamu sendiri, supaya kamu tidak merasa banyak beban di kepala.”
Arunika hanya mengangguk. Meskipun setelahnya, tetap saja pikirannya penuh setiap malam. Selepas kerja, ia langsung merebahkan badan di kamarnya dan memutar lagu sambil menggulir media sosial. Tak lupa, ia juga menangis di tengah malam, memikirkan semua ucapan baik tentang pekerjaan, cinta, keluarga, pasangan, keuangan, hingga apa pun yang ia derita, ia keluarkan dalam unggahannya di X.
“Nika, kamu udah mau tiga puluh tahun, loh. Kapan mau nikah?” celetuk temannya suatu hari.
“Ah, siapa juga yang mau sama cewek tomboy kayak dia,” ujar temannya lagi.
“Hidup lo kerja mulu, Nik. Nggak punya teman, ya?” ucap seseorang saat merayakan ulang tahun kantornya.
“Kamu kalau kayak gini terus, aku nggak sanggup, ya. Kita putus,” ucap mantannya dua tahun lalu.
Dan pertanyaan-pertanyaan serta ejekan lain yang lebih menyakitkan.
Tapi setiap kali ucapan itu dilontarkan, Arunika selalu membalasnya dengan senyuman penuh keramahan. Meski setelahnya, ia menyimpan semuanya dalam hati dan menuangkannya dalam gelap malam yang tak pernah sepi.
Sebenarnya, Arunika bukan orang yang mudah tumbang. Ia tumbuh dalam kehidupan yang mengajarkannya untuk menjadi seorang perempuan yang tidak manja. Sejak kecil, ia sudah aktif mengikuti komunitas karate. Ditambah, setiap pulang sekolah ia juga harus belajar tambahan di lembaga bimbingan belajar dekat rumahnya. Ayahnya seorang tukang mebel, sedangkan ibunya merupakan seorang guru. Ketegasan dan kedisiplinan muncul dari sosok ayahnya yang tak pernah mengenal kata menyerah, pun dengan sifat rajin dan baik hati yang menular dari karakter ibunya.
Meskipun sejak SD hingga SMA Arunika sering dibuli karena perawakannya yang kurus, kulitnya cokelat legam, tomboy, dan kaku karena lebih memilih membaca buku daripada nongkrong bersama teman-temannya, ia tetap menghadapi semuanya dengan dukungan kedua orang tuanya.
“Nama doang bagus. Yah, mukanya item, gosong!” ledek teman sekelasnya.
“Cewek kok ikut karate? Sana, main masak-masakan aja!”
“Percuma pintar kalau nggak ada yang suka, mah.”
Setiap kata-kata itu dilontarkan, Arunika hanya diam. Ibunya bilang, ia tidak boleh membalas ucapan buruk dengan tindakan buruk juga. Alhasil, ia hanya menyimpannya di bawah selimut tipis, bersama air mata di setiap malam.
Di hadapan orang lain, Arunika adalah sosok yang selalu dianggap tegar dan tahan banting. Meskipun ia tahu bahwa ia adalah manusia paling lemah jika sendirian. Semua ucapan yang menancap di hatinya ia simpan dalam-dalam dan menjadikannya bahan bakar untuk belajar lebih giat, lebih keras, lebih sungguh-sungguh.
Ia tahu, satu-satunya jalan keluar adalah menjadi orang yang tak bisa diremehkan.
Tapi semuanya berubah saat kedua orang tuanya dan adiknya meninggal dalam suatu kecelakaan. Saat itu, keluarganya sedang menikmati liburan ke sebuah pantai. Dalam perjalanan itu, Arunika sempat menghabiskan tawa bersama keluarganya. Namun selepas itu, sebuah truk besar menabrak mobil keluarganya hingga hancur.
Di antara mereka berempat, hanya Arunika yang selamat. Beruntung, ia terselamatkan meski harus mengalami benturan di kepalanya. Meskipun demikian, ia harus menerima fakta menyedihkan bahwa keluarganya sudah pergi meninggalkannya.
Saat itu, ia baru menginjak semester satu. Dengan penuh amarah, dendam, dan kebencian, Arunika tumbuh menjadi anak yang temperamen. Kejadian menyakitkan itu membuatnya menjadi sosok yang pendendam. Ia lebih memilih tinggal sendirian daripada harus hidup bersama pamannya yang seorang guru agama.
Selepas kejadian itu, Arunika kembali hidup dengan persona yang sangat jauh dari dirinya dahulu. Ia mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang untuk meredakan rasa pedihnya. Setiap minggu ia juga pergi sendiri ke bar untuk meneguk sebotol alkohol yang ia pesan dengan gaji sampingannya sebagai seorang akuntan. Beberapa kali ia mencoba menjalin hubungan kasih dengan lelaki yang ia anggap seperti ayahnya. Namun tak lama setelahnya, ia mendapati pacarnya sedang berhubungan badan dengan wanita lain, sehingga membuat dirinya semakin menjadi sosok yang penuh kebencian.
Meskipun demikian, Arunika masih memegang teguh kecintaannya terhadap dunia pendidikan. Ajaran kedua orang tuanya membuat dirinya gemar membaca dan belajar. Di sela-sela kesibukannya dalam berkuliah, ia masih menyempatkan waktu untuk pergi ke perpustakaan membaca buku-buku pinjaman. Ia juga sangat aktif dan telaten dalam mengikuti perlombaan-perlombaan. Alhasil, di hari kelulusannya, Arunika mendapat gelar Mahasiswa Berprestasi.
Karena usahanya yang giat dan penuh ambisi, kini Arunika diangkat menjadi seorang manajer keuangan di sebuah perusahaan periklanan ternama. Ia pernah memimpin kampanye besar-besaran untuk merek internasional, mendapatkan penghargaan nasional, dan menjadi mentor bagi banyak karyawan muda. Namanya dikenal sebagai sosok yang ceria, energik, penuh ambisi, dan berprestasi.
Namun di balik semua itu, Arunika masih menyimpan versi kecil dirinya yang dulu—yang merasa bahwa dunia tidak pernah adil kepadanya. Yang merasa tidak pernah dihargai jika tidak memiliki prestasi. Yang merasa bahwa semua pencapaiannya itu tidak cukup untuk menutup luka-luka lama.
Pernah suatu malam, setelah dirinya diangkat menjadi manajer keuangan di kantornya, ia duduk di dalam taksi online dan menangis diam-diam di kursi belakang. Ada perasaan bangga yang melintas dalam dirinya atas pencapaian hidupnya, tapi di saat yang bersamaan, ia malah merasa sangat kosong. Ia berhasil. Tapi... untuk siapa?
Di pantai inilah, untuk kali keduanya setelah sekian puluh tahun, Arunika mencoba duduk diam. Pantai ini merupakan pantai pertama yang ia kunjungi bersama keluarganya. Akan tetapi, di sinilah rekam memori buruknya berawal.
“Bisa nggak aku menerima semua ini dengan tenang?” bisiknya lirih.
Langit mulai berubah warna. Senja melukis cakrawala dengan semburat jingga yang cantik. Arunika menunduk, mengambil batu kecil, lalu melemparkannya ke laut.
“Apakah aku benar-benar bahagia?” tanyanya pelan.
Ia kembali mengulangi, “Apakah aku sudah bisa menerima semuanya?”
Tak ada jawaban. Hanya debur ombak yang menjilat pantai seolah hendak menjilat luka-lukanya.
Esok paginya, Arunika bangun lebih pagi dari biasanya. Ia menyusuri pasar tradisional kecil di dekat penginapan, membeli kopi saset dan pisang goreng, lalu duduk di warung bambu milik Bu Tati, seorang janda paruh baya yang ramah.
“Sendirian, Mbak?” tanya Bu Tati.
Arunika mengangguk. “Iya, Bu. Lagi menjauh dari keramaian.”
Bu Tati tertawa. “Kadang yang ramai bukan sekitar, tapi pikiran kita sendiri, loh.”
Kalimat itu membuat Arunika terdiam.
Hari itu, ia berjalan tanpa tujuan. Menyapa anak-anak kecil yang bermain layang-layang, berbincang dengan nelayan, dan mencatat setiap percakapan yang menyentuhnya di buku kecil yang selalu ia bawa. Ia menyadari bahwa hidup bukan soal membuktikan diri, melainkan soal penerimaan.
Dua minggu di pantai membuat Arunika seperti kembali ke titik nol. Ia mulai menyusun ulang makna hidup di kepalanya. Ia tak lagi ingin jadi “paling hebat” atau “paling cepat”. Ia ingin jadi versi dirinya yang tenang, yang damai, yang tidak dikejar bayang-bayang masa lalu.
Ia menulis sebuah tulisan untuk dirinya sendiri:
“Arunika Putri Edelwies, apa yang ingin kamu kejar dari semua ini? Bukankah kamu adalah anak periang yang selalu dibanggakan oleh kedua orang tuamu? Bukankah sejak kecil kamu adalah anak berprestasi? Mengapa kamu merasa belum puas dengan semua itu? Apa yang ingin kamu kejar? Apa yang ingin kamu buktikan? Jika ada orang yang menyakitimu, bukankah mereka juga merasakan hal yang serupa sehingga tak ada ruang pelampiasan selain kepada dirimu? Mengapa kau hiraukan semua ucapan sampah itu?
Hei, Arunika Putri Edelwies. Namamu sudah sangat cantik. Tuhan menciptakanmu dengan keindahan yang sama seperti hamparan pantai yang menyejukkan. Mengapa kau harus minder dengan perawakan dirimu? Mengapa kau harus meragukan jalan yang telah Tuhan rencanakan?
Coba berikan sedikit ruang untuk dirimu memaafkan… untuk penerimaan… untuk penyembuhan… bahwa dirimu adalah makhluk terbaik yang telah Tuhan ciptakan.”