Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Emang si Vio kerja apa?"
"Si Vio kok di rumah terus? Nganggur, ya?"
"Si Vio udah lama tamat kuliah kok belum dapat kerja?"
Pertanyaan-pertanyaan menyebalkan tersebut kerap Viola dengar dari mulut tetangga. Tanpa segan mereka menanyakannya pada Hesti ketika mama Viola itu sedang membeli sayur atau menyapu teras. Berulang kali Viola mendengar Hesti menjelaskan pada mereka bahwa Viola bekerja secara jarak jauh sebagai freelancer. Namun, tampaknya para tetangga tak percaya atau mungkin memang tak mau percaya.
Setamat kuliah dua tahun lalu, Viola memang belum juga mendapatkan pekerjaan tetap di perusahaan. Akan tetapi, Viola sudah memiliki penghasilan sendiri dengan bekerja freelance sebagai graphic designer dan content writer. Dia juga menulis fiksi di platform digital untuk mendapatkan uang tambahan. Penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupan Viola dan sang mama, bahkan dia bisa menabung sisanya.
Viola dan Hesti hanya tinggal berdua sepeninggalan Abdi, papa Viola. Hesti ingin menggantikan pekerjaan mendiang suaminya berjualan di pasar. Namun, Viola tak mengizinkan karena Hesti menderita asma. Viola tak ingin penyakit mamanya bertambah parah jika bekerja keras. Seperti realitas klise kehidupan kaum menengah ke bawah lainnya, Viola pun terpaksa menjadi tulang punggung untuk keluarga.
Satu hal yang disyukuri oleh Viola bahwa dia adalah anak tunggal sehingga dia hanya perlu menghidupi dirinya dan sang mama saja. Tabungan yang ditinggalkan oleh mendiang papanya tak banyak. Viola harus bisa mencari pemasukan tetap. Pandemi yang melanda sejak dua tahun lalu melengkapi kesulitan Viola mencari pekerjaan hingga menjadi freelancer adalah salah satu jalan baginya untuk bertahan.
Viola tak ingin menyerah, meski kadang mengeluh. Terlahir dari orang tua dengan latar belakang keluarga sederhana, Viola berusaha menerima kenyataan untuk tetap waras menjalani hidup. Viola decides to live her life. Namun, kenapa mulut tetangga begitu berisik? Apakah mereka tidak tahu bahwa mencari pekerjaan tetap itu tidak mudah? Dan apakah mereka tidak tahu bahwa menjadi freelancer juga bisa menghasilkan?
"Ma, kenapa tetangga pada usil, sih?" tanya Viola untuk ke sekian kali.
"Usil gimana?" Hesti balik bertanya tanpa menoleh. Dia sedang membuat kerajinan dari bekas botol mineral yang hasilnya akan dijual ke online marketplace.
"Ya, usil. Suka tanya-tanya pekerjaan Vio, padahal kan udah Mama jelasin kalau Vio itu freelancer dan berpenghasilan. Masih aja mereka menganggap Vio pengangguran," sungut Viola sambil bergantian menatap layar laptop dan wajah mamanya. Konsentrasinya untuk menulis artikel sedikit buyar karena teringat akan omongan tetangga.
"Jangan ambil hati, Vio. Tetangga biasa begitu, mereka hanya penasaran."
"Kalau memang cuma penasaran, seharusnya setelah dijelaskan mereka diam, dong. Bukannya terus-terusan nanya. Mana kadang cara mereka bertanya seolah memojokkan." Tanpa sadar Viola menyilangkan lengan dengan ekspresi cemberut.
Hesti mengerutkan kening melihat kekesalan Viola, lantas tertawa dan menghentikan pekerjaannya. Dia lalu beringsut mendekati Viola dan menjawil pipi anak gadisnya itu.
"Para tetangga di kontrakan kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah seperti kita. Rata-rata penghuni kontrakan di sini adalah orang-orang perantauan dengan latar pendidikan yang berbeda. Mungkin mereka berpikirnya masih konvensional, bahwa bekerja itu, ya, berangkat dari rumah ke tempat kerja." Hesti mengutarakan pendapat.
Dalam hati Viola membenarkan perkataan mamanya. Istilah Work from Home mungkin sudah akrab didengar selama pandemi. Namun, istilah itu lebih umum dipakai untuk para karyawan tetap satu perusahaan yang bekerja dari rumah. Mungkin tetangga mereka memang belum terlalu tahu bahwa banyak pekerjaan freelance yang bisa dilakukan secara digital dan jarak jauh, seperti pekerjaan Viola saat ini.
"Benar juga, Ma. Tapi tetap aja enggak enak kalau dengar omongan mereka." Viola terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Maafkan Viola, Ma. Kalau Viola dapat kerja kantoran pasti Mama enggak bakal ditanyain terus sama mereka tentang Viola."
"Kamu ini ngomong apa, Vio. Justru mama yang harusnya minta maaf. Mama sangat berterima kasih sama kamu karena sudah bekerja memenuhi kebutuhan hidup kita. Apa pun pekerjaan kamu, asal halal dan positif, mama senang melihatnya. Mama bangga sama kamu, Nak." Hesti membelai rambut Viola.
Senyum Viola terbit mendengarnya. "Terima kasih juga karena Mama selalu menyemangati Vio selama ini. Vio janji bakalan semangat kerja terus karena Vio masih punya banyak mimpi. Salah satunya pengen beli rumah yang ada pagarnya biar kita enggak tinggal di kontrakan begini yang tetangganya rapat," ujar Viola.
"Amin." Hesti balas tersenyum. "Kalaupun kita sudah punya rumah sendiri yang ada pagarnya, kita tetap harus bersosialisasi dengan tetangga karena tetangga itu adalah orang terdekat kita di lingkungan tempat tinggal."
Viola mengangguk, lantas berkata, "Iya, Ma. Alasan utama Vio ingin beli rumah ... supaya kita punya rumah sendiri, supaya kita enggak perlu bayar kontrakan lagi. Kalau punya rumah nanti, Vio pengen ada tamannya biar enggak banyak debu. Mama harus tinggal di rumah yang nyaman dan sehat."
Mendengar ucapan Viola, Hesti segera menarik anak gadisnya itu ke dalam pelukan. "Terima kasih, Nak. Seharusnya menyediakan rumah itu menjadi tanggung jawab Mama dan papa. Maafkan kami sebagai orang tua kamu tidak bisa memberikan yang seharusnya."
"Jangan bilang begitu, Ma. Dulu alasan rumah kita digadaikan salah satunya untuk biaya kuliah Vio. Mama dan papa sudah melakukan yang terbaik." Viola menghapus air mata Hesti yang mulai menetes.
Viola tak bisa menahan haru ketika sang mama kembali merengkuhnya dalam pelukan. Sambil menitikkan air mata, dia teringat lagi bagaimana dulu rumah kecil mereka berakhir terjual ke bank karena begitu banyaknya keperluan hidup. Biaya kuliah Viola dan biaya berobat Hesti. Viola sempat menolak untuk kuliah karena kendala biaya, tetapi orang tuanya menginginkan agar dia melanjutkan pendidikan.
Kini Viola sedikit merasa bersalah karena setelah perjuangan kedua orang tuanya, dia belum bisa mendapatkan pekerjaan tetap. Meskipun membiayai hidupnya sudah menjadi kewajiban orang tua dan tak ada tuntutan padanya untuk membalas budi, tetap saja ada rasa sedih di sudut hati Viola. Namun, Viola merasa beruntung karena orang tuanya sangat bijaksana dan memahaminya.
"Eh, Vio ada di rumah. Belum dapat kerja juga, ya, Vio?" Suara seorang tetangga yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu membuyarkan momen kebersamaan antara Vio dan mamanya.
Mendengar pertanyaan tetangga, Viola hanya menyunggingkan senyum pamungkasnya seperti biasa. Selanjutnya Hesti yang mengobrol dengan tetangga tersebut, sedangkan Viola melanjutkan pekerjaannya. Begitulah kehidupan di lingkungan kontrakan yang berdempetan. Tetangga bisa saja muncul jika pintu terbuka. Viola dan mamanya memang sengaja membuka pintu siang itu sebagai penerangan alami.
Sambil meneruskan pekerjaan, Viola berdoa dalam hati agar keinginannya untuk memiliki rumah bisa terwujud. Kontrakan tiga petak di pinggiran Jakarta itu sebenarnya cukup layak untuk mereka tinggali. Namun, siapa yang tak ingin memiliki rumah sendiri? Khayalan mengatur dekorasi bersama sang mama sudah bermain di benak Viola. Indahnya bermimpi di siang hari. Tanpa sadar, Viola mengulum senyum.
***
Hari masih pagi ketika Viola sibuk mematut diri di depan cermin. Dia mengenakan kemeja putih dan rok span selutut berwarna hitam. Hari itu dia akan ada wawancara kerja sebagai editor di sebuah penerbit. Meski penerbit tersebut tidak mewajibkan dress code yang formal, Viola tetap memilih setelan formal agar lebih rapi dan terasa benar seperti sedang wawancara kerja. Senyum lebar terlihat di wajah gadis itu.
Sekali lagi Viola memperhatikan penampilannya, sebelum kemudian keluar kamar. Di meja makan, sang mama sudah mempersiapkan sarapan berupa roti dan teh. Viola segera melahapnya karena tak ingin membuang waktu. Usai sarapan, dia segera mengenakan sepatu pantofel berwarna hitam dengan hak yang tak terlalu tinggi. Lalu, dia berpamitan pada Hesti seraya menyandangkan sling bag miliknya.
"Viola pergi dulu, ya, Ma." Viola menyalami tangan Hesti.
"Ya, hati-hati. Cantiknya anak mama." Hesti tersenyum menatap anak gadisnya.
Viola balas tersenyum, lantas berbalik. Baru beberapa langkah dari pintu rumah, seorang tetangga menyapa Viola. Dengan sopan, Viola segera menyahuti sapaan tetangga tersebut. Wanita paruh baya itu memandangi penampilan Viola dari puncak kepala hingga ujung kaki. Sungguh Viola merasa risih, tetapi dia tak berkata apa pun. Hanya menjawab pertanyaan sang tetangga bahwa dia akan pergi wawancara kerja.
"Oh, mau wawancara kerja. Pantas rapi banget," komentar Bude Dian mendengar jawaban Viola.
"Nah, begitu, dong. Cari kerja biar kamu enggak di rumah terus, Vio," imbuh Tante Sarah, seorang tetangga yang lain sambil menyuapi anaknya yang masih balita.
Viola tersenyum kecut. Lagi, dia harus menghadapi komentar seperti itu dari tetangga. Sebenarnya Viola tak ingin menanggapi dan segera beranjak, tetapi takut dianggap tak sopan. Baru saja dia akan menjawab ketika mendengar suara dehaman. Viola menoleh ke arah pintu rumahnya dan mendapati Hesti masih berdiri di sana. Kali ini Viola tersenyum lega, ada mamanya yang akan membantu bicara.
"Seperti yang saya selalu bilang, Bude, Mbak. Viola selama ini sudah bekerja, tapi kerjanya di rumah. Dia kerja jarak jauh sebagai freelancer dan sudah berpenghasilan. Justru selama ini kehidupan kami, ya, dari penghasilan Viola." Hesti dengan sabar menjelaskan kepada para tetangga.
"Ya, tapi enggak tetap penghasilannya. Kalau dapat kerja tetap dan kantoran gitu kan enak, gajinya pasti tiap bulan. Syukur-syukur kalau dapat gaji besar," sahut Bude Dian.
"Benar itu. Lagian kan biar si Vio ini ada pergaulan juga. Jangan di rumah terus kayak anak enggak ada pergaulan, enggak ada kehidupan. Apa istilahnya, tuh? Nolep bukan, sih?" Tante Sarah tak mau kalah menimpali.
Perlahan Viola menghela napas, berusaha menahan kekesalannya. Mungkin apa yang dikatakan oleh para tetangganya itu ada benarnya. Namun, tetap saja terasa tak etis karena mereka terkesan mencampuri hal pribadi orang lain yang bukan menjadi urusan mereka. Sangat sering mereka mengomentari pekerjaan Viola dan mengguruinya. Padahal, mereka juga bukan sekali meminjam uang padanya ketika butuh.
Viola juga merasa sedikit sebal dengan komentar tentang kehidupannya yang terkesan tak punya kehidupan dan pergaulan. Dia tak menyangkal bahwa dia lebih banyak berdiam diri di rumah. Namun, itu karena dia sibuk bekerja, bukan berleha-leha. Lagi pula, sesekali dia masih bepergian dengan teman kuliahnya walaupun tak bisa terlalu sering karena mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Dari sudut mata, Viola melihat Hesti masih ingin menyahuti komentar Bude Dian dan Tante sarah. Segera Viola memberi isyarat pada mamanya agar tak lagi menanggapi komentar para tentangga tersebut. Semua komentar mereka sudah sering ditanggapi berulang kali. Untuk apa terus menanggapi hal yang sama? Anggap saja komentar tersebut seperti kicauan burung di pagi hari yang tak pernah terdengar lagi.
"Viola pergi, ya, Ma." Viola berpamitan sekali lagi. "Mari Bude, Tante."
Setelah berkata begitu, Viola bergegas melangkah. Dia harus berjalan sekitar setengah kilometer menuju halte bus Transjakarta. Suasana hatinya yang begitu indah tadi pagi menjadi sedikit terganggu karena omongan tetangga. Namun, dia berusaha untuk segera melupakannya. Tak baik menyimpan rasa kesal, apalagi terhadap tetangga. Sambil bernyanyi kecil, Viola kembali berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Sekitar satu jam perjalanan, Viola tiba di kantor penerbit tempat dia melamar pekerjaan. Dia menunggu bersama para peserta wawancara lainnya sampai kemudian tiba gilirannya untuk diwawancarai. Sebelumnya, Viola sudah melakukan wawancara dengan penerbit tersebut secara jarak jauh. Kali ini dilakukan secara tatap muka. Dengan percaya diri, Viola menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diberikan.
"Oh, ya, Viola. Kamu kan posisinya junior editor, nih. Nanti juga masih akan dikasih training sebelum benar-benar jadi editor tetap di sini. Tidak apa-apa, 'kan?" tanya si pewawancara memastikan.
Viola mengangguk. "Ya, saya siap mengikuti training."
Si pewawancara tersenyum mendengar jawaban Viola dan mengatakan nanti penerbit akan menghubunginya lagi jika diterima. Setelah saling bersalaman, Viola beranjak keluar ruangan wawancara dengan wajah semringah. Sambil tersenyum, dia meninggalkan kantor penerbit tersebut menuju halte bus Transjakarta untuk pulang. Viola menghela napas lega karena sesi wawancara tadi berjalan lancar.
"Sesulit-sulitnya menjawab pertanyaan interview, ternyata lebih sulit lagi menjawab pertanyaan tetangga." Viola berkata dalam hati sambil menahan tawa.
Benar saja. Sesampainya kembali di rumah, para tetangga kontrakan tengah berkumpul di pelataran pada hari yang sudah menjelang siang itu. Tak ayal, Viola pun diberondong pertanyaan oleh mereka tentang wawancara kerjanya. Berhubung suasana hati Viola masih baik, Viola pun menjawab pertanyaan mereka satu per satu. Hesti yang menyambut kepulangan Viola hanya tersenyum memandangi anak gadisnya itu.
"Sudah dulu, ya. Viola masih capek dan mau makan siang." Hesti berkata sambil berseloroh karena dilihatnya para tetangga tak juga tampak ingin mengakhiri obrolan dengan Viola yang sudah terlihat letih.
"Ya, sudah. Makan siang dulu sana, Neng Vio. Makan yang banyak biar kuat nanti kalau pergi-pulang kerja naik bus," sahut Bude Dian.
Viola hanya mengangguk dan tertawa kecil. Dengan wajah lega, dia masuk ke dalam rumah mengikuti langkah Hesti. Usai berganti pakaian, mereka menikmati hidangan yang sudah tersedia. Viola langsung berselera makan begitu mencium harum masukan yang menusuk hidung. Masakan sang mama memang tak ada duanya. Jika sudah bekerja di kantor nanti, Viola pasti akan merindukan momen makan siang bersama.
"Gimana tadi wawancaranya? Lancar, 'kan?" Hesti membuka obrolan.
"Ya, gitu, deh." Viola menjawab singkat sambil mulai menikmati makanannya.
"Gitu gimana?" tanya Hesti penasaran.
"Lancar, kok, Ma. Meski ada pertanyaan yang sulit, tapi masih lebih mudah daripada harus jawab pertanyaan tetangga." Viola tertawa geli hingga hampir tersedak.
Hesti segera menyodorkan minuman pada Viola sambil menahan tawa. Masih diingatnya bagaimana ekspresi wajah anaknya yang canggung ketika mendapat banyak pertanyaan dari para tetangga tadi. Sengaja tadi Hesti tak ikut menimpali agar Viola lebih banyak mengobrol dengan para tetangga. Bukan apa-apa. Dia hanya ingin anaknya lebih banyak berkomunikasi dengan orang lain selain dirinya.
"Para tetangga hanya antusias bertanya karena jarang ngobrol sama kamu. Anak mama ini kan jarang keluar rumah. Mereka memang kadang usil, tapi sebenarnya mereka baik, kok." Hesti berusaha memberi pengertian pada anaknya.
"Iya, sih. Tapi tetap aja mereka kadang menyebalkan," sahut Viola dengan wajah cemberut.
Hesti tersenyum geli. "Ya, begitulah hidup bertetangga, Sayang. Jangan terlalu diambil hati selama mereka tidak mengganggu kita. Anggap saja obrolan dengan mereka itu sebagai latihan komunikasi karena nanti kalau kamu sudah kerja di kantor kan kamu bakalan berinteraksi dengan rekan kerjamu."
"Iya, Ma." Viola akhirnya mengangguk, membenarkan ucapan mamanya.
Usai makan, Viola membuka laptop untuk meneruskan artikel yang tengah ditulisnya. Dia harus menyelesaikan beberapa artikel sebelum deadline. Selama beberapa hari, dia memfokuskan diri pada artikel-artikel tersebut sambil menunggu hasil dari wawancara dengan penerbit tempatnya melamar pekerjaan. Setelah harap-harap cemas menunggu, Viola akhirnya dihubungi kembali oleh pihak penerbit bahwa dia diterima bekerja.
Betapa senangnya hati Viola mendengar kabar itu. Meski gaji yang ditawarkan oleh penerbit tak sebesar penghasilannya dari pekerjaan freelance, Viola sangat bahagia karena menjadi editor adalah salah satu impiannya sejak dulu. Semangatnya bertambah karena dia akan bekerja di kantor penerbit tersebut yang bertempat di salah satu gedung perkantoran di kawasan Sudirman. Tak akan ada lagi omongan tetangga.
"Selamat, ya, Sayang. Jadi editor kan impian kamu. Kita bikin nasi urap untuk syukuran, ya." Hesti berkata dengan mata berbinar setelah Viola menyampaikan bahwa dia telah diterima kerja sebagai editor.
Kening Viola berkerut. "Kenapa bikin syukuran segala, Ma? Kan cuma diterima kerja."
"Enggak apa-apa. Hanya berbagi rezeki dengan para tetangga," jawab Hesti tersenyum.
"Oke, deh. Jangan cuma urap, Ma. Kita masak rendang juga, ya?" Viola meminta persetujuan.
Hesti mengangguk tersenyum sambil mengacak rambut anak semata wayangnya. Berbagi makanan memang sudah biasa mereka lakukan pada para tetangga, tetapi hari itu istimewa. Kebahagiaan yang sederhana bagi Viola dan mamanya. Dengan bersemangat, mereka mempersiapkan segala kebutuhan untuk membuat nasi urap dan rendang yang akan dibagikan kepada para tetangga kontrakan dan sekitarnya.
Viola juga mempersiapkan diri untuk mulai bekerja Senin nanti. Dia harus melaksanakan masa training dengan sebaiknya. Menjadi editor naskah memang hal yang diinginkannya karena dia menyukai dunia literasi. Namun, bukan berarti pekerjaan itu akan menjadi mudah tanpa kendala. Viola akan melakukan yang terbaik demi mimpinya untuk membeli rumah suatu hari nanti. Malam itu Viola tak bisa memejamkan mata.
***
Dua tahun berlalu.
Viola sudah menjadi editor tetap di penerbit tempatnya bekerja. Kini dia sangat dipercaya dan gajinya jauh lebih besar dibandingkan bulan-bulan awal. Meski sudah bekerja tetap, Viola masih tak melepaskan pekerjaannya sebagai freelance content writer dan graphic designer. Hanya saja, Viola mengurangi project yang diambilnya karena sang mama tak ingin dia terlalu lelah bekerja sehingga kesehatannya terganggu.
Sebenarnya Viola tak merasa kelelahan karena dia bisa membagi waktu dengan baik. Namun, dia tetap menuruti nasihat mamanya demi kesehatan. Tak hanya sibuk bekerja sebagai editor, freelance content writer, dan graphic designer, Viola juga berhasil menyeselaikan dua novel di sela waktu senggangnya. Kedua novelnya itu menjadi best seller dan sudah sekian kali dicetak ulang atas permintaan yang besar dari pembaca.
Penghasilan dari semua kerja keras itu ditabung oleh Viola hingga kini dia berhasil mewujudkan impiannya sejak dulu, yaitu memiliki rumah sendiri. Sungguh Viola tak percaya mimpinya benar-benar bisa menjadi nyata. Namun, dia masih merahasiakan rumah yang telah dibelinya itu dari Hesti yang masih terbaring sakit. Viola ingin memberi kejutan kepada mamanya setelah sembuh nanti.
"Ma, Mama cepat sembuh, dong," Viola menggenggam erat tangan sang mama.
"Iya, Sayang. Dokter bilang kan mama bisa segera sembuh kalau banyak istirahat. Kemarin mama terlalu banyak bikin kerajinan tangan karena banyak yang order," jawab Hesti tersenyum.
Meski sudah mengunjungi dokter dan disampaikan bahwa Hesti akan segera sembuh, tetap saja Viola merasa khawatir dengan keadaan mamanya itu. Selama beberapa hari ini, Hesti lebih banyak beristirahat di tempat tidur karena asmanya kambuh disertai vertigo. Viola selalu menemani. Beruntung dia mendapat izin untuk work from home sehingga tetap bisa melakukan pekerjaan sembari merawat mamanya.
Mendengar kabar bahwa Hesti jatuh sakit, para tetangga bergantian menjenguk. Viola mengaminkan perkataan sang mama bahwa tetangga adalah saudara di lingkungan tempat tinggal. Menjaga hubungan baik dengan tetangga tak ada ruginya. Meski kadang merasa sebal dengan omongan tetangga, selama bekerja Viola merasa tenang meninggalkan mamanya di rumah karena ada tetangga.
Ada sedikit kekhawatiran di rumah baru nanti jika tetangga mereka tak akan sepeduli tetangga di lingkungan kontrakan mereka saat ini. Viola menggeleng. Dia harus berpikiran positif. Seperti kata Hesti, mereka tetap harus bersosialisasi dengan tetangga meski rumah mereka nanti memiliki pagar yang tinggi. Perlahan Viola menghela napas. Tak ingin menunjukkan wajah khawatir di depan mamanya.
"Ada apa, Vio? Kok melamun?" Hesti bertanya karena melihat anaknya termenung.
"Enggak apa-apa, Ma," sahut Viola. "Sebenarnya Vio punya kejutan buat Mama."
"Apa itu?"
"Nanti Vio kasih tahu, Ma. Namanya juga kejutan. Kalau Mama sudah sembuh, kita ke sana, ya." Viola berkata dengan wajah berbinar.
Hesti hanya mengangguk walaupun masih terlihat penasaran.
Seminggu kemudian, Hesti sudah benar-benar pulih. Viola juga sudah kembali bekerja ke kantornya seperti biasa. Hingga akhir pekan tiba, Viola pun tak sabar mengajak Hesti untuk pergi ke rumah baru mereka. Dengan menumpangi taksi online, mereka menuju ke kawasan rumah yang baru dibeli oleh Viola, tak jauh dari pusat kota. Viola sengaja memilih lokasi tersebut karena tak terlalu jauh dari kantornya.
Berulang kali Hesti menanyakan tujuan mereka, tetapi Viola masih merahasiakannya. Begitu tiba di tujuan, mereka segera menuruni taksi online. Viola hanya menahan senyum melihat wajah Hesti yang dipenuhi keheranan. Wanita berusia 40 tahunan itu memandangi sebuah rumah bercat putih di hadapannya. Tak terlalu besar, tetapi tampak begitu asri dengan taman kecil di depannya yang dipenuhi tanaman hijau.
"Rumah siapa ini, Vio?" tanya Hesti dengan alis bertaut.
"Rumah kita, Ma," jawab Viola sambil mengembangkan senyum.
Kening Hesti berkerut semakin dalam. "Rumah kita?"
"Yes, this is our home, Ma. Nanti Vio jelaskan di dalam. Ayo, kita masuk." Viola menarik tangan mamanya.
Usai membuka pagar, Viola bergegas membuka kunci pintu rumah. Pintu perlahan terbuka. Viola segera mengajak mamanya untuk melihat-lihat isi rumah tersebut. Hanya rumah sederhana dengan dua kamar tidur. Namun, sudah sangat membuat Viola bahagia karena itu hasil kerja kerasnya. Dan yang paling penting, dia dan mamanya bisa tinggal di rumah sendiri seperti apa yang selalu diimpikannya selama ini.
"Terima kasih, Vio Sayang." Hesti memeluk Viola penuh haru setelah putrinya itu menjelaskan tentang rumah yang berhasil dibelinya dengan uang tabungan.
"Semoga Tuhan selalu memberkahi rezekimu, Nak." Hesti tak kuasa menahan air mata.
Viola hanya mengamini ucapan Hesti seraya mendekap mamanya itu lebih erat. Sampai saat ini, Viola masih tak menyangka bahwa impiannya untuk memiliki rumah akhirnya bisa terwujud. Kasih sayang Hesti sebagai ibu kepadanya selama ini selalu menguatkannya untuk memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang dia lakukan. Maka, kebahagiaan dalam hidup selalu ingin Viola rasakan bersama sang mama.
***
Kamu gak salah baca. Judulnya memang "Work for Home", bukan "Work from Home". Kira-kira kenapa judulnya begitu, ya? Silakan baca. 😁
Ini sebenarnya fiksi. Yang menjadi true story adalah tentang bekerja remote, kadang-kadang disangka gak kerja. 😄