Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Entah siapa yang memulai sebutan best couple pada Seungmin dan Lihwa. Pemuda paras manis, tenang, penyabar, dan gemar menolong. Si gadis mungil, wajah bulat lucu, lesung pipi mengembang tiap kali tawa kecil menggemaskan terdengar.
Itu semua mimpi buruk lagi Lihwa. Sikap bak malaikat Seungmin tak membuatnya nyaman. Perangai berengsek yang tersembunyi, jati diri si pemuda kerap kali menyiksa Lihwa.
Bunga sakura yang mekar pertama kali di musim semi ini! Kau harus melihatnya, Lihwa! Jeritan sanubarimu mungkin saja tersampai.
"Panutan keliru.
"Skenario dan panggung palsu.
"Demi mekarnya bunga sakura kuberdoa tanpa semoga."
Kim Seungmin dan Eun Lihwa—nama diambil dari kata 꽃봉오리 (koochbong-oli) yang berarti kuncup, di Kota Hadong.
Wonder Blossom, cerpen ketiga dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Tak jarang Lihwa mendapat curhatan para gadis yang iri akan hubungannya dengan Seungmin. Dua insan itu dianggap sempurna, best couple panutan seisi sekolah.
Bila Lihwa berkata mereka ada masalah, tiada seorang pun percaya. Padahal, semua tak sama seperti kelihatannya.
Paras manis nan tenang Seungmin mencuri hati Lihwa sejak dulu. Beberapa urusan sekolah membuat mereka dekat secara tak langsung. Puncaknya ketika hari kasih sayang belum lama ini. Sayang, momen yang seharusnya indah, berakhir menjadi kenyataan terburuk sekaligus awal menuju tragedi.
“Ayo menjadi pasangan …,” Seungmin menyodorkan sepasang gelang bergantung beruang rose gold dua dimensi, “seperti yang diinginkan orang-orang.”
Gadis mungil itu tak tahan untuk tersenyum lebar, lesung pipi mengembang. Menambah lucu wajah bulatnya. Lihwa pikir cinta yang selama ini disembunyikan, bisa terbalas. Namun, dia salah.
Saat itu Seungmin memintanya selfie bersama, juga memamerkan gelang couple mereka sebagai simbol ikatan.
Lihwa mempersiapkan kado jauh-jauh hari. Di luar dugaan, ketika dia memberikannya, Seungmin justru kesal, lantas membuangnya. “Buat apa?”
Entah naif atau memang terlalu polos, seharusnya Lihwa menyadari sejak awal jika dia hanya digunakan sebagai pelampiasan amarah Seungmin. Bahkan foto berdua yang diambil barusan, diunggah Seungmin demi memperpanas keadaan—urusan pribadi.
Meski Seungmin tak pernah bercerita, Lihwa tahu bila pemuda memiliki hubungan kurang baik dengan keluarganya. Di samping perasaan yang terlanjur menancap kuat, mungkin hal itulah yang mendorong Lihwa mempertahankan Seungmin atas kata ‘pasangan’.
“Sebelumnya, Seungmin selalu pergi ketika aku menangis. Aku ingin setidaknya …,” Lihwa memandang pohon sakura, saat itu masih kering, “tapi itu mustahil.”
Hampir setiap hari Seungmin menjemput Lihwa berangkat sekolah bersama. Selalu ada saja yang menyambut mereka di lorong atau pintu kelas, berceloteh memimpikan hubungan manis, tenang, berjalan mulus dan sweet—seperti kesannya.
Bel pulang berbunyi belum lama, sedangkan kondisi semua kelas hampir sepi. Siswa memang paling semangat dalam urusan kembali ke kediaman. Lihwa sendiri hanya bersama Jun di kelas.
“Aku sudah memberitahu Seungmin, kalian akan menjadi pelayan di kedai musim semi sekolah kita.”
Kedai musim semi menjadi acara tahunan yang diselenggarakan beberapa sekolah di Kota Hadong. Mengambil lokasi Hwagae Market, pasar paling populer yang selalu ramai dikunjungi wisatawan.
Lihwa terkejut. “Jangan bercanda, Jun!” Dia paling dekat lelaki itu—setelah Seungmin—satu-satunya orang yang mengetahui perangai buruk Seungmin karena siswa lain sama sekali tak percaya. “Padahal aku hendak mengakhiri semua ini!”
Tumpukan kertas diletakkan ke atas meja. “Tak ada gunanya menolak. Semua tentang pelaksanaan kedai musim sekolah telah tertulis di sini.”
“Kau bahkan tidak meminta persetujuanku ….” Lihwa memelas. “Jun, tolonglah ….”
Sorot Jun berubah lembut. “Eun Lihwa.” Dia meletakkan dua tangan terlipat pada meja, memandang gadis itu lekat. “Aku ingin memberi Seungmin kesempatan terakhir untuk benar-benar berada di sisimu.”
Lihwa menunduk. Tetap merasa berat hati.
“Aku akan mengawasi kalian, jadi jangan khawatir.” Jun meraih jemari Lihwa perlahan, ingin meyakinkannya. “Ya?”
“Eun Lihwa!”
Keduanya kompak menoleh ke ambang pintu.
Seungmin berdiri di sana. Senyum lebar memaksa sepasang mata menyipit. Manis sekali berbalut suara lembut. “Mari pulang denganku?”
Mau tak mau Lihwa meninggalkan Jun, pun berhenti mengelak keputusannya yang tiba-tiba mengajukan dia dan Seungmin sebagai pelayan kedai musim semi sekolah.
“Seungmin, Lihwa, sampai jumpa ….” Para gadis tak pernah melunturkan senyum tiap kali best couple melintas. Dibalas dengan kalimat manis dan sudut bibir terangkat lebar. Tangan Seungmin yang tak lepas menggandeng Lihwa, diam-diam memancing rasa gemas tiap orang.
“Bagaimana kelasmu hari ini?” Seungmin menyibak sebagian surai Lihwa ke belakang telinga. “Apa ada tugas merepotkan?”
“Jelasnya ….” Lihwa cemberut. “Kurasa perlu begadang malam ini.”
Seungmin menepuk puncak kepala Lihwa halus. “Jangan memaksa diri, aku akan sedih jika kau sampai jatuh sakit.”
Tawa kecil Lihwa terdengar. Semu merah muda samar-samar menghias pipi. Keduanya bak pemeran utama dalam teater terindah yang disiapkan Tuhan. Sayang, panggung hanyalah tempat palsu untuk bergaya.
Raut Seungmin berubah total sesaat setelah menutup pintu mobil. “Kenapa kau mengobrol dengan Jun?” Dia melirik Lihwa sinis.
Nyali Lihwa menciut. Dia sungguh berharap selalu ada orang lain di sekitar agar Seungmin tetap bersikap baik padanya. Walau dari batin terdalam, tak bisa disangkal jika Lihwa kehilangan rasa nyaman seperti dulu ketika mereka belum resmi berpasangan. “Jun hanya membahas tentang kedai—”
“Aku tidak peduli!” Seungmin menyalakan mesin mobil. Memandang lurus ke jalan. Dia mendengus, lantas kata-kata berikutnya yang keluar terus berbalut rasa kesal. Tak segan berteriak dan memaki.
Butuh tujuh hari mempersiapkan segala keperluan hingga kedai musim semi sekolah dibuka. Timing tidak boleh salah, acara ini diadakan secara istimewa sebagai penyambutan musim semi. Diharap setelah kedai tutup, sakura pertama mulai bermekaran.
Pohon sakura memenuhi jalanan sekitar Hwagae Market, sayang belum ada satu pun kelopak merah muda yang terlihat. Meski begitu, suhu sekitar naik beberapa derajat sudah menjadi pertanda musim semi akan segera mengucap selamat datang.
Lebih dari sepuluh kedai berdiri, dikelola oleh siswa dan satu dua guru dari sekolah masing-masing.
Lihwa dan Seungmin sungguh menjadi best couple pembawa keberuntungan. Puluhan komentar pelanggan terdengar, memuji-muji pelayan rupawan nan ramah. Tak terlihat satu pelanggan pun bosan. Senyum merekah puas tergambar sejak memilih pesanan.
“Baik, mohon ditunggu sebentar. Terima kasih.” Sudut bibir Seungmin terangkat lebar, eye smile membuat diabetes tiap insan memandang. Dia membungkuk hormat sesaat, kemudian membawa daftar pesanan menuju dapur.
Bersamaan dengan itu, Lihwa menata beberapa mangkok dan gelas ke atas loyang, bersiap membawa ke meja pelanggan.
“Lihwa, Seungmin … kerja bagus!” Bu Baek menepuk pundak dua siswanya.
Seungmin mengangguk tersanjung. “Berkat Lihwa, kami bisa menciptakan kombinasi sempurna.”
“Kau melakukan semua dengan baik Seungmin.” Lihwa tersenyum lebar. “Tetap semangat!” Dia mengangkat loyang, lantas melangkah menghampiri meja pelanggan.
Seisi dapur tak bisa menahan gejolak dalam dada. Siapa yang tak gemas melihat kedekatan Seungmin dan Lihwa. Apa daya, mereka hanya bisa berkhayal memiliki kisah cinta menggemaskan dan kehidupan sehari-hari dipenuhi orang imut tersayang.
Padahal, Lihwa justru bersyukur bila kata best couple tak lagi menempel padanya.
Tiga hari penuh tantangan, canda tawa, dan lelah selama membuka kedai musim semi sekolah selesai sudah.
Para siswa sekaligus chef dadakan sibuk membersihkan dapur. Pengurus event merapikan meja kursi, aksesoris, dan lainnya. Sementara Lihwa dan Seungmin diizinkan istirahat secara khusus—teman-teman berkata keduanya sudah bekerja sangat keras sehingga lebih baik tak memberi beban tambahan.
Basecamp di belakang kedai semula dihuni para panitia dari sekolah, sekarang hanya ada Seungmin seorang. Dia duduk sambil meletakkan kepala pada sandaran kursi. Menggunakan brosur seadanya sebagai kipas tangan.
Langkah seseorang memasuki basecamp terdengar seiring ponsel Seungmin bergetar, lantas berdering kencang. Dia melirik melirik siapa gerangan datang, kemudian beralih membaca nama yang tertera di layar.
Seungmin mendengus. Memejam seraya mengerutkan alis. “Eun Lihwa! Tolak panggilan telepon itu!”
Sebelum benar-benar menuruti ucapan Seungmin, Lihwa sempet melihat dari mana sambungan suara diminta. “Kau yakin? Kenapa kali tidak—”
Decakan kesal terdengar. Mendadak Seungmin mengangkat kepala guna memandang Lihwa. “Jangan banyak bicara! Cepat lakukan saja!”
Bibir Lihwa mengerucut. Dia pikir sebaiknya Seungmin mulai membicarakan baik-baik perihal masalah dengan keluarganya. Panggilan telepon dari sang ibu barusan mungkin mejadi kesempatan emas untuk meluruskan semua, tetapi telah dibuang sia-sia. Namun yah, itu hanya tebakan Lihwa.
Seungmin menghela. Kembali menaruh kepala pada sandaran kursi. “Ambilkan air!”
Dengan berat hati Lihwa menurut.
Air mineral habis dalam satu tegukan. “Eun Lihwa.” Seungmin meletakkan gelas kasar, menciptakan bunyi khas menggema. “Besok datanglah ke rumah. Aku bosan terus disudutkan. Kehadiranmu akan membuat gempar, jadi aku bisa menguasai keadaan.”
“Maksudmu kau ingin menjadi pusat permasalahan?” Lihwa menyipit. “Dengan menggunakanku?”
Seungmin mengangguk. “Kujemput pukul sembilan pagi besok. Kau tak bisa menolak.”
Lihwa melirihkan suara, “Tapi besok aku ada rencana dengan teman-teman.”
“Batalkan.” Seungmin seolah tak merasa bersalah.
Seketika Lihwa bungkam. Seungmin selalu saja mengendalikannya. Masih bisa tolerir jika sekadar menyuruh-nyuruh. Namun, jika tindakan Lihwa sampai dibatasi, rasanya berlebihan.
“Kalau begitu, kau tak perlu menjemputku besok …,” jemari Lihwa menggenggam erat. Bekas perasaan mendalam menariknya untuk diam, tetapi akal sehat sudah tak sanggup menyangga.
Seungmin mengernyit. “Apa kau ingin berangkat ke rumahku sendiri—”
“Hubungan kita selesai detik ini juga.” Tatapan Lihwa berubah miris. Dua sisi dalam dirinya bergemuruh, sama-sama ingin bergejolak. Dia tau apa yang harus dilakukan. Kapan harus merelakan sesuatu paling istimewa dalam benaknya, saat ini.
Seungmin mendadak bangkir dari kursi. Menggebrak meja kasar, menimbulkan suara dentuman menggetarkan seluruh tubuh. “Jangan bercanda, Eun Lihwa!”
Lihwa tak ingin merespons. Lagipula, sudah jelas kalimat apa yang akan diucapkan. Dia melepas gelang bergantung beruang rose gold, lantas melemparnya ke arah Seungmin.
Emosi pemuda itu memuncak seketika. Meja, kursi, semua ditendang. Telinga hampir penging mendengar suara dentuman benda keras bersahut-sahutan. Seungmin yang terlihat tenang dan penyabar, hilang entah kemana.
Sorotnya tak bercanda. Sesaat bertemu dengan Lihwa, tetapi gadis itu tak gentar meski tajamnya menembus sanubari. Posisi Seungmin dalam benaknya telah berputar telak, lawan kata dari istimewa.
Getaran tiap kali memandang Seungmin seperti dulu—sebelum hari kasih sayang datang, bukan hanya berkurang, melainkan menghilang total. Berganti kekecewaan.
Lihwa kian miris memandang pemuda itu ketika beragam kalimat kasar keluar dari mulutnya. Sedetik pun tak ada kelembutan menenangkan seperti biasa cara dia bicara. Teriakan, pekikan, Lihwa sungguh tak menyangka begitu tampilan seseorang yang sebagai patokan pasangan terbaik, best couple.
“Kenapa tak memukulku? Padahal, aku yang paling membuatmu kesal.”
Seungmin menghempaskan tumpukan kertas, terbang dan berhamburan bak hujan. Napas terengah-engah. Raut berbalut murka akan membuat tiap orang bergidik ngeri—kecuali Lihwa. “Karena aku lelaki.”
Beberapa saat Seungmin mempertahankan kontak mata, lantas meninggalkan basecamp begitu saja.
Jarak tempat itu dengan kedai cukup jauh. Namun, tetap saja ada sepasang telinga yang mendengar bising barusan. Mengetahui Seungmin melangkah pergi, Jun bergegas menyusul Lihwa ke dalam basecamp.
“Lihwa—”
Gadis itu berlalu melewati Jun. Meski menyadari keberadaannya, tetapi dia memilih mengabaikan.
Diam-diam menjauh dari kedai sekolah. Menyusuri sepanjang jalan, keluar dari area Hwagae Market.
Rembulan mengambil alih tugas penting sang surya. Bintang-bintang kecil menghias langit gelap. Semburat jingga tersisa sedikit di ujung barat, pertanda malam baru saja datang.
Hembusan angin menerpa. Lihwa menyadari suhu udara semakin hangat. Tiba-tiba dia terbelalak. Kanan kiri jalan dipenuhi pohon sakura dan kelopak merah muda telah bermunculan.
Dada Lihwa terasa sesak. Manik berkaca-kaca. Dia ingin mengasihani diri sendiri, mengetahui pohon sakura enam ratus tahun di sekelilingnya bermekaran dan tentang mitos yang beredar.
Sepasang kekasih yang bergandengan tangan melewati jalanan penuh sakura, Wedding Road, dipercaya akan langgeng. Kenyataan menyedihkan, Lihwa justru menyusurinya sendirian.
Isak tangis terdengar. Lihwa mengusap wajah menggunakan tangan. “Bahkan sampai terakhir kalinya ….”
Lihwa masih mengingat keinginannya. Meski tak pernah berdoa, sekalipun tak menyemogakan, tetapi batin terdalam tetap menaruh setitik kecil harapan.
Sebelumnya, Seungmin selalu pergi ketika aku menangis. Aku ingin setidaknya …
Tawa miris terdengar. Lihwa tahu musim semi merupakan momen-momen paling romantis. Namun, dia harus membiarkan sakura melihat dirinya kesepian.
Langkah Lihwa tiba-tiba terhenti ketika seseorang menahan tangannya dari belakang. “Jangan menangis.”
Lihwa berbalik. Dia sudah menduga jika Jun yang datang, tetapi perkiraannya meleset.
Beriringan dengan sakura bermekaran, datanglah musim semi, terwujudnya keinginan, juga tumbuh daun segar di antara pepohonan busuk. Seungmin memandang gadis itu nanar. Sejuta permintaan maaf tak bisa diungkap sekadar kata-kata.
Beberapa menit lalu, Seungmin mengajukan diri ikut serta merapikan keperluan kedai. Dia membawa meja kursi dari basecamp ke atas truk untuk dibawa kembali di tempat penyewaan.
Seungmin melihat gelang bergantung beruang rose gold tak asing. Sementara pada pergelangan tangannya masih melingkar perhiasan serupa. Seseorang nyaris menginjaknya, detak jantung Seungmin seketika meninggi, dia buru-buru menyeru, “Berhati-hatilah!”
Membungkuk guna mengambil gelang, Seungmin tak bisa membayangkan benda itu lecet, apalagi retak, atau bahkan sampai patah, rusak, hingga hancur berantakan. Hal lain mendadak terbesit di pikiran, Seungmin mematung, bagaimana jika selama ini aku membuat Lihwa merasa seperti itu?
“Aku menyesal ….” Seungmin memandang gadis itu lekat. Tak sanggup memikirkan penderitaan bertubi-tubi Lihwa.
Lihwa menunduk memandang jemari Seungmin yang kian erat menggenggamnya. Dia beralih pada jalanan lurus membentang serta sakura memenuhi dua sisi tanpa jeda.
Wedding road, jika sepasang kekasih bergandengan ….
Lihwa belum juga menggenggam tangan Seungmin layaknya pemuda itu. Dalam batin dia tak ingin membuat Seungmin benar-benar berada di sisinya, meski sekaranglah saat yang tepat untuk melakukan itu.
Beberapa kali Lihwa menguatkan diri mencoba melakukannya, selalu ada tarikan dari dalam diri yang menghentikannya.
Mendadak seseorang melepas tangan Lihwa dari Seungmin, lantas ganti menggandengnya. “Aku hanya memberimu waktu selama kedai sekolah masih buka.” Jun menatap pemuda itu sinis. “Kau melewatkannya.”
Seungmin tak terlihat hendak menahan saat Jun membawa Lihwa pergi. Terlebih, tatapan gadis itu barusan—menyiratkan bahwa tak menginginkannya lagi—menambah surut keberanian Seungmin.
“Lihwa ….” Pada akhirnya, Seungmin hanya bisa memandang dari kejauhan. Dia mengambil waktu yang salah. Telah terlambat. “Bukankah kau senang, cintamu sepenuhnya terbalas? Oh benar juga, aku tak lagi memiliki posisi tertinggi di hatimu.”
Seungmin menunduk. Sudut bibir terangkat sebelah. Sesak menahan air mata yang terus mendobrak. “Sampai akhir pun … aku masih beringas.”