Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Wibawa Aparat & Kenaikan Harga
0
Suka
45
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 

Di sebuah negeri yang subur dan kaya akan sumber daya, masyarakat menghadapi kenyataan pahit yang semakin sulit dihindari: harga barang kebutuhan pokok terus meroket tanpa kendali.

Dari hari ke hari, warga hanya bisa mengelus dada melihat angka-angka pada label harga di pasar semakin tinggi, sementara gaji dan pendapatan mereka tetap stagnan. Keadaan semakin memprihatinkan ketika pemerintah tampak tak berdaya menghadapi situasi ini, seolah hanya menjadi penonton dalam permainan yang dikendalikan oleh para pedagang.

Kenaikan harga yang terus melambung ini bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi global atau kelangkaan bahan pokok, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh permainan harga yang dilakukan oleh para pedagang besar.

Mereka dengan mudah menaikkan harga seenaknya, tanpa ada alasan yang jelas. Jika bukan harga yang dinaikkan, maka ukuran dan berat barang yang diperkecil diam-diam, membuat konsumen membayar lebih untuk jumlah yang lebih sedikit.

Fenomena ini semakin merajalela karena aparat pemerintah, yang seharusnya bertindak sebagai pengawas dan pengendali, kehilangan wibawa mereka di hadapan para pelaku usaha.

Para pedagang semakin berani karena tahu bahwa tak ada konsekuensi nyata atas tindakan mereka. Setiap kali ada protes dari masyarakat, pemerintah hanya mengeluarkan pernyataan normatif tanpa ada tindakan konkret.

"Kami akan menindak spekulan!" kata seorang pejabat tinggi di layar televisi, namun janji itu hanya bertahan sebatas pidato. Kenyataannya, harga tetap melambung, dan rakyat tetap harus berjuang sendiri mencari cara untuk bertahan hidup.

Di pasar-pasar tradisional, ibu-ibu rumah tangga kini tak lagi bisa membeli beras seperti dulu. Jika dulu satu kilogram beras cukup untuk keluarga kecil selama beberapa hari, kini dengan harga yang sama, mereka hanya mendapat setengahnya.

"Dulu satu kilogram ini penuh, sekarang tinggal segini saja!" keluh seorang ibu kepada pedagang beras, sembari menunjukkan kantong plastik berisi beras yang tampak jauh lebih sedikit dari biasanya.

Namun pedagang hanya bisa mengangkat bahu.

"Bukan saya yang menaikkan harga, Bu. Harga dari distributor sudah mahal, kami juga harus menyesuaikan," jawabnya, meskipun ia tahu bahwa sebenarnya ada permainan harga yang dilakukan oleh para pemasok besar.

Mereka sengaja menahan stok agar harga naik, lalu menjualnya dengan keuntungan berlipat.

Di toko-toko swalayan, hal yang sama terjadi. Kemasan produk-produk makanan semakin mengecil. Kotak susu yang dulunya berisi 1 liter, kini hanya berisi 900 mililiter, tetapi harganya tetap sama.

Bungkus mie instan tampak lebih tipis, bahkan biskuit dalam kemasan kini hanya berisi setengah dari jumlah biasanya. Konsumen dikelabui dengan kemasan yang tampak serupa, tetapi isinya jauh berkurang.

Sementara itu, pemerintah berusaha meredam keresahan dengan menggelar operasi pasar. Namun, operasi semacam ini lebih banyak bersifat simbolis ketimbang solusi nyata.

Beras murah yang dijanjikan hanya tersedia dalam jumlah terbatas, dan hanya bisa didapatkan oleh segelintir orang yang rela mengantre berjam-jam. Begitu stok habis, harga barang kembali naik tanpa ada yang bisa mengendalikannya.

Di lain pihak, pengusaha besar semakin leluasa. Dengan hubungan erat yang mereka jalin dengan pejabat tinggi, mereka bisa mengamankan bisnis mereka tanpa khawatir akan pengawasan pemerintah.

Tak ada yang berani menindak mereka, karena mereka tahu bahwa hukum bisa dibelokkan dengan uang. Sebenarnya Pemerintah bisa membuat undang-undang dan aturan, bahwa sembilan bahan pokok tidak boleh naik sebelum berkoordinasi dengan pemerintah.

Rakyat kecil semakin terhimpit. Para buruh dan pekerja dengan gaji pas-pasan harus mengurangi konsumsi makanan mereka. Jika dulu mereka bisa makan tiga kali sehari, kini banyak yang hanya bisa makan dua kali, bahkan sekali sehari itupun hanya menunya nasi angking.

Anak-anak yang dulu bisa menikmati susu setiap pagi kini hanya bisa meminum air putih karena harga susu yang semakin mahal.

Kelompok masyarakat miskin semakin terpinggirkan. Mereka yang tinggal di perkampungan kumuh harus memilih antara membeli beras atau membayar listrik. Karena semua barng harganya naik.

Beras naik, gula naik, kopi naik, sayuran naik, BBM naik, minyak goreng naik, gas LPG naik, PAM naik, dan barang-barang lainnya juga naik. Hanya hujan yang turun.

Mereka yang dulu bisa membeli lauk setiap hari, kini hanya bisa makan nasi dengan garam dan air. Masyarakat menjadi lebih kreatif dalam bertahan hidup, tapi di balik kreativitas itu ada rasa putus asa yang semakin mengakar.

Lalu di mana peran pemerintah? Pertanyaan itu semakin sering bergema di ruang-ruang publik. Sayangnya, jawaban yang didapatkan selalu sama: pemerintah tak memiliki cukup daya untuk mengendalikan pasar.

Atau lebih tepatnya, mereka telah kehilangan wibawa mereka sendiri. Aparat yang seharusnya menindak spekulan justru sering kali menjadi bagian dari permainan itu sendiri.

Pejabat-pejabat yang duduk di kursi kekuasaan lebih sibuk mengamankan posisi mereka daripada memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Setiap kebijakan yang dibuat selalu menguntungkan kelompok tertentu, sementara rakyat kecil dibiarkan berjuang sendiri.

Ketika media mencoba mengungkap permainan harga ini, para pejabat hanya tersenyum dan berkata, "Kami sedang mencari solusi terbaik. Mohon bersabar."

Namun kesabaran rakyat ada batasnya. Di berbagai daerah, mulai muncul aksi-aksi protes kecil. Para ibu rumah tangga yang geram dengan kenaikan harga mulai menggelar demonstrasi di depan pasar, menuntut keadilan.

Bahkan lebih ekstrim lagi, beberapa daerah meminta referendum, bahkan ada yang terang-terangan mau memisahkan diri. Tidak tahan lagi dengan korupsi yang terjadi di mana-mana dan ketidak pedulian aparat dalam menanganinya.

Kelompok mahasiswa turun ke jalan, mengecam pemerintah yang dianggap tak berdaya. Namun, suara-suara protes ini sering kali dipadamkan dengan berbagai cara, baik melalui ancaman maupun janji manis yang tak pernah ditepati.

Akhirnya, rakyat biasa hanya bisa kembali pada cara lama: bertahan dan menyesuaikan diri. Mereka yang memiliki lahan kecil mulai menanam sayuran sendiri. Mereka yang memiliki keterampilan mulai mencari penghasilan tambahan dengan berjualan atau bekerja serabutan.

Namun, sekeras apa pun usaha mereka, tetap saja ada batasnya. Tanpa campur tangan pemerintah yang tegas, tanpa aparat yang benar-benar memiliki wibawa untuk mengendalikan harga, situasi ini akan terus berlanjut tanpa ujung.

Negeri yang seharusnya makmur ini kini menjadi tempat di mana harga barang lebih kuat dari hukum, di mana pedagang lebih berkuasa dari aparat pemerintah, dan di mana rakyat kecil hanya bisa pasrah menghadapi ketidakpastian.

Selama wibawa aparat tetap hilang dan pemerintah tak berani bertindak, harga barang akan terus naik seperti rudal hypersonik, dan rakyat hanya bisa menunggu hari di mana mereka tak lagi mampu membeli apa pun yang mereka butuhkan untuk hidup.

Jika ini dibiarkan terus oleh aparat Pemerintah, apakah kamu tidak terpikirkan bahwa suatu saat NKRI bisa tidak ada lagi? Apakah aparat memang tidak perduli asal perut buncit mereka kenyang?

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Wibawa Aparat & Kenaikan Harga
Yovinus
Cerpen
Anak Asrama Gokil
Sky Melankolia
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Orang-Orang Pojok
Aniq Munfiqoh
Cerpen
Bronze
Pesugihan Abah Miun
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
PRADUGA
Lirin Kartini
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Cerpen
Maaf, aku terlambat tahu.
Fianaaa
Cerpen
Gara-gara Jemuran Tetangga
Ais Aisih
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-4
Munkhayati
Cerpen
Day to day
Keyda Sara R
Cerpen
Bronze
Rajo Angek Garang
Gia Oro
Cerpen
Bronze
Kenangan Pada Sebuah Jam Tangan
Yuisurma
Cerpen
Bronze
Bidadari yang Bergoyang
Yuisurma
Rekomendasi
Cerpen
Wibawa Aparat & Kenaikan Harga
Yovinus
Cerpen
Bronze
Membeli Mobil Dengan Air Liur
Yovinus
Cerpen
Kokoliko, Indonesia-Australia: Demi Hidup Yang Lebih Baik
Yovinus
Cerpen
Tutik Sang Maha Benar
Yovinus
Novel
Integritas Penyelenggara Pemilu
Yovinus
Cerpen
Pak Khairul Yang Kharismatik dan Para Ayamnya Yang Usil
Yovinus
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Cerpen
Akhirnya Terjawab Sudah
Yovinus
Cerpen
Pengorbanan Tanpa Batas Sang Ayah
Yovinus
Cerpen
Mulut Mu Adalah Harimau Mu
Yovinus
Cerpen
Klitsco vs Ras Terkuat
Yovinus
Cerpen
Pilkada Tanpa Pilihan
Yovinus
Novel
Peti Mati Suruhan
Yovinus
Novel
Ehing Boburing Bullou
Yovinus
Cerpen
Beras Operasi Pasar Berpasir
Yovinus