Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
When Nation Falls
1
Suka
395
Dibaca

Langit sore menumpahkan peluhnya di halaman Fakultas Hukum Universitas Indonesia, membawa gerimis tipis yang menari di atas aspal dan dedaunan. Embun menempel lembut di ujung-ujung daun, sementara aroma tanah basah menjalar masuk, menyelinap melalui celah jendela dan mengisi ruang diskusi yang senyap. Axel duduk di pojok ruangan, posturnya tegap, rambut klimisnya tertata nyaris tanpa cela, jas almamater yang dikenakannya tampak licin, nyaris tanpa lipatan. Di hadapannya, layar MacBook menyala dengan tampilan jurnal-jurnal berstandar internasional, membuat mata tak berkedip tanpa menghiraukan sekitar.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan suara membelah keheningan. Seorang mahasiswa masuk tergesa-gesa dengan kaos oblong hitam bertuliskan “Tanah Adalah Hak Hidup” yang dipadukan dengan celana denim pudar nan lusuh namun penuh pernyataan. Sepatunya docmart yang jahitan nya hampir lepas, seperti saksi bisu perjalanan panjang—lebih sering menyusuri jalanan berdebu daripada lorong-lorong akademik.

“Eh sorry sorry gue telat. Ada rapat BEM soalnya molor,” katanya.

Axel mengangguk. “Lo Jaya, kan?”

“Lo pasti Axel. Anak perhimpunan pengusaha muda yang katanya jago debat itu?”

Axel tertawa kecil. “Katanya.”

Mereka dipasangkan oleh dosen pembina debat kampus, mewakili Universitas Indonesia di ajang debat tingkat ASEAN. Di atas kertas, pasangan ini tampak mustahil: Axel, anak pengacara ternama dan dosen universitas internasional, terbiasa dengan logika rapi dan forum berkelas. Jaya, aktivis mahasiswa dengan riwayat perlawanan, pemimpin demonstrasi, dan vokalis band indie yang mengisi acara di festival kampus. Tapi sejak pertemuan pertama itu, mereka tahu—ada sesuatu yang saling melengkapi dalam cara mereka berpikir, merasa, dan bermimpi.

Axel tumbuh dalam rumah besar berlantai tiga di kawasan elite Jakarta Selatan. Ia di didik untuk duduk di meja perundingan, bicara halus nan elegan, serta manajemen waktu yang sangat disiplin. Tapi ia menyimpan luka: ayahnya, meski kaya dan berkuasa, pernah menjadi korban sistem hukum yang korup. Dijebloskan ke penjara karena dijebak oleh rekan bisnis yang berlindung di balik kekuasaan. Axel melihat langsung bagaimana hukum bisa dibeli, dan bagaimana keluarga mereka hampir hancur karenanya. Oleh karena itulah Axel mengambil program studi Hukum.

Di sisi lain, Jaya dibesarkan dalam rumah petak berlantai semen di kampung yang belakangan digusur. Ayahnya tewas ditembak saat mempertahankan tanah warisan dari proyek pemerintah. Ibu nya hanya seorang buruh cuci yang sakit-sakitan. Sedang adiknya baru saja lahir. Sejak saat itu, Jaya berjanji dalam hati: negara ini tidak boleh lagi menjadi mesin penindas bagi rakyat kecil. Ia mengejar pendidikan bukan hanya demi gelar, tapi demi bisa bicara lebih lantang, lebih tajam, dan membela kebenaran.

Meski berasal dari dunia yang berbeda, di dalam ruang debat mereka berdiri sejajar. Jaya bicara dengan api, Axel menjawab dengan logika. Mereka menang bukan hanya karena kuat argumen, tapi karena mereka percaya pada apa yang mereka katakan.

Persahabatan mereka tumbuh di sela-sela kesibukan. Axel suka mengajak Jaya menghadiri konferensi internasional, duduk di meja makan dengan diplomat-diplomat muda, belajar strategi dan lobi. Jaya pun suka mengajak Axel ke taman baca kolektifnya yang ia bangun di pinggiran kota Jakarta, memperkenalkan anak-anak kecil yang menghafal Pancasila tapi tak tahu rasanya makan tiga kali sehari.

“Kenapa lo ngelakuin ini semua, Jay?” tanya Axel suatu hari saat mereka pulang dari taman baca

Jaya menatap jalanan yang becek setelah hujan. “Buat nyambung amanat bapak gue. Dia bilang kalo pendidikan harus jadi hak semua orang, dan gue mau semua orang miskin yang senasib sama gue harus punya otak yang cerdas. Biar jadi orang yang pemberani, Xel,”

Axel diam. Ia tahu jawaban itu tak main-main. Lalu dengan suara pelan, ia membalas, “Gue juga gak pengen negara ini dipegang lagi sama mafia-mafia korup. Bapak gue pernah dijatuhin kayak sampah sama orang-orang itu. Gue pengen yang duduk di pemerintahan adalah orang yang beneran punya kompetensi dan mahir lah.”

Keduanya saling mengangguk. Tak perlu ucapan lebih panjang. Mereka tahu, meski caranya berbeda, impian mereka menuju arah yang sama.

Namun hidup tidak selalu memberi ruang bagi mimpi yang besar.

Axel mulai mendapatkan tekanan dari lingkaran teman-temannya. Ia dicibir karena bersahabat dengan “aktivis kiri,” dituduh idealis naif yang percaya bisa mengubah sistem dari dalam. “Ngapain lo deket sama Jaya? Dia tukang rusuh,” kata seorang seniornya dari organisasi wirausaha. Di forum-forum internasional, Axel kadang jadi bahan tertawaan karena membawa isu keadilan sosial dan kemiskinan.

Sementara Jaya... ia mulai merasakan tekanan yang lebih berat. Setelah memimpin demonstrasi menolak proyek pertambangan yang mencemari sungai di kampung sebelah, ia ditetapkan sebagai tersangka. Polisi mendatangi kampus, mencari keberadaannya. Ia di-DO secara tidak resmi, dipaksa menghilang. Namanya masuk dalam daftar pencarian orang. Media menyebutnya seorang provokator.

Axel sempat mencoba membela sahabatnya secara hukum. Tapi kekuatan uang dan kekuasaan lebih besar dari niat baik. Ia pun hanya bisa membantu Jaya dari belakang layar: mengirimkan bekal untuk pegangan hidup, informasi terkini, dan tempat tinggal yang aman.

Waktu berjalan cepat. 4 tahun berlalu. Axel lulus lebih dulu, melanjutkan studi ke luar negeri, dan kembali sebagai diplomat muda. Ia membangun perusahaan konsultan hukum internasional, mengakar di lima negara, dan mulai dikenal sebagai “wajah muda hukum Indonesia.” Tapi meski sukses, ia tetap membawa luka dan misi dalam diam: mewujudkan cita-citanya untuk memperbaiki negara.

Di sisi lain, Jaya kembali muncul dalam bayang-bayang. Ia bergerak diam-diam, kembali ke kampung halaman nya untuk membangun jaringan pendidikan alternatif di desa-desa yang terpinggirkan. Ia menolak semua tawaran partai yang datang, karena ia tahu, begitu ia masuk, idealismenya bisa hancur. Tapi suatu hari, hidup memaksanya berhenti sejenak.

Ibunya divonis gagal ginjal, butuh cuci darah rutin dan operasi yang tak murah. Adiknya diancam dikeluarkan dari sekolah karena menunggak SPP tiga bulan. Semua jalan seakan tertutup. Dan saat itu, tawaran datang: sebuah partai politik yang pernah ia tolak datang kembali, kali ini membawa janji: biaya berobat dan pendidikan keluarganya ditanggung, asal ia masuk dan menjadi "wajah rakyat" yang bisa mereka poles.

Malam itu, Jaya duduk di rumah sakit, memegang tangan ibunya yang lemah. Dalam benaknya, suara ayahnya menggema: “Kalau kamu harus memilih antara idealisme dan keluargamu, jangan pernah lupa siapa yang membesarkanmu.”

Ia bingung. Ia marah. Ia ingin teriak, tapi hanya air mata yang jatuh.

Dan saat itu, ponselnya berdering.

“Jay, lo dimana?” Suara Axel di seberang.

“I..i..inii..”

“Gue Axel. Lo dimana?” Potong Axel

“Di rumah sakit Fatmawati, Xel. Nyokap gue...”

“Gue udah tau dari Michele, Jay. Sekarang lo tenang ya, gue udh TF ke michele biaya rumah sakit nyokap lo. Urusan sekolah adek lo, tenang udah gua bayar juga lewat aspri gue. Lo tenang ya, Jay. Kuat Jay.”

Jaya diam. “Xel... lo gak harus lakuin itu.”

“Gue gak lakuin ini karena harus. Gue lakuin karena gue percaya sama lo. Sori gue ga bisa dateng ya, Jay. Lo jagain dulu nyokap lo sama adik lo ya. Ntar kalo gue udah di Indo, gue kabarin lo ya”

Jaya menangis dalam telepon “Xel, sumpah makasih ya. Makasih banget”

“Ah tenang, Jay. Oiya, lo gausah mikirin hal yang lain dulu ya. Bulan depan paling gue nemuin lo. Gue ada kejutan buat lo. Haha”

Tak lama setelahnya, telepon di tutup. Jaya kembali menangis di genggaman tangan Ibunya. Sejak tadi, ia tak berhenti mengucapkan terimakasih pada Tuhan dan Axel atas bantuannya. Adiknya sedang tertidur pulas di bawah ranjang, kemudian ia elus dan tak lupa ia cium juga keningnya.

Dua bulan kemudian

Di sebuah desa kecil di pinggir kota, berdiri bangunan sederhana bertuliskan:

“Sekolah Harapan Jaya” di sebelahnya ada sebuah quotes berbunyi:

Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.

Di depan gerbang, Axel berdiri dengan jas diplomatik, senyum tenang di wajahnya. Di sampingnya, Jaya mengenakan kemeja putih sederhana dan sepatu usang, tapi matanya penuh cahaya.

Anak-anak mulai berdatangan, beberapa tanpa sepatu, membawa buku lusuh. Tapi senyum mereka adalah matahari pagi yang tak bisa dikalahkan awan apapun.

“Lo yakin, lo gak nyesel gak masuk politik?” tanya Axel pelan.

Jaya tersenyum. “Gue tetap berpolitik, Xel. Cuma bukan lewat partai. Tapi lewat ruang-ruang pendidikan.”

Axel mengangguk sembari tersenyum. “Gue titip ini ya Jay. Gue percaya banget sama lo”

“Gue janji, Xel. Gue janji” sembari menatap Axel berkaca-kaca. “Xel, thank you udah wujudin mimpi gue ya. Thank Xel”

“Hahaha gue justru yang mau bilang makasih sama lo, Jay”

Keduanya kemudian berpelukan.

Waktu membawa mereka pada jalan yang berbeda, namun tidak pernah benar-benar memisahkan. Axel dengan setelan jas dan paspor diplomatiknya, menjelajah forum-forum dunia demi memperjuangkan perubahan dari balik meja perundingan. Sementara Jaya, dengan langkah sederhana dan suara lantang, terus menyalakan obor pendidikan di pelosok negeri—mengajar, mendengar, dan menanamkan keberanian di hati anak-anak yang dulu mungkin sepertinya.

Mereka mungkin tak lagi duduk berdampingan seperti dulu di ruang diskusi, tapi semangat mereka saling menyapa dalam diam—di setiap pidato Axel yang membawa suara keadilan, di setiap kelas Jaya yang memupuk harapan.

Axel dan Jaya bukan hanya kisah tentang dua sahabat. Mereka adalah cermin bagi siapa pun yang pernah bermimpi memperbaiki negeri, dengan cara dan keberanian masing-masing. Mereka membuktikan bahwa idealisme bukan sekadar kata, bahwa kesetiakawanan bisa bertahan melampaui jarak dan waktu, dan bahwa mimpi, jika diperjuangkan bersama, bisa menjelma menjadi kenyataan. Sebab, disaat negara sedang runtuh, tak ada yang bisa membangkitkannya selain; keyakinan idealisme yang tak pernah padam dan keberanian untuk berjuang.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
MYSTERY BOX
Yolanda Putri Salsabyla
Skrip Film
A Kaluna
Ziee Angel
Flash
Hal-hal yang tidak boleh dipertanyakan
AlifatulM
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Novel
Bronze
CERITA BAPAK TENTANG MASA LALU
Embart nugroho
Novel
BENANG TAKDIR
Ira A. Margireta
Flash
Addin
Ilfi Rahmadani
Novel
Bronze
PENGANGGURAN CUMLAUDE
Abdul Khair
Novel
Jadikan Aku Kuat
Yuricka
Novel
Bronze
Gerbang Ke Empat
Sena N. A.
Cerpen
Belenggu yang Memudar Dimakan Zaman
Yutanis
Novel
Aku dan kau
fiki kurniawan
Novel
A massage
Wilda Aulia
Novel
Outsider
Susanti
Flash
Bronze
Janji Seorang Badut
Sulistiyo Suparno
Rekomendasi
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
Segelas Matcha di Siang Hari
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok
Cerpen
Biru Akan Selamanya Tetap Biru
Rizki Mubarok
Novel
TINTA HITAM
Rizki Mubarok