Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
What a Birthday really Means
0
Suka
748
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku melihat tanggal yang ku lingkari dengan spidol merah dengan hati penuh harapan. Akhirnya tiba juga hari ini, hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Ulang tahun adalah hal yang senantiasa terlupakan di keluarga ini. Baiklah, jangan suudzon dulu. Mungkin tahun ini akan ada perubahan mengingat sudah banyak yang berubah juga di kampung ini. Tidak seperti dulu, ulang tahun bukanlah hal asing lagi sekarang.

Aku bergegas menghampiri Ibu yang sedang sibuk di meja kerjanya, tampaknya sedang menjahit kancing baju yang lepas.

"Bu, tahu gak ini hari apa?" tanyaku harap-harap cemas. Ibu mendongak melihatku sembari merenung sejenak.

"Ah ... Hari Minggu kan?"

"Iya, tapi Ibu ingat gak sekarang tanggal berapa?"

"Tanggal 27 Maret?" Ibu malah balik bertanya. 

"Ibu lupa tanggal 27 Maret itu hari apa?" 

"Lah, kan sudah Ibu jawab tadi, ini hari Minggu. Lagian kamu ini, kan tinggal lihat kalender apa susahnya!"

Aku membisu. Walaupun sudah menduga Ibu pasti lupa namun kekecewaan tetap memenuhi hatiku. Ini hal yang lumrah sebenarnya di keluarga kami. Selama ini kami hidup tanpa pernah mengenal yang namanya ulang tahun. Mungkin lebih tepatnya tidak peduli. Tanggal kelahiran hanya eksis di dalam berkas penting semacam akta lahir, ktp atau kartu keluarga. Tidak ada yang repot-repot mengingatnya kalau tidak ada hal penting yang mengharuskan itu.

Aku juga dulu begitu, tidak pernah ingat dan tidak peduli dengan hari ulang tahunku. Namun, di tahun -tahun belakangan ini sudah banyak warga di kampung kami yang mengadakan acara ulang tahun, baik itu pesta yang lumayan meriah ataupun cuma selamatan kecil-kecilan. Mungkin pengaruh kehidupan kota yang kini sangat mudah dijumpai berkat majunya perkembangan teknologi. Orang-orang di kampung kami jadi latah ikut-ikutan hal yang dulunya hanya mereka lihat di televisi. Tetangga sebelah rumah bahkan minggu lalu baru saja menggelar pesta syukuran ulang tahun anaknya yang berusia 16 tahun. Cuma lebih muda dariku setahun, bagaimana mungkin aku tidak iri? Tidak salah rasanya kalau aku berharap keluarga kami juga berubah.

"..Ni! Aini!" tegur Ibu mengagetkanku.

"Eh .. ya Bu?"

 "Kamu kenapa jadi bengong begini?"

"Ya gimana gak bengong, itu tetangga sebelah si Mirna minggu lalu baru aja ngadain pesta ulang tahun. Nah aku boro-boro dirayain, Ibu ingat aja enggak ulang tahun anaknya sendiri," tukasku kesal.

"Oalah.. cuma ulang tahun aja diributin. Bid'ah tuh," sahut Ibu enteng.

"Bid'ah apaan sih Bu, cuma nyenengin anak sendiri juga. Lagian kan cuma sekali setahun, gak tiap hari ini."

Ibu tertawa kecil. Kemudian beralih memegang kedua pundakku. Menatapku dengan pandangan berarti. Sepertinya aku akan diceramahi.

"Tentu saja bid'ah, Sayang. Memangnya sejak kapan ada tradisi dalam agama kita untuk merayakan ulang tahun? Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan adanya acara peringatan semacam itu kan, entah itu bernyanyi bersama, membuat permohonan sebelum meniup lilin, memotong kue atau bertukar kado. Ibu tidak tahu darimana asalnya itu semua, yang jelas itu bukan syariat islam. Kamu tahu cara Nabi memperingati kelahiran beliau?"

"Puasa," sahutku lirih.

"Nah, itu kamu tahu. Nabi berpuasa setiap hari Senin karena beliau dilahirkan di hari Senin, dan itu beliau lakukan setiap minggunya, bukan setahun sekali."

"Tapi kan-"

"Sudah, gak ada tapi. Sana cuci piring kotor di dapur! Ibu lagi sibuk." 

Aku hanya bisa cemberut dengan hati dongkol. Meski tahu apa yang dikatakan Ibu tidak salah, hatiku tetap tidak puas. Masa bodoh dengan bid'ah, ulama juga kayaknya berbeda-beda pendapat kok tentang bid'ah itu, nyatanya aku juga ingin seperti orang lain. Ulang tahun itu cuma sekali dalam 365 hari, masa tidak boleh sehari ini saja jadi istimewa? Dengan menghentakkan kaki aku berjalan ke dapur dan melakukan tugasku. 

Selesai mencuci piring, aku teringat belum sempat mengecas hp ku dari semalam. Aku segera kembali ke kamar bertepatan dengan gawai di atas meja nakas itu bergetar menandakan ada pesan yang masuk. Harapanku membuncah saat berpikir bahwa mungkin saja itu pesan dari salah satu sahabatku yang ingat hari ini ulang tahunku.

Aku tergesa menyambar benda pipih itu. Harapanku langsung padam saat melihat hanya pesan dari operator telepon seluler yang menyambutku. Wah, apa sahabat-sahabatku juga tidak ada yang ingat? Ingin menangis saja rasanya, apa ulang tahunku sebegitu tidak berartinya? Padahal setahun terakhir ini aku selalu mengingat ulang tahun mereka, berharap mereka juga akan melakukannya untukku. Mungkin Tuhan sedang menegurku karena sudah melakukan sesuatu dengan mengharapkan pamrih dari orang lain.

Aku mengambil charger hp dan mencolokkannya ke sumber listrik. Jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Hari rupanya sudah beranjak siang, walaupun sinar matahari belum terlalu terik. 

Aku menghela napas, merasa tidak adil hanya karena tidak ada kejadian apapun yang menyenangkan hari ini. Kosong dan hampa, kekosongan yang membuat patah semangat. Tidak ingin terlalu terbawa perasaan ku putuskan untuk keluar rumah, siapa tahu menghirup udara di luar bisa sedikit menenangkan perasaan yang berkecamuk di dalam dada.

"Bu, aku jalan-jalan ke luar sebentar ya," pamitku pada Ibu yang sekarang sudah selonjoran di depan televisi.

"Ya, jangan jauh-jauh, nanti kalo Ibu ada perlu biar gak susah nyariin kamu," sahut Ibu tanpa mengalihkan pandangannya dari program tv kesukaannya.

"Aku jalan kaki kok Bu, jadi gak mungkin jauh-jauh."

Aku memang memilih berjalan kaki karena sayang bensin juga kalau pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas begini, sekarang rasanya hanya ingin melangkah kemana kaki mengarahkannya.

 Lima belas menit berlalu dan terik matahari mulai membuatku kepanasan dan gerah. Sebuah poskamling kosong di pinggir jalan seolah memanggilku untuk duduk beristirahat sejenak disana. Tanpa membuang waktu lagi segera kulangkahkan kaki menuju pos tersebut dan langsung menghempaskan bokongku dipermukaan lantai yang beralaskan tikar.

Aku memijat kaki yang mulai pegal dan kesemutan. Inilah akibatnya jika jarang berolahraga, lagian apa sih yang kulakukan hari ini? Aku menunduk dan mengusap wajah yang berkeringat dengan kedua telapak tangan. Saat mendongak aku baru menyadari bahwa rupanya diriku tidak sendiri lagi di sini.

Tak jauh dariku seorang gadis dengan penampilan lusuh duduk dengan canggung seolah enggan menggangguku tetapi memilih tetap duduk juga karena butuh tempat untuk melepaskan penat. Kulirik wajahnya yang berkulit gelap dengan seksama, sepertinya dia lebih muda dariku. Meski tampak lelah tetapi binar matanya terlihat tegar dan bersemangat. 

Gadis itu menorehkan senyum diwajahnya, sepertinya mengartikan pandanganku sebagai undangan untuk berbincang-bincang. Dia tergesa mengulurkan tangan.

"Hai, aku Ayumi. Kakak siapa?"

Aku tidak sedang dalam mood yang baik sekarang bahkan meski hanya untuk sekedar basa-basi, tapi karena tak ingin terlihat angkuh akhirnya kusambut juga uluran tangan itu dengan malas. 

"Aini," sahutku pendek kemudian beralih memusatkan perhatian pada jalan yang lengang, berharap gadis ini mengerti keenggananku untuk bicara lebih lanjut.

"Kakak baru ya disini? Soalnya aku belum pernah lihat Kakak sebelumnya."

Aku menatapnya dengan datar, 'Anak ini tidak peka rupanya' batinku kesal. Ayumi balik menatapku tampak menunggu jawaban.

"Aku bukan orang baru, hanya jarang keluar rumah saja. Rumahku masih di seputaran sini kok," jawabku akhirnya.

Ayumi hanya manggut-manggut, "Jadi kesini mau ngapain?"

"Bukan urusan kamu kan? Memangnya harus lapor kamu dulu gitu kalau kakiku ingin kesini?" Aku mulai menanggapinya dengan jutek.

Ayumi malah terkekeh, "Kakak lucu deh, memangnya kaki bisa punya keinginan sendiri?"

"Bisa, kalau otaknya sedang gak sehat," sahutku asal.

Ayumi mengernyitkan dahi dan malah beringsut mendekatiku. "Kakak lagi sakit?" 

'Kesimpulan dari mana itu? Kenapa sih ni anak' batinku tak habis pikir. Aku hanya memandangnya, sudah terlalu malas untuk menjawab.

"Ah ... harusnya aku peka ya? Kakak emang terlihat gak sehat sih, kayak banyak pikiran. Kakak bahkan gak senyum dari tadi."

Kupikir Ayumi akan diam jika tidak digubris, tapi rupanya aku salah. Dia hanya menutup mulut sejenak sebelum kembali bersuara. 

"Kakak mau gak kalo aku-"

"Kamu bisa diem gak?" potongku. "Dan gak usah manggil aku kakak, panggil aja Aini atau Aie, aku kan bukan kakakmu."

"Tapi kan gak sopan" gumam Ayumi lirih. Meski hanya sesaat aku yakin sempat melihat ada gurat kekecewaan terlintas di wajah Ayumi, namun entah bagaimana dalam sekejap raut wajahnya sudah berubah ceria.

"Kalo gitu Kak Aie bisa panggil aku Ayu aja, biar mirip" sahut Ayumi sambil nyengir. 

Anak ini hanya mendengar yang ia mau saja rupanya. Senyumnya bahkan masih melekat di tengah wajahnya yang coklat terbakar sinar matahari, terlihat kontras berkat deretan giginya yang berwarna putih.

"Kenapa kamu senyum-senyum?" tanyaku akhirnya, merasa heran sendiri kenapa aku malah terganggu dengan itu.

"Ada yang bilang tersenyumlah, maka saat otot wajah kita tertarik untuk tersenyum tubuh kita sendiri akan tersugesti untuk menimbulkan hormon bahagia. Jadi, Kakak juga meskipun sedang sedih tersenyumlah dulu."

"Tidak, terima kasih. Emangnya aku terlihat sedih?"

"Maaf."

Dia yang minta maaf tapi aku yang tiba-tiba merasa bersalah. Ya, ini salah moodku yang sedang buruk, aku jadi bersikap judes pada orang yang tidak tahu apa-apa. Baiklah, ayo alihkan pembicaraan.

"Ayumi, kapan ulang tahunmu?"

"Aku-"

"Eh nggak, gak usah dijawab. Aku gak perlu tahu juga. Tapi kamu merayakannya gak? Seperti apa?"

Ayumi memandangku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Membuatku salah tingkah dengan keabsurdan pertanyaanku sendiri.

"Aku gak inget," katanya lirih.

"Bohong. Mana ada orang yang gak ingat ulang tahunnya sendiri?"

"Kak Aie benar-benar pengen tau?"

"Kan aku nanya? Berarti aku ingin tahu."

"Kemarin hari ulang tahunku."

Aku menganga tidak percaya, jujur tidak siap dengan jawaban semacam itu, tapi sinar matanya jelas menunjukkan dia tidak berbohong. 

 "Oh, selamat ulang tahun ya," ucapku dengan canggung. Mimpi apa aku mengucapkan 'selamat ulang tahun' untuk orang lain di hari ulang tahunku sendiri.

Ayumi menggeleng cepat. "Aku gak butuh ucapan selamat kok. Kemarin kakakku satu-satunya sudah pergi untuk menghadap Yang Kuasa."

Aku tercekat. Bibirku terkunci, bingung mau berkata apa. Jika anggota keluargamu meninggal tepat di hari ulang tahunmu maka itu jelas adalah kado terburuk seumur hidup. Kenapa aku terlibat percakapan semacam ini di hari lahirku Tuhan?

"Aku turut berdukacita, Ayumi." Aku menepuk pundaknya pelan, merasa kikuk karena aku tidak pernah pandai menghibur orang. "Jadi, gimana dengan keluargamu yang lain?" ujarku mencoba mengalihkan topik.

"Nggak ada yang lain lagi. Kakakku itu satu-satunya keluarga yang ku punya sejak setahun terakhir, dia juga orang yang sudah merawatku sejak kecil hingga sebesar ini."

Ayumi mendongakkan kepalanya, mencoba mengusir air mata yang perlahan membasahi pelupuk matanya. Aku jadi merasa berada di tempat dan waktu yang salah sekarang. Apa aku harus terus bertanya atau kabur saja? Tanya sajalah.

"Setahun terakhir? Jadi tahun-tahun sebelumnya masih ada keluarga yang lain kan? Apa mereka ... tinggal terlalu jauh dari sini?"

"Hmm... jauh banget. Mereka sudah di alam yang berbeda. Tahun lalu Paman dan Bibi mengalami kecelakaan, saat sampai di rumah sakit nyawa mereka udah gak tertolong. Kakak tau gak? Itu juga terjadi dihari ulang tahunku. Aku gak pernah merayakan ulang tahun dan sekarang setelah semua ini aku udah gak peduli lagi." Ayumi menutup wajahnya.

Sesaat tidak terdengar suara apapun, tapi aku curiga dia menahan tangisannya.

"Ulang tahun itu cuma hal konyol" tandas Ayumi kemudian.

Aku terdiam, meski tidak sepaham tapi aku bisa mengerti. Dia sudah melewati peristiwa yang buruk di hari lahirnya, wajar saja sih dia jadi antipati begitu. Hanya saja melihatnya mati-matian berusaha terlihat tegar membuatku jengah. Aku beranjak untuk berdiri di depannya. 

"Aku gak bisa menghibur orang, tapi kamu boleh menangis, gak usah ditahan."

Ayumi menatapku dengan mata yang memerah. "Menangis gak akan bikin mereka balik."

"Iya, tapi kadang menangis bisa melegakan perasaan," sahutku. "Duduk di belakangku, aku bisa menutupimu dari jalan."

Ayumi diam sejenak, kemudian beringsut dan melakukan yang kusuruh tanpa protes lagi. Beberapa saat berlalu dengan di iringi isak tangis yang lirih, untungnya jalanan tidak cukup ramai hanya sesekali ada orang yang lewat melirik sekilas ke arah kami namun tidak cukup peduli untuk singgah atau hanya sekedar menyapa.

Bingung ingin melakukan apa, aku beralih mengetuk-ngetuk lantai dengan kakiku untuk memastikan kram disana sudah mendingan. Kalau dipikir-pikir aku ini jelas bukan orang yang cerewet, tapi kenapa baru sebentar keluar rumah malah sudah mengorek-ngorek luka orang begini. Padahal aku benci orang-orang yang suka bergosip, malah aku sering dikatain kudet karena selalu telat tahu berita apa yang sedang heboh dikampung. Prinsipku ya kalau tidak ada kaitannya denganku buat apa aku peduli? Bukannya tidak ingin berempati, tapi tidak mau menambah beban pikiran sendiri. Hidupku saja sudah cukup pelik bagiku. Jadi kenapa sekarang aku malah ngurusin anak ini?

Agak ragu kulirik Ayumi, syukurlah dia sudah mulai tenang kelihatannya. "Berapa umurmu sekarang, Ayumi?" tanyaku mengagetkannya.

"Empat belas tahun," jawabnya mencoba bersikap biasa meski matanya masih terlihat sembab.

"Wah, kamu lebih muda dariku dan ujian hidupmu sepertinya lebih berat. Aku yakin gak mudah untuk bertahan sampai sekarang, kamu pasti gadis yang kuat," ungkapku tulus.

"Kuat apanya? Aku cengeng gini," ujar Ayumi sembari menyeka tiap sudut matanya, memastikan tidak ada lagi jejak basah disana. Dia mencoba menyeringai meski kelihatan jelek karena habis menangis tapi setidaknya raut wajahnya sudah lebih baik.

"Kuat itu kan bukan berarti gak pernah nangis, tapi kamu bisa terus bertahan dan bangkit lagi meski berulang kali hampir jatuh terpuruk, bagiku itu adalah kekuatan yang belum tentu dimiliki semua orang termasuk aku."

"Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Kakak ada disini hari ini."

Aku tertegun, otakku bingung menafsirkan perasaan apa yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan karena ucapannya. Mungkin terharu atau bahagia? Mungkin juga merasa dihargai, karena kata-kata semacam itu jarang kudengar.

"Hari ini ulang tahunku." Entah kesambet apa tiba-tiba aku ingin memberitahunya. Ayumi mengerjapkan matanya kaget.

"Ahh ... Se-"

"Gak usah," potongku. "Aku bilang soal ulang tahunku bukan karena pengen kamu ngucapin selamat, malah malu-maluin kan kalau aku gitu? Aku hanya ingin kamu tahu kalau hari ini kamu baru aja buat aku sadar kalau badmood hanya karena hal sepele itu bodoh banget."

"Aku gak ngerti."

"Aku badmood seharian hanya gara-gara gak ada yang ingat hari ulang tahunku, padahal kamu masih mampu tersenyum saat penderitaanmu justru lebih besar. Aku kalah darimu."

"Kalah? Benar juga ya? harusnya kan Kakak yang lebih ngerti ulang tahun itu memang harusnya ditangisi bukan disyukuri."

"Lah?" Aku melongo, ni anak sebenarnya nyambung gak sih? "Mentang-mentang kamu nangis di hari ulang tahunmu, jadi orang lain harus nangis juga? Egois itu namanya," sambungku keki.

"Bukan gitu, Kak. Kakakku pernah bilang manusia itu aneh, alih-alih bersedih, mereka malah merayakan hari berkurangnya jatah hidup di dunia. Saat umur kita bertambah kan artinya usia kita di atas bumi jadi berkurang."

"Itu kan hanya beda persepsi saja. Maksudnya merayakan ulang tahun itu sebagai wujud syukur atas nikmat umur yang sudah diberikan Tuhan hingga bisa hidup sampai kini."

"Kalau bersyukur berarti harus hidup lebih baik kan? Waktu yang tersisa juga harusnya lebih bermanfaat. Biar punya bekal untuk pulang."

"Pulang?" Aku mengernyit. Apakah kami masih bicara topik yang sama?

"Iya, kita semua akan pulang kan? Menuju Tuhan. Tempat kita nanti disisi-Nya akan bagus atau enggak tergantung bekal amal kita kan?"

Aku menggaruk kepala. Ya dalam agama Islam memang begitu, jika hidup di isi dengan kebaikan dan ibadah maka dengan berbekal amal baik itu nanti bisa mengantarkanmu ke surga. Sebaliknya jika hidup penuh dengan keburukan tanpa bertaubat maka bersiaplah untuk jadi penghuni neraka. Masalahnya, sejak kapan topiknya jadi melenceng jauh begini? Dahlah.

"Kalau ngomongin bekal gini, kita terdengar jadi kayak musafir ya?"

Ayumi mengangguk. "Kakakku juga bilang gitu. Katanya semua orang di dunia ini ibarat musafir, manusia diberikan modal yang sama untuk menyiapkan bekal pulang. Bedanya modal hidup kita bukan uang tapi waktu. Semua orang memiliki waktu dua puluh empat jam dalam sehari, akan berguna atau tidak tergantung cara masing-masing orang menghabiskan waktunya. Buang-buang waktu artinya buang-buang modal. Nanti rugi sendiri di akhirat. Mau balik lagi juga gak bisa kan?"

Aku termenung, merasa tersindir tapi juga tidak bisa membantah. "Kata-katamu kayaknya terlalu berlebihan untuk usiamu deh."

"Hehe.. aku kan cuma mengutip Kak."

Aku mendengus geli. "Jadi, karena kita ini musafir, kakakmu adalah musafir yang berangkat lebih dulu ya?"

Ayumi tampak menerawang. "Aku hanya berharap kakakku pulang saat bekalnya sudah cukup."

"Aamiin. Mudah-mudahan kakakmu husnul khatimah."

"Makasih, kak."

"Aku juga mau makasih sama kamu. Kita ngobrol dari tadi sedikit banyak mengubah persepsiku soal hidup. Hal kayak gini kadang lebih berharga dari sebuah kado ulang tahun."

"Kalau begitu boleh Ayu minta hadiah juga?"

"Hah? Yang ulang tahun aku lho."

"Aku kan juga ulang tahun, Kak? Bukan hadiah yang mahal kok. Aku cuma ingin berteman dengan Kakak saja. Sering-seringlah ke daerah sini, ya?" 

"Akan ku pikirkan kalau kamu berhenti memanggilku Kakak."

"Kenapa nggak boleh?"

"Bukannya kakakmu sendiri baru saja pergi? Masa secepat ini kamu langsung mencari ganti?"

"Tapi kan malah bagus, jadi aku gak akan terlalu bersedih. Kakakku juga pasti akan senang kalau aku cepat move on kan?"

"Astaga, kenapa aku malah merasa jadi tempat pelarian?"

Ayumi terkekeh geli. "Aku janji akan jadi adik yang baik, Kak!" serunya sambil meletakkan kelima jari tangannya di sisi kepala, tak lupa mengambil sikap hormat ala tentara.

"Terserahmu lah" tukasku akhirnya, namun tak urung seulas senyum terlukis di bibirku.

 Terima kasih Tuhan, maafkan hambamu yang tidak pandai bersyukur ini. Seharusnya aku melihat ke sekelilingku saat merasa hidupku tidak bahagia, pasti ada saja orang yang hidupnya tidak lebih baik dariku. Lagipula kebahagiaan itu akan lebih berharga saat kita bisa membahagiakan orang lain juga.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
What a Birthday really Means
Cahaya HusMa
Novel
Gold
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (Republish)
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Muhasabah Cinta
Falcon Publishing
Novel
Bronze
Hujan Paling Jujur Di Matamu
Hadis Mevlana
Novel
Bronze
HARGA SEORANG PEREMPUAN
Siti Nuzulia Regar
Novel
Gold
Iblis Tidak Butuh Pengikut
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Kambing dan Hujan
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Ada Pelangi di Balik Hujan
Mizan Publishing
Novel
Gold
Jangan Khawatir, Allah Bersamamu
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Pernikahan Impian
Mizan Publishing
Novel
QUBA - Perjalanan Menjadi Bayangan
Manna wa Salwaa
Novel
Gold
Islam Sejati, Islam dari Hati
Noura Publishing
Flash
Terkabulnya Doa
Yooni SRi
Novel
Sabda Cinta Dua Insan
iqbal syarifuddin muhammad
Novel
Gold
Marry me! Or Never!
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
What a Birthday really Means
Cahaya HusMa
Flash
Iri hati
Cahaya HusMa