Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Angin Mati
Malam itu, angin benar-benar mati. Bukan hanya tenang—tapi mati, seperti ada sesuatu yang menekannya dengan tangan tak kasatmata. Daun-daun pisang berdiri kaku, tidak lagi berdesir seperti biasa. Udara di desa Pageralas terasa berat, mengandung aroma tanah basah yang tak semestinya, padahal tak ada hujan yang turun. Langit hanya dipenuhi awan gelap yang tak bergerak, seolah langit pun menahan napas.
Sri, gadis berusia tujuh belas tahun, berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya terpaku pada sebuah lahan kosong di samping rumahnya—sebidang tanah tak bertuan yang dipenuhi rumput ilalang tinggi dan satu pohon beringin yang tumbuh miring. Tanah itu sudah lama terbengkalai. Tidak ada seorang pun yang berani mendekat, apalagi menebang pohon tua itu. Padahal, dulunya di situ berdiri rumah tua milik seorang penari wayang orang. Kata orang, rumah itu habis terbakar pada malam Jumat Kliwon, puluhan tahun lalu. Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya, hanya api yang menjilat langit tanpa suara, dan keesokan harinya... rumah itu sudah tak ada.
“Kenapa gak ada yang bangun rumah di situ, Mbok?” tanya Sri dulu waktu kecil.
Mbah Putri hanya menghela napas. Lalu menjawab pendek, lirih tapi penuh arti:
"Lelembut."
Dulu Sri tak mengerti. Ia pikir itu hanya cerita orang tua untuk menakut-nakuti anak kecil. Tapi semakin dewasa, semakin banyak tanda-tanda aneh yang membuat pikirannya tak tenang. Terutama tiap malam Jumat Kliwon, ketika langit mendung tapi tak hujan, dan udara mendadak lebih dingin dari biasanya.
Seperti malam ini.
Suara itu kembali terdengar. Lirih. Terputus-putus. Seperti gamelan yang dimainkan oleh tangan-tangan renta dari dalam tanah. Pelan, berat, dan membuat bulu kuduk berdiri.
Sri menempelkan telinganya ke jendela. Tidak ada suara selain denting logam samar dari kejauhan. Tapi itu cukup untuk membuatnya gelisah.
Ia menarik napas panjang, memandangi lahan kosong itu sekali lagi. Di ujung tanah yang berbatasan langsung dengan hutan bambu, Sri melihat sesuatu yang tak biasa—sebuah bayangan. Diam. Tapi tegak.
Ia menyipitkan mata. Mungkin hanya batang pohon. Atau mungkin... bukan.
“Ndok, tutup jendelamu,” panggil suara Mbah Putri dari ruang tengah. Suaranya serak tapi tegas.
Sri menurut. Tapi sebelum ia menutup jendela, angin tiba-tiba datang dari arah lahan kosong, padahal malam itu sama sekali tak berangin. Angin itu menusuk seperti embusan nafas yang keluar dari liang kubur. Sri memeluk tubuhnya, merinding tanpa sebab.
Saat ia menutup jendela dan menarik gorden, Sri sempat melihat sekelebat bay...