Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
Warung kopi kecil yang membesar
1
Suka
383
Dibaca

Warung Kopi Kecil yang Membesar

1. Keputusan Besar

Rani duduk di kursi kantornya yang dingin. Layar komputer di depannya menampilkan laporan keuangan yang belum selesai ia kerjakan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Sudah berminggu-minggu ia merasa lelah. Bukan lelah fisik semata, tapi juga lelah hati.

Ia bekerja di sebuah perusahaan pemasaran, gajinya lumayan, jam kerjanya relatif stabil. Namun setiap hari rasanya seperti hidup di dalam kotak: datang, duduk, mengetik, rapat, lalu pulang dengan tubuh penat. Tidak ada semangat, tidak ada gairah.

Di dalam hatinya, ada mimpi kecil yang selalu berbisik: membuka warung kopi sederhana.

Sejak kuliah, Rani selalu suka kopi. Baginya, secangkir kopi bukan hanya soal rasa, melainkan juga suasana. Ia sering membayangkan punya tempat kecil di mana orang bisa mampir, duduk, dan merasa hangat.

Hari itu, setelah melewati rapat panjang yang melelahkan, Rani mengambil keputusan besar. Ia menyerahkan surat pengunduran diri.

“Ran, kamu serius?” tanya atasannya dengan tatapan tak percaya.

“Iya, Pak. Saya ingin mencoba hal lain.”

“Atau ada tawaran dari perusahaan lain?”

Rani menggeleng. “Saya ingin membuka warung kopi.”

Ucapan itu membuat beberapa rekan kerjanya terperangah. Dina, sahabatnya, langsung mendekat setelah rapat usai.

“Kamu gila? Bisnis kopi sekarang banyak banget saingannya. Dari kafe mewah sampai gerobak pinggir jalan. Kamu yakin bisa?”

Rani tersenyum samar. “Aku nggak tahu bisa atau nggak. Tapi kalau aku nggak coba, aku nggak akan pernah tahu.”

2. Awal yang Sederhana

Dengan tabungan seadanya, Rani mulai. Ia membeli termos besar, beberapa gelas plastik, kopi bubuk lokal dari pasar, gula, susu kental manis, dan papan tulis kecil bekas yang ia cat ulang.

Di teras rumah orang tuanya, ia meletakkan meja kayu sederhana dengan dua kursi plastik. Di papan tulis, ia menulis dengan spidol putih:

Kopi Panas 5.000

Hari pertama, ia membuka pukul 6 pagi. Jalan depan rumahnya cukup ramai karena banyak ojek online melintas. Dengan harapan besar, ia menunggu.

Namun hingga jam 10, hanya satu gelas kopi yang terjual. Itu pun dibeli oleh tetangganya, Bu Yati, yang sebenarnya hanya ingin menyemangati.

Hari kedua, lima gelas terjual. Hari ketiga, hanya dua gelas. Malam itu, Rani termenung sambil menatap papan tulisnya. Ia bertanya dalam hati, apa aku salah?

Tapi sesuatu dalam dirinya menolak menyerah. “Kalau aku berhenti sekarang, aku benar-benar gagal. Kalau aku terus, siapa tahu ada harapan.”

3. Mendengarkan Pelanggan

Suatu pagi, seorang mahasiswa datang sambil bertanya, “Mbak, ada es kopi nggak?”

Rani sempat bingung. Ia belum pernah menjual es kopi. Tapi ia coba. Ia beli es batu dari warung sebelah, mencampurkan kopi, gula, susu, dan menuangkan ke dalam gelas plastik dengan es. Mahasiswa itu tersenyum puas.

Besoknya, ia datang lagi, kali ini membawa dua temannya.

“Mbak, es kopi susu kemarin enak. Bikin tiga ya.”

Sejak itu, Rani mulai menyediakan menu es kopi. Lalu muncul permintaan lain: ada yang ingin kopi lebih manis, ada yang minta tanpa gula, ada yang bertanya apakah ada teh atau gorengan.

Sedikit demi sedikit, ia menambah menu: teh manis, es teh, dan pisang goreng.

Warung kecil itu perlahan mulai ramai. Ojek online sering mampir sebelum atau sesudah menerima order. Mahasiswa yang pulang kuliah kadang singgah untuk ngobrol. Bahkan ibu-ibu sekitar komplek mulai menjadikan warung Rani sebagai tempat berkumpul sore hari.

4. Rintangan yang Nyata

Namun perjalanan tidak mulus. Suatu sore, hujan deras turun. Atap terpal yang ia pasang bocor, air menetes ke meja pelanggan. Beberapa orang yang sedang duduk kabur mencari tempat teduh. Rani panik, wajahnya pucat.

“Waduh, Mbak, atapnya nggak kuat ini,” ujar salah satu pelanggan.

Malam itu, Rani hampir menangis. Ia merasa warungnya terlalu rapuh. Tapi keesokan harinya, seorang bapak tukang bangunan yang sering minum kopi di sana berkata,

“Tenang aja, Mbak. Saya punya seng bekas. Minggu ini saya pasangin biar nggak bocor lagi. Murah kok, yang penting warungnya kuat.”

Rani terharu. Ia sadar bahwa warung kopi kecilnya bukan sekadar tempat jualan, tapi sudah jadi bagian dari kehidupan orang-orang di sekitarnya.

5. Dukungan Tak Terduga

Awalnya, orang tua Rani ragu dengan keputusannya. Ayahnya sempat berkata, “Apa kamu nggak mau melamar kerja lagi? Sayang ijazahmu.”

Tapi ketika melihat pelanggan makin ramai, mereka mulai berubah pikiran. Ibunya bahkan sering membantu menyiapkan gorengan, sementara ayahnya membantu merapikan kursi dan mengecat papan nama.

“Kamu memang keras kepala, Ran. Tapi ternyata benar juga. Orang suka nongkrong di sini. Kalau butuh bantuan, bilang saja,” ujar ayahnya suatu sore.

Dukungan itu membuat Rani semakin mantap.

6. Dari Warung ke Kedai

Tiga bulan kemudian, keuntungan yang terkumpul ia gunakan untuk membeli dua meja kayu dan empat kursi lipat. Warungnya kini tampak lebih nyaman. Ia juga belajar dari internet cara meracik kopi dengan lebih baik.

Enam bulan berlalu, ia berhasil membeli mesin kopi bekas dari seorang teman. Dengan itu, ia bisa membuat cappuccino, latte, dan berbagai menu baru.

Rani kemudian mengganti papan tulisnya dengan papan kayu besar bertuliskan:

KOPI SUDUT

Nama itu ia pilih karena warungnya memang berada di pojok jalan kecil.

Kini, pelanggan tetap mulai bermunculan: ojek online yang selalu mampir tiap pagi, mahasiswa yang mengerjakan tugas di meja kecil, hingga pasangan muda yang sering menjadikan Kopi Sudut tempat kencan sederhana.

7. Pelajaran Berharga

Meski usahanya berkembang, Rani tak lepas dari rasa lelah. Ada kalanya ia kewalahan melayani pelanggan sendirian. Ada hari-hari sepi saat hujan deras mengguyur sepanjang hari. Ada pula masa ketika harga bahan baku naik, membuat keuntungan menipis.

Namun setiap kali ia hampir menyerah, ia selalu mengingat awal mula mimpinya. Ia belajar bahwa bisnis bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang kesabaran, mendengarkan orang, dan memberi kenyamanan.

Suatu sore, Dina sahabatnya datang. Ia terkejut melihat kedai kecil itu begitu ramai.

“Ran, aku nggak nyangka. Kamu bisa bikin tempat sekecil ini jadi senyaman ini.”

Rani tersenyum sambil menuangkan dua cangkir kopi. “Awalnya aku juga nggak nyangka, Din. Tapi ternyata kalau mimpi dirawat dengan sabar, bisa tumbuh besar.”

Mereka berdua terdiam, menikmati aroma kopi yang mengepul. Dari kejauhan, suara tawa pelanggan bercampur dengan bunyi sendok beradu di gelas.

8. Refleksi

Malam itu, setelah kedai tutup, Rani duduk sendiri di kursi kayu. Lampu temaram menerangi papan nama Kopi Sudut. Ia menatapnya lama-lama, lalu tersenyum.

Warung kopi kecil yang dulu hanya menjual tiga gelas sehari kini sudah menjadi kedai sederhana yang hidup. Dari tempat itulah ia belajar arti perjuangan, arti sabar, dan arti mendengarkan.

Kopi Sudut mungkin bukan kafe besar dengan interior mewah. Tapi bagi Rani, di sanalah mimpi kecilnya tumbuh dan mengakar, bersama tawa, obrolan, dan aroma kopi yang selalu hangat.

“Awalnya kecil,” gumamnya lirih, “tapi mimpi kalau dirawat, akan membesar.”

Dan di pojok jalan kecil itu, cerita Rani terus berlanjut, secangkir demi secangkir.

---

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
Warung kopi kecil yang membesar
Rendy karel
Novel
Remarkable 2: Special Bonus Prize
FS Author
Novel
Bronze
Tragedi 98
Erlani Puspita
Novel
Hilang: dalam Mega Mendung
Ikhsannu Hakim
Flash
Bronze
Tokoh Asing dalam Cerita
Afri Meldam
Cerpen
Bronze
Koloni Kutu
Kemal Ahmed
Novel
Bronze
Rama's Story : Krisna - Pandawa Pertama
Cancan Ramadhan
Flash
PONSEL
Call Me W
Novel
Bronze
Rama's Story : Gita Chapter 4 - Flight 411
Cancan Ramadhan
Cerpen
Bronze
Bayang
Ron Nee Soo
Novel
Everybody Has Gone Crazy
Eviannelise
Flash
First Meeting
Yue Andrian
Novel
MAHAWIRA
el
Flash
Bronze
LEGION
Delta
Skrip Film
CHERISH & RUELLE
Reiga Sanskara
Rekomendasi
Cerpen
Warung kopi kecil yang membesar
Rendy karel