Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Saya adalah bangunan yang diberi nama Warung Kelontong Ibu Ine oleh pemilik saya. Saya dibangun pada tahun 2015. Dengan ukuran bangunan 4×8 meter. Pemilik saya adalah seorang manusia bernama Ibu Ine, berusia 43 tahun. Suka memakai koyo di dahi sebelah kiri dan kanan karena sering sakit kepala memikirkan nasib hidupnya. Saya dibuka pada pukul 08.00 pagi dan ditutup pada pukul 22.00 malam.
Dari percakapan Ibu Ine dengan dirinya sendiri, saya mengetahui nasib hidupnya Ibu Ine.
"Beginilah nasib saya punya suami selingkuh sama mahasiswa dan punya anak kebelakangan mental."
Katanya dia sudah menceraikan suaminya itu. Suaminya seorang dosen PNS di salah satu kampus di kota Banjarmasin. Hal ini saya tahu dari Eni katanya begini.
"Halo, saya Eni, 8 tahun. Golongan darah AB. Meskipun saya autisme, saya bisa mengurus diri saya sendiri. Ibu Eni, ibu saya dia ibu saya. Ibu kandung saya. Meskipun pemarah, dia masih ibu saya. Ayah saya dosen PNS di salah satu kampus, di kota Banjarmasin. Ayah saya berselingkuh dengan seorang mahasiswa. Ibu saya kemudian menceraikan ayah saya, dan memilh hidup bersama saya."
Begitulah yang dikatakan Eni, layaknya seorang penulis cerita yang sedang bercerita. Hanya saja yang dia ceritakan adalah tentang keluarganya sendiri. Katanya, Eni mempunyai cita-cita ingin menjadi penulis.
"Astaghfirullahaladzim Eni, kamu cerita tentang keluarga kamu sendiri," kata Ibu Ine sambil menangis.
"Kata ibu guru jika bercita-cita menjadi penulis, tulislah cerita yang paling menarik. Kata Ibu, keluarga kita yang paling menarik."
"Kamu jangan sekali-kali ceritain kisah hidup kita ini ke orang lain ya Eni, walaupun kisah hidup kita ini sangat menarik." Eni hanya menganggukan kepalanya.
Satu tahun saya dibangun.
Tiba-tiba di tengah nasib hidup Ibu Ine, ada anak kecil bernama Duti yang menjadikan saya sebagai tempat persembunyiannya, bermain petak umpat. Padahal sudah sangat jelas di depan bangunan terpasang spanduk bertuliskan nama saya, warung kelontong bukan tempat persembunyian.
Dan dari percakapan Ibu Ine dengan paman ojek online, saya mengetahui bapak kandungnya Duti meninggal dunia ketika mencari Duti bersembunyi. Paman ojek online itu namanya Paman Teju. Setelah itu Ibu Ine menjadikan Duti sebagai anak angkatnya.
Dari percakapan Ibu Ine dengan anaknya Eni, saya mengetahui kalau Duti dan Eni seumuran.
"Umur Duti 6 tahun, sama dengan Eni, sekarang kalian adalah saudara."
Dari percakapan Ibu Ine kepada pembeli saya tau alasannya mengangakat Duti menjadi anak adalah karena kasihan dengan nasib Duti.
"Saya mengangkat Duti menjadi anak saya karena saya tidak tega dengan nasib Duti."
"Iya ya Bu Ine, kasihan nasib Duti baru berusia 6 tahun udah ditinggal mati ke dua orang tuanya."
"Lalu keluarganya yang lain apakah tidak ada juga Bu Ine."
"Tidak ada Bu Nis, setahu saya kedua orang tua Duti mereka berasal dari panti asuhan, saya tidak tega kalau Duti juga bernasib sama seperti kedua orang tuanya."
Tapi dari percakapan Ibu Ine kepada anaknya Eni, alasannya mengangkat Duti menjadi anaknya adalah karena kasihan dengan nasib hidupnya sendiri.
Ibu Ine memasukkan Duti dan Eni ke sekolah yang sama.
"Duti nanti kamu kerjakan tugas tugas soal ulangan sekolahan Eni. Jangan sampai Eni tidak naik kelas." Kudengar Ibu Ine bersikeras memasukan anaknya di sekolah anak normal.
"Iya Bu," sahut Duti.
Dua tahun saya dibangun.
Duti dan Eni naik kelas, Duti peringkat pertama di kelas sedangkan Eni peringkat terakhir.
"Duti! sini kamu. Kenapa kamu peringkat pertama sedangkan Eni peringkat terakhir?"
"Kata Ibu, Eni jangan sampai tinggal kelas aja kan Bu, Duti udah buat Eni naik kelas."
"Apa berani-beraninya kamu menjawab, sini kamu."
Pukulan demi pukulan harus Duti terima, saya melihat Duti menangis.
"Anak nakal dipukul, anak yang tidak nakal tidak dipukul," kata Eni.
"Diam saja kamu Eni.”
"Ada apa Ibu Ine, saya dengar Duti menangis?" tanya seorang pembeli di warung Bu Ine yang tiba-tiba datang.
"Hah biasa lagi bertengkar sama Eni."
"Dari percakapan Ibu dengan Duti, diketahui bahwa,” sahut Eni yang tiba-tiba terpotong karena setelahnya saya melihat Ibu ine menarik dan merangkul Eni untuk masuk ke dalam rumahnya.
Tiga tahun saya dibangun.
"Pokoknya kamu harus bisa bikin Eni peringkat pertama di sekolah. Terserah kamu mau peringkat dua kek, atau terakhir kek, yang terpenting adalah Eni harus peringkat pertama."
"Baikbu."
Tidak lama setelah itu, datang tiga orang wartawan berita.
"Apakah Ibu, ibunya Eni?" "Iya saya ibunya," sahut Ibu Ine.
"Kami dari wartawan berita, ingin mewawancarai ibu terkait prestasi yang diraih anak ibu, yang bernama Eni di sekolah."
Banyak berita yang meliput keistimewaan Eni, anak yang mempunyai keterbelakang mental tapi tetap bisa bersekolah di sekolah anak normal, dan mendapatkan peringkat pertama di sekolah. Beritanya menjadi sangat viral di mana-mana.
Empat tahun saya dibangun.
Datang dua orang yang katanya dari perusahaan emas.
"Bu Ine ya, ibunya Eni anak keterbelakangan mental yang sangat berprestasi. Kami dari perusahaan emas. Ingin mengajak ibu untuk bekerja sama.
"Warung kelontong Ibu ini, bisa Ibu ubah menjadi toko emas, ibu ga harus membeli emasnya, karena pihak kami yang akan menyediakan emasnya. Tentunya nantinya Ibu akan mendapat keuntungan 70 persen jika emasnya laku dan nanti akan ada perjanjian tertulis, jika Ibu bersedia."
Di dalam perjanjian tertulis jika Ibu Ine menghilangkan emasnya maka Ibu Ine, wajib menganti rugi dua kali lipat dari harga kehilangan. Dan jika Ibu Ine tidak bisa mengganti rugi berarti Ibu Ine bersedia untuk kami laporkan ke pihak berwajib.
"70 persen, ya saya bersedia."
Ibu Ine terlihat menanda tangani surat perjanjian itu.
“Ayo kita foto bersama dulu sebagai kenang-kenang, karena sebentar lagi warung kelontong Ibu Ine akan diubah menjadi toko emas Ibu Ine,” ajak Ibu Ine kepada Eni dan juga Duti. Dengan sekejap dua orang yang katanya dari perusahaan emas berubah menjadi fotografer handal.
Setelah Ibu Ine melihat hasil fotonya, dia terlihat sedih dan berubah pikiran.
”Bolehkah saya tetep mempertahankan warung ini,” pinta Ibu Ine kepada kedua orang dari perusahaan emas.
Kedua orang dari perusahaan emas saling berpandang-pandangan.
“Maksud saya, warung ini tetap akan menjadi warung kelontong, tapi hanya usahanya saja yang ditambah. Ya ditambah dengan penjualan emas."
“Kalau itu mau Ibu, kami tidak akan keberatan,” sahut salah satu orang dari perusahaan emas.
“Baiklah ini akan kami serahkan beberapa perhiasan, sisanya nanti besok kami antar lagi.”
Hari itu sedang ramai-ramainya para pembeli datang ke saya, sampai membuat antrian. Ibu Ine kewalahan dibuatnya. Saya lihat Ibu Ine tergesa-gesa memasukkan beberapa pesanan bahan-bahan makanan yang dipesan salah satu pembeli, selain itu Ibu Ine juga tidak lupa memasukkan perhiasaan ke salah satu kantong belanjaan pembeli. Akhirnya ada yang juga membeli perhiasan, yang walaupun dijual di warung kelontong ini, saya menjadi terharu.
"Terharu-terharu," kata Eni juga.
Malamnya.
“Duti! di mana perhiasan yang ada di meja ini?”
"Di mana perhiasaannya, kenapa jumlahnya hanya segini saja?" tanya Ibu Ine sambil berteriakan.
Besoknya dua orang dari perusahan emas datang ke saya lagi.
"Ibu Ine bagaimana penjualan emasnya apakah sudah ada yang laku?"
"Susudah."
"Bebelum."
"Sudah apa belum Ibu Ine?."
"Sudah hilang tapi belum bisa saya ganti."
"Apa!!"
"Saya mohon saya pasti akan mengganti kehilangannya." Saya lihat Ibu Ine duduk bersimpuh untuk memohon.
"Baiklah kami akan beri waktu Ibu sampai minggu depan."
Setelah satu minggu
"Ibu … Duti sudah dapat kerja Bu, nanti uangnya bisa Ibu pakai buat bayar hutang Ibu."
"Memangnya kamu dapat kerja apa?"
"Jadi tukang antar makanan, gajihnya satu bulan 1 juta."
"Lalu sekolahmu bagaimana, lebih tepatnya sekolah Eni sih."
"Bisa aja Bu, nanti Duti sebelum ke sekolah Duti antar makanan dulu untuk makan paginya, terus makan siangnya setelah jam istirahat."
"Apa katamu tadi coba ulangi lagi gajihmu berapa?"
"Satu juta Bu."
"Kerja di mana kamu?"
"Duti nganterin makanan ke rumah keluarga Sumanjo, Bu."
"Tadinya Duti ke rumah Paman Teju."
"Duti bilang mau cari kerjaan, Duti minta diajarin jadi tukang ojek online juga kaya Paman Teju."
"Awalnya Paman Teju, ga setuju katanya gimana mau jadi onjek online Duti masih kecil, dan belum bisa naik kendaraan juga."
"Sudahlah Paman Mau anterin pesanan makanan orang dulu ini."
"Duti aja yang anterin ya Paman, Duti mohon," kata Duti memohon sambil menangis.
"Baiklah kali ini saja ya. Ini ada pesanan makanannya orang, rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumahmu, rumah kediaman keluarga Sumanjo.
"Rumah orang kaya itu ya Paman, Duti tau," sahut Duti.
Lalu Paman menyerahkan hpnya ke Duti dan juga makanan pesanan dari orang itu."
"Setelah Duti sampai di kediamanan keluarga Sumanjo, benar kata orang hanya ada anak laki-laki yang tinggal di rumah itu. Duti minta aja untuk menjadi pengantar makanan rutin setiap harinya. Anak laki-laki itu mau, dan katanya dia bakal kasih gajih ke Duti satu juta tiap bulan."
"Ya baguslah kalau begitu, sudah masuk sana jangan lupa cuci piring."
Kira-kira seperti itulah percakapan antara Ibu Ine dan Duti yang saya dengar waktu itu.
"Eni kerja apa?" Eni tiba-tiba bertanya.
"Eni kan mau jadi penulis, ya kerjaan penulis ya nulis."
"Iya Eni mau menjadi penulus," sahut Eni.
Lima tahun saya dibangun.
"Mana Duti katanya gajihmu dirapel, sudah 3 bulan."
"Maafin Duti Bu." Duti tiba-tiba menangis.
"Jangan-jangan kamu habisin uangnya ya, sini kamu anak nakal." Ibu Ine menyeret Duti ke dalam rumah, beberapa pukulan Duti terima dari Ibu Ine.
"Ampun Bu, ampun nanti Duti cari kerja lagi."
"Kalau Ibu sampai masuk penjara itu berarti gara-gara kamu, anak sial. Kamu ga ingat sudah bikin bapakmu meninggal karena permintaanmu waktu itu, baju hari raya ha."
"Iya Bu, maafin Duti Bu, maafin Duti." Tangis Duti terdengar sampai membuat Eni juga ikut menangis.
"Anak nakal dipukul, anak yang tidak nakal tidak dipukul," kata Eni sambil menggelengkan kepala.
"Ibu pemukul, Ibu pemukul, Ibu pemukul, Ibu pemukul."
"Apa katamu Eni, cepat masuk ke kamar sana."
"Apa kamu nangis aja, sok merasa bersalah karena udah bikin bapakmu mati, mau kamu sok merasa bersalah juga bapakmu ga bakal hidup lagi. Mending pergi sana cari kerja jadi apa kek."
Setelah itu saya lihat Duti berjalan keluar lalu menjalankan sepedanya.
Malamnya Duti baru datang. "Mana uang kerjamu?"
"Duti belum dapat kerja Bu."
"Jadi pengemis kek sana, pokoknya kalau kamu belum dapat kerjaan kamu ga boleh tidur di kamar. Tidur di warung aja."
"Apa masih bagus saya suruh tidur di warung, ga tidur di jalanan."
"Baikbu."
Semalaman Duti tidak ada tidur, Duti bercerita tentang seorang benama Jagachandra Sumanjo katanya begini. "Jagachandra orangnya sangat baik, tapi entah kenapa dia ga mau lagi Duti antarkan makanan."
Besok harinya, dua orang dari perusahaan emas datang.
"Pagi Ibu Ine."
"Pagi juga Pak."
"Bagaimana untuk pembayarannya, pihak kami sudah bersedia menunggu 3 bulan."
"Tunggu sebentar lagi Pak, saya pasti akan membayarnya."
"Sepertinya hari ini Ibu harus kami laporkan ke polisi saja."
"Ayo ikut kami ke kantor polisi."
"Jangan ... jangan Pak."
Duti dan Eni baru saja pulang dari sekolah, melihat Ibu Ine sedang diseret sama dua orang bapak dari perusahaan emas.
"Bapak jangan bawa Ibu saya," kata Duti memohon sambil menangis.
"Aku bukan ibumu, dasar anak ga berguna pembawa sial," sahut Ibu Ine sambil melotot ke Duti.
"Jangan bawa Ibu saya, jangan bawa Ibu saya, jangan bawa Ibu saya,” kata Eni.
"Anakku Eni, tunggu Ibu, Ibu pasti akan pulang, kamu terus saja menulis Nak. Kejar impianmu ya." Saya melihat di kedua mata Ibu Ine ada air mata.
10 tahun saya dibangun.
Hari ini Ibu Ine bebas dari penjara, Ibu Ine menerima hukuman penjara kurang lebih selama 5 tahun.
Dan selama itu, Duti yang mencari uang untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah dirinya dan juga Eni. Dengan melanjutkan usaha warungnya Ibu Ine setiap dia pulang dari sekolah.
"Anakku, apakah kamu sudah menjadi penulis."
"Kemarin ada tugas sekolah, membuat sebuah cerpen."
"Lalu apa yang Eni ceritakan?"
"Bukan Eni yang bercerita, Warung Kelontong yang bercerita. Bercerita, kisah paling menarik di dunia ini."
"Apa?"
"Tentang Warung kelontong Ibu Ine, ceritanya sampai hari ini saja.”
"Mana ceritamu kasih ke Ibu saja."
"Cerpen tugas sekolah Eni, dikasih ke Ibu guru, bukan ke Ibu Ine."
"Ya ampun Eni, mana ceritamu kata Ibu."
Eni mencoba mengingat perkataan Ibunya waktu itu. "Kamu jangan sekali-kali ceritain kisah hidup kita ini ke orang lain ya Eni, walaupun kisah hidup kita ini sangat menarik." Eni hanya menganggukan kepalanya.
"Bukan Eni yang bercerita, Warung Kelontong yang bercerita. Bercerita, kisah paling menarik di dunia ini."
"Ya ampun, bersiaplah kita. Para wartawan berita mendatangi warung ini."
Ada satu hal lagi yang ingin saya ceritakan. Tentang percakapan antara Duti dengan salah satu pembeli sebelum Ibu Ine bebas dari penjara.
"Duti kamu dulu pernah saya lihat nganterin makanan ke rumah keluarga Sumanjo ya?"
"Iya Bu, saya pernah kerja jadi pengantar makanan ke rumah itu."
"Waktu itu kamu ga ada perasaan takut?"
"Takut kenapa Bu?"
"Memangnya Ibu Ine ga pernah cerita?"
"Cerita apa Bu?"
"Tentang keluarga Sumanjo?"
"Memangnya kenapa dengan keluarga Sumanjo Bu?"
"Siapapun yang bikin anak dari kelaurga itu yang namanya Jagachandra Sumanjo bahagia, pasti mati."
"Ibunya, bapaknya dan semua pembantu di rumahnya yang sudah bikin dia bahagia pada akhirnya mati."
“Mungkin, itu seperti perjanjian gaib.”
Setelah mendengar itu Duti berlari meninggalkan saya dan juga Eni.
Saya kembali ingat, ada perkataan dari salah satu pembeli kepada Duti dulu.
"Dengar dengar Bapak Yudi sempat datang ke tempat sayembara badut yang diadakan keluarga Sumanjo, yang kalau berhasil bikin anak laki-lakinya Jagachandra Sumanjo bahagia, bakal dikasih hadiah uang."
"Tapi kasihan Bapak Yudi datangnya pas acara udah selesai dan sudah tidak bisa dihitung menjadi peserta, meskipun Bapak Yudi berhasil bikin anak laki-laki itu tertawa bahagia."