Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Warkop Sebelah
2
Suka
705
Dibaca

Warung kopi itu kecil saja. Hanya ada dua meja panjang dan beberapa bangku plastik yang warnanya sudah pudar dimakan matahari. Letaknya di sisi kanan masjid tua yang jarang digunakan kecuali untuk salat Jumat dan tarawih. Plang bertuliskan "Warung Kopi Bu Mirah" menggantung miring, seperti tak peduli dengan angin atau waktu.

Pak Darto duduk di bangku paling pojok, menghadap ke arah jalan kampung. Jam tangannya menunjuk pukul 06.12. Seperti biasa, dia sudah memesan secangkir kopi hitam tanpa gula dan sepotong tempe goreng. Ia tidak pernah memesan lebih. Tidak pernah juga tergesa-gesa. Setiap pagi seperti ritus yang khusyuk: bangun, mandi air sumur, lalu berjalan kaki sejauh dua ratus meter ke warung kopi Bu Mirah.

Di meja, sebuah buku catatan lusuh terbuka. Tangannya yang kurus mencatat sesuatu dengan bolpoin biru—entah catatan harian, entah fiksi, entah sekadar potongan kalimat yang didengarnya dari pelanggan lain.

> “Anak saya sekarang di Surabaya, kerja di pabrik, katanya gajinya gede…”

Ditulisnya kalimat itu seperti potongan dialog teater, diberi tanda kutip, lalu diberi tanggal: 7 Juni 2025.

Pak Darto bukan penulis. Dulu ia pegawai kelurahan, pensiun lebih cepat setelah terkena stroke ringan lima tahun lalu. Sejak istrinya meninggal, ia tinggal sendirian di rumah sempit peninggalan orang tua. Dua anaknya merantau dan pulang hanya lebaran, itu pun kadang tidak serempak. Ia tak menyalahkan mereka. Dunia terus berjalan, dan anak-anak harus ikut berlari.

Warung kopi ini, seanehnya, adalah satu-satunya tempat yang membuatnya merasa masih menjadi bagian dari sesuatu. Ia menyimak, mengamati, dan diam-diam mengumpulkan fragmen hidup dari orang-orang yang tak pernah menyadari kehadirannya lebih dari sekadar “pelanggan tua itu”.

“Pak Darto, nambah gorengan?” tanya Bu Mirah sambil mengelap panci besar.

“Belum, Bu. Nanti kalau masih lapar.” Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat, tapi matanya selalu ramah.

Pagi itu, seorang anak lelaki duduk di bangku depan. Tubuhnya masih mengenakan seragam SMA, tapi kemejanya dikeluarkan dan dasinya dicopot. Tasnya dilempar sembarangan ke lantai. Wajahnya menunduk, dan jemarinya sibuk mengutak-atik ponsel.

Pak Darto melirik, lalu kembali menulis.

> “Anak muda, SMA, jam 6.30 pagi sudah duduk di warung. Muka kosong. Seperti aku dulu, waktu tahu ayah meninggal dan aku belum sempat bilang minta maaf.”

Ia menyimpan bolpoin, meneguk kopi yang kini tinggal separuh.

Anak itu melirik. “Buku apaan, Pak?”

Pak Darto menoleh pelan. “Catatan hidup.”

“Cerita Bapak?”

“Cerita siapa saja.”

Anak itu terdiam sebentar. “Kayak jurnal?”

“Bisa dibilang begitu.”

Lalu mereka terdiam. Hanya suara kipas angin tua yang berderit pelan dan sendok mengaduk kopi. Dunia seperti melambat di pojok warung kecil itu.

Tak ada yang tahu, pagi itu menjadi awal dari sesuatu. Sesuatu yang tak mereka rencanakan. Bukan pertemanan yang instan, bukan pula drama besar. Hanya percakapan-percakapan kecil yang akan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih penting dari yang mereka duga.

Pagi berikutnya, anak itu datang lagi. Waktu masih menunjuk pukul 06.28 ketika Pak Darto duduk di tempat yang sama, membuka buku catatannya, dan mendapati suara langkah malas mendekat ke bangku depan.

Anak itu melempar tasnya ke lantai seperti kemarin, lalu duduk tanpa bicara. Bu Mirah hanya melirik sebentar sebelum kembali sibuk mengisi termos air panas.

“Kopi?” tanya Bu Mirah.

“Teh manis anget aja, Bu,” jawab si anak.

Pak Darto melirik. Kali ini ia tidak menulis apa pun. Ia hanya menunggu.

“Apa Bapak ke sini tiap hari?” Anak itu bertanya tanpa menoleh.

“Iya,” jawab Pak Darto tenang. “Sudah lima tahun.”

“Ngapain?”

Pak Darto tersenyum. “Menulis. Mendengar. Menemani diri sendiri.”

Anak itu mengangguk pelan. “Saya Dio,” katanya setelah beberapa detik.

“Darto,” jawabnya singkat.

Keduanya kembali diam. Tapi diam mereka bukanlah kekosongan. Ada sesuatu yang mulai mengendap—rasa saling tahu bahwa dunia kadang terasa terlalu besar dan kosong, dan di warung kecil ini, mungkin, ada ruang aman yang bisa diisi bersama.

“Bapak pernah nyesel?” tanya Dio tiba-tiba.

Pak Darto mengangkat alis. “Tentang apa?”

“Banyak hal. Kayak… gak ngelakuin sesuatu yang harusnya dilakukan. Atau ngomong sesuatu yang nggak sempat.”

Pak Darto menatap cangkir kopinya lama. Lalu berkata, “Pernah. Banyak.”

Dio mengangguk lagi. Tatapannya kosong ke arah jalan yang mulai ramai oleh ibu-ibu berbelanja sayur.

“Saya bolos hari ini,” katanya kemudian. “Ada ujian. Tapi saya nggak masuk.”

“Kenapa?”

Dio terdiam lama. Lalu menjawab, “Saya capek. Kayak… semuanya ngelaju terus, tapi saya diem di tempat.”

Pak Darto memahami kalimat itu. Terlalu dalam untuk anak seusia Dio, tapi justru itulah kenyataan hidup sekarang. Anak-anak tumbuh dengan beban orang dewasa yang tak semestinya mereka pikul sendiri.

“Boleh saya tulis itu?” tanya Pak Darto sambil membuka bukunya.

Dio tersenyum tipis. “Terserah. Nggak ada yang peduli juga.”

Pak Darto menulis perlahan:

> “Namanya Dio. Pagi ini ia bilang, ‘Semuanya ngelaju terus, tapi saya diem di tempat.’ Saya pernah merasa begitu. Dan saya tahu, mungkin semua orang pernah.”

Dio menyeruput teh manisnya. Lalu tanpa disadari, ia mulai bercerita. Tentang ayahnya yang jarang pulang. Tentang ibunya yang bekerja dua shift di pabrik roti. Tentang adiknya yang masih kecil dan rumah yang terlalu sempit untuk menampung kesedihan yang tak pernah punya ruang untuk dibicarakan.

Pak Darto mendengar. Ia tidak memotong, tidak menasihati. Ia hanya diam, sesekali menulis, dan sesekali tersenyum.

Warung kopi itu, entah bagaimana, menjadi ruang pengakuan paling jujur untuk dua orang asing yang merasa kehilangan tempat berpijak.

Sebelum pulang, Dio berkata, “Saya besok ke sini lagi, boleh?”

“Boleh. Tapi bawa cerita baru,” ujar Pak Darto sambil mengangkat cangkir kosongnya.

Dio tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyum yang benar-benar sampai ke matanya.

Dio datang tiga hari berturut-turut.

Pagi ketiga, ia datang lebih awal dari biasanya. Bahkan Bu Mirah baru saja membuka gorden plastik ketika anak itu sudah duduk, mengusap wajah dengan napas terengah.

“Dio?” Pak Darto mengangkat kepala dari buku catatannya.

Dio hanya mengangguk. Matanya sembab, ada bekas basah di pipi. Ia menunduk dalam waktu lama sebelum akhirnya berkata, “Tadi malam saya marah besar sama ibu.”

Pak Darto tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat pada Bu Mirah untuk membawa dua teh manis hangat.

“Saya teriak. Saya bilang saya muak sekolah, muak semuanya. Dan tahu apa yang Ibu saya lakukan?” Dio menarik napas dalam. “Dia nggak bilang apa-apa. Cuma masuk kamar dan nutup pintu pelan.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Pagi yang seharusnya hangat mendadak penuh dengan udara berat.

“Saya kira dia bakal marah. Tapi justru itu yang bikin saya tambah nyesek. Saya nggak tahu kenapa saya nyakitin orang yang paling berusaha ngerti saya.”

Pak Darto menulis di bukunya:

> “Anak-anak sering bicara dengan marah karena tak tahu cara bilang mereka sedih.”

Lalu ia menatap Dio. “Orang tua itu nggak sempurna. Tapi cinta mereka sering diem-diem. Nggak ribut. Nggak selalu terlihat. Kamu tahu itu, kan?”

Dio mengangguk pelan.

“Aku kira selama ini aku yang paling lelah,” katanya. “Tapi pagi tadi aku lihat ibu nyuci baju sambil duduk karena kakinya sakit. Aku diem di balik pintu, ngerasa kecil sekali.”

Pak Darto menatap jalan yang mulai ramai oleh pedagang sayur dan tukang parkir masjid. “Kadang rasa bersalah datang lebih cepat dari kedewasaan. Tapi keduanya perlu. Supaya kita nggak cuma jadi marah, tapi juga tahu apa yang harus diperbaiki.”

Dio mengusap matanya, mengalihkan pandangan.

“Boleh saya nulis itu juga?” tanya Pak Darto.

Dio tersenyum kecil. “Boleh. Tapi jangan bilang nama saya.”

Pak Darto menulis:

> “Ada anak laki-laki yang merasa kecil karena melihat ibunya duduk kesakitan saat mencuci baju. Ia tak tahu cara meminta maaf, tapi tahu betul ia ingin jadi lebih baik.”

Hari itu, Dio tidak banyak bicara lagi. Ia hanya duduk lebih lama dari biasanya. Kadang-kadang memandangi genteng warung, kadang menatap langit yang mulai mendung.

Sebelum pergi, ia berdiri dan berkata, “Pak Darto, boleh gak saya tulis juga di buku itu? Bapak yang nulis tentang saya. Sekarang gantian.”

Pak Darto menyerahkan bukunya dengan senyum penuh haru. “Tentu saja.”

Dio menulis:

> “Hari ini saya belajar kalau jadi kuat itu bukan berarti gak pernah nangis. Tapi tetap datang ke tempat yang sama, duduk, dan berani cerita. Mungkin itu namanya mulai sembuh.”

Ia menutup buku, mengembalikannya pada Pak Darto, dan berbalik.

Langkah Dio terasa lebih ringan dari sebelumnya.

Hari itu hujan turun sejak Subuh. Bukan hujan deras, hanya gerimis lembut yang menetes seperti ingatan lama. Bu Mirah tetap membuka warung, meski tak ada harapan besar pembeli. Namun, Pak Darto tetap datang, membawa buku lusuhnya, dan duduk di bangku yang sama.

Tak lama, Dio muncul dengan payung kecil dan jaket lusuh.

“Bapak kira kamu nggak datang,” sapa Pak Darto.

“Saya janji,” jawab Dio singkat. Lalu duduk di tempat biasa. Ada kantung plastik bening di tangannya, berisi dua roti sobek.

“Saya beli ini buat Bapak dan Bu Mirah,” katanya. “Makasih ya, buat semuanya.”

Pak Darto hanya mengangguk. Tak ingin mengganggu momen itu dengan kalimat panjang.

Setelah menyeruput teh, Dio berkata pelan, “Besok saya pindah, Pak. Ibu dapet pekerjaan di kota. Kami akan tinggal di rumah kontrakan kecil. Tapi saya nggak takut.”

Pak Darto tidak bertanya lebih. Ia tahu, setiap orang punya waktunya sendiri untuk pergi. Yang penting adalah bekal yang dibawa, bukan tempat tujuan.

“Bapak,” kata Dio pelan, “saya mau titip sesuatu.”

Ia menyerahkan secarik kertas, dilipat rapi, dengan tulisan tangan Dio di bagian depan: Untuk Diri Saya di Masa Depan.

Pak Darto membuka pelan, membacanya dalam diam:

> Kalau suatu hari saya lupa pernah sedih seperti ini, dan mulai sombong lagi, ingatlah pagi-pagi di warung ini. Di mana kamu belajar menerima, memaafkan, dan memulai dari nol.

“Bapak simpan ya,” kata Dio. “Kalau suatu hari saya datang lagi, saya mau baca itu.”

Pak Darto menyimpannya di dalam buku catatannya, lalu menulis kalimat terakhir pagi itu:

> “Anak laki-laki itu pergi dengan langkah pelan. Tapi saya tahu, dunia telah menyambut seseorang yang baru—yang lebih kuat, lebih lembut, dan lebih siap menjalani hidup.”

Dio pamit. Ia berjalan menembus gerimis, tak lagi menunduk. Ada senyum di bibirnya, ringan dan tulus.

Warung kopi itu kembali sepi.

Namun dalam keheningannya, Pak Darto tahu, setiap orang yang datang dan pergi dari warung ini telah meninggalkan jejak. Dan mungkin, warung kecil ini memang bukan sekadar tempat minum teh. Ia adalah ruang kecil di dunia yang memberi jeda bagi mereka yang ingin berhenti sejenak, menata hati, lalu melanjutkan perjalanan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Warkop Sebelah
Penulis N
Cerpen
Bronze
Wheres My Home?
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Bronze
Pemimpin Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Bronze
Kakek dan Bisma
Anggrek Handayani
Cerpen
Bronze
Diam Diam Protes
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Rajo Angek Garang
Gia Oro
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Sarah Choice
wia ukhrowia
Cerpen
Hal-Hal yang Tidak Pernah Kupelajari dari Ibu
Tresnaning Diah
Cerpen
Bronze
Koran Kertas
Imajinasiku
Cerpen
Bronze
Si Pendidikan Negeri Sipil Bag-1
spacekantor
Cerpen
Bronze
Warisan Dari Bapak
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
TIGA LUKA TARI,
Indira Raina
Cerpen
Bronze
Light at the End of the Tunnel
Rizky Yahya
Cerpen
Bronze
Donat
Titin Widyawati
Rekomendasi
Cerpen
Warkop Sebelah
Penulis N
Novel
Sah Iya, Cinta Nanti!
Penulis N
Cerpen
Lembayung di Alas Rawiya
Penulis N
Flash
Surat dari Masa Depan
Penulis N
Cerpen
BAYANG-BAYANG DI BALIK JENDELA
Penulis N
Flash
Lorong Tanpa Akhir
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Cerpen
KEKACAUAN DI PESTA ULANG TAHUN
Penulis N
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Cerpen
Di Ujung Azan Subuh
Penulis N
Novel
Kanvas Hati
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Cerpen
Lorong ke Hari Rabu
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N