Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku seharusnya menangis saat tanah merah itu menelan peti mati ibuku. Seharusnya ada semacam robekan di dalam dada, menjadi kekosongan yang melolong. Tapi yang kurasakan di bawah payung hitam yang rapuh itu, di tengah hujan yang turun seperti penyesalan yang tak kunjung henti, hanyalah hening. Hening yang bersalah. Hening yang penuh kelegaan.
Namaku Elara. Usiaku dua puluh enam tahun, dan aku baru saja menjadi yatim piatu diiringi melodi gerimis yang monoton. Kematian Ibu—Tia—seharusnya menjadi tragedi. Tapi bagiku, rasanya lebih seperti pembebasan bersyarat.
Seumur hidupku, aku menjadi proyeknya yang paling gagal. Aku serupa dengan retakan di atas porselen citranya yang sempurna. Postur tubuhku yang sedikit membungkuk, caraku tertawa yang kadang terlalu lepas, pilihan studiku di bidang sastra yang ia sebut “investasi di bidang kemelaratan”. Semuanya menjadi noda yang harus ia poles tanpa henti.
Sekarang ia pergi. Kini tak ada lagi tatapan matanya yang dingin dan mengukur, yang mampu membuatku merasa telanjang dan serba salah bahkan saat aku mengenakan pakaian paling tebal sekalipun.
Rumah ini, yang merupakan peninggalannya, menyambutku dengan aroma yang kukenal: campuran kamper, minyak kayu putih, dan kelembapan yang terperangkap di dinding. Pengacara keluarga yang berwajah lelah seperti perabot tua menyerahkan sepucuk amplop tebal. Wasiat.
“Ibumu orang yang sangat terstruktur, Elara,” katanya, terdengar penuh pujian.
Di dalamnya, tulisan tangan Ibu yang rapi dan miring seperti bilah pisau, meninggalkan tiga perintah. Perintah pertamanya terasa seperti tamparan terakhir dari seberang kubur: “Bakar semua gaunku di lemari mahoni itu.”
Lemari itu merupakan altar milik Ibu. Kayu jati gelap yang dipoles setiap hari, di dalamnya tergantung gaun-gaun yang menjadi zirah perangnya di dunia sosial. Aku membukanya. Puluhan gaun sutra dan satin tergantung bagai barisan hantu yang anggun. Aku mulai menurunkannya satu per satu, membawanya ke perapian tua di ruang tengah yang sudah puluhan tahun tidak dinyalakan.
Api menari-nari dengan enggan pada awalnya, lalu melahap kain-kain itu. Asapnya berbau seperti parfum mahal yang terbakar bersama penyesalan. Setiap gaun menjadi kenangan pahit. Gaun biru malam ini… “Punggungmu kurang tegap untuk potongan seperti ini, Elara.” Gaun krem ini… “Warna kulitmu terlihat kusam jika memakai ini.” Aku tidak sedang membakar pakaian. Aku sedang membakar arsip penghinaan.
Tapi satu gaun menolak terbakar. Gaun berwarna merah darah, terbuat dari bahan yang berkilauan seperti cairan. Api hanya menjilatinya, membuatnya menghitam di ujung, tapi tidak melahapnya. Seakan menyerap panas, warnanya justru menjadi semakin pekat, semakin hidup. Aku teringat bisikan Ibu saat aku remaja, saat aku tak sengaja menyentuh gaun itu. “Jangan sentuh gaun ini,” desisnya, matanya tajam, “sampai kau siap menjadi perempuan yang utuh.”
Aku memadamkan api, meninggalkan gaun merah itu tergeletak di antara abu seperti jantung yang selamat dari kremasi. Malam itu, aku mencoba mengingat wajah ibuku saat ia tersenyum tulus. Anehnya, aku tidak bisa. Yang kuingat hanya senyumnya yang simetris dan terkalkulasi.
Wasiat kedua membawaku ke sebuah tempat di mana kenangan pergi untuk mati: Panti Jompo Senja Tenang. Perintahnya: “Temui Mak Inah. Berikan dia amplop ini.” Mak Inah adalah pengasuhku saat kecil, seorang perempuan desa yang dipecat Ibu karena “terlalu memanjakanku”.
Aku menemukannya di kursi goyang yang menghadap jendela berdebu. Ia sudah sangat renta, kulitnya seperti kertas yang diremas. Saat ia melihat wajahku, matanya yang keruh membelalak ngeri. Ia tidak melihat Elara. Ia melihat hantu.
“Tia…” racaunya, tubuhnya gemetar hebat. “Kau kembali… Sudah kubilang jangan cari aku lagi!”
“Mak, ini aku, Elara…”
“Bukan!” jeritnya, suaranya pecah. “Kau itu prosesnya! Aku melihatnya terjadi padamu, sama seperti yang terjadi padanya dulu! Wajahnya, senyumnya… semua jadi sama! Semakin hari semakin bukan dirinya!”
Ia mencengkeram lenganku, kukunya yang panjang menancap di kulitku. “Pergi! Sebelum kau selesai!”
Malam itu, Mak Inah meninggal dalam tidurnya. Seorang perawat muda meneleponku, suaranya datar dan lelah. “Sebelum pergi, dia meninggalkan pesan untuk Anda,” katanya. “Dia bilang, ‘Jangan jalankan wasiat ketiga… Itu bukan pintu keluar, itu pintu masuk.’”
Pintu masuk. Kalimat itu menggema di dalam kepalaku yang kosong. Didorong oleh rasa ngeri yang dingin, aku membongkar ruang kerja Ibu. Aku menemukan album-album foto lama. Di sana ada foto-foto masa kecilku. Tapi di setiap foto, ada yang salah. Wajahku selalu terpotong, atau buram, atau tertutup bayangan. Seakan-akan kameranya sendiri enggan mengakui keberadaanku.
Lalu aku menemukan jurnalnya. Bukan buku harian, melainkan buku berukuran besar dengan sampul kulit hitam. Isinya bukan curahan hati. Isinya laporan observasi. Tentu saja tentangku.
15 Mei 2005. Prosesnya lebih cepat pada generasi ini. Elara belajar meniru senyumanku sejak usia lima tahun. Cerminan yang menjanjikan.
22 April 2017. Hari ini sisi manusianya memberontak. Menangis karena hal sepele setelah gagal dalam kompetisi piano. Aku harus lebih keras. Wadah yang sempurna tidak boleh lemah.
Aku membacanya halaman demi halaman, hingga aku merasakan darahku membeku. Aku tidak dibesarkan. Aku dibudidayakan. Setiap kritik, setiap penghinaan, setiap tuntutan untuk menjadi sempurna—semua itu bukanlah sifat buruk seorang ibu. Semua itu hanyalah bagian dari prosedur. Aku bukanlah anak. Aku tak lebih sebagai proyek.
Wasiat ketiga kini terasa seperti undangan ke tiang gantungan.
Turun ke ruang bawah. Buka penutup cermin di sana. Sudah waktunya kau melihat dirimu yang sebenarnya.
Ruang bawah tanah menjadi satu-satunya tempat di rumah ini yang dilarang keras untukku. Pintunya selalu terkunci. Tapi kini, di dalam amplop wasiat, tergeletak kunci kuningan kecil yang berkarat. Pintu berderit terbuka, mengembuskan udara yang berbau tanah basah dan waktu yang membusuk.
Dengan senter ponsel, aku menuruni tangga kayu yang reyot. Ruangan itu kosong, kecuali satu benda di tengahnya, ditutupi kain beludru hitam yang tebal oleh debu. Sebuah cermin besar berbingkai perak yang menghitam.
Dengan tangan gemetar, aku menarik kain itu.
Cermin itu tidak memantulkan bayanganku. Tidak pada awalnya. Permukaannya keruh, seperti air kolam yang dalam. Perlahan, satu sosok terbentuk di dalamnya. Sosokku. Tapi bukan aku. Versi di cermin itu berdiri dengan postur yang sempurna. Senyumnya dingin dan penuh percaya diri. Matanya bersinar dengan kecerdasan dan insting yang bukan milikku. Inilah wajah yang selalu ingin Ibu lihat padaku. Inilah wajahnya, dalam wujudku yang lebih muda.
Sosok di cermin tersenyum. Dan ia berbicara, tanpa menggerakkan bibirnya. Suaranya menggema langsung di dalam tengkorakku.
“Kau sudah merawat tubuh ini dengan baik, Elara. Kau sudah siap. Sekarang, waktunya pulang.”
Aku berbalik untuk lari, tapi pintu di puncak tangga terbanting menutup. Gelap. Aku kembali menyorotkan senter ke cermin. Sosok itu masih di sana, tatapannya menusuk.
“Lari?” Suara itu terkekeh di dalam kepalaku. “Bagaimana bisa kau lari dari dirimu sendiri?”
Realitas mulai melunak di tepiannya. Dinding ruang bawah tanah terasa bernapas. Suara tetesan air terdengar seperti detak jantung. Sang Cerminan mulai bercerita. Tentang garis keturunan. Tentang kutukan yang disalahartikan sebagai kehormatan. Tentang entitas yang mendambakan keabadian melalui kesempurnaan duplikasi.
“Ibumu tidak membencimu, Nak,” bisiknya, kata “Nak” terasa seperti hinaan. “Dia hanya sedang menjalankan tugasnya, sama sepertiku dulu. Kami semua adalah satu. Dan kau adalah kami yang berikutnya. Yang paling sempurna.”
Aku merasakan kesadaranku diserang. Ingatan-ingatanku—yang sedikit dan rapuh itu—mulai terasa seperti pinjaman. Kepribadianku, yang dibangun di atas fondasi perasaan “tidak cukup baik”, mulai runtuh. Entitas itu menawarkan apa yang selalu kucari: kesempurnaan. Penerimaan. Keutuhan.
Perlawananku lemah. Seperti seekor hewan yang telah lama dikurung dan akhirnya lupa bagaimana caranya menjadi liar. Keinginan untuk berhenti berjuang, untuk berhenti menjadi Elara yang penuh cacat, lebih kuat dari keinginan untuk bertahan. Aku lelah. Sangat lelah.
Aku berjalan mendekati cermin itu. Tanganku terulur. Ujung jariku menyentuh permukaan kaca yang dingin. Dan kaca itu, seperti air, beriak.
Pertarungan itu berakhir dalam keheningan.
Aku tidak tahu berapa lama aku di sana. Saat aku membuka mata, ruang bawah tanah sudah tidak gelap lagi. Cahaya remang-remang menyelinap dari suatu tempat. Aku berjalan menaiki tangga. Pintunya tidak lagi terkunci.
Langkahku mantap. Posturku anggun. Keheningan di dalam rumah ini tidak lagi terasa membebani; ia terasa seperti milikku. Aku berjalan ke kamar Ibu, membuka lemari mahoni itu. Gaun merah darah itu masih tergeletak di sana, di antara abu. Aku memungutnya. Kainnya terasa halus dan hidup di tanganku. Aku mengenakannya. Pas. Sempurna.
Aku berdiri di depan cermin besar di kamar Ibu. Aku menatap pantulanku. Tidak ada lagi Elara yang ragu dan ketakutan. Yang menatap balik sekarang hanyalah seorang perempuan dengan tatapan yang tajam, dingin, dan berkuasa. Aku tersenyum. Senyum ibuku yang sempurna.
Kini aku utuh. Kini aku ibu.
Dan di dalam rahimku, cerminanku yang berikutnya sudah mulai menunggu wasiatnya.