Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Warisan Dari Bapak
0
Suka
14
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah rumah megah yang terletak di tengah kota, suasana tegang terasa tebal di udara. Tiga bersaudara, yakni Aditya, Rina, dan Bayu, duduk di ruang tamu sambil saling melempar pandangan curiga. Mereka baru saja kembali dari pemakaman ayah mereka, Pak Arif, seorang pengusaha sukses yang meninggalkan harta kekayaan yang sangat besar. Namun, warisan yang seharusnya menjadi berkah malah menimbulkan pertikaian di antara mereka.

Aditya, anak sulung, merasa bahwa dialah yang paling berhak atas warisan tersebut. Sebagai pengganti kepala keluarga, ia merasa tanggung jawab jatuh kepadanya untuk mengatur semuanya.

“Ayah pasti sudah mempersiapkan segalanya dengan adil,” ujar Aditya dengan nada tegas, “Aku yakin surat wasiat ayah sudah jelas.”

Rina, si anak tengah yang ambisius, tidak mau kalah. Ia tahu betul betapa keras ia bekerja di perusahaan keluarga selama ini, dan ia tidak akan membiarkan kakaknya mengambil keputusan begitu saja.

“Kita tidak bisa langsung mengklaim seperti itu, Mas. Warisan ini harus dibagi adil. Aku sudah mengorbankan banyak hal untuk membantu ayah membesarkan perusahaan. Jangan lupa itu.”

Bayu, si bungsu, hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum sinis. Selama ini, ia dianggap paling malas dan tidak peduli. Tapi Bayu menyimpan rahasia yang tidak diketahui kedua kakaknya, dan ia berniat mengungkapnya pada saat yang tepat.

“Kalian berdua bicara seolah-olah ayah cuma meninggalkan harta untuk diperebutkan,” kata Bayu pelan namun jelas, “Apa kalian lupa dengan pesan terakhir ayah?”

Aditya dan Rina terdiam. Mereka ingat jelas, sebelum ayah mereka meninggal, ada sesuatu yang sempat disinggung tentang ‘rahasia besar’ yang akan diungkapkan setelah kepergiannya. Tapi belum ada dari mereka yang benar-benar memahami apa maksudnya.

Ketika pengacara keluarga, Pak Wiryo, akhirnya datang dengan membawa surat wasiat, semua mata tertuju padanya. Mereka berkumpul di ruang kerja ayah mereka, di mana segala keputusan besar selalu dibuat.

“Terima kasih sudah berkumpul di sini. Surat wasiat Pak Arif memang cukup spesial, berbeda dari biasanya. Sebelum saya membacakan, ada hal yang harus kalian ketahui,” ujar Pak Wiryo dengan suara tenang tapi tegas, “Pak Arif memberikan instruksi yang sangat spesifik terkait pembagian warisan. Dan ada satu syarat yang harus dipenuhi.”

Aditya mengerutkan kening, tidak suka dengan arah pembicaraan ini, “Syarat apa? Bukankah surat wasiat itu seharusnya langsung dibagikan tanpa syarat?”

Pak Wiryo menarik napas panjang, “Syaratnya adalah, kalian bertiga harus menyelesaikan sebuah teka-teki yang disiapkan oleh Pak Arif. Hanya setelah teka-teki itu terpecahkan, warisan bisa dibagikan.”

Rina tertawa kecil, tak percaya, “Ini lelucon, kan? Ayah sudah meninggal, dan dia masih ingin kita bermain teka-teki?”

Namun Bayu tidak tertawa. Dia tampak tertarik dan sedikit tersenyum, “Teka-teki apa itu, Pak?”

Pak Wiryo membuka amplop berwarna kuning tua dan mengeluarkan secarik kertas, “Ini adalah petunjuk pertama. Kalian harus bekerja sama untuk menemukannya. Kalau tidak, kalian semua akan kehilangan hak kalian atas warisan ini.”

Aditya langsung meraih kertas itu dan membacanya keras-keras: “Di tempat di mana semuanya bermula, kunci akan terungkap.”

Rina mendengus, “Apa-apaan ini? Tempat di mana semuanya bermula? Rumah keluarga kita?”

“Tidak mungkin seklise itu,” jawab Aditya, “Ayah bukan orang yang sederhana. Ini pasti lebih dalam dari sekadar rumah.”

Bayu yang sejak tadi diam-diam mengamati segera menyela, “Kalian berdua terlalu fokus pada harta. Ingat, ayah selalu bilang tempat di mana dia mulai mendapatkan inspirasi untuk bisnisnya bukan di rumah.”

Semua terdiam sejenak, merenungkan perkataan Bayu, “Taman ayah!” Seru Aditya tiba-tiba, “Itu tempat favoritnya, di mana dia sering duduk dan berpikir sebelum memulai semuanya.”

Ketiganya segera menuju taman kecil di belakang rumah yang penuh dengan kenangan. Di sana, di bawah pohon besar yang rindang, mereka menemukan sebuah kotak terkunci. Rina, yang paling cepat bereaksi, segera meraih kotak itu dan mencoba membukanya.

“Kunci apa ini? Apa kita perlu menemukan kunci lain?” Tanyanya frustrasi.

Namun Bayu hanya tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya, “Aku sudah menemukan ini beberapa hari sebelum ayah meninggal. Aku tahu kalian pasti akan membutuhkannya.”

Aditya dan Rina tertegun, “Kau sudah tahu tentang ini?” Tanya Aditya marah, “Kenapa kau tidak bilang?”

“Ayah meminta aku menjaga rahasia ini sampai saatnya tiba,” jawab Bayu tenang, membuka kotak itu. Di dalamnya, mereka menemukan amplop lain dengan pesan yang lebih mengejutkan.

“Kalian berpikir kalian tahu semua tentang ayah, tapi ada satu rahasia besar yang dia sembunyikan. Cari tahu siapa di antara kalian yang sebenarnya bukan anak kandung, dan hanya dia yang akan mendapatkan seluruh warisan.”

Rina membeku, “Apa maksudnya? Salah satu dari kita bukan anak kandung ayah?”

Aditya terkejut, sementara Bayu tampak sudah menduga sesuatu, “Ayah selalu berkata bahwa darah bukanlah satu-satunya penentu keluarga. Mungkin inilah maksudnya.”

“Kita harus tes DNA,” kata Aditya cepat, suaranya sedikit gemetar.

Rina segera menyetujui, “Ya, itu satu-satunya cara. Kita perlu bukti.”

Namun Bayu tampak tenang, “Atau mungkin kita tidak perlu tes DNA. Bagaimana kalau kita saling terbuka saja? Aku sudah tahu jawabannya.”

Kedua kakaknya memandangnya dengan tajam, “Apa yang kau tahu, Bayu?” Desak Aditya.

Bayu tersenyum tipis, “Aku sudah tahu sejak lama. Aku bukan anak kandung ayah.”

Rina tersentak, “Kau tidak serius, kan?”

“Serius,” Bayu mengangguk, “Ibuku dulu bekerja sebagai pembantu di rumah ini sebelum menikah dengan ayah. Ayah membesarkanku seperti anak kandungnya sendiri. Tapi... Darahku bukan darahnya. Itu sebabnya aku selalu merasa berbeda.”

Rina dan Aditya saling berpandangan, masih berusaha memproses informasi ini.

“Tapi ini belum berakhir,” kata Bayu, matanya berkilat penuh misteri, “Ayah tidak membuat ini semudah kelihatannya. Meskipun aku bukan anak kandungnya, aku yakin ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.”

Pak Wiryo yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara lagi, “Pak Arif ingin kalian menemukan satu kebenaran terakhir. Ada surat terakhir di ruangan kerja beliau.”

Mereka kembali ke ruang kerja ayah mereka. Di laci meja, mereka menemukan sebuah surat terakhir yang mengungkapkan rahasia besar: “Anak yang bukan anak kandungku, bukanlah Bayu. Tapi salah satu dari kalian yang lain.”

Aditya dan Rina membeku. Mereka tak bisa mempercayai apa yang mereka baca. Ternyata bukan Bayu, tapi salah satu dari mereka berdua yang bukan anak kandung.

“Ini tidak mungkin!” Aditya berteriak, “Aku anak sulung, aku yang paling mirip dengan ayah!”

Rina yang sejak tadi diam, kini menangis terisak, “Jadi... Itu aku? Aku yang selama ini bukan anak kandung?”

Namun Bayu, dengan tenang, menunjukkan ekspresi yang berbeda, “Jangan terlalu cepat menyimpulkan, Rina. Kita semua perlu melakukan tes DNA, seperti yang kalian katakan tadi.”

Setelah melalui serangkaian tes, hasilnya pun keluar. Ternyata... Bukan Rina. Bukan Bayu. Tapi Aditya. Anak sulung yang selama ini paling merasa berhak atas semua, ternyata bukan darah daging Pak Arif.

Aditya terdiam, tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia mundur, wajahnya pucat pasi, “Bagaimana bisa? Aku... Aku anaknya...”

Pak Wiryo menyelesaikan pembacaan surat wasiat terakhir, “Warisan ini tidak dibagi berdasarkan darah, tapi berdasarkan kasih. Dan karena semua sudah terbuka, Pak Arif ingin memberikan seluruh hartanya kepada anak yang paling setia—Bayu.”

Rina dan Aditya menatap Bayu dengan campuran emosi—marah, kecewa, namun juga kagum. Ternyata, anak bungsu yang dianggap malas dan tidak peduli, justru yang paling setia pada nilai-nilai ayah mereka.

“Ini bukan tentang harta,” kata Bayu pelan, “Ini tentang cinta ayah kepada kita. Dan aku akan membaginya dengan kalian, sama seperti ayah mengajarkan kita untuk selalu berbagi.”

Air mata pun tak terbendung. Tiga saudara itu akhirnya menyadari bahwa warisan terbesar yang ditinggalkan ayah mereka bukanlah harta benda, tapi pelajaran tentang arti keluarga yang sesungguhnya—tentang cinta, pengorbanan, dan kebersamaan.

Aditya, yang biasanya penuh dengan rasa bangga, kini hanya bisa tertunduk, “Bayu, aku… Aku tidak tahu harus berkata apa. Selama ini aku menganggap kau tak peduli pada keluarga ini, ternyata kau yang paling mengerti ayah.”

Rina menghapus air matanya, “Maafkan aku juga, Bayu. Aku terlalu sibuk dengan ambisi dan pikiranku sendiri, sampai-sampai aku lupa bahwa kita semua punya tempat masing-masing dalam keluarga ini.”

Bayu menggelengkan kepala, tersenyum lemah, “Kalian tidak perlu minta maaf. Kita semua dibesarkan dalam situasi yang penuh tekanan, apalagi dengan ayah yang selalu tegas. Tapi pada akhirnya, ini semua tentang kita. Warisan ini hanya simbol. Apa gunanya semua harta kalau kita saling menghancurkan?”

Hening sejenak menyelimuti ruangan itu, hanya suara angin dari jendela yang terdengar lembut, seolah-olah Pak Arif sendiri sedang mengawasi anak-anaknya dari kejauhan.

Rina menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Aku setuju denganmu. Aku tidak akan berusaha merebut warisan itu lagi. Kalau ayah mempercayaimu, aku juga akan mempercayaimu.”

Aditya akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap kedua adiknya, “Aku juga setuju. Warisan ini milik kita semua, bukan hanya milikku. Tapi satu hal yang pasti, aku ingin kita tetap bersama sebagai keluarga.”

Bayu mengangguk pelan, “Kalau begitu, kita buktikan bahwa apa yang ayah inginkan bukan sekadar soal harta. Kita jaga keluarga ini tetap utuh, seperti pesan terakhirnya.”

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ketiganya berbincang dari hati ke hati, tanpa ada rasa curiga atau persaingan. Mereka saling mengenang masa kecil mereka, ketika belum ada ambisi atau kepentingan pribadi yang memisahkan mereka. Kenangan itu terasa seperti jembatan yang menyatukan mereka kembali.

Tiga bersaudara itu akhirnya mengerti bahwa meskipun warisan materi bisa habis, ikatan keluarga tidak akan pernah pudar jika mereka berusaha mempertahankannya. Harta Pak Arif yang ditinggalkan kini menjadi tidak begitu penting lagi; yang jauh lebih berharga adalah kebersamaan dan pemahaman baru di antara mereka.

Saat pagi menjelang, Aditya, Rina, dan Bayu sepakat untuk membagi warisan sesuai dengan keinginan ayah mereka, bukan berdasarkan ego masing-masing. Untuk pertama kalinya sejak pemakaman ayah mereka, mereka tersenyum, bukan karena harta, tetapi karena mereka tahu, di tengah semua konflik dan rahasia, mereka masih memiliki satu sama lain.

–TAMAT–

Pesan moral dari cerita ini adalah:

1. Keluarga lebih dari sekadar hubungan darah: Melalui kejutan bahwa Aditya, anak sulung, bukan anak kandung Pak Arif, cerita ini mengajarkan bahwa ikatan keluarga tidak selalu ditentukan oleh hubungan biologis. Kasih sayang, kebersamaan, dan kesetiaan jauh lebih penting daripada sekadar garis keturunan.

2. Kesetiaan dan pengorbanan lebih berharga daripada harta: Bayu, yang paling dianggap remeh oleh kedua saudaranya, akhirnya menerima seluruh warisan karena kesetiaan dan cintanya pada keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa pengorbanan dan ketulusan memiliki nilai yang lebih besar daripada ambisi materi.

3. Harta bukanlah segalanya: Pertikaian di antara ketiga saudara yang awalnya dipicu oleh perebutan warisan akhirnya diselesaikan dengan kesadaran bahwa harta materi hanyalah sementara. Ikatan keluarga dan kebersamaan adalah harta yang sesungguhnya dan harus dijaga.

4. Jangan terburu-buru menyalahkan atau menilai orang lain: Sepanjang cerita, Aditya dan Rina meremehkan Bayu karena menganggapnya tidak layak, tapi justru Bayu yang memiliki hati yang paling dekat dengan prinsip ayah mereka. Ini mengajarkan pentingnya tidak terburu-buru menghakimi seseorang hanya dari penampilan luar.

5. Persatuan dalam keluarga harus diutamakan: Konflik dalam keluarga bisa muncul dari ambisi atau keegoisan, tapi pada akhirnya, yang paling penting adalah tetap menjaga persatuan dan saling menghargai sebagai keluarga.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Warisan Dari Bapak
Shinta Larasati
Cerpen
Bronze
Seni Olah Rasa
Wahyu Sandralukita Sari
Cerpen
Pesawat Kertas "Surat Kasih Untuk Ayah"
Siska Amelia
Cerpen
Bronze
Hilang Sebelum Sampai
Shinta Larasati
Cerpen
Bronze
Waktu
precious
Cerpen
Bronze
Kerja, Kerja, Dikerjain
spacekantor
Cerpen
Bronze
Rungkat
artabak
Cerpen
Bronze
The (Not So) Fake Friend
Rosa L.
Cerpen
Bronze
My Weird Online Friend
Rosa L.
Cerpen
Bronze
Submerge
Faisal Susandi
Cerpen
Gadis & Rongsokan
Raka Santigo
Cerpen
Bronze
MINIMALIS
Nur Reformawati
Cerpen
My Precious Boss
Lovaerina
Cerpen
CAMPING 101
NUR C
Cerpen
OMA-OMA MERESAHKAN
Zirconia
Rekomendasi
Cerpen
Warisan Dari Bapak
Shinta Larasati
Cerpen
Batagor, 98, Dan Langit Kembang
Shinta Larasati
Cerpen
Bronze
Hilang Sebelum Sampai
Shinta Larasati
Cerpen
Bronze
Bu Surti: Musuh Desa
Shinta Larasati
Cerpen
Bintang Mariska Bulan Dua Belas
Shinta Larasati
Cerpen
Lurik
Shinta Larasati
Cerpen
Persahabatan Antar Planet
Shinta Larasati
Cerpen
Garnet
Shinta Larasati
Cerpen
Laboratorium Transmisi Mental
Shinta Larasati
Flash
Janji Kosong Nyaring Bunyinya
Shinta Larasati
Novel
Warisan Perempuan Terbuang
Shinta Larasati
Cerpen
Antahsvara
Shinta Larasati
Flash
Hilang Di Antara Jejak
Shinta Larasati
Cerpen
Yang Baju Merah Jangan Sampai Lepas
Shinta Larasati
Cerpen
Neraca Uriping Manungsa
Shinta Larasati