Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kau tahu rasanya jatuh cinta? Ah, tentu saja. Siapa yang tidak pernah merasakan bunga – bunga mekar di dalam hati.
Itulah yang sedang kurasakan saat ini dan beberapa bulan belakangan. Tiada hari tanpa mengagumi. Tak ada waktu untuk meliburkan mata dari melihat keindahan. Wanita di hadapanku ini yang telah memikat hati. Mengisi kekosongan diri. Meski aku hanya mencintai dalam diam dan tidak menunjukkan, namun perasaan ini pastilah terpancar jelas dari sinar mataku. Dan ia hanya pura – pura tidak tahu.
Melihatnya berhari – hari tanpa bisa kumiliki, sungguh sangat menyiksa. Aku malu dan rendah diri. Aku tidak siap untuk ditolak. Bahkan jika ia sudah berusaha menjaga perasaanku. Tentu bukan salahnya jika ia menolakku. Namun, aku tidak mau ia pergi dariku. Jujur, kian hari perasaan ini makin mendorongku untuk mengungkapkannya. Pelan – pelan terbangunlah kepercayaan diriku. Meski kebimbangan masih terus menggelayut di depan mata.
Wanita ini, juwita yang cantik dan baik hati, sedang menggaruk tangannya dengan lembut. Selembut suaranya yang merdu. Ingin rasanya aku menyentuh tangan itu dan menggaruk halus kulitnya. Ia tidak melihat ke arahku. Sehingga aku leluasa memperhatikannya.
Lain waktu, aku juga memperhatikannya dengan seksama saat ia sedang sibuk dengan handphonenya. Entah dengan siapa ia berbalas pesan. Ekspresi wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Sebentar –sebentar ia tersenyum, lalu diam terfokus mengetik di handphonenya, kemudian tersenyum lagi hingga menunjukkan giginya yang putih terawat. Aku cemburu. Sangat cemburu. Harusnya aku lah yang membuatnya tersenyum begitu. Kutekan cemburuku dengan mengendalikan pikiran kalau ia hanya sekedar berkirim kabar atau malah bergosip dengan sesama teman wanita. Karena aku tahu dengan pasti, ia tidak punya pacar atau pun teman akrab lelaki sama sekali.
Saat berkumpul begini, aku harus menjaga sikapku agar tidak dicurigai. Aku tak ingin ada yang tahu tentang perasaanku terhadapnya. Cukup aku dan wanitaku saja yang merasa. Tak perlu ada orang lain yang ikut terbawa. Kami sudah dewasa dan ingin menjaga cinta berdua saja.
Kami beramai – ramai makan rujak dan es buah. Sambil mengunyah tentunya banyak yang mengobrol dan sibuk dengan gosip masing – masing. Aku yang dikenal penyendiri bisa terbebas dari gandengan sana sini yang mengajak bercakap tidak penting. Dan waktuku sudah tentu kugunakan untuk mengawasi wanita yang menjadi tujuan hidupku. Dia sama sepertiku, tidak begitu nyaman dengan keramaian. Kadang – kadang, aku mengikutinya pergi ke belakang hanya untuk bernapas dari hiruk pikuk interaksi silaturahmi.
Saat itulah aku bisa banyak bicara dengannya. Bercerita diiringi canda tawa tanpa ada satupun yang menghampiri. Kami sehati, ini hal yang aku tahu pasti. Kami suka tempat sepi. Saat – saat bisa menikmati diri sendiri karena terbebas dari kewajiban menyapa entah siapa. Kami hanya betah sebentar dalam acara. Selanjutnya, waktu kami untuk mengobrol berdua.
Aku menatapnya dari balik gelas yang isinya sedang kusesap dengan pelan. Demi bisa melihat wanitaku secara terang – terangan dan berlama – lama. Wanitaku sedang makan potongan buah – buahan. Lahap namun tetap sopan. Sesekali ia mendengarkan percakapan sekumpulan gadis dan wanita setengah baya di dekatnya. Ia hanya mengangguk – angguk saja. Tersenyum aku dari balik gelasku karena tahu ia sedang bosan namun tetap menjaga mimik wajah tertarik yang palsu itu. Kasihan wanitaku. Ia harus berpura – pura suka pada obrolan tak bermakna di dekatnya.
“Minum aja, nih? Rujaknya dicicip dong!”.
Seorang bapak tua yang kupanggil Paman menepuk bahuku pelan sambil menyodorkan sepiring kecil rujak. Aku mengangguk namun menolak makanan itu. Paman pun tersenyum jahil. Ia tahu aku tidak bisa makan makanan pedas. Dan aku tidak akan nekat demi kesehatanku.
“Udah ada calon belum kamu? Mau Paman carikan?”.
Aku menggeleng. “Nggak usah repot – repot, Paman. Aku sudah punya calon istri. Hanya saja belum bisa aku bawa kemari.”
Mata Paman berbinar mendengar perkataanku. “Akhirnya keponakan Paman punya tambatan hati juga. Segeralah menikah kalau begitu. Paman tidak sabar mau menggendong cucu.”
Aku mendengus pelan mendengar penuturan Pamanku. Beliau sudah punya tiga orang cucu dari anak kandungnya. Namun, ia tetap saja menunggu garis keturunan dariku. Memang, ia Paman terbaikku. Sudah seperti ayah sendiri. Apalagi setelah ayahku pergi menikah lagi. Sedangkan ibu tercintaku sibuk mengejar para lelaki dan membuangku yang dianggapnya beban hidup nan berduri. Paman lah yang justru tanpa pamrih menjadi penyelamat hidupku.
“Doakan saja, Paman. Aku sedang berusaha untuk mengajaknya menikah. Kami punya tantangan yang harus ditaklukkan terlebih dahulu.”
Aku mengerling pada Paman lalu menyesap kembali minumanku. Paman hanya manggut – manggut tanpa bertanya lebih lanjut. Dan inilah mengapa aku sangat menghormatinya. Beliau tidak pernah memaksa dan selalu membebaskanku dengan pilihanku sendiri.
Paman kemudian berlalu. Kesempatanku terbebas dari basa basi kumanfaatkan kembali. Mataku mencoba mencari kekasih hatiku. Ia tidak terlihat di hadapanku lagi. Aku berkeliling mencarinya lewat mata yang waspada. Jantungku hampir meledak ketika melihatnya sedang bermain bersama anak – anak di dekat tangga. Hampir saja aku kehilangan wanitaku. Ia bergerak pindah tidak jauh dariku rupanya. Wanitaku tertawa manja dan tersenyum manis tiada henti. Hatiku penuh dengan perasaan cinta yang mendesak. Melihat anak – anak yang bahagia bermain bersamanya, aku pun ingin segera punya anak darinya. Ia pasti akan menjadi ibu yang luar biasa.
Impian cinta ini telah terbangun hampir setengah tahun lamanya. Sejak aku kembali dari luar kota dan sedari awal aku mengenalnya, aku telah tersentuh dengan kebaikan hatinya. Aku tidak bisa melawan keinginan hati. Apalagi tiada salahnya mencintai. Wanita ini pun sangat pantas untuk dicintai sepenuh hati. Namun begitu, entah kapan aku akan memiliki. Aku yakin, walaupun dengan langkah yang perlahan, kami pasti akan bersama pada akhirnya. Hanya tinggal menunggu siapa yang akan mengungkapkan perasaan terlebih dahulu. Dan aku masih menunggu keberanian yang belum juga memuncaki diri.
Wanitaku telah selesai dengan anak – anak itu. Ia terlihat bosan sekali. Acara kumpul – kumpul monoton ini terasa kian membosankan hampir di setiap kali. Dan wanitaku pun pergi menuju area sepi. Aku mengikutinya dengan pasti. Dan di sinilah kami. Kembali berbincang dengan riang.
“Bosan rasanya di dalam.” Suara wanitaku memecah keheningan singkat.
“Aku juga bosan di dalam. Topik pembicaraan tidak ada yang baru. Cuma es buah yang lumayan baru di acara ini.”
Aku mengerling sembari tersenyum tulus kepada wanitaku. Wanita ini membalas senyumku dan menggeleng kecil tanda ia terhibur dengan ucapanku. Aku lagi – lagi tercekat, seakan sesak napas. Ingin menyentuh wanita yang kucintai ini. Namun, aku menahan tanganku.
“Masih lama ya kita bubaran?” Wanitaku cemberut dan terlihat lelah.
“Yah, masih cukup lama.” Aku memberi ekspresi menyesal. Berharap bisa menenangkannya.
Kami terdiam sejenak lagi. Menatap dinding belakang tuan rumah yang merupakan nenekku. Aku merasakan koneksi diantara kami. Sunyi dalam kebosanan yang acap kali kami rasakan. Kesepian yang menghubungkan. Ini hanya tinggal pengungkapan. Namun, kami masih saja diam membisu tanpa kemajuan. Aku menatap wanita ini dalam – dalam. Ia menatapku sejenak lalu membuang pandangan. Jujur saja aku sedikit kecewa. Namun, aku tahu wanitaku hanya malu – malu.
Dan lagi – lagi kesempatan kami diganggu. Lelaki tinggi besar yang kupanggil kakak ini selalu saja menghampiri. Meski aku dan wanitaku bisa bercengkrama cukup lama, tetap saja gangguannya sangat kubenci. Apalagi kedatangannya selalu dengan membawa seorang bocah cengeng yang minta dihibur.
“Ma, adek minta dikelonin. Udah ngantuk katanya.” Suara cempreng kakakku membuatku muak bukan kepalang. Lagi – lagi, lelaki sialan ini merebut wanitaku.
“Ma, adek mau tidur.” Suara rengekan bocah tidak tahu diri pun ikut merusak suasana.
Wanitaku dengan anggun meraih jemari anak itu. “Ayo, tidur sama Mama yuk.”
Dan wanitaku pun pergi bersama anak keduanya yang manja. Lalu aku harus bermanis muka menghadapi kakakku yang akan bercerita panjang lebar mengenai pekerjaannya yang membosankan dan segala tetek bengek tentang keluarga adopsinya yang telah menjadikannya seorang manusia sukses tanpa cela. Betapa beruntungnya. Ah, aku benci ini! Aku ingin mengambil kesempatan dengan wanitaku kembali. Wanita yang terlambat kutemui. Dan berakibat terlambat kumiliki. Kadang, aku benci diriku. Mengapa aku selalu terkekang oleh ketakutanku. Jika saja aku nekat dan berani untuk mengambil apa yang semestinya menjadi milikku. Dan bukan hanya sekedar impian tak tergapaiku. Yang mana, Kakak iparku seharusnya menjadi istriku.