Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Wanita Tiang Pancang
1
Suka
168
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Terekam jernih nyala merah itu. Menari gembira, mengelilingi wanita baja yang melantunkan sebuah nyanyian. Gemanya lebih keras dari gemuruh petir mana pun. Jiwanya lebih memancar dari cahaya apa pun. Ratapannya menyiratkan luka mendalam, kepada setiap mata yang menyaksikan. Semakin banyak jari yang menunjuk ke arahnya, bertambah pula saksi palsu dari mulut-mulut kotor. Kaki malang itu berdiri di bara panas tanpa sebab. Tubuh dan tangan tak bisa meronta, melekat kuat pada tiang panas.

Seruannya semakin memekik keras. Lebih pilu dari sebelumnya. Bukan karena luka, bukan juga perih yang dialami. Satu per satu, milik tubuhnya terjatuh ke tanah. Membanjiri bara nyala yang kini berubah menjadi merah pekat.

Wanita itu, yang berdiri di sana… orang yang kukasihi seumur hidupku, kompasku, arah hidupku. Yang sekuat tenaga membesarkan kami dengan cinta. Mengasihi sesamanya dengan keahliannya. Mengapa berakhir mengerikan?

Kami menutupi tubuh, berusaha untuk tetap hidup. Tanpa bisa bersuara atau melawan. Meski ketidakadilan berada di depan mata. Ibu bilang untuk tidak meninggalkan tempat ini apa pun yang terjadi. Sampai kemalangan itu hilang termakan waktu.

“Jaga adikmu,” pesan terakhir sebelum tubuhnya diseret monster-monster desa. Hanya karena pengetahuan dan keahliannya dalam pengobatan. Hanya karena seorang anak bangsawan tewas karena takdir. Sebuah kemalangan tanpa bisa dikendalikan. Bangsawan itu menjatuhkan segala tanggung jawab dan dosa kepada ibu.

“PENYIHIR!” ucap bangsawan itu. Hanya perlu satu kata mematikan untuk menggerakkan monster-monster tak berakal.

Terpatri kuat raut ibu saat itu, menjelaskan ketidaktahuan tentang apa yang terjadi. Ia hanya menggiring kami keluar, melindungi kami dari para monster-monster berjalan itu.

Tak satu pun menoleh ke arah kami. Yang pernah diselamatkan ibu berusaha menggunting nuraninya. Menguliti kebaikan-kebaikan ibu dari tubuh mereka. Menggiring ibu ke jurang tanpa ampun.

Ah… adikku, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua ini terjadi? Apakah menyembuhkan orang lain adalah suatu kejahatan? Apakah memiliki kemampuan adalah seorang penyihir? Padahal mereka dengan sendirinya datang? Padahal monster-monster itu pernah diselamatkan ibu? Mengapa kini mereka mengarahkan pisaunya pada kita?

Ibu pun mendorong kami masuk ke sebuah lumbung. Ia mengatakan padaku untuk menjaga adikku sampai mati.

“Lindungi dia,” getar matanya, menahan air mata.

Ibu berlari menjauhi kami, tetapi para monster mengerikan itu menemukan ibu lebih cepat. Kututup mata dan mulut adikku agar tidak bersuara. Menutupinya dengan jerami-jerami. Akulah saksi berjalan yang menggemakan kekejaman itu. Menyaksikan mereka menyembelih kedua pergelangan kaki ibu, menyeretnya tanpa ampun. Sementara aku mencari cara agar tetap sadar, menyaksikan kengerian monster-monster itu. Tak henti-hentinya air mata mengalir deras, tanpa bisa berteriak. Bagai pisau yang disayat perlahan di dalam dada.

“Ah… betapa inginnya aku kembali ke masa itu. Membinasakan para monster serakah tak tahu diri!"

"Seandainya aku tahu lebih cepat, kalau mereka lebih menyukai uang ketimbang nyawa mereka. Mungkin, ceritanya lebih mengerikan lagi."

“Bagaimana? Kamu sudah paham kan? Kenapa ada banyak darah di tanganku ini?”

“Kenapa? Kamu masih nggak percaya kalau ini nyata? Ini kan yang kalian mau? Seorang penyihir sungguhan? Jadi, yaa… aku mengabulkannya.”

“Apa kalian suka dengan tampilanku? Gaun hitam dan rambut panjang terurai. Anggun, layaknya sang penjahat. Aku juga mati-matian, lho, menjadi cantik. Kalau nggak begitu, kamu nggak akan tertarik untuk menikahiku. Nanti, balas dendamku malah nggak terlaksana deh.”

“Padahal, aku suka banget sama kamu. Seorang pria baik yang lahir dari binatang, iblis, setan… apa pun sebutan buruk sangat pantas untuk kedua orang tuamu.”

“Kenapa kamu nggak jawab? Aku sudah membelai kepalamu di pangkuanku, lho. Seperti yang selalu kamu inginkan?”

“....”

“Ah… aku lupa. Mayat tidak bisa bicara. Kasihan sekali orang-orang yang ada di bawahmu. Mereka akan berubah menjadi lautan darah. Ah... aku lupa, mereka bukan orang. Tetapi monster!”

Aku melangkah dengan percaya diri, sambil menari kecil mengibaskan gaunku. Memenuhi amarah yang sudah lama membusuk, berakar pada tubuhku. Menggerakkan kakiku untuk berjalan dari desa ke desa. Menyaksikan keindahan bulan purnama terang, memperjelas pemandangan ini. Hasil karya terbaikku. Teriakan para monster menggugah tawa dan kebahagiaan. Tangisan bayi mengalun bagai melodi indah. Ah… jadi ini rasanya menjadi bangsawan? Ternyata sangat menyenangkan. Seperti mengatur pertunjukan.

Bagaimana, Ibu? Apa kamu menyaksikan pemandangan ini dari atas sana? Ternyata… mereka sangat lemah, Ibu. Harusnya Ibu jadi penyihir sungguhan saja, agar berdiri di sini bersama denganku. Oh… iya, Anna baik-baik saja, Bu. Ia menikah dengan seorang ksatria dari negara lain. Mereka hidup bahagia. Aku selalu memastikan ia mendapatkan apa yang tidak kita dapatkan. Seperti kata terakhir dari Ibu.

Hari ini, di tanah bekas jejak sepatu Ibu, akan menjadi akhir bagi siapa pun yang ada di bawah iblis itu. Setelah semua ini selesai, aku ingin bertemu dengan Anna. Mungkin aku akan berganti gaun terlebih dahulu, yang tertutup noda dari kepala dan kulit mereka. Hmm… apakah kematian adalah hukuman yang cukup untuk mereka? Semua yang mereka lakukan pada Ibu sudah kukembalikan ke mereka. Membakar, memotong, semuanya. Kematian paling menyakitkan. Mereka harus merasakannya. Tidak cukup hanya dengan ini. Iblis-iblis itu juga harus merasakan kehilangan!

Aku melantunkan lagu yang sama, saat ibu di tiang pancang. Bayangan masa kecilku menari dan tertawa, seakan mengajakku mengikutinya. Langkah kecilnya meninggalkan jejak tak karuan, namun sampai pada tujuan. Sebuah rumah sederhana, penuh kehangatan. Api unggun hangat, yang selalu kami perebutkan di musim dingin. Roti dingin, yang kami dapat dari toko roti dekat kota. Susu hangat, yang selalu diberikan paman sebelum pindah ke kota. Ia menjual sapinya untuk perjalanan ke kota. Aku ingat jelas, Anna menangis berhari-hari karena sapi yang ia sayangi harus di jual. Semua terekam jelas di rumah ini. Rumah yang telah usang termakan waktu.

Namun, sayangnya, setelah puas meminum darah mereka. Aku mengulang hal yang sama. Di tempat dulu Ibu diseret.

Giliranku menjadi sepertimu, ibu. Orang yang aku kagumi dulu. Meski latar kita sangat berbeda, Ibu adalah pahlawan penuh kasih. Bukan penyihir keji ataupun penjahat kejam. Bukan seruan suci dan kesedihan seperti ibu senandungkan, tetapi tawa kepuasan dan kebahagiaan yang aku pekikan.

"Penyihir itu pantas mati!!"

"Terkutuk kau, penyihir!!"

"Mengerikan! Penyihir kejam!"

Ah… melihat serpihan api melayang ke angkasa, mengingatkanku pada Anna. Aku belum sempat berjumpa dengannya. Aku harap ia tidak mencariku. Anna, lupakanlah kakakmu. Cukup aku yang menghentikan lingkaran jahanam ini. Biarkan takdir memenuhi gelasnya. Jangan kamu minum ataupun kamu berikan pada yang lain. Biarkan semua keburukan terkubur di desa ini, di tempat ini. Di tempat kita tertawa dulu. Semua kotoran hitam pekat berkumpul dan binasa.

Lihat mata orang-orang itu. Seakan tidak pernah melakukan kesalahan. Jari mereka menunjuk, menutupi keburukan mereka. Mulut mereka mengutuk agar merasa lebih bersih. Pementasan solo yang luar biasa, Bianca. Kamu sungguh menghibur para calon monster dan iblis ini. Menumbuhkan bibit kekejian di hati mereka. Melahirkan penyihir berikutnya. Ah… aku sungguh penasaran, benarkah ini yang terakhir? Siapa sebenarnya yang terkutuk?

Bara yang dulu kutakuti, yang dulu kukutuk akan kengeriannya, kini mengelilingiku. Menari riang, penuh tawa. Begitu juga aku. Setidaknya, kami sama-sama bergembira.

Rasanya dingin. Jadi, ini yang dirasakan Ibu dulu. Akhirnya, aku bisa menemuinya. Bercerita banyak tentang hidupku yang panjang dan pekat. Menjadi bagian dari rembulan. Setidaknya, kepercayaan itulah yang kugenggam. Cerita masa kecilku yang murni. Akankah penyihir ini pantas? Duduk di samping pahlawan pemberani?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
PENCURI REALITA
Ahmad Daniel Ardhy
Cerpen
Wanita Tiang Pancang
Christina Olivia Watulingas
Skrip Film
TAKDIR CINTA
ANDHIKA AKHIR PUTRA
Skrip Film
TAKDIR ATAU KESIALAN??
RF96
Cerpen
Bronze
AKU BENCI AKU MUAK AKU DENDAM
Iman Siputra
Cerpen
Sihir
9inestories
Novel
Seandainya Waktu Bisa Berputar
Rika Kurnia
Komik
Loving Like The Sun
Elvira Natali
Flash
Pelabuhan Terakhir
iam_light.blue
Flash
Bronze
Laut Itu Luka
Hans Wysiwyg
Skrip Film
Seraphine
Gabriella Gunatyas
Cerpen
Bronze
Kabar Dari Masa Lalu
Novita Ledo
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA
Skrip Film
Didi Birthday
Jesslyn Kei
Flash
Jamila Tetanggaku 1
Writer In Box
Rekomendasi
Cerpen
Wanita Tiang Pancang
Christina Olivia Watulingas
Novel
War of Hearts
Christina Olivia Watulingas
Novel
Redam Bintang di Malam ini
Christina Olivia Watulingas