Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perkenalkan. Aku Wally.
Aku sudah hidup selama dua puluh lima tahun. Bukan waktu yang sebentar, bukan?.
Hari ini adalah hari pindahan seorang pria bernama Pak Arthur. Dari percakapan yang kudengar, Pak Arthur akan menjadi pemilik lahan yang baru. Aku menyukai Pak Arthur sejak pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat teduh. Beliau memiliki rahang tirus dengan banyak garis halus di sekitar bibir karena terlalu sering tersenyum. Juga rambut putih sebahu yang membuatnya namPak seperti kakek-kakek dalam cerita dongeng.
Pada hari selanjutnya, Pak Arthur mendatangkan banyak orang untuk mulai membangun sebuah istana kecil. Mereka memulai membangun pondasi rumah di tengah. Meletakkan batu pertama. Lalu mendirikan tiang-tiang sebagai rangka bangunan, menyusun bata satu demi satu menjadi dinding. Memoles dindingnya dengan cat. Aku masih ingat senyum Hilda, putri Pak Arthur saat datang pertama kali ke bangunan yang setengah jadi.
“Ayah! Bolehkah kita memiliki ayunan di halaman belakang?” tanyanya dengan suara melengking.
Pak Arthur hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi putrinya.
Lalu satu persatu komponen rumah dilengkapi. Aku yang berdiri di belakang rumah ini awalnya kumuh, berlumut, dan tak terawat. Namun atas kebaikan Pak Arthur, beliau memutuskan untuk melengkapi lubang-lubang pada tubuhku. Meninggikan badanku hingga setinggi bahu Pak Arthur, lalu mengganti cat-nya dengan warna salem.
Aku melewati banyak hal selama dua puluh lima tahun ini.
Termasuk keseharian Pak Arthur sekeluarga.
Hilda kecil, suka sekali bermain petak umpet. Dia selalu menjadikan tubuhku untuk berjaga. Lalu menggelitik badanku dengan tangannya yang mungil, sambil sesekali matanya yang bulat bening melirik keluar dari celah tangannya. Setelah berhitung dari sepuluh sampai dua puluh, dia akan berlari mencari teman-temannya di halaman.
Hilda juga suka melukis. Sebelum mahir menggunakan cat minyak, dia sering menggunakan pensil warnanya untuk menggambar di tubuhku. Namun terkadang, karena panas dan hujan, gambar karya Hilda sering memudar dan perlahan hilang. Kalau sudah begitu, Pak Arthur akan mengecat tubuhku lagi dengan warna baru, menjadikan diriku bersih untuk digambari Hilda lagi.
Setelah puas dengan pensil warnanya, Hilda mulai menggunakan krayon. Aku suka benda ini. Terasa lebih lunak di tubuhku, daripada pensil warna yang runcing. Krayon ini juga bertahan lebih lama. Warnanya lebih gelap. Aku suka sekali dengan gambar-gambar yang digambar Hilda. Dia bisa menggambar kelinci salju—seekor hewan yang belum pernah kulihat sebelumnya—lalu rumah jamur, kurcaci, kupu-kupu, peri-peri, putri duyung, dan semua yang pernah dia dengar di dongeng-dongeng yang dibacakan ibunya.
Ketika beranjak remaja, Hilda sering berlatih menggunakan cat air di buku gambarnya. Tapi, dia tidak mungkin bisa menggunakan cat air di tubuhku. Lalu, Pak Arthur membelikan dia cat minyak. Hilda menggunakannya untuk melukisi tubuhku. Astaga! Aku jadi cantik sekali. Ada danau dengan angsa-angsa hitam yang cantik, hutan yang penuh dengan kunang-kunang. Ah, kalian pasti menyukainya kalau berkunjung ke rumah Pak Arthur.
Jadi seperti yang kau bisa bayangkan, aku sudah menyaksikan banyak hal di sini. Keceriaan keluarga Pak Arthur. Saat-saat Pak Arthur menceritakan dongeng pada Hilda. Saat hari libur dan semua anggota keluarga berkumpul. Kebahagiaan mereka bersama melewati senja di belakang rumah. Duduk menikmati senja dengan sepiring donat Bu Arthur yang termasyhur dan bercangkir-cangkir teh, sambil memuji lukisan-lukisan Hilda di tubuhku. Sedikit pertengkaran kecil antara Pak Arthur dan Bu Arthur yang selalu diselesaikan dengan baik.
Lalu Hilda yang beranjak dewasa. Entah usia tujuh belas atau dua puluh? Dia mulai meninggalkan Pak Arthur dan Bu Arthur untuk melanjutkan pendidikan di kota lain. Kuliah, katanya. Aku tidak tahu kuliah itu apa.
Masih terbayang muka Hilda yang terlihat bersemangat karena itu artinya dia mulai menapaki kehidupan baru. Tapi masih kuingat juga raut sedih bu Arthur disertai dengan nasihat panjang lebar, serta janji untuk menengok Hilda setiap enam bulan. Hilda anak satu-satunya. Bukan hanya Pak Arthur dan bu Arthur. Aku pun, akan kesepian.
***
“Ayah!”
“Ayah!”
Aku yang sedang tidur siang tersentak. Aku mengerjapkan mata. Seperti suara yang tidak asing bagiku. Namun sudah lama tak kudengar. Aku berusaha mengintip dari sela-sela rimbunnya pohon mapel di halaman depan, seorang gadis dengan rambut cokelat kopi tersenyum memeluk Pak Arthur yang berjalan tertatih-tatih menyambutnya.
Hilda! Wah itu Hilda!
Dia jauh lebih tinggi dari Pak Arthur. Kulihat mereka berpelukan. Aku juga ingin memeluk Hilda. Dia begitu jauh. Begitu cantik. Apakah Hilda akan memelukku seperti dulu yaaa?
Ternyata aku salah. Kutunggu dua, tiga, enam, tujuh hari. Hilda tak sekalipun menengok halaman belakang seperti dulu. Aku melihat ke dalam sesekali lewat jendela. Rupanya Hilda sudah memiliki sesuatu yang bernama kanvas. Di sana dia dengan sesuka hati mencoretkan kuasnya yang belepotan cat minyak lalu menggantungnya di dalam rumah. Aku heran. Kenapa tidak mencoreti aku seperti dulu lagi? Aku suka kok walaupun terkadang badanku geli atau sakit karena Hilda menggambariku...
***
“Tapi Hilda... Apakah biayanya tidak terlalu mahal?”
“Tidak Ayah. Ini model terbaru.”
Kening Pak Arthur sedikit berkerut.
“Kalaupun mahal, itu sebanding dengan kualitasnya. Lagipula... perlu pemugaran juga kan.” Hilda cepat-cepat menambahkan.
Angin bergemerisik membangunkanku perlahan dari tidur siang. Aku menguap. Membuka mataku. Hilda! Hilda duduk di bangku halaman belakang bersama Pak Arthur. Apa yang mereka bicarakan ya? Aku rindu sekali pada Hilda. Kemarilah Hilda, peluk aku...
“Jadi seluruh pagar tembok ini akan dihancurkan?” tanya Pak Arthur lemah.
Aku tersentak. Lebih terkejut lagi ketika Hilda mengangguk kuat dengan ceria.
“Iya, Ayah! Kita ganti yang baru!”
Apa ini? Apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Tapi, Hilda,. coretanmu yang sudah memudar! Kenapa harus dirobohkan? Kenapa tidak mengecat ulang dan melukisnya lagi?
Hilda beranjak ke dalam. Menelpon seseorang yang kutahu sebagai penghancur bangunan atau apa itu namanya. kemudian Pak Arthur berdiri. Mendekatiku. Mengelus perlahan kerak kerak dan lumut di badanku.
“Hilda itu anak yang baik. Dia hanya sedikit keras kepala. Aku sudah bersikeras mencegahnya. Maksudku...”
Pak Arthur menghela napas. Diusapnya coretan-coretan Hilda kecil yang sudah memulai memudar.
“Semoga dia masih bisa mengingat kenangannya bersamamu.”
Aku terdiam. Tentu saja tidak akan pernah bisa membalas perkataan Pak Arthur. Mungkin Pak Arthur lebih memahami perasaanku karena beliau lebih memahami apa yang terjadi. Semua kenangan itu. Hilda kecil, yang tumbuh bersamaku, yang melatih bakatnya denganku. Aku mencintai Pak Arthur, Bu Arthur, dan Hilda. Tapi tetap saja, ini hal yang mengejutkan.
Aku pasrah. Menghitung detik demi detik sepanjang malam hingga subuh menjelang. Mendengarkan Hilda yang dengan semangat menerangkan model arsitektur terbaru di halaman nanti. Tipikal besi-besi yang katanya tidak bisa berkarat. Lalu warna cat yang menghiasi pagar besi—setidaknya itulah makhluk yang kudengar akan menggantikanku.
***
Pagi tiba.
Para algojo sudah bersiap. Aku tidak tidur semalaman. Aku menghitung berapa helai pohon mapel yang jatuh seumur hidupku. Aku sudah menyaksikan sekitar ratusan ribu, mungkin jutaan daun yang gugur. Kurasa memang sudah waktunya aku pergi. Bukan karena tidak diinginkan lagi. Bukan karena ada sesuatu di antara kita. Namun karena seperti inilah semuanya memang akan terjadi. Pertemuan. Perkenalan. Perpisahan.
“Hilda,” panggil Pak Arthur.
“Ya Ayah?” tanya Hilda.
“Untuk terakhir kalinya, berterima kasihlah,” kata Pak Arthur pelan.
Hilda memandang Pak Arthur heran. Tidak mengerti. Namun sedetik kemudian, matanya memandangku. Memandang coretan-coretan di tubuhku.
Ia melangkah mendekat. Perlahan, tangannya yang halus mulai menyentuhku. Sentuhan yang sangat lama kurindukan. Aku memejamkan mata. Menikmatinya. Hilda menggumam pelan.
“Terima kasih.”
Aku tidak membuka mata. Aku bersiap untuk saat-saat itu tiba.
BRAK!
Oh Hilda!
BRAK!
Aku akan sangat merindukanmu.
BRAK!
Terima kasih. Sudah memberiku kenangan terindah.
BRAK!
Selama dua puluh lima tahun ini.