Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Di Tirawan, waktu rakyat dihitung dalam presentasi PowerPoint, bukan dalam antrean yang mengular. Di sini, janji adalah komoditas, dan transparansi hanyalah fitur dalam aplikasi yang menjadi pajangan di layar.”
Pagi itu, langit Tirawan menggantung kelabu. Kabut tipis menyelimuti gedung-gedung kaca yang menjulang di kejauhan, memantulkan cahaya matahari yang malas menembus kaca-kaca tebal itu. Di kota yang konon disebut “kota pintar”, segala sesuatu tampak modern: aplikasi layanan publik, konferensi tahunan, dan festival teknologi dan inovasi yang rutin digelar. Setiap lomba teknologi dan inovasi pesertanya selalu membludak. Tapi di balik layar, waktu rakyat terus terkikis pelan-pelan, seperti cat murahan yang mengelupas dari dinding kantor kelurahan.
Di atas bangku kayu berlapis furnitur modern yang mengilap, Pak Wira duduk tenang, seakan pasrah pada nasib antrean. Jam tangannya sejenak menunjuk pukul 09.47, namun barisan di depannya masih tak bergeser. Kantor pelayanan ini seolah gedung pameran teknologi: lantai marmer berkilau, layar digital memajang nomor antrean, pendingin ruangan berdengung lembut, dan brosur pelayanan cetak penuh warna berjajar rapi. Semuanya tampak canggih, sampai orang benar-benar harus dilayani.
Di balik meja loket, para petugas sibuk dengan ritual yang sama seolah tak pernah bosan : mengetik cepat, menumpuk berkas, menstempel dokumen dengan suara keras, lalu meminta tanda tangan di formulir yang seharusnya sudah lengkap. Prosedur dijalankan seperti upacara sakral, seakan setiap lembar kertas adalah kitab suci yang tak boleh dilewatkan. Modernisasi hanya berhenti pada dinding, layar, dan brosur; isinya tetap birokrasi bergaya klasik, “versi 5.0 dengan jiwa 1.0.”
Di tengah barisan, seorang nenek bertopang pada tongkat, wajahnya basah oleh peluh meski pendingin ruangan bekerja penuh. Tak jauh darinya, seorang remaja menunduk menatap gawai, sesekali melirik layar digital yang berkedip dingin di dinding. Nomor antrean berubah pelan, seperti jam pasir elektronik yang hanya indah dilihat tapi tak pernah mempercepat waktu. Antrean panjang itu pun menjelma instalasi seni: modern, rapi, futuristik, namun absurd, karena manusia tetap dibiarkan menunggu.
“Sudah dua jam, Pak. Saya cuma mau urus surat pindah,” keluh seorang ibu muda di belakangnya. Ia tampak berpendidikan, cara berpakaiannya juga sangat modis, seperti mengejar jaman.
Pak Wira menoleh, senyumnya tipis. “Dulu saya kira waktu itu milik pribadi. Tapi makin tua, saya sadar: waktu kita ternyata bisa dicuri, pelan-pelan, lewat sistem yang lamban.”
Ibu muda itu mengernyit. “Dicuri? Maksudnya?”
“Ya. Dicuri oleh birokrasi, oleh kemacetan, oleh rapat yang tak pernah tepat waktu. Kita bayar pajak, tapi tak pernah diberi waktu kembali. Waktu tidak masuk perhitungan dalam pelayanan.”
Di dalam kantor, suara printer berderak pelan seperti jalannya kakek yang tertatih-tatih. Seorang pegawai muda, Dimas, baru saja menyelesaikan berkas keenam dari tumpukan yang tak kunjung habis. Ia melirik jam dinding, lalu menghela napas.
“Pak Wira lagi?” gumamnya. “Selalu datang paling pagi, pulang paling sore. Tapi tetap sabar. Warga super baik.”
Tak lama, Dimas keluar dan menghampiri Pak Wira.
“Maaf, Pak. Sistemnya sempat error. Tapi sudah bisa sekarang. Aman.”
Pak Wira berdiri, tubuhnya tegap meski usia tak lagi muda, tampak jelas sisa-sisa rutinitas olahraga,“Dimas, kamu tahu kenapa saya selalu datang ke sini? Selalu yang paling pagi?”
“Sudah pasti untuk urus dokumen, kan?” Jawab Dimas seraya tersenyum.
“Bukan. Saya datang untuk mengingatkan bahwa waktu rakyat itu bukan angka di spreadsheet. Itu napas kehidupan. Dan kalau negara tak bisa menjaganya, maka negara sedang membiarkan rakyatnya kehabisan napas. Dampaknya bukan kaleng-kaleng bisa sangat merusak. Dari depresi sampai kekacauan sosial.”
Dimas terdiam. Kata-kata itu menancap seperti paku di papan pengumuman yang sudah usang. Paku itu menancap kokoh hingga papan itu nyaris retak.
-----
Di warung kopi seberang jalan, dua pemuda sedang berdiskusi. Tirawan, meski dipenuhi kafe estetik dan mural motivasi, tetap menyimpan wajah muram di sudut-sudutnya. “Waktu Adalah Uang”, tulisan motivasi ini terpampang kokoh di dinding kafe itu, meski sudah tampak lusuh seperti jarang dibersihkan.
“Gue baca riset, orang Jakarta kehilangan 89 jam setahun cuma karena macet. Itu satu hari kerja tiap bulan, bro,” kata Satria, mahasiswa teknik sipil.
“Gila. Kalau itu dikonversi ke uang, berapa miliar yang hilang?” sahut Bima, aktivis muda.
“Setahun bisa triliunan kali, bukan lagi miliar. Bukan cuma uang. Itu waktu buat ketemu anak, buat istirahat, buat mikir jernih. Kita hidup di negara yang sibuk membangun gedung, tapi lupa membangun waktu.”
Bima mengangguk. “Makanya, gue bikin kampanye: ‘Waktu Adalah Hak Sipil’. Biar orang sadar, waktu itu bukan cuma efisiensi teknis. Itu soal keadilan sosial.”
Tiba-tiba sirene ambulans meraung di jalan depan kafe. Semua orang menoleh. Seorang ayah muda menggendong anaknya yang pucat, berlari ke ambulans yang terjebak macet. Mobil itu tak kunjung bergerak. Waktu, yang mestinya jadi penyelamat, justru berubah jadi penghalang. Bima menunduk. “Itu buktinya, Sat. Waktu yang hilang bisa bikin nyawa ikut hilang.”
Mereka menatap ke arah balai kota Tirawan, bangunan megah berlapis kaca yang baru diresmikan tahun lalu. Semua kecanggihan teknologi menempel di gedung itu. Di dalamnya, pejabat sibuk menyusun presentasi PowerPoint tentang “transformasi digital pelayanan publik”, sementara antrean di luar tetap mengular.
----
Sore itu, Pak Wira pulang dengan langkah pelan. Di rumah, cucunya, Kinanti, sedang belajar daring. Tirawan memang punya jaringan internet cepat, tapi sinyal keadilan sosial masih lemah.
“Kakek, kenapa sekolah ngajarin hemat uang, tapi nggak pernah ngajarin hemat waktu?”
Pak Wira tersenyum. “Karena uang bisa dihitung, Nak. Tapi waktu yang hilang... hanya bisa dirasakan.”
Kinanti menatap jam dinding. “Kalau begitu, kita harus jadi penjaga waktu, ya Kek?”
“Betul. Karena kalau kita diam, waktu kita akan terus dicuri. Dan masa depanmu akan dibangun dari sisa-sisa waktu yang tak pernah dipertahankan.”
Di luar rumah, azan magrib berkumandang. Tapi di jalan, klakson kendaraan masih bersahutan. Kendaraan saling berserempetan dan suara teriakan pengguna jalan menjadi pemandangan yang umum terjadi saban hari, seolah semua orang memaklumi. Tirawan tetap berdenyut, tapi waktunya pincang.
----
Di ruang rapat parlemen Tirawan yang dingin dan berlapis marmer, seorang legislator muda berdiri. Tatapannya menyapu barisan kursi empuk, mikrofon yang beku dan kursi yang dihuni wajah-wajah terlalu akrab dengan angka, namun asing terhadap rasa.
“Saudara-saudara,” suaranya lantang memecah keheningan dalam ruangan, “kita bicara anggaran, proyek, pertumbuhan. Tapi kapan terakhir kali kita bicara tentang waktu rakyat? Tentang antrean yang tak pernah selesai, kemacetan yang menggerogoti hidup, birokrasi yang mencuri hari-hari berharga mereka? Kebutuhan rakyat begitu banyak tapi hanya memiliki waktu yang sedikit.”
Ruangan mendadak hening. Beberapa kepala menunduk, sebagian lain sibuk menatap layar tablet, berpura-pura tak mendengar.
“Jika kita gagal merawat waktu,” lanjutnya, “kita gagal merawat kehidupan. Dan jika kita gagal merawat kehidupan, kita bukan wakil rakyat, kita hanya penjaga monumen masa lalu. Kita akan diingat sebagai generasi gagal.”
Tawa kecil terdengar dari ujung meja. Saroni, mantan walikota yang kini menjadi ketua komisi infrastruktur, menyilangkan tangan di dada. Selama ini, perkataannya nyaris seperti sabda selalu didengar dan diamini oleh mayoritas penghuni parlemen.
“Retorika indah, Nak. Tapi rakyat tidak makan puisi. Mereka butuh jalan, jembatan, dan laporan yang bisa diaudit.”
Sang legislator muda menatapnya, tak bergeming.
“Lalu berapa tahun rakyat harus menunggu jalan itu rampung? Berapa jam mereka terbuang di loket yang tak pernah efisien? Kita membangun beton, tapi membiarkan waktu mereka runtuh.”
Seorang legislator perempuan dari komisi sosial, Ibu Erwina, ikut bersuara.
“Saya sependapat, waktu rakyat penting. Tapi apa solusi konkret yang Anda tawarkan? Jangan sekadar menyalahkan sistem tanpa memberi arah.”
“Arah dimulai dari kesadaran,” jawabnya mantap. “Kita harus menilai keberhasilan bukan hanya dari proyek yang terlihat, tapi dari waktu yang kita kembalikan kepada rakyat. Waktu adalah hak sipil, hak yang tak pernah kita akui.”
Tiba-tiba, listrik padam. Lampu gantung meredup, jam digital di dinding berhenti berdetak. Ruang rapat tenggelam dalam gelap. Hanya suara napas dan detak jantung yang tersisa.
“Begini rasanya ketika waktu berhenti,” bisik sang legislator muda, suaranya nyaris doa. “Sunyi... tapi luka-luka yang kita biarkan tetap tinggal.”
Dalam gelap, terdengar suara Pak Saroni, kali ini tak setegas sebelumnya.
“Mungkin... kita memang terlalu lama menunda hal-hal yang tak bisa diukur dengan spreadsheet.”
“Atau terlalu takut menyentuh hal-hal yang menyentuh hati,” sahut Ibu Erwina lirih.
Tak lama, generator cadangan menyala. Lampu kembali berpendar, namun suasana tak lagi sama. Beberapa anggota parlemen saling berpandangan, seolah baru tersadar: waktu bukan sekadar angka dalam laporan tahunan, melainkan denyut kehidupan yang selama ini mereka abaikan.
----
Di luar gedung parlemen, jam kota berdetak pelan. Tapi di hati mereka yang sadar, waktu tak lagi sekadar detik. Ia adalah suara yang menuntut keadilan, nyawa yang menuntut ruang, dan luka yang menuntut penyembuhan.
Karena waktu yang hilang tak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal di tubuh yang lelah, di pikiran yang jenuh, dan di harapan yang tak sempat tumbuh.
Dan di antara semua hak yang harus diperjuangkan, mungkin waktu adalah yang paling sunyi, namun paling sakral.
Di tengah malam, jam kota Tirawan tiba-tiba berhenti berdetak. Namun, entah mengapa, seluruh warga merasakan detak lain, detak protes yang lahir dari dada mereka sendiri.
Blora, Juni 2025