Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Begitu terbangun dari tidurnya, hal pertama yang ia sadari adalah kaleng berisi kumpulan surat cinta yang pernah ia tuliskan untuk seseorang dan tak pernah ia kirim, sekarang dalam keadaan terbuka. Ia menoleh ke pintu kamar dan jendela. Keduanya masih dalam keadaan terkunci, sehingga tak mungkin ada yang masuk dan mengacak kumpulan surat itu, apalagi di rumah ini yang mengetahui tempat dimana kaleng itu berada hanyalah ia sendiri. Ia lalu berjalan menapaki lantai keramik yang dingin bekas hujan semalam yang deras mengguyur seluruh Bali. Pagi ini bahkan gerimis masih turun. Dilihatnya kaleng itu memang agak berantakan, seperti ada seseorang yang mengambil salah satu surat dan lupa menutup kalengnya. Ia mendengus kesal. Paling sebal kalau ada yang menyentuh barang pribadinya tanpa izin. Ketika merapikan kumpulan surat, matanya membelalak seketika saat sadar kalau surat nomor satu hilang. Ia selalu memberi nomor pada semua surat sejak awal ia menuliskannya untuk lelaki itu. Ia kembali membongkar semua surat yang ia tulis, semua nomornya lengkap, kecuali surat nomor satu.
Berdecak pelan, ia lalu memeriksa laci meja belajar, laci nakas, laci dalam lemari pakaian, laci meja rias, tas, dan semua tempat di sudut kamar ini untuk bisa menemukannya, tapi nihil. Ia kemudian keluar kamar dan mulai mencari di setiap sudut ruang tamu, tak ada juga. Ia mencarinya ke kamar kakak lelakinya yang jail, tapi tidak ada juga. Ia bahkan memeriksanya ke kamar orang tuanya, membuat Ibu heran sendiri. Arunika berbohong dengan mengatakan sedang mencari dokumen penting, dan Ibu membiarkannya. Ia bahkan sampai mencari ke lemari yang ada di dapur, tapi tak ada sama sekali. Ia sampai di halaman rumah yang dilapisi dengan bebatuan kecil berukuran seperti kacang yang membentuk pola-pola seperti bunga dan simbol yin yang. Di halaman itulah ia menemukan sisa-sisa pembakaran. Secuil kertas ada yang belum terbakar sepenuhnya dan kini diguyur hujan sehingga membuat tintanya tak tampak jelas lagi, tapi ia yakin bahwa itu adalah surat nomor satu yang terbakar, atau mungkin dibakar oleh seseorang—entah siapa. Ia berusaha mengingat apakah semalam ia tanpa sadar mengambil surat nomor satu kemudian membakarnya, tapi sekeras apapun ia mencoba mengingat, tak ada peristiwa itu di memorinya. Ia tak merasa mengeluarkannya dari kaleng dan membakarnya.
Ia hendak bertanya pada orang rumah, apakah salah satu dari mereka ada yang lihat ia sedang membakar surat ini tanpa sengaja, tapi mereka pasti akan bertanya "surat apa?" dan kalau ia bertanya pada kakak lelakinya, ia pasti akan digoda habis-habisan karena ketahuan menulis surat cinta.
Menghentakkan kakinya karena kesal, ia segera masuk kembali ke rumah, memutuskan menyimpan kaleng itu di tempat yang lebih aman dibanding kolong tempat tidur. Kali ini ia memindahkannya ke bagian paling bawah lemari pakaiannya. Ia menyembunyikannya di sela-sela tumpukan berbagai macam jenis celana yang ia punya. Tak lupa, ia juga mengunci lemari itu.
....
Ponselnya bergetar panjang disertai dengan ringtone Joe Hisaishi yang berjudul One Summer's Day versi alat musik Kalimba—menandakan alarmnya berbunyi. Ia segera mematikannya karena toh sejak tadi ia tak tidur. Jam dinding telah menunjukkan pukul 23.00 WITA.
Gerimis masih mengguyur Denpasar. Gonggongan anjing sesekali terdengar, berbaur dengan aroma hujan dan bunga-bunga. Arunika keluar kamar menuju pendopo di halaman rumahnya. Tangannya memeluk kaleng berisi kumpulan surat cinta yang ia tulis sejak di perguruan tinggi, ketika ia menyukai salah seorang lelaki sepantarannya, namanya Gusti. Satu fakultas dengannya, namun beda jurusan.
Ia duduk lesehan begitu saja sambil mengeratkan cardigan yang dikenakan karena walaupun Bali sudah terkenal panas akhir-akhir ini, tapi tetap saja akan terasa sangat dingin ketika musim hujan tiba.
Arunika membiarkan kakinya berayun kecil di atas pendopo yang ia duduki. Matanya menyapu sekitaran rumah yang sepi. Tak lama, seseorang mengetuk pelan pintu gerbang rumahnya. Ia tersenyum dan bergegas membukakan pintu bagi seseorang yang selalu ia nanti kehadirannya setiap Rabu malam pukul 23.00 WITA.
Gusti menyunggingkan senyum kecil ketika pintu terbuka. Gadis itu membalas dengan hal yang sama. Arunika lalu mempersilakan Gusti ke pendopo dan duduk di sana. Sesi pembacaan surat cinta yang nomor dua akan dimulai. Wajah Gusti seperti biasa, cerah dan bersih. Tidak ada wajah pucat seperti kali terakhir ia berjumpa dengan lelaki itu.
"Kamu sekarang udah nggak sakit lagi ya, Gusti," ujar Arunika yang diangguki oleh lelaki itu.
Mereka duduk bersila berhadapan. "Aku lupa mencatat kalau aku sudah membacakan surat nomor satu buat kamu Rabu minggu lalu. Pagi ini aku kelimpungan, aku kira ada orang yang baca surat-surat ini selain aku, tapi untungnya dugaanku salah," Arunika menjelaskan sembari tersenyum kecil. Ia lalu membuka kalengnya dan mengambil surat nomor dua. Ia mencium aroma parfumnya sendiri di sana—aroma teh bercampur dengan melati.
Gadis itu melirik Gusti kemudian tersenyum, "Dengerin baik-baik ya." Ia menghimbau.
"Selalu."
Gadis itu tersenyum kecil, "Iya. Selalu." Ia menurunkan posisi surat yang tadinya akan ia baca. "Kamu lebih suka mendengarkan dan mengamati sekitar, ya, daripada cerita? Seringnya selalu aku yang cerita sama kamu."
"Aku merasa nggak ada hal yang perlu aku ceritakan. Dan memang sudah nyaman dengan jadi Gusti yang begini."
Ia menggeleng pelan, kemudian berdeham tanda akan segera memulai sesi pembacaan suratnya yang kedua. Kumpulan surat itu kalau disatukan akan membentuk semacam kronoligis mengapa Arunika menyukai Gusti. Totalnya ada 30 surat yang sama sekali tak pernah ia rencanakan untuk berkembang menjadi sebanyak itu. Tadinya ia pikir, perasaannya pada Gusti hanya cukup diwakilkan dalam satu-tiga surat saja.
Setelah selesai, ia mengambil buku catatannya dan mencatat di sana. Hari ini Rabu tanggal 26 Oktober 2016, aku bacain surat yang kedua buat Gusti. Ia melirik jam tangan pemberian lelaki itu di pergelangan tangannya. Masih tersisa 45 menit sebelum Gusti harus pulang. Arunika menyebutnya sebagai "satu jam milik kita".
Sisa waktu itu dipakai Arunika untuk memandangi wajah lelaki itu lamat-lamat seolah ingin mengabadikan setiap inci wajah dan perawakan Gusti dalam ingatannya. Berharap ia akan ingat selamanya. Sepuluh atau bahkan sampai dua puluh tahun ke depan. Gadis itu tersenyum tipis. Kedua tangannya menangkup wajah Gusti yang tak lagi sedingin keramik sehabis hujan, tapi hangat seperti mug berisi teh hangat kesukaannya. Ia bilang: aku suka karena wajahmu hangat. Gusti tersenyum dan mengangguk kecil. Kedua tangan lelaki itu memegang tangan Arunika yang masih menangkup wajahnya dan mengelusnya pelan. Gusti bertanya: sampai kapan kamu akan bacain surat-surat itu? Gadis itu tanpa ragu menjawab: sampai semua suratnya selesai aku bacakan.
Nggak bisa, nggak boleh, Gusti menjawab sembari menggeleng dengan dahi mengernyit.
"Konsekuensinya akan aku tanggung," Gadis itu menjawab kemudian beralih untuk membakar surat kedua di bawah pendopo, membiarkan api melahap kertas dan mengubahnya jadi abu.
"Aku pulang dulu." kata Gusti yang nadanya terdengar sedih. Ia bangkit dan meninggalkan gadis itu sendirian. Arunika ingin mengejar dan menjelaskan keputusannya, tapi urung karena alarm pada ponselnya sudah kembali bergetar panjang. Jam menunjukkan pukul 00.00 WITA. Hari telah berganti Kamis. Dan selayaknya orang-orang yang melakukan "satu jam milik kita", umur Arunika kini bertambah satu tahun. Dari Kamis dini hari, ia berulang tahun yang ke-27, tanpa menunggu hari ulang tahunnya tiba, dan tanpa adanya perayaan kecil atau ucapan-ucapan selamat ulang tahun.
Pembacaan surat-surat selanjutnya tetap ia lakukan pada Rabu malam tepat pada pukul 23.00 WITA, dan setiap kali perempuan itu membacakan surat, wajahnya terlihat lebih tua dibanding biasanya. Keriput-keriput halus mulai muncul di pelipis dan di sekitar hidungnya—terlihat jelas ketika ia tersenyum. Kulit tangannya juga tidak sekencang sebelumnya. Tangan itu memang masih halus, namun jelas terasa ada kulit yang telah keriput di sana. Rambutnya semakin panjang, dan perlahan memutih di beberapa helainya, tapi yang tak pernah berubah dari perempuan itu adalah senyuman dan tatapan penuh cinta setiap kali menyambut kedatangan Gusti di halaman rumahnya, juga nada bicaranya ketika membacakan surat-surat cintanya. Gusti seolah dibanjiri oleh perasaan cinta yang meluap seperti air bah—yang pada akhirnya membuatnya merasakan sesak luar biasa di dada.
Pada suatu ketika, ia memutuskan untuk tidak datang sama sekali ke rumah perempuan itu. Ia sengaja bersembunyi di salah satu gang yang dari tempat persembunyiannya, ia bisa melihat perempuan itu keluar rumah dan berusaha mencari keberadaan dirinya, menunggu sambil melirik arlojinya sambil menggigit bibir cemas. Pada satu momen, perempuan itu sengaja melirik lama sekali pada arloji pemberiannya—Gusti yakin perempuan itu percaya bahwa waktu akan melambat ketika ia memandang benda itu. Waktu memang akan melambat, tapi bukan berhenti sepenuhnya. Penantiannya pada akhirnya sia-sia, ia masuk rumah dengan bahu kurus yang turun karena lesu. Langkah kakinya gontai.
Gusti sengaja tidak datang sebanyak tiga kali, tapi kemudian ia sadar bahwa ia harus menemui perempuan itu untuk menghentikannya. Suatu ketika, ia mengetuk pintu gerbang itu dengan tangan yang terasa lesu—seolah tak ada tenaga sama sekali. Tapi toh Gusti bisa mendengar dengan jelas bagaimana langkah kaki perempuan itu tetap tegas dan mantap menghampirinya, membukakan pintu besi itu, menyambutnya dengan senyuman, kali ini perempuan itu berani memeluknya sambil bilang: kamu lama nggak ke sini, padahal aku selalu nunggu kamu. Pelukan itu terlepas seiring dengan perempuan itu menggandeng tangannya dengan lembut.
Begitu mereka kembali berhadapan, Gusti tak bisa menahan sesak di dada yang kembali menyeruak seolah ada banyak air bah yang mengelilinginya, dan perlahan ia mulai tenggelam. Perempuan itu kini punya lebih banyak uban di rambutnya yang sengaja dibiarkan panjang. Tangan dan kakinya tidak lagi memiliki keriput-keriput halus, tapi keriput yang seperti orang berusia 40 tahun ke atas. Perempuan itu terbatuk sambil memasang kacamatanya lalu mengeratkan cardigan yang ia kenakan. Hari ini ia mengenakan kebaya, entah kenapa. Tapi sekalipun umurnya sudah bertambah dan ia lebih tua belasan, atau mungkin puluhan tahun dibanding dirinya, kecantikan perempuan itu belum luntur sepenuhnya.
"Arunika," panggil Gusti, membuat perempuan yang dulunya tidak berkacamata, kini mengenakannya karena matanya semakin kehilangan kemampuan membaca huruf-huruf yang kecil dan melihat objek yang jauh. Perempuan itu menatap Gusti dengan tatapan lembut seorang kekasih. "Tolong berhenti. Aku sudah tahu perasaanmu bahkan ketika kamu hanya membacakan satu surat. Tidak perlu kamu baca semua surat itu. Kau hanya buang waktu."
Perempuan itu menunduk sedikit, melepas kacamatanya dan melipat surat entah nomor berapa yang tadi ingin ia bacakan untuk lelaki itu. "Kalau memang itu mau kamu, baiklah. Aku berhenti. Tapi apa kamu harus berhenti juga berkunjung ke sini?"
"Aku harus berhenti supaya kamu bisa melanjutkan hidup."
"Jadi, yang waktu itu kamu memang sengaja nggak datang?"
Gusti mengangguk sebagai jawaban. Tangannya kini menggenggam lembut kedua tangan Arunika yang sudah keriput. "Lanjutkan hidupmu. Jangan begini."
Perempuan itu menunduk dan sepersekian detik kemudian bahunya yang kurus itu bergetar hebat bersamaan dengan isakan tangisnya yang terdengar. Gusti mendekatkan diri dan merengkuhnya dalam pelukan. Rasanya seperti memeluk kulit dan tulang. Rambut panjang itu setengahnya telah memutih. Waktu seperti seseorang yang terpeleset di lantai yang licin. Sesekali ia mengecup dahi si perempuan. Tak ada sepatah kata pun yang hendak ia katakan. Keheningan itu milik mereka.
"Masihkah kamu menganggap kalau cerita Jayaprana dan Layonsari itu konyol?" tanya Gusti tanpa melepaskan rengkuhannya pada perempuan itu.
Arunika mengangguk. Walaupun matanya yang basah kini terpejam seolah sedang tertidur, ia tetap bisa mendengar apa yang dikatakan si lelaki.
"Nggak seharusnya Layonsari mati demi Jayaprana untuk membuktikan cintanya. Dengan Layonsari tetap melanjutkan hidup sebagaimana mestinya... itu sudah membuktikan cinta sejatinya pada Jayaprana." ujar perempuan itu.
"Dan aku yakin Jayaprana nggak pernah minta Layonsari untuk ikut mati bersamanya. Dia pasti mau Layonsari tetap melanjutkan hidup. Dan aku mau kamu punya pandangan yang sama seperti kamu saat muda dulu—aku mau kamu jadi pengecualian. Aku mau kamu jadi Layonsari yang tetap menjalani hidup sekalipun sudah kehilangan Jayaprana, atau bahkan ketika kamu sudah kehilangan banyak hal."
"Hidupku nggak pernah mudah untuk dijalani setelah kepergianmu."
"Tapi bukan berarti nggak mungkin. Kamu harus coba.”
"Jadi ini terakhir kalinya aku bertemu kamu?"
"Pertemuan kita selama ini sudah lebih dari cukup, Arunika." Lelaki itu menghapus jejak air mata di kedua pipi si perempuan. Dahinya didekatkan pada dahi si perempuan. Keduanya terpejam. Angin malam berembus lembut, menerbangkan beberapa helai rambut si perempuan yang sudah beruban, sekaligus menghantarkan aroma selepas hujan, dupa, dan bunga-bunga yang segar.
...
Denpasar Utara masih belum sepenuhnya bangun ketika ia berada di mobil yang dikemudikan sopir pribadinya untuk mengantarkannya ke Pantai Kusamba. Jalanan masih lengang—hanya ada truk-truk sayur dari Bedugul yang melintas satu-dua di sebelahnya menuju Pasar Badung. Ia membuka kaca mobilnya sedikit—membiarkan udara pagi yang segar karena hujan deras semalam mendinginkan paru-parunya.
Mobil sedan yang ia kendarai melewati Jalan Ahmad Yani yang masih lengang dan basah. Beberapa toko di pinggir jalan sudah mulai buka, menata barang jualannya, menyajikan sesajen dan membuat aroma jalanan sehabis hujan bercampur dengan bunga dan dupa. Anjing-anjing jalanan mulai bangun dan mengais-ngais makanan sambil menatap santai ke arah para arwah yang pulang sejenak untuk berkunjung ke rumah selagi Denpasar masih belum bangun sepenuhnya. Arwah-arwah itu berjalan dengan santai seolah mereka punya banyak waktu, beberapa lainnya ada yang membersamai beberapa ekor arwah anjing, kucing, ayam, hingga babi. Arunika meminta sopirnya memelankan laju mobil, siapa tahu ia menemukan Gusti di antara para arwah yang berjalan pulang atau ke tempat mana pun yang hendak mereka kunjungi. Sayangnya, ia tak menemukannya di jalan itu.
Mobil kemudian memasuki Jalan Bypass Ida Bagus Mantra, di sana ada lebih banyak para arwah yang muncul dari banyak arah, berjalan dengan teratur dan menyebrang jalan sesuai aturan. Sesekali ada mobil yang berhenti untuk menghampiri satu-dua arwah sekadar menyapanya dan melepas rindu. Matanya masih awas menyisir jalanan panjang yang seolah tanpa ujung, mencoba mencari satu sosok di antara mereka—apakah Gusti akan memakai jatah pulangnya hari ini? Tapi kalau ia tak muncul di sini, muncullah saja di Kusamba, tempat abunya dilarung.
Di antara pohon-pohon ketapang di kanan-kiri yang bergoyang diterpa angin, ia masih berharap Gusti ada di antara mereka. Sopirnya minta izin untuk menyalakan lagu, Arunika mengizinkan. Lagu apa, Bu? Arunika bilang: apa saja. Lagu pertama yang terputar adalah milik Iwan Fals - Entah. Sekonyong-konyong mengingatkannya pada acara makan malam berdua di pinggir jalan bersama lelaki itu ketika pemilik warung pinggir jalan memutar lagu yang sama dari Mp3-nya.
Kabut pagi masih menutupi beberapa sudut Denpasar—membuatnya seolah seperti lukisan. Kabut-kabut yang seolah ingin memberitahu siapapun yang datang ke Denpasar bahwa kota itu romantis, magis, eksotis, dan melankolis di saat yang bersamaan. Denpasar tak pernah punya satu warna. Ia selalu punya banyak.
Ketika ia memasuki sekitar Lepang, kabut masih menjadi selimut andalan kota ini. Di sanalah, di sela-sela para arwah yang berdatangan dari arah itu, ia melihat sosok lelaki jangkung dengan kemeja putih dan kumis tipis menghiasi bawah hidung di wajahnya yang kuning langsat, sedang berjalan dengan gayanya yang khas—menatap ke sekitar dengan matanya yang awas, kedua tangannya disimpan di kedua saku celana kainnya, dengan langkah yang agak diseret—membuat sandalnya berbunyi ketika beradu dengan jalanan yang ia tapaki. Arunika menurunkan kaca mobilnya semakin rendah dan menyuruh sang sopir semakin memelankan laju mobil. Tangannya yang renta dan gemetar melambai—dan sepersekian detik kemudian Gusti menoleh ke arah lambaian tangan itu sambil tersenyum. Ia membalas lambaian tangan Arunika.
"Aku hendak ke Kusamba! Kau berhati-hatilah!"
Gusti mengangguk, mengacungkan jempol seperti biasa. Ia kembali berjalan, Arunika kembali melaju.
Ia sampai di Kusamba ketika matahari bahkan masih malu-malu menampakkan diri. Burung-burung beterbangan, angin laut menerpa cardigannya, membuat kulitnya meremang karena kedinginan. Sopirnya mengambilkan jaket yang lebih tebal. Ia bertanya: apa Ibu mau ditemani? Arunika menggeleng lalu bilang: aku tak lama.
Ia berpapasan dengan beberapa arwah lainnya yang sedang mengobrol dengan arwah lainnya. Di Denpasar, arwah dan manusia hidup berdampingan tanpa sekat.
Aroma asin yang dibawa oleh air luat itu tercium seperti aroma obat-obatan di rumah sakit, membuatnya menebak-nebak hari terakhir Gusti beberapa tahun yang lalu. Tepat setelah Gusti menyelesaikan sidang untuk tugas akhirnya, ia ditemukan pingsan di koridor kampus dan langsung dibawa ke rumah sakit. Saat itu Arunika sedang ada di Depok untuk mencari data mengenai skripsinya yang harus direvisi besar-besaran setelah melakukan seminar hasil dari bab satu sampai bab empat. Dan sebelum Gusti ditemukan pingsan dan harus dilarikan ke ICU rumah sakit, lelaki itu tiba-tiba menghindarinya. Ia tidak lagi berada di kosnya yang ada di Denpasar, melainkan pulang ke Klungkung.
Arunika tak pernah tahu mengapa Gusti tiba-tiba menghindarinya dan bertindak seolah mereka berdua tak pernah kenal ketika tak sengaja bertemu di kampus. Hari-hari di kampus terasa asing untuk dua orang itu, tapi karena tuntutan tugas akhir yang cukup menguras tenaga, Arunika berusaha memfokuskan kembali konsenterasinya pada tugas akhir, mengesampingkan dahulu mengenai masalahnya dengan Gusti yang entah apa. Ia berjanji pada dirinya sendiri, setelah ia sidang akhir, ia akan menghubungi Gusti lagi sekadar untuk tahu alasan mengapa lelaki itu menghindarinya.
Begitu ia lulus dari perguruan tinggi dan berusaha menghubungi Gusti, tidak ada satupun panggilan teleponnya yang tersambung. Arunika juga tidak tahu alamat rumah Gusti di Klungkung. Gusti tak pernah punya banyak teman. Ia hanya punya satu teman bernama Made yang sudah lulus sebelum Arunika lulus.
Enam bulan setelah kelulusannya, ia sedang jalan-jalan pagi di sekitar kampus, masih dengan perasaan sedih dan bingung atas menghilangnya Gusti secara tiba-tiba, dan saat itu ia tak sengaja bertemu Made yang sedang bersepeda di sekitar kampus bersama beberapa sepupunya yang lain. Made meminta sepupunya untuk meninggalkan mereka berdua karena ada hal penting yang harus dibicarakan hanya dengan perempuan itu. Saat itu Made kelihatan bingung harus menjelaskan dari mana, membuat Arunika jengah dan mengancam akan meninggalkannya kalau belum kunjung bicara, maka dengan satu tarikan napas ia pun berbicara, "Gusti sudah meninggal karena tumor otak."
Langkah Arunika yang akan meninggalkan lelaki itu kontan saja terasa tertanam di sana, bedanya kakinya perlahan merasa lemas dan seperti tidak kuat menopang tubuhnya, maka Made mengajaknya untuk duduk di salah satu kursi taman. Napas perempuan itu memburu—berusaha mencari oksigen karena mendadak dadanya terasa sesak. Beberapa kali ia menggeleng sambil bilang: nggak mungkin. Ia bersikeras ingin berdiri, tapi kembali limbung dan linglung, maka Made menyuruhnya tetap duduk.
"Dengar, aku juga baru tahu sebulan yang lalu. Waktu itu aku mau main ke rumahnya Gusti, tapi orang tuanya bilang Gusti sudah nggak ada. Dia divonis tumor otak di semester akhir kemarin, dokter bilang waktunya memang udah nggak lama, itulah kenapa Gusti kerja keras banget buat menyelesaikan skripsinya. Itulah kenapa dia menghindar dari kamu. Aku tahu dia seperti apa. Dia pasti mau pergi diam-diam aja, nggak banyak orang yang tau, dengan begitu nggak banyak orang sedih atas kepergiannya. Nggak kamu aja yang kaget atau sedih, aku juga. Aku nggak langsung kabarin kamu karena aku juga butuh waktu untuk memproses semuanya. Upacara Ngabennya... sudah dilaksanakan beberapa bulan yang lalu. Abunya dilarung di Pantai Kusamba. Kamu mau aku temani ke sana?"
Arunika menggeleng, "Aku pergi sendiri."
Setelah pertemuan itu, Made tidak pernah bersua dengan Arunika. Pun sebaliknya.
Kusamba membentangkan lautnya di hadapan Arunika, dengan matahari yang berusaha memecahkan serat-serat kabut pagi buta. Air laut Kusambalah yang menerima dan membawa abu Gusti pada penyatuannya dengan alam semesta.
Tubuh lelaki itu berada di antara air laut yang menjadi tempat bernaung banyak terumbu karang dan berbagai jenis ikan.
Air Kusamba menyapu sedikit kedua kakinya. Ia menunduk dan mencelupkan telapak tangannya pada air itu sembari memejamkan mata. Dalam hati ia bilang: Gusti, sekarang kau kembali pada pelukan alam. Dan aku akan kembali pada pelukan kehidupan—seolah ini adalah mantra. Ia lalu mengusapkan air dari telapak tangannya ke wajah sebanyak tiga kali. Arunika menatap hamparan laut Kusamba sekali lagi, bertepatan dengan matahari yang mulai muncul dan para arwah menjadi transparan dan perlahan menghilang dari pandangan. Aku akan membersamai kehidupan lagi, Gusti. Aku janji.