Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
wajah kedua
0
Suka
1,134
Dibaca

Hari pertama sekolah selalu terasa mendebarkan, apalagi bagi seorang murid baru. Ningsih berdiri di depan gerbang SMA Harapan, mengenakan seragam putih abu-abu yang masih kaku dan wangi setrika. Rambutnya yang hitam panjang tergerai rapi, wajahnya bersih, dan sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Tak butuh waktu lama sampai perhatian banyak orang tertuju padanya.

 

“Eh, siapa tuh? Anak baru ya?”

“Cantik banget, sumpah!”

“Pantes aja banyak cowok yang langsung naksir.”

 

Ningsih hanya menunduk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Ia tahu wajahnya menarik, tapi tidak pernah menyangka bahwa di sekolah baru ia akan langsung jadi pusat perhatian. Dalam hati, ia berdoa agar hari ini berjalan lancar. Ada satu harapan kecil yang diam-diam ia simpan, semoga ia bisa bertemu dengan Azka, kakak kelas yang sudah sering ia dengar namanya dari cerita teman-teman tetangga rumahnya.

 

Baru saja ia melangkah melewati koridor, tiba-tiba seorang kakak kelas dengan kerah seragam terbuka mendekat. Tatapannya usil, penuh rasa percaya diri yang menjengkelkan. Tanpa permisi, ia meraih beberapa helai rambut Ningsih lalu menciumnya dalam-dalam.

 

“Sungguh wangi,” katanya sambil tersenyum sinis.

 

Ningsih kaget dan spontan menepis tangannya. “Pergi jauh-jauh!” serunya.

 

Namun, bukannya mundur, kakak kelas itu malah makin mendekat. Ningsih mulai panik. Jantungnya berdegup kencang, dan ia ingin sekali kabur, tapi langkahnya kaku. Tiba-tiba terdengar suara keras memotong ketegangan.

“Pergi kau, baj*ngan!”

 

Seorang siswi muncul dari belakang, langsung berdiri di samping Ningsih. Ajaibnya, si kakak kelas yang tadi begitu berani langsung ciut dan pergi begitu saja.

 

Ningsih menoleh, hendak mengucapkan terima kasih. Namun begitu ia melihat wajah siswi itu, bibirnya justru membeku. Wajahnya penuh bekas luka bakar, kulitnya kasar, dan sebagian pipinya terlihat mengerut tak wajar. Gadis itu menjulurkan tangan, memperkenalkan diri dengan ramah.

 

“Aku Irma.”

 

Alih-alih menyambut, Ningsih refleks menarik tangannya sendiri, seolah jijik. Ia bahkan sempat mengumpat pelan. Tatapan orang-orang di sekitar langsung tertuju padanya.

 

“Baru masuk sekolah udah sok banget. Dia nggak tahu betapa kejamnya Irma kalau ada yang menghina wajahnya.”

 

Irma sempat terdiam. Matanya menatap Ningsih sekilas, kemudian ia berbalik tanpa sepatah kata pun. Semua murid yang melihat kejadian itu terkejut. Selama ini, Irma dikenal sebagai siswi berandalan yang keras. Ia selalu membela murid-murid lemah dari perundungan, tapi siapa pun yang menyinggung wajahnya biasanya langsung kena bogem. Mengapa kali ini ia hanya diam?

 

Ningsih melanjutkan langkahnya menuju kelas. Begitu masuk, beberapa murid langsung mengerumuninya.

 

“Hei, kamu nggak apa-apa?”

“Kok bisa Irma nggak marah padamu?”

 

Ningsih menghela napas. “Aku bahkan belum sempat duduk. Boleh biarkan aku taruh tas dulu?” katanya dengan nada agak kesal.

 

Beberapa cowok yang tadinya antusias jadi canggung. Di sisi lain, beberapa siswi di belakang kelas tampak saling berbisik, menatapnya sinis. Rini, salah satu siswi populer namun dikenal suka membully, maju menghadang langkah Ningsih.

 

“Hei, jal*ng. Enak ya baru hari pertama udah sok jadi tuan putri?”

 

Ningsih menunduk, enggan menatap Rini. Perasaannya kacau. Ia tidak ingin mencari masalah, tapi sikap Rini jelas mengintimidasi.

 

Tiba-tiba, suara tenang namun berwibawa terdengar ditelinga Ningsih dan Rini.

 

“Sudah, sudah.”

 

Seorang cowok tinggi dengan wajah tampan mendekat. Sorot matanya tajam tapi ramah, tubuhnya tegap, dan aroma parfumnya begitu maskulin. Ningsih tertegun. Ia tahu betul siapa cowok ini, dialah Azka, ketua OSIS SMA Harapan, idola banyak siswi.

 

“Bolehkan dia duduk di kursi itu?” tanya Azka pada Rini dengan nada datar.

 

Sekejap Rini yang tadi garang langsung berubah lembut. “I-iya, tentu,” jawabnya gugup, lalu mundur. Ningsih duduk dengan bantuan Azka, jantungnya berdebar tak karuan.

 

Namun Azka tidak berlama-lama. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, ia berbalik hendak pergi. Ningsih, tanpa sadar, meraih tangannya.

“Kalau ada yang menggangguku lagi… maukah Kak Azka membantuku?” tanyanya dengan penuh harap.

 

Azka menoleh, tersenyum tipis. “Tentu. Tapi ada Irma juga yang akan mengatasi kalau ada bullying di sekolah ini.”

 

Perkataan itu membuat seluruh kelas terdiam. Irma? Menjaga Ningsih? Semua orang tahu reputasi Irma, dan sulit dipercaya bahwa ia akan peduli pada murid baru yang sempat menghina wajahnya.

 

Bel berbunyi, tanda upacara penyambutan akan segera dimulai. Ningsih berjalan menunduk menuju lapangan, sementara Rini sempat mengancam lirih, “Jangan coba-coba cari perhatian lagi di depan Azka. Kalau berani, gue hajar.”

 

Lapangan upacara penuh sesak. Bendera merah putih berkibar gagah, barisan siswa baru tampak kaku dengan seragam putih abu-abu yang masih tampak baru. Di tengah barisan, Ningsih berdiri dengan wajah sedikit pucat. Suasana panas dan tatapan murid-murid lain membuatnya merasa seperti terjebak di panggung besar.

 

Saat Kepala Sekolah memberi sambutan, matanya melirik ke arah podium tempat Azka berdiri. Ia tampak gagah dengan jas OSIS, suara lantangnya jelas terdengar ke seluruh lapangan.

“Selamat datang untuk seluruh siswa baru. Ingat, di sekolah ini tidak ada ruang untuk kekerasan, perundungan, atau diskriminasi. Kita adalah keluarga besar, saling menjaga satu sama lain.”

 

Banyak siswa bertepuk tangan. Ningsih menatapnya dengan penuh kagum. Dia bukan hanya tampan, tapi juga karismatik.

 

Namun di sisi lain lapangan, Rini dan gengnya tampak gelisah. Sesekali mereka melirik ke arah Ningsih dengan pandangan penuh dendam. Salah satu dari mereka berbisik, “Nanti setelah upacara selesai, kita kasih pelajaran, ya.” Rini hanya tersenyum miring.

 

Irma yang berdiri agak jauh memperhatikan gerak-gerik mereka. Wajahnya tegas, matanya tajam, seperti binatang buas yang siap menerkam. Ia tahu betul kebiasaan geng Rini, dan hatinya dipenuhi firasat buruk.

 

Upacara usai. Murid-murid bubar, kembali ke kelas masing-masing. Ningsih sempat lega, tapi begitu sampai di koridor, ia mendapati Rini dan gengnya tidak ada di kelas.

 

“Ke mana mereka?” gumamnya.

 

Saat itulah Aldo muncul, ia seorang cowok tinggi dengan gaya cuek, rambut sedikit acak, wajah tampan tapi tanpa senyum. Ia berjalan santai sambil menenteng buku. Ningsih yang masih tegang spontan menghampirinya.

“Hai, aku Ningsih,” ucapnya pelan.

 

Aldo menoleh sekilas. “Aku Aldo.” Jawabannya singkat, nadanya datar.

 

Entah mengapa, Ningsih merasa harus mendekat padanya. Ada sesuatu dari sikap cueknya yang membuat ia ingin bergantung. “Aldo… boleh minta tolong? Aku butuh teman. Bisa nggak… kamu pura-pura jadi kakak sepupuku?”

 

Aldo mengangkat alis. “Untuk apa?”

 

“Supaya Rini dan gengnya nggak berani macam-macam. Mereka kelihatan nggak suka sama aku,” bisik Ningsih.

 

Aldo mendengus, jelas malas. “Kenapa aku harus peduli?”

 

Ningsih hampir menangis. Ia menunduk, suaranya memohon. “Aku benar-benar takut. Tolong, walau cuma berpura-pura.”

 

Aldo menatapnya beberapa saat. Dalam hatinya, ia sebenarnya kasihan. Akhirnya ia menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi jangan banyak berharap lebih.”

 

Ningsih tersenyum lega. “Terima kasih, Aldo.”

 

Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Dari ujung koridor, terdengar teriakan. Seorang siswi berlari panik.

“Rini dan teman-temannya… mereka… mereka babak belur di toilet!”

 

Murid-murid langsung berhamburan menuju sumber suara. Ningsih dan Aldo ikut. Dan benar, pemandangan yang mereka lihat membuat semua orang terperangah: Rini dan gengnya tergeletak di lantai, wajah lebam, rambut mereka digunting acak-acakan hingga hampir botak.

 

“Siapa yang melakukan ini?” bisik seseorang.

 

Tak ada jawaban. Tapi semua orang saling berpandangan, dan hanya satu nama yang muncul di kepala mereka, yaitu Irma.

 

Irma berdiri di dekat pintu, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Ia tidak mengaku, tapi semua tahu hanya dia yang berani melawan geng Rini dengan cara sekejam itu.

 

Ningsih tercekat. Perasaannya bercampur aduk, antara lega karena Rini tak bisa lagi mengusiknya, dan ngeri membayangkan seberapa kejam Irma jika marah.

 

Bagaimana bisa orang seperti dia disebut penjaga sekolah ini? pikirnya.

 

Hari-hari berikutnya berjalan dengan ketegangan yang tak kunjung reda. Ningsih selalu merasa diawasi. Entah kenapa, tatapan Irma sering tertuju padanya. Kadang ketika ia berjalan sendirian di koridor, ia bisa merasakan langkah Irma mengikuti dari belakang. Namun setiap ia menoleh, Irma hanya lewat begitu saja.

 

Rasa takut itu bercampur dengan kebencian. Terlebih lagi, hatinya semakin sakit ketika melihat kedekatan Irma dengan Azka. Suatu sore saat sepulang sekolah, Ningsih memergoki mereka berdua duduk di taman belakang. Azka tertawa kecil, dan Irma terlihat begitu nyaman di sisinya.

 

Ningsih menahan napas, bersembunyi di balik pohon. Lalu ia mendengar sesuatu yang membuat hatinya runtuh.

 

“Sayang, jangan terlalu keras sama anak baru. Dia pasti butuh waktu menyesuaikan diri,” ucap Azka lembut pada Irma.

 

Kata “sayang” itu menusuk telinga Ningsih bagai pisau. Matanya berkaca-kaca, dadanya sesak. Jadi… Azka milik Irma?

 

Sejak saat itu, kekaguman Ningsih berubah menjadi kecemburuan yang membara. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kakak kelas yang ia impikan ternyata dekat dengan gadis berwajah rusak itu. Setiap kali melihat Azka tersenyum pada Irma, hatinya serasa diremas.

 

Kebencian itu perlahan meracuni pikirannya. Dan ketika Rini kembali ke sekolah dengan kepala tertutup kerudung untuk menyembunyikan rambutnya yang rusak, Ningsih mendekatinya.

 

“Aku tahu siapa yang melakukan itu padamu,” bisik Ningsih.

 

Rini menoleh, matanya penuh amarah.

“Aku juga tahu. Irma, kan?!”

 

Mereka saling menatap, lalu senyum jahat muncul di wajah keduanya. Dalam sekejap, musuh lama berubah jadi sekutu.

 

“Kalau kita bersatu,” kata Ningsih dengan suara rendah, “kita bisa menyingkirkan Irma untuk selamanya.”

 

Menjelang akhir tahun, pihak sekolah mengadakan pesta besar yang dinamakan pesta Topeng, semua siswa termasuk guru wajib memakai topwng saat pesta berlangsung, lokasi pesta yang akan digunakan yaitu gedung olahraga sekolah.

 

Hari pesta topeng akhirnya tiba. Gedung Olahraga disulap menjadi ruang meriah dengan lampu gantung, kain-kain berwarna, dan dentuman musik modern. Murid-murid berdatangan mengenakan topeng unik. Ada yang berkilau dengan manik-manik, ada pula yang sederhana hanya berupa kain penutup setengah wajah.

 

Ningsih melangkah masuk dengan gaun sederhana dan topeng putih elegan. Semua mata kembali tertuju padanya. Ia terlihat anggun, seakan menjadi bintang malam itu. Namun di balik senyumnya, hatinya penuh rencana gelap.

 

Rini menghampirinya dengan topeng hitam berkilau. Mereka bertukar pandang, lalu tersenyum tipis, sebuah senyum yang menyembunyikan niat jahat.

“Semua sudah siap?” bisik Rini.

“Ya. Ruang kelas sudah aku kunci, bensin sudah disiram. Tinggal menunggu saat yang tepat,” jawab Ningsih.

 

Rencana mereka sederhana tapi kejam: mengurung Irma di ruang kelas yang sudah disiapkan, lalu membakar sekolah. Semua orang akan mengira Irma tewas terbakar, dan tak seorang pun akan menyangka Ningsih terlibat.

 

Namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Ningsih. Sepanjang pesta, matanya tak henti-hentinya mencari sosok Azka. Ia berharap bisa menari dengannya, walau hanya sekali. Dan ketika akhirnya Azka muncul dengan setelan jas sederhana serta topeng perak, jantung Ningsih hampir berhenti berdetak.

 

Azka menyapa semua orang dengan senyum ramah. Irma berada di sisinya, mengenakan gaun hitam dan topeng sederhana. Meski wajahnya rusak, gaun itu membuatnya tampak berbeda malam itu. Ada aura anggun yang tak bisa disembunyikan.

 

Ningsih menggertakkan giginya. Kenapa semua orang bisa menerima Irma? Kenapa Azka begitu lembut padanya?

 

Pesta berlanjut. Murid-murid menari, tertawa, menikmati malam. Hingga tiba saatnya Ningsih dan Rini bergerak. Mereka mendekati Irma dengan pura-pura ramah.

“Irma, ayo ikut kami sebentar. Ada sesuatu yang ingin kami tunjukkan,” kata Ningsih manis.

 

Irma memandang curiga, tapi akhirnya mengikuti. Mereka menggiringnya ke ruang kelas di lantai dua. Begitu Irma masuk, pintu dikunci rapat. Rini menuangkan sisa bensin ke celah pintu, lalu menyalakan korek. Api segera menjalar, lidah merahnya menjilat dinding dan meja kayu.

 

Irma terjebak. Ia berteriak, berusaha mendobrak pintu, tapi terkunci kuat. Asap mulai memenuhi ruangan.

 

Di aula, suasana masih ramai hingga alarm kebakaran berbunyi. Kepanikan terjadi. Semua murid berhamburan keluar. Azka segera menyadari Irma tidak ada. Ia berlari ke arah kelas lalu diikuti Aldo.

 

“Di dalam ada orang!” teriak Azka saat melihat asap tebal keluar dari celah pintu.

 

Dengan seluruh tenaga, Azka dan Aldo mendobrak pintu. Kayu terbakar retak, lalu pintu terhempas. Di dalam, Irma terbatuk-batuk, tubuhnya penuh jelaga. Azka langsung menariknya keluar.

 

Namun sebelum mereka benar-benar keluar, Ningsih muncul dengan mata penuh amarah. Di tangannya tergenggam sebilah pisau.

“Jangan bawa dia! Biarkan dia mati di sini!” teriaknya.

 

Azka dan Aldo terperangah. “Ningsih? Apa yang kamu lakukan?!”

 

Ningsih menodongkan pisau ke arah Irma. “Munafik! Kau pura-pura jadi kakakku, pura-pura peduli, padahal kau pacaran dengan Azka! Semua orang lebih memilihmu daripada aku! Wajahmu rusak, tapi semua orang tetap sayang padamu! Kenapa?!”

 

Irma terdiam, napasnya terengah karena asap. Matanya penuh luka mendengar kata-kata itu.

“Aku tidak pernah bermaksud merebut apa pun darimu, Ningsih,” katanya lirih.

 

“Bohong!” teriak Ningsih. Tangannya gemetar, air mata bercucuran, tapi pisau tetap diarahkan ke dada Irma.

 

Saat itu, sepotong kayu besar yang terbakar runtuh dari langit-langit. Ningsih menjerit ketika kayu itu menghantam punggungnya, menjepit tubuhnya ke lantai. Pisau terlepas dari tangannya. Api cepat menjalar, membuat suhu ruangan kian panas.

 

Azka dan Aldo berusaha mengangkat kayu itu, tapi terlalu berat. Ningsih menatap Irma dengan mata yang mulai kehilangan cahaya. Di leher Irma, kalung berkilau terkena pantulan api. Ningsih menatapnya lekat-lekat, lalu terbelalak.

 

Kalung itu… sama persis dengan miliknya.

 

Seketika kilasan ingatan muncul di kepala Ningsih, sebuah rumah sakit, perban di wajah, suara tangisan, dan janji seseorang yang berbisik di telinganya.

“Kalau kamu sembuh, hiduplah bahagia. Aku akan selalu melindungimu.”

 

Mata Ningsih melebar, air matanya jatuh.

“K… kamu…” suaranya terputus. Napas terakhirnya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya lemas, lalu terdiam selamanya.

 

Irma berteriak histeris. “Ningsih!!!”

 

Azka menarik Irma keluar tepat sebelum api melahap seluruh ruangan. Aldo membantu memadamkan api dengan alat pemadam yang ada di lorong. Tapi semuanya sudah terlambat. Malam pesta topeng berubah jadi malam duka.

 

Keesokan harinya, kabar kematian Ningsih menyebar cepat. Sekolah berduka, teman-temannya menangis. Rini menghilang entah ke mana, tak ada yang tahu nasibnya.

 

Pemakaman digelar sederhana. Azka, Aldo, dan Irma berdiri di sisi liang lahat, menundukkan kepala. Irma menangis tanpa suara, air matanya membasahi tanah.

 

Setelah pemakaman, mereka bertiga pergi ke sebuah tempat Irma tinggal. Di sana, Irma akhirnya membuka rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

 

Panti asuhan itu terletak di pinggir kota, bangunannya sederhana, cat dindingnya mulai pudar dimakan waktu. Anak-anak kecil berlarian di halaman, sebagian mengintip penasaran ketika melihat kedatangan Azka, Aldo, dan Irma.

 

Mereka disambut oleh seorang pengurus tua bernama Bu Ratna. Wanita itu mengenal Irma sejak kecil, bahkan mengasuhnya seperti anak sendiri. Begitu melihat Irma pulang dengan wajah sendu, Bu Ratna langsung tahu ada sesuatu yang ingin ia ceritakan.

 

“Bu, boleh kita bicara di dalam?” pinta Irma lirih.

 

Di ruang tamu panti yang sederhana, Irma mulai membuka cerita panjang yang selama ini terkubur. Suaranya bergetar, namun ia berusaha tegar.

 

“Dulu… aku punya keluarga kecil yang bahagia. Ayah, ibu, dan seorang adik perempuan yang sangat kusayangi. Kami tinggal di rumah sederhana, tapi penuh kehangatan. Sampai suatu malam, kebakaran hebat melanda rumah kami.”

 

Irma berhenti sejenak, menutup wajah dengan kedua tangannya. Air mata menetes di sela jemarinya. Azka meraih bahunya, memberi kekuatan untuk melanjutkan.

 

“Aku selamat, tapi wajahku… hancur terbakar. Ayah, ibu, dan adikku meninggal malam itu. Sejak saat itu aku hidup di panti ini.”

 

Azka dan Aldo saling pandang, keduanya terdiam mendengar pengakuan itu.

 

“Beberapa bulan kemudian,” lanjut Irma, “ada keluarga kaya datang ke panti. Mereka membawa seorang anak perempuan bernama Ningsih. Wajahnya juga rusak parah karena kebakaran. Orang tuanya, Pak Setyo dan istrinya, memohon agar dokter melakukan sesuatu untuk anak itu. Lalu… mereka menawariku sebuah pilihan.”

 

Irma menunduk. Tangannya gemetar saat membuka kalung berlian di lehernya, memperlihatkannya pada Azka dan Aldo. Cahaya lampu membuatnya berkilau, tapi bagi Irma, kilauan itu terasa pahit.

 

“Mereka meminta aku memberikan kulit wajahku untuk Ningsih. Katanya, kalau aku rela, mereka akan menjamin hidupku di panti dan memberiku kalung ini sebagai tanda terima kasih. Aku… aku setuju.”

 

Aldo terbelalak. “Kau… memberikan wajahmu untuknya?”

 

Irma mengangguk pelan. “Aku masih kecil, tapi aku tahu Ningsih punya kesempatan hidup yang lebih baik kalau wajahnya cantik. Aku sudah kehilangan keluargaku, jadi kupikir… biarlah aku yang menanggung luka. Operasi itu panjang dan menyakitkan. Setelah selesai, Ningsih tumbuh cantik dengan wajah barunya, sementara aku hidup dengan bekas luka ini.”

 

Air mata Irma jatuh lagi. “Aku senang melihatnya bahagia, walaupun dari jauh. Tapi syarat keluarga itu… aku tidak boleh mendekat. Tidak boleh mengungkapkan kebenaran. Mereka ingin Ningsih tumbuh tanpa rasa bersalah. Jadi aku hanya bisa mengawasinya diam-diam.”

 

Azka menunduk, hatinya tersayat. Aldo mengepalkan tangan, marah sekaligus iba.

 

Irma melanjutkan dengan suara bergetar, “Dan ketika Ningsih masuk ke SMA Harapan, aku terkejut. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk melindunginya, walaupun dia membenciku. Aku pikir suatu hari nanti, kalau dia sudah siap, aku akan menceritakan semuanya. Tapi aku terlambat… aku terlalu terlambat.”

 

Tangis Irma pecah. Ia memeluk kalung berlian itu erat-erat, seolah berusaha menggenggam sisa-sisa kenangan. “Dia mati dengan membenciku. Padahal aku… aku memberinya wajahku agar dia bisa hidup bahagia.”

 

Azka tak kuasa menahan air mata. Ia memeluk Irma erat, membiarkannya menangis di bahunya. Aldo berdiri di dekat jendela, menatap langit senja yang perlahan memerah. Dalam hatinya, ada perasaan getir yang tak bisa dijelaskan.

 

Bu Ratna yang sejak tadi mendengarkan hanya bisa menghela napas panjang. “Irma, kau sudah melakukan hal yang luar biasa. Pengorbananmu tak ternilai. Jangan salahkan dirimu.”

 

Namun bagi Irma, kata-kata itu tidak cukup. Luka di wajahnya hanyalah sebagian kecil dari luka yang ia rasakan di dalam hati. Ia kehilangan keluarganya, wajahnya, dan kini juga adik yang selama ini ia lindungi dari kejauhan.

 

Hari-hari berikutnya di sekolah berjalan muram. Tidak ada lagi senyum riang Ningsih, tidak ada lagi persaingan kecil yang mewarnai keseharian. Banyak siswa baru menyadari betapa besar pengorbanan Irma setelah kebenaran perlahan terungkap dari bisikan Bu Ratna dan beberapa guru. Tapi bagi Irma, semua itu sudah terlambat.

 

Ia berdiri di depan makam Ningsih suatu sore, membawa bunga putih. Tangannya bergetar saat meletakkan bunga itu di atas tanah merah.

“Andai saja kamu tahu, Ningsih… wajah cantikmu adalah bagian dari diriku. Aku tidak pernah ingin merebut apa pun darimu. Aku hanya ingin kau bahagia.”

 

Angin sore berhembus lembut, seolah membawa bisikan samar. Irma menutup mata, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.

 

Di kejauhan, Azka dan Aldo berdiri mengawasinya. Keduanya tahu, luka di hati Irma tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Tapi mereka juga tahu, gadis itu lebih kuat dari siapa pun.

 

Langkah Irma perlahan menjauh dari makam. Senja menelan bayangan tubuhnya, meninggalkan kesan getir yang takkan pernah hilang. Cerita ini berakhir dengan sebuah kenyataan pahit, bahwa cinta, pengorbanan, dan kebencian seringkali bercampur dalam satu wajah… wajah yang telah dipertaruhkan demi orang lain.

NB : Jangan lupa follow, like, komentarnya guys.

kalau nggak, cerpen selanjutnya gue ubah berbayar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
wajah kedua
Tulisan Tinta16
Flash
Residu
Jasma Ryadi
Flash
Bronze
Meja Operasi
Nila Kresna
Cerpen
Bronze
Guru BU Ratmi
Christian Shonda Benyamin
Flash
Pasien
Fitri F. Layla
Flash
Bronze
Janin
Bakasai
Cerpen
Bronze
Kematian Di Tanah Rawa
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Pesugihan Makhluk Pemakan Janin
Salim
Flash
Pondok Bulan
Dania Oryzana
Cerpen
Kendhat
Allamanda Cathartica
Novel
Bronze
ARWAH PENJEMPUT KENANGAN (5 Kisah Misteri di Masa Pandemi)
Darryllah Itoe
Cerpen
Bronze
Simfoni Gema Yang Membeku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Rahasia Jurang Sempit Macarge karya Ambrose Bierce penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Cerpen
Pulang
Freya
Cerpen
Tragedi Malam Jumat
Hilmi Azali
Rekomendasi
Cerpen
wajah kedua
Tulisan Tinta16
Novel
PATAHAN
Tulisan Tinta16
Cerpen
INFO LOKER
Tulisan Tinta16
Cerpen
MILIKKU
Tulisan Tinta16
Cerpen
Sakti Instan
Tulisan Tinta16