Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dia membuatku tertarik.
Pada cahaya wajahnya dan pada binaran matanya.
Dia membuatku penasaran.
Pada tatapan matanya yang menyiratkan sesuatu dan pada tingkah lakunya yang aneh.
Dia membuatku kesal.
Pada kepasrahan dan keyakinannya pada takdir mengenai kami.
Aku menunggu...
Menunggu apakah kau dan aku akan benar-benar menjadi kita?
~~~
One – Tingkah Aneh
“Lo udah bikin masalah apa sama pak Ryan?” Tanya Letta setelah menggeser kursinya lebih mendekat pada Adelia. Mereka sedang berada dalam ruang kelas kuliah saat ini, dan sang dosen, Ryan Davis juga masih duduk tenang di mejanya sambil menunggu satu atau dua orang yang bisa menyelesaikan soal yang dia berikan.
Adelia yang sedang fokus mencari jawaban dari soal perhitungan harga pokok penjualan yang dipaparkan melalui powerpoint oleh dosennya itu, seketika mengerutkan keningnya sambil menoleh pada Letta. “Gak ada.” Ujar Adelia lalu kembali pada coretan di kertasnya. Dia sudah mendapatkan harga pokok produksinya, sisa menambahkan biaya lainnya.
“Tapi kenapa dia ngeliatinnya sampe segitunya, sih?” Bisik Letta yang masih betah mengganggu Adelia.
Adelia berdecak pada Letta yang merasa terganggu.
“Ih.. gue serius. Liat aja sendiri.” Kata Letta gemas.
Adelia menurut dan mengarahkan pandangannya pada sang dosen yang tiba-tiba menggerakkan pandangannya ke sekeliling kelas dengan cepat.
Letta yang melihat itu terkekeh. “Bener dugaan gue. Doi salting tuh ketahuan perhatiin lo..”
Adelia mengerutkan keningnya setelah mendengar perkataan Letta. Memang dosennya itu kelihatan seperti salah tingkah. Terbukti dari telinganya yang memerah dan berusaha memperbaiki duduknya dengan tidak tenang.
“Perasaan lo aja kali..” Ucap Adelia sambil mengabaikan itu semua. Mana mungkin dia yang hanya mahasiswi biasa bisa menarik perhatian sang dosen Akuntansinya itu.
“Ck,” Kini giliran Letta yang berdecak. “Oke mau taruhan?”
Adelia menatap Letta dengan bingung. “Gak usah aneh-aneh.” Ujarnya kemudian.
“Gue cuma mau buktiin kalau mata gue gak salah.” Letta menyeringai.
“Terserah..” Kata Adelia memutar bola matanya. Dia ingin fokus saja dengan buku catatannya saat ini, memindahkan coretan perhitungan itu dengan rapi.
“Pak!” Letta tiba-tiba mengangkat tangannya.
“Iya? Kamu udah selesaikan soalnya?” Tanya Ryan dengan tatapan datar.
“Eh bukan saya, pak.” Kata Letta gugup. Dia kan daritadi mengganggu Adelia, bukannya berusaha mencari jawaban dari soal itu. “Tapi Adelia udah selesai, pak.”
Adelia yang mendengar itu menatap Letta dengan kesal. Dia memang sudah menyelesaikan soal itu, tapi sama sekali tidak berniat untuk bilang, apalagi sampai disuruh menjelaskan ke depan sana.
“Oh ya?” Ryan beralih menatap Adelia. “Silahkan maju dan tulis jawabannya di depan, Adelia. Supaya teman-teman kamu bisa liat.” Katanya dengan suara lembut, membuat semua mahasiswa menatap dosennya itu dengan aneh.
Letta semakin menyeringai saja mendengar itu. Ditambah lagi dengan tatapan kesal Adelia yang ditujukan padanya.
“Silahkan.!” Kata Ryan sambil menyerahkan spidol pada Adelia.
Adelia mengangguk dan tersenyum kecil tanpa menatap Ryan. Tangannya yang kecil menerima spidol itu dan mulai menuliskan jawaban di whiteboard.
“Pak..” Panggil Adelia pada Ryan yang masih terpaku menatapnya. Adelia sudah mengerjakan perintah Ryan, namun ketika ingin mengembalikan spidol dan meminta pendapatnya pada pekerjaannya itu, Ryan terdiam sambil menyandarkan pinggulnya ke meja dosen dengan pandangan lurus padanya.
Ryan tersadar saat mendengar suara Adelia. “Udah?”
Adelia mengangguk saja dan kembali ke kursinya. Dia merasa aneh dengan tingkah laku sang dosen.
Ryan menunduk dan tersenyum kecil karena baru saja bertindak aneh. hal itu tidak luput dari pengamatan Letta.
“Baiklah jawaban Adelia sudah tepat. Caranya juga. Kalian bisa catat itu.” Ujarnya sambil melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. “Sepertinya jam saya sudah habis. Kalau begitu jangan lupa kerjakan tugas yang akan saya kirimkan pada ketua tingkat. Sampai jumpa minggu depan..” ujarnya dengan terburu-buru.
Letta yang melihat itu tidak bisa menahan ketawanya. “Pak Ryan kalau lagi salting, lucu juga. Hahaha.”
Adelia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
~~~
“Proposal penelitian kamu udah bagus. Tinggal pertegas latar belakang sama tambahkan penelitian terdahulu.” Kata Bu Maya, dosen pembimbingnya sambil mencoret-coret proposalnya.
“Baik, bu.” Ujar Adelia sambil meringis. Bagaimana tidak? Bu Maya sudah bilang kalau revisinya hanya di bagian latar belakang, tapi coretannya saja sampai di halaman terbelakang. Banyak kertas yang akan menjadi korbannya setelah revisi ini. Belum lagi dia masih harus menghadap pada pembimbing keduanya.
Sepertinya dia harus mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan pembimbing skripsi keduanya. Meskipun Bu Maya sudah menyutujui pengajuan proposalnya dan permohonan untuk melakukan seminar proposal, sangat tidak mungkin Adelia bertemu dengan dosen pembimbing keduanya dengan draft yang penuh coretan ini.
Setelah pamit dan mengucapkan terima kasih, Adelia keluar dari ruang dosen dengan senyum mengembang. Dia merasa bersemangat karena permohonan untuk seminar proposal sudah disetujui, dia tinggal meminta tanda tangan dosen pembimbing keduanya yang biasanya hanya menyetujui tanpa banyak revisi lagi, jika dosen pembimbing pertama sudah menyetujui.
Hal biasa terjadi di kampusnya. Dosen pembimbing pertama biasanya adalah seorang Doctor atau Professor, sedangkan dosen pembimbingnya adalah para dosen muda yang belum bergelar Doctor. Kebanyakan dari dosen muda itu sangat menghargai dosen senior, jadi mereka tidak akan banyak melakukan revisi, terlebih lagi telah direvisi oleh dosen pembimbing pertama. Sebuah taktik yang bagus yang diambil oleh Adelia.
Adelia hendak keluar dari ruang jurusan saat dari kejauhan melihat dosen pembimbing keduanya, Ryan Davis sedang berjalan berdampingan dengan mahasiswa sambil berdiskusi. Entah apa yang didiskusikan oleh mereka Adelia tidak peduli. Dirinya hanya akan tersenyum sopan pada dosennya itu lalu dia akan keluar. Mungkin keesokan harinya dia akan bertemu untuk bimbingan.
Namun belum saja Adelia menarik sudut bibirnya, sang dosen tiba-tiba berhenti. Bahkan gesekan sepatunya dengan lantai menyebabkan bunyi berdecit yang keras. Mahasiswa yang sedari tadi mengikutinya juga mendadak menghentikan langkahnya agar tak menabrak dosennya itu. Kedua tangannya sudah terangkat ke atas.
Adelia menatap heran Ryan yang diam mematung sambil menatapnya. Apa ada yang aneh dengan penampilannya hari ini? atau kah ada sosok kasat mata dibelakangnya yang membuat Ryan terkejut segitunya?
Adelia mengusap tengkuknya merasa merinding dengan tatapan itu. Dia kemudian tersenyum sopan dan langsung berlalu begitu saja, meninggalkan Ryan yang masih menatapnya dalam dan mahasiswa itu yang kebingungan.
~~~
Two – Pisah tanpa Memulai
“Pftt.. hahaha..” suara tawa menggema di sebuah Gedung pernikahan yang ramai. Pasangan kekasih yang duduk dihadapan Adelia ini terlihat sangat menjengkelkan setelah mendengar cerita Adelia tentang makhluk halus di koridor ruang jurusan.
“Mana ada setan di siang bolong, Del. Ada-ada aja.” Ucap Bima di sela-sela tawanya.
“Iya ngaco nih si Adel.” Ujar Letta sambil bangkit dari duduknya.
“Mau kemana, by?” Tanya Bima yang melihat tunangannya berdiri.
“Mau ke toilet bentar.” Kata Letta yang diangguki Bima.
Adelia cemberut menatap Bima. “Gue gak boong kak. Kalaupun gue boong, trus kenapa si pak Ryan nge-rem mendadak gitu kayak liat hantu.”
“Dia suka sama lo kali..” Ujar Bima dengan santai.
Adelia terkejut dengan pendapat Bima. “Mana ada, kak. Ya kali dia suka sama gue yang bukan siapa-siapa.”
“Mau taruhan?” Tanya Bima dengan serius.
Adelia berdecak. “Lo sama aja dengan tunangan lo itu, kak. Ngajak taruhan mulu.”
Bima mengedikkan bahunya. “Ya berarti gue sama Letta emang sepemikiran kalau dosen kalian itu suka sama lo.”
Adelia terdiam memikirkan itu. Apa betul kalau Ryan menyukainya? Tapi memang selama ini selama di dalam kelas ataupun sedang bimbingan, Adelia sering sekali mendapati Ryan yang sedang melamun sambil menatapnya. Itu membuat Adelia bergidik ngeri namun juga tidak bisa menyangkal ada debaran di dadanya saat menangkap tatapan Ryan padanya seperti memuja? Entahlah..
“Siniin hp lo.” Bima mengulurkan tangan kanannya, membuat Adelia bingung.
“Buat apa?”
“Gak usah banyak nanya.” Ujar Bima dengan gemas.
Akhirnya Adelia memberikan ponselnya pada Bima, yang langsung di otak-atik oleh cowok itu.
Bima bangkit dari duduknya dan duduk di samping Adelia. Tangan kanan Bima melingkari bahu Adelia dan tangan kirinya memegang ponsel. “Senyum!” Perintah Bima sambil mengarahkan kamera ponsel untuk memotret mereka berdua.
“Nih udah.” Bima menyerahkan kembali ponselnya pada Adelia. “Buruan jadiin story ig atau wa atau dimana pun itu, yang penting dosen lo itu bisa liat nanti.” Ujar Bima sambil menyeringai.
Adelia menerima itu dengan kening berkerut. Dia paham maksud Bima yang akan membuat dosennya itu jealous. Tapi apakah memang berhasil?
“Gue gak yakin, kak.” Ujar Adelia dengan ragu.
Bima berdecak. “Udah percaya aja sama gue.”
Adelia menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya memilih untuk percaya pada Bima dan menjadikan foto tadi sebagai story Instagram, mengingat dia yang sudah saling follow dengan Ryan.
Ryan sendiri bukan dosen yang mudah akrab dengan mahasiswa. Meskipun begitu, dia memiliki fans yang sangat banyak karena wajah rupawannya dan pesonanya yang bertambah saat mengajar. Adelia yang saat itu mem-follow akun Ryan karena hanya sebatas menghormati, tidak menyangka akan mendapat notification kalau dosennya itu mem-follow back akunnya.
Baru beberapa menit berlalu, sudah banyak direct messages yang masuk ke akun Adelia. Kebanyakan mempertanyakan siapa cowok yang bersamanya itu karena kebetulan Adelia sangat jarang memposting apa pun, terlebih foto berdua dengan cowok.
“Kalian tega banget..” Seru Letta yang baru kembali dari toilet, membuat Adelia meringis karena melupakan sahabatnya itu.
“Kenapa sih, by?” Tanya Bima dengan santai.
“Kenapa mau foto gak ngajak aku.. hua..” dan nangis lah si Letta yang berlebihan hanya karena tidak diajak berfoto bersama.
~~~
“Pak.. hari ini hari terakhir pendaftaran buat sidang tutup. Saya pengen ikut wisuda tahun ini. kalau gak dapet ttd bapak, saya gak bisa ikut dong.” Rengek Adelia. Tanda tangan dari dosen pembimbing satunya sudah dia dapatkan. Tersisa persetujuan dosen pembimbing keduanya yang dia butuhkan sebelum meminta tanda tangan ketua jurusannya.
Yang menjadi masalahnya adalah Pak Ryan Davis ini ‘sangat sibuk’ akhir-akhir ini, ditelfon pun sangat jarang diangkat. Jadinya dia mengikut saja dengan teman yang juga merupakan anak bimbingan dari Ryan yang sudah menghubunginya. Adelia berhasil menghadap, tapi dia yang harapannya akan mendapatkan tanda tangan malah justru diberikan revisi.
“Kerjakan dulu revisi dari saya. Baru saya tanda tangan.” Ujar Ryan dengan dingin sambil menambah coretan yang hampir penuh di skripsi Adelia.
“Pak.. bisa gak revisi nyusul. Saya butuh banget daftar hari ini.” Kata Adelia dengan memohon.
“Kamu berani perintah saya?” Kata Ryan dengan wajah marah.
Glekk
Mati gue.. baru banget liat Pak Ryan semarah ini.. Batin Adelia.
“Bu..bukan gitu maksud saya, Pak.” Ujar Adelia dengan suara bergetar sambil menunduk. Matanya tiba-tiba saja memanas karena bentakan dari Ryan. Padahal selama bimbingan dengan Ryan, Adelia tidak pernah mendapat revisi yang sulit. Kalaupun ada revisi, Ryan akan menjelaskannya dengan lembut dan masalah berkas tanda tangan, dia juga dipermudah oleh Ryan.
“Udah.. kamu mending kerjain yang saya suruh. Silahkan keluar..!” Ryan memijit pelipisnya yang terasa pusing tiba-tiba.
Adelia keluar dari ruangan Ryan dengan mata sembabnya. Gagal sudah rencananya untuk ikut wisuda tahun ini.
~~~
“Jadi cowok yang di story lo itu tunangannya Letta, sekaligus sepupu jauh lo?” Tunjuk Adit, salah satu teman seperjuangannya di bawah bimbingan Ryan, pada Bima yang duduk berdampingan dengan sang tunangan.
Adelia mengangguk dengan raut wajah bingung. Begitupun dengan Bima dan Letta. Pasalnya, Adit secara tak terduga menghampiri meja mereka dan menanyakan pertanyaan itu tanpa berbasa-basi lebih dulu. Mereka saat ini tengah menghadiri acara ramah tamah fakultas mereka, karena besok sudah akan diadakan wisuda.
Yah.. Adelia bisa ikut wisuda besok. Bukan karena Ryan yang berubah pikiran, tapi karena bagian administrasi yang memperpanjang deadline pendaftaran sidang tutup.
“Emangnya kenapa lo tiba-tiba nanya kek gitu, Dit?” Tanya Letta.
Adit menghela napas lelah, lalu menatap Adelia dan Letta bergantian. “Kalian tau kan kalau gue sepupuan sama Pak Ryan?”
Mood Adelia tiba-tiba jelek. Kenapa dosen menyebalkan itu disebut?
“Iya kita tau..” Ujar Letta cepat. Dia merasa penasaran kenapa Adit membahas dosennya itu.
“Gara-gara Adelia bikin story foto berduaan sama cowok, sepupu gue itu jadi emosional.” Kata Adit sambil menatap Adelia.
Brakk
Letta memukul meja dengan semangat, tidak keras namun membuat mereka berempat terkejut. “Firasat gue emang bener. Pak Ryan itu suka sama Adel.” Ujarnya dengan menggebu-gebu.
Adelia memukul pelan lengan Letta. “Gak usah bicara ngaco.” Ujarnya kesal. Kalau memang Ryan menyukainya, Adelia tidak akan mempersulitnya untuk sidang skripsi, belum lagi Ryan yang membantainya habis-habisan saat sidang. Untung saja Adelia menguasai penelitiannya, sehingga dia bisa menjawab semuanya. Bahkan para dosen yang menjadi penguji Adelia pun merasa heran dengan tingkah Ryan itu yang seolah-olah ingin membuat Adelia tidak lulus.
“Tapi emang gerak-gerik Pak Ryan keliatan banget kalau suka sama lo.” Kata Letta ngotot dengan pendiriannya. “Gue bener kan, Dit?”
Adit mengangguk.
“Tuh kan..” Ucap Letta dengan senyum kemenangan sambil menatap Adelia.
“Pak Ryan emang suka sama Adel dari dulu. Pas dia ngajar pertama kali di kelas kita, dia udah naruh perhatian ke Adel.” Kata Adit sambil menatap Adelia yang ragu dengan ucapannya.
“Kayaknya lo salah deh, Dit.” Ucap Adelia.
Adit menggeleng. “Pak Ryan sendiri yang cerita sama gue, Del. Gimana dia suka banget sama lo.” Adit menghela napas. “Gue tau seharusnya gue gak ngomong kek gini ke lo. Seharusnya Pak Ryan sendiri yang bilang. Tapi orang itu yang katanya udah dewasa dan pinter, nyatanya gak lebih baik dari anak SMA yang tau maunya apa dan gimana caranya bertindak.”
“Maksudnya?” Tanya Adelia dengan bingung.
“Dia udah suka pake banget ke elo. Tapi gak berani buat bilang itu. Pas liat story lo itu, dia gak ada niatan buat cari tau siapa cowok yang foto bareng lo. dia bahkan dengan bodohnya nge-iyain perjodohan yang udah diatur sama Om.” Kata Adit dengan tatapan bersalah. Dia bisa menduga kalau Adelia punya sedikit perasaan untuk sepupunya itu.
“Jadi dia mau nikah?” Bisik Adelia dengan perasaan tak nyaman.
Adit mengangguk masih dengan tatapan kasiannya pada Adelia.
“Kenapa lo bilang ke kita?” Tanya Letta dengan dingin dan pandangan menusuk pada Ryan yang saat ini memberikan kata sambutan sebagai perwakilan alumni fakultas mereka.
Adit mengikuti arah pandang Letta. “Gue Cuma mau minta bantuan Adel. Kalau dia suka sama sepupu gue itu, gue bakal bantuin kalian buat Bersatu.” Ucap Adit sambil menatap Adelia memohon. “Gimana, Del?”
Adelia menimbang-nimbang tawaran Adit. Dia memang menyimpan perasaan yang sama untuk Ryan. Tapi dia jujur saja ragu.
“Jangan, Del.” Bima yang sedari tadi diam, tiba-tiba bersuara dengan nada dingin. “Dia Cuma punya perasaan sama lo, gak mau berkorban sama sekali. Jangan buang-buang waktu lo buat orang yang gak mau perjuangin cewek berharga kayak lo.”
“Bener.” Sahut Letta dengan dingin. “Lo berharga, Del. lo pantes dapet laki-laki yang lebih baik.”
Adit terdiam dan memejamkan matanya. Ucapan Bima dan Letta benar, Adit sama sekali tidak bisa menyelanya ataupun membela sepupunya.
Sementara Adelia? Dia juga terdiam, membenarkan ucapan Bima dan Letta. Pandangan matanya menangkap Ryan yang sedang menatapnya dalam dari kejauhan, seperti dulu. Namun kali ini, Adelia membalas tatapan itu dengan kecewa.
Good bye.. Batin Adelia, lalu kemudian membuang muka.
~~~
Three – Tidak Lagi Sama
Adelia tertawa lirih saat explore instagramnya terdapat video lucu. Dia menatap ke sekeliling dengan canggung untuk meyakinkan kalau para petugas administrasi masih dengan kegiatan mereka. Syukurlah kalau mereka tidak terganggu akibat tingkah aneh Adelia yang asyik menikmati hiburan di social medianya.
Scroll.. scroll.. and.. DEG
Jari Adelia membeku saat layar ponselnya menampilkan sebuah foto bayi lucu. Tapi anehnya, dada Adelia terasa sesak. Air matanya memaksa ingin keluar.
Tidak ada yang salah dari foto bayi itu. Yang salah hanya ada pada sang pengirim foto.
Ryan Davis
Sudah dua tahun berlalu.. dosen tampannya itu sudah punya anak saja. Sedangkan Adelia masih betah dengan kesendiriannya kali ini.
Bohong kalau Adelia tidak memiliki perasaan untuk Ryan. Hampir satu tahun mereka berinteraksi sebagai dosen pembimbing dan mahasiswa, membuat perasaan itu tumbuh di hati Adelia. Terlebih lagi perlakuan Ryan pada Adelia yang berbeda dengan mahasiswa bimbingannya yang lain.
Ryan terkenal ketus dan serius di kalangan mahasiswa. Namun entah kenapa berbeda dengan Ryan Davis yang dikenal Adelia. Seperti yang dikatakan Adit waktu itu, Ryan menyukai Adelia. Entah apa yang ada pada diri Adelia yang membuat Ryan menyukainya.
Tapi sayang.. Ryan hanya sebatas menyukainya. Tidak ada inisiatif dari Ryan agar hubungan mereka lebih dekat. Padahal jika Ryan berani sedikit saja untuk mengungkapkan perasaannya pada Adelia, mungkin mereka sekarang yang kini menikah dan punya anak lucu-lucu.
Ah sudahlah.. Adelia mendesah lelah. Mungkin sudah takdirnya untuk mereka berdua tidak bersama. Lagipula bukan sepenuhnya salah Ryan juga. Adelia dan Bima juga salah dalam hal ini. Adelia terlalu menurut pada rencana Bima untuk memancing Ryan. Tetapi bukannya malah terpancing, dia justru menjauh.
“Hey..”
Tepukan pelan di bahu Adelia, membuatnya terlonjak. Dia kemudian menatap tajam Letta yang tersenyum senang karena berhasil mengagetkannya.
“Kaget tau..”
Letta duduk di sebelah Adelia. “Udah tau pembimbing tesis lo?”
Adelia menggeleng. “Belom tau. Bu Ria masih istirahat.” Adelia mengedikkan bahu. Setelah kelulusan Sarjananya, dia memang langsung mendaftar Magister di tahun yang sama dan di Universitas yang sama. Dia tidak perlu mengkhawatirkan Ryan, karena dosen itu masih bergelar Magister. Dosen yang mengajar di tingkatan S2 wajib bergelar Doktor aka S3.
Letta mengangguk, lalu kemudian mendekatkan tubuhnya mendekat ke Adelia. Wajahnya terlihat serius. “Lo tau gak sih..”
Adelia mengangkat satu alisnya. “Apaan?”
“Pak Ryan udah ujian promosi Doktor bulan lalu, dan kabarnya bakal ikut jadi tim pembimbing tahun ini.” Ujar Letta dengan pelan.
“Trus?” Tanya Adelia tidak peduli.
Letta berdecak. “Pak Ryan tuh Dosen Akmen, trus lo ngambil peminatan Akmen juga. Yah bisa jadi kalian bakal disatuin lagi jadi Mahasiswa dan dosen pembimbing.”
Adelia ketar-ketir mendengar itu. namun dia berusaha berpikir positif. “Peluangnya gak besar kali, Ta. Dosen Akmen kan banyak. Gak cuma dia doang.” Yah.. Dosen Akuntansi Manajemen bukan hanya Ryan Davis saja. Masih banyak dosen-dosen Akuntansi senior di PPS Universitasnya ini.
Letta mengangkat kedua tangannya dan mengepalkannya. “Semoga aja, yah..”
Letta berdoa dengan tulus. Dia tau bagaimana patah hatinya sahabatnya ini saat tau kalau mereka, Adelia dan Ryan, memiliki perasaan yang sama. Namun tidak ada diantara mereka yang ingin memperjuangkan perasaannya.
“Adelia Cassandra..”
Letta menyikut pelan lengan Adelia saat mendengar nama sahabatnya terpanggil. Adelia yang tadinya melamun, tersentak pelan. Dia bergegas menuju counter dimana nama Bu Ria tertulis disana.
“Saya bu..”
Bu Ria mengangguk pelan dan menyerahkan selembar kertas yang bertuliskan SURAT KETETAPAN PEMBIMBING TESIS pada Adelia.
“Tolong kamu fotocopy lima rangkap, yah! Habis itu bawa kembali kesini buat di stempel.” Ujar Bu Ria.
Adelia mengangguk. “Baik, Bu.”
Adelia berjalan keluar dari ruangan administrasi sambil menenteng kertas itu di tangan kirinya. Letta mengikutinya dari belakang. Dia merasa penasaran dengan nama dosen yang tertera di SK Pembimbing Adelia.
“Gue pengen liat..” Letta menghentikan langkah Adelia sesaat mereka hampir mencapai ruang fotocopy. Tangan kanannya merebut kertas itu dari Adelia, membuat Adelia berdecak. Mata Letta dengan serius menelusuri isi dari kertas itu.
Perasaan tak enak langsung dirasakan oleh Adelia saat melihat raut wajah Letta yang masam. Dia tidak ada pikiran untuk melihat isi suratnya tadi. “Ta.. jangan bilang..”
“Selamat, Del. Lo bakal tersiksa selama bimbingan kali ini..” Ujar Letta sambil menyerahkan kembali kertas itu pada Adelia.
Adelia mengambilnya dan menulusuri isi suratnya. Tubuhnya terasa lemas saat untuk yang kedua kalinya mendapati nama Ryan Davis di SK Pembimbingnya.
“Apa takdir mau nyiksa gue lagi, Ta?” Muramnya.
~~~
Selamat siang, pak. Saya Adelia selaku mahasiswi bimbingan bapak. Saya mau bimbingan tesis, apa bapak ada waktu hari ini?
SEND
Pesan itu dikirim Adelia dengan perasaan yang sangat gugup. Meskipun tanpa menuliskan namanya, dia yakin Ryan akan tahu bahwa pesan itu berasal darinya. Mereka masih saling menyimpan nomor kontak sampai saat ini.
Dua bulan telah berlalu sejak Adelia mengetahui bahwa Ryan adalah dosen pembimbing tesisnya. Selama periode tersebut, dia hanya berkomunikasi dengan pembimbing pertamanya, mengulang strategi yang pernah dia lakukan saat bimbingan skripsinya. Ini bukan hanya untuk efisiensi waktu, tetapi juga sebagai upaya untuk menunda pertemuan langsung dengan Ryan.
Adelia menyadari bahwa dia perlu menenangkan hatinya sebelum bertatap muka dengan Ryan. Meskipun dia tahu bahwa Ryan sudah memiliki istri dan anak, rasa gugup dan harapan tetap menyelip di dalam hatinya. Maka dari itu, Adelia ingin memastikan bahwa saat interaksi mereka nanti, dia dapat mengendalikan perasaannya dan tidak kembali berharap.
Tak butuh waktu lama untuk Ryan membalas pesannya. Pria itu mengatakan kalau dia ada waktu sekarang, dan meminta Adelia untuk datang ke ruangannya. Masih ruangan yang sama dengan yang dulu.
Saat ini, Adelia berada di Gedung rektorat. Pembimbing pertamanya merupakan sebuah auditor internal di Universitasnya. Sehingga ruangannya berada di Gedung ini. Yang menjadi masalahnya adalah ruangan Ryan Davis berada di kampus dua, tepatnya di Gedung fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang dimana jaraknya lumayan jauh dari Gedung rektorat ini. Adelia butuh kendaraan untuk kesana.
Saya segera kesana, pak.
SEND
Dengan cepat Adelia membalas pesan dari Ryan dan memesan ojol. Dalam perjalanan dia mencoba menenangkan jantungnya yang terus saja berdebar. Dia merutuki dirinya yang tidak tau malu masih menyimpan rasa untuk suami orang.
Masih teringat jelas di kepalanya cara Ryan memperlakukannya dengan lembut. Pria itu begitu sabar membimbingnya hingga skripsinya bisa selesai dengan nilai sempurna.
Seharusnya Adelia tidak perlu khawatir saat bertemu dengan dosen yang terkenal killer itu. Adelia hanya harus mengontrol dirinya agar tidak terlalu terbawa perasaan. Dia harus menganggap Ryan sebagai dosen yang hanya bisa dikagumi tanpa bisa dimiliki. Seperti yang dilakukan mahasiswi lainnya.
Namun.. kalimat semua tidak lagi sama, berlaku untuk Adelia saat ini. Ryan memperlakukannya dengan lembut dulu karena memang memiliki rasa untuknya. Sekarang, Adelia sama seperti mahasiswi biasa lainnya.
Brakk
Adelia tersentak saat kepalan tangan Ryan memukul tesisnya. Wajah pria itu terlihat kesal dan Adelia sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya untuk melihat itu.
“Kamu pikir pendapat saya tidak penting? Jangan kamu kira saya baru saja dapat gelar Doktor, lantas kamu seenaknya begini. Kamu benar-benar tidak menghargai saya..”
Glekk
Adelia kesulitan menelan liurnya. Sebutan kejam memang pantas untuk Ryan.
Emangnya gak bisa sama lagi, ya? Batin Adelia sedih.
~~~
Four – Menjadi Rumor
“Mulai besok, kamu dateng lagi kesini. Kerjain revisi kamu disini. Saya gak mau dinilai gak kompeten sama dosen-dosen lain kalau tau tesis kamu lolos.”
Ucapan Ryan kemarin masih terngiang-ngiang di kepala Adelia. Terdengar berlebihan memang. Tapi Adelia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan, karena dari awal Adelia yang salah. Wajar kalau Ryan bersikap begitu.
Adelia duduk di kursi tunggu di depan ruangan Ryan setelah mengecek kalau si empunya belum datang. Dia memainkan ponselnya sembari menunggu.
Beberapa saat kemudian, Ryan datang dan membuka pintu ruangannya. Adelia bergegas berdiri dan menunggu Ryan selesai.
Sekilas, Adelia sempat melihat sebuah seutas senyum dari Ryan. Senyum itu muncul begitu cepat sehingga Adelia tidak terlalu yakin apakah dia benar-benar melihatnya. Sepertinya Ryan menyembunyikan senyumannya dengan sengaja, seolah tidak ingin Adelia mengetahui apa yang ada di balik senyumnya yang singkat itu.
“Masuk!” Perintah Ryan. Adelia mengangguk dan ikut masuk ke ruangannya.
Ryan meletakkan tas laptopnya ke atas meja kerjanya. Lalu kemudian melepas jaket yang digunakannya dan disampirkan ke kursi. Setelahnya, dia duduk di kursi kebesarannya.
“Kenapa gak duduk?” Tanya Ryan saat melihat Adelia berdiri mematung di dekat pintu. Gadis itu terlihat ragu menatapnya.
“Ah iya, pak.” Tidak ada sofa yang biasanya diletakkan di ruang kerja. Satu-satunya kursi yang tersedia adalah tepat dihadapan Ryan. Dengan perasaan tak yakin, Adelia duduk disana dan mengeluarkan laptopnya, seperti yang dilakukan oleh Ryan.
Suasana canggung begitu dirasakan oleh Adelia. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan oleh Ryan. Pria itu sibuk dengan laptopnya, seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Padahal kemarin Ryan sendiri yang menyuruh Adelia untuk mengerjakan revisinya di sini. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada revisi yang diberikan oleh Ryan untuk dikerjakan oleh Adelia.
Adelia menggigit bibirnya. Dia merasa ragu untuk bertanya. Adelia mulai merasa ragu. Dia menggigit bibirnya, bimbang untuk memulai percakapan. Tapi jika tidak bertanya, Adelia akan merasa tercekik dengan suasana canggung ini.
“Kenapa kamu?” Tanya Ryan yang melihat gelagat gelisah dari gadis di hadapannya.
“Eh.. a.. anu, pak. Saya belum tau revisi saya yang mana.” Cicit Adelia yang sempat bertatapan dengan Ryan, namun segera dialihkannya. Tatapan Ryan sangat dalam, bisa-bisa dia tenggelam.
Selama beberapa saat, Ryan hanya diam sambil menatapnya. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Adelia terlalu takut untuk menduga-duga.
“Pak..” Panggil Adelia yang membuat Ryan mengerjapkan matanya, seolah tersadar dari lamunan.
“Ah iya. Coba kamu kirim file draft proposal tesis kamu ke WhatsApp saya.”
Adelia mengangguk dan segera melakukan sesuai perintah Ryan, mengirim file tesisnya ke pria itu. Setelah Ryan menerimanya, kegiatan revisi pun dimulai. Sang dosen pembimbing menjelaskan dengan tuntas apa yang perlu direvisi dari tesis itu, sementara Adelia mendengarkan dengan fokus.
Jika Ryan yang terus mencuri pandang pada Adelia saat menjelaskan, beda dengan Adelia yang menatap lurus layar laptop miliknya. Dia merasakan tatapan itu dan berusaha mengabaikannya. Sekali lagi Adelia takut tenggelam pada netra berwarna coklat bening itu.
“Saya kira itu cukup, kamu bisa kerjain itu dulu lalu yang lain nyusul.” Ujar Ryan dengan santai.
“Baik, pak.” Adelia mengangguk saja. Tetapi dalam hatinya dia frustasi. Revisi tadi sangat banyak dan terdengar susah bagi Adelia, yah walaupun tidak mengganggu hasil dari revisi pembimbing pertamanya.
“Dan itu juga.. saya pengen tesis kamu punya referensi dari jurnal internasional. Minimal sepuluh yah.. kalau kamu susah dapetinnya, nanti saya kirimin.” Lanjut Ryan.
Adelia menganga. Jurnal internasional itu full English, dimana Adelia tidak terlalu paham Bahasa itu. Apalagi disuruh untuk menganalisisnya satu persatu. Orang dihadapannya ini benar-benar.
Ryan mengulum bibirnya melihat ekspresi gadis itu. Entah kenapa wajah frustasinya sangat menarik. Dia jadi menyesal dulunya bersikap lembut dan tidak tegaan. Dia jadi terlambat menikmati perubahan ekspresi Adelia yang beragam.
“Kamu bisa lanjut kerja revisi setelah makan siang.” Ujar Ryan. Adelia mengangguk. “Mau makan siang apa? Saya yang pesan.”
“Eh gak usah, pak.” Adelia buru-buru mencegah sebelum Ryan ikut memesankannya makanan. “Saya bisa makan siang di luar.”
“Bareng siapa? pacar kamu?” Nada bicara Ryan terdengar ketus.
Adelia menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Eh saya sendiri, pak.” Lagian kenapa kalau bareng pacar gue? Lanjutnya dalam hati.
Ryan berdecak. “Kalau sendiri, ngapain harus makan di luar. Kamu makan siang disini aja. Takutnya nanti kamu malah kabur dan gak lanjut revisi.”
Adelia tercengang. Dia tidak tau harus berkata apa untuk menolak tawaran Ryan. Untuk itu, dia akhirnya menganggukkan kepalanya terpaksa.
Ryan tersenyum tipis. “Saya pesenin sushi aja, gimana?”
“Terserah bapak aja.”
~~~
“Eh.. eh.. itu kan cewek yang selalu ada di ruangannya pak Ryan, kan?”
“Ih iya bener. Istrinya kah?”
“Kayaknya bukan deh. Istrinya pak Ryan, dokter. Cantik lagi.”
“Trus.. trus itu siapa dong?”
“Selingkuhannya pak Ryan?”
“Ih bisa jadi. Denger-denger, Pak Ryan cere kan?”
“Berarti dia PELAKOR dong?”
Adelia merasa tidak nyaman. SANGAT AMAT TIDAK NYAMAN. Sejak awal dia duduk di kantin fakultas, suara bisikan dan gosip tentangnya menjadi bahan perbincangan di antara mahasiswa dan dosen-dosen. Bukan hanya hari ini, tetapi sudah berlangsung sejak dia mulai menjadi salah satu penghuni ruangan Ryan Davis dua minggu ini.
Dirinya selalu dikaitkan dengan penyebab perceraian Ryan dengan mantan istrinya. Meskipun Adelia hanya menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa pascasarjana, namanya terus digunakan sebagai bahan spekulasi. Dia merasa tidak adil karena tidak pernah berniat merusak hubungan rumah tangga orang lain.
Meskipun dia juga memiliki perasaan untuk Ryan, Adelia berusaha sekuat mungkin untuk membatasi dirinya. Dia sadar kok, kalau menjadi PELAKOR itu tidak baik. Tapi kalau rumor tidak benar ini sudah merusak namanya, tidak ada jalan lagi baginya untuk menghindar dari segala penyebab rumor itu.
Setelah makan siang, Adelia memang harus kembali ke ruangan Ryan. Seperti biasanya, dia akan mengerjakan revisinya disana. Dia berungkali meminta untuk mengerjakan revisinya di rumah. Tapi Ryan seakan tidak ingin melepasnya dengan dalih hukuman karena tidak menghargainya. Kali ini, Adelia merasa tidak bisa lagi diam dan menerima keputusan itu begitu saja.
“Kenapa muka kamu kayak gitu?” Tanya Ryan dengan heran saat melihat wajah masam Adelia yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Gadis itu tidak menjawab dan justru mulai mengemasi barang-barangnya.
“Mau kemana kamu? Revisi hari ini belum selesai.” tambah Ryan, mencoba untuk menarik perhatian Adelia.
Adelia mendengus. Persetan dengan segala sopan santun. Dia tidak akan membiarkan nama baiknya tercemar lebih lanjut. “Tanpa mengurangi bentuk hormat saya, pak. Saya tidak bisa lagi terus disini dengan nyaman. Saya mohon ijin kerja revisi di rumah, atau saya gak segan buat laporin bapak atas penyalahgunaan wewenang.” Ujar Adelia dengan mata melotot kesal.
Ryan terdiam. Dia menyadari bahwa tidak akan berhasil menghalangi Adelia yang terlihat sangat kesal. Beberapa hari belakangan ini, melihat wajah Adelia yang sering berkeliaran di ruangannya memberikan kebahagiaan tersendiri. Moodbooster-nya berada di dekatnya, dan itu membuat atmosfer di ruangan menjadi lebih tenang.
Tapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada Adelia. Ryan merasa harus mencari tahu.
~~~
Five – Tentang Kita
Adelia mengerutkan keningnya saat membaca pesan dari Ryan. Pria itu memberitahu bahwa proposal tesisnya telah disetujui, artinya, Adelia bisa mengajukan seminar proposal. Namun, tentu saja, hal ini belum bisa terealisasi hingga Adelia mendapatkan tanda tangan dari dosen pembimbingnya.
Rasanya aneh saat Ryan menyetujui pengajuannya. Revisi dari pria itu sangat banyak. Pria itu sangat perfectionist. Adelia merasa sangat stres mencoba memenuhi standar tinggi yang diajukan olehnya. Namun, sekarang, hanya karena ancaman untuk melaporkan ke Dekan, Ryan mau menurunkan standarnya? Adelia merasa ada yang tidak beres.
"Wow.. kalau gitu, udah dari dulu gue ancem aja." gumam Adelia. Jadi reputasinya tidak akan buruk di mata mahasiswa dan dosen-dosen lain.
Gosip murahan yang menyebutnya sebagai pelakor telah menyebar luas di seluruh kampus, bahkan di Program Pascasarjana tempatnya belajar. Nama Adelia menjadi bahan pembicaraan di antara mahasiswa dan dosen-dosen lainnya.
“Kenapa, Del?” Tanya Letta yang duduk dihadapannya. Mereka berdua tengah hangout di Mall.
“Pak Ryan ACC proposal gue.”
“Tiba-tiba?”
Adelia mengedikkan bahunya. Dia juga tidak tahu.
“Pak Ryan itu bener-bener deh. Gak pekanya keterlaluan.” Sungut Letta sambil menyeruput minumannya.
Adelia mengangguk setuju dengan ucapan Letta yang mengatakan kalau Ryan itu sangat amat tidak peka.
“Trus gimana? Lo mau ke kampus?” Letta menatap Adelia yang menghembuskan napasnya dengan kasar.
“Gue kok trauma ke kampus, yah?” Adelia terkekeh.
“Yah.. siapa coba yang nyaman ke kampus kalau udah dituduh jadi selingkuhan dosen?” Ucap Letta dengan kesal.
Adelia tidak berkomentar apa pun. Dia mengambil ponselnya dan hendak membalas pesan Ryan untuk menanyakan keberadaannya, namun pria itu justru menelfonnya. Mau tak mau, Adelia harus menjawabnya.
“Halo, pak?” Ujar Adelia dengan lembut.
“Lia.. saya ada di MindHub. Kalau mau tandatangan, kamu kesini sekarang. Saya ada urusan lain setelah ini.” Ucap Ryan diseberang telfon.
Adelia mendesah lega. Untungnya Ryan mengajaknya bertemu di tempat lain, bukannya di ruangan pria itu. sepertinya pria itu sudah menyadari kalau banyak gossip buruk beredar di antara mereka.
“Baik, Pak. Saya akan segera kesana,” jawab Adelia.
“Pak Ryan?” Tanya Letta.
Adelia mengangguk. “Dia nyuruh ke MindHub kalau gue pengen minta tandatangan.”
Letta menyeringai. “Ternyata doi gak sejahat yang gue kira.”
Adelia hanya diam. Tapi tangannya sibuk mengemasi barang-barangnya. Untung saja dia selalu membawa berkas pentingnya kemana-mana. Jaga-jaga saja kalau hari ini akan datang.
“Gue pergi yah. Sorry gak bisa nemenin lo jalan lagi.”
Letta mengangguk. “Don’t worry, beb.”
Adelia berterimakasih karena Letta memakluminya. Setelah berpamitan, Adelia memesan ojol sembari berjalan ke lobby mall.
Seharusnya, memiliki kendaraan pribadi adalah prioritas Adelia sekarang. Ada tiga tempat dengan jarak yang lumayan jauh yang sering dikunjunginya selama mengerjakan tesis ini. Selain Gedung Rektorat dan Fakultas FEB, tempat yang lain adalah Gedung Program Pasca Sarjana (PPS), tempat Adelia belajar selama dua tahun ini. Tempat yang menjadi alasan Adelia dan Ryan tidak pernah bertemu.
Namun sayangnya, Cassian, abang kesayangan Adelia, melarang keras Adelia untuk mengendarai mobil sendiri. Alasannya? Yah.. berhubungan dengan kecelakaan empat tahun yang lalu. Sungguh abang yang sangat overprotective.
Adelia membutuhkan waktu selama tiga puluh menit untuk sampai ke MindHub. Sebuah Café yang tempatnya tak jauh dari kampus dua Universitasnya. Tempat yang tepat untuk para mahasiswa belajar dan berdiskusi karena suasananya yang cozy.
Adelia celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Ryan. Setelah menemukannya, bukannya langsung menghampiri, Adelia justru terdiam di tempatnya berdiri. Dia merasa ragu untuk mendekat karena Ryan tidak sendiri. Ryan tengah duduk bersama seorang Wanita. Mereka tampak akrab bersama, membuat Adelia tak yakin kalau ini waktu yang tepat untuk mendistraksi mereka.
Ryan yang menyadari Adelia berdiri mematung tak jauh dari mejanya, memberi kode dengan tangan agar gadis itu mendekat. Adelia memperhatikan gerakan tangannya yang lembut, dan meskipun ragu, dia memutuskan untuk mendekati mereka.
Dengan langkah yang hati-hati, Adelia mendekati meja tempat Ryan dan wanita tersebut duduk. Saat dia mendekat, Ryan menyambutnya dengan senyuman, dan wanita di sebelahnya menoleh, memperhatikan kedatangan Adelia.
"Hai, Lia. Ini mantan istri saya, Karen. Karen, ini Adelia, mahasiswi saya," ujar Ryan.
Adelia tersenyum canggung. Dia tidak mengerti mengapa Ryan memperkenalkannya pada mantan istrinya itu.
Karen menatap Adelia dengan tatapan menilai, membuat Adelia tidak nyaman dengan itu.
“Oh jadi ini selingkuhan kamu itu?” Ucap Karen dengan sinis.
Adelia terdiam, terkejut dengan tuduhan itu. Dia baru saja datang, bahkan belum dipersilahkan duduk, namun ditodong dengan tuduhan yang tak menyenangkan.
“Karen..” Tegur Ryan dengan tegas.
“Why? Aku cuma mau tau dia tepat gak buat kamu dan Bryan.” Ucap Karen membela dirinya.
“Tapi kamu gak perlu kayak gitu. Dia gak nyaman jadinya.” Ujar Ryan.
Adelia menatap mereka pikiran berkecamuk. Lama-lama dia juga muak berada di tengah-tengah pertengkaran mantan pasangan suami istri ini. Trus apa coba maksudnya mengatakan Adelia pantas dan tak pantas buat Ryan dan Bryan? Bryan itu siapa lagi?
“Maaf menyela. Saya kesini Cuma mau minta tandatangan anda, Pak Ryan. Bukan buat dituduh macam-macam begini. Kalau misalnya bapak gak bisa sekarang, saya minta waktunya di lain hari saja. Saya permisi.” Kata Adelia dengan raut wajah datar.
“Tunggu, Lia.” Ryan bergegas berdiri dan menahan tangan Adelia saat gadis itu akan pergi. Wajahnya memelas menatap Adelia, setelah melemparkan tatapan peringatan pada Karen.
“Tolong lepasin, Pak. Saya tidak mau ada gossip jelek tentang saya lagi.”
Ryan sontak melepas tangan Adelia saat mendengar itu. Adelia terlihat sangat kesal. Ryan itu tidak peka atau tidak peduli dengan gossip yang melibatkan mereka berdua?
Sayangnya Adelia sangat peduli. Kalau bukan karena kepentingan tesisnya, dia juga ogah berurusan dengan Ryan. Apalagi dikait-kaitkan dengan penyebab perceraian Ryan dengan mantan istrinya.
“Lia, maafkan saya. Saya cuma mau menjelaskan sesuatu sama kamu.” ucap Ryan dengan wajah yang penuh penyesalan.
Adrelia hanya menatapnya dengan datar.
“Kamu duduk dulu.” Ujar Ryan. Dia akhirnya menghela napas lega saat Adelia menurut. Dia juga ikut duduk di samping Karen, berhadapan dengan Adelia.
“Pertama saya mau bilang kalau kamu gak ada hubungannya dengan perceraian saya dengan Karen. Itu semua murni karena kami memang gak punya perasaan. Hati kita masing-masing tertuju sama orang lain.” Ucap Ryan.
“Bilang itu sama orang-orang, Pak. Saya memang gak pernah ngerasa merusak rumah tangga orang.” Ujar Adelia dengan ketus.
“Saya tau itu.” Ryan menghela napas kasar, lalu menatap Adelia dengan tatapannya yang biasa.
Ryan mencoba menjelaskan lebih lanjut, "Alasan saya membawa Karen bicara dengan kamu adalah karena dia merasa perlu memberitahumu langsung tentang situasi kami. Dia ingin memastikan tidak ada kesalahpahaman di antara kita, terutama setelah rumor mulai menyebar."
Adelia masih terlihat cuek, "Tapi, Pak Ryan, saya bukan bagian dari urusan pribadi Anda. Saya hanya ingin menyelesaikan tesis dan tidak terlibat dalam masalah keluarga anda."
“Ini bukan masalah pribadi ataupun masalah keluarga saya, Lia. Ini tentang kita.”
Adelia mengerutkan keningnya bingung. “Saya dan bapak?” Tanyanya ragu.
Ryan mengangguk. “Saya gak mau buang-buang waktu lagi. Saya berencana melamar kamu.”
Adelia tidak bisa mengontrol ekspresinya. Dia benar-benar terkejut.
~~~
Six – Penjelasan tak Berarti
Adelia pura-pura batuk untuk menenangkan dirinya. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa gugup saat mendengar Ryan memiliki rencana untuk melamarnya.
“Kayaknya kamu terlalu terang-terangan, Yan.” Karen terkekeh sinis. “Dia jadi canggung.”
Ryan melirik sekilas pada Karen dan menatap Adelia. Karen benar, Adelia jadi menghindari tatapan matanya.
“Maaf kalau saya kesannya buru-buru, tapi saya yakin dengan perasaan saya ke kamu, dan saya gak mau kamu diambil orang.” Ujar Ryan.
Adelia menatap Ryan dengan takut. Pria ini apa tidak tau kondisi? Mantan istrinya ada di tengah-tengah mereka, loh. Masa iyya ngelamar kayak gitu.
Karen memutar bola matanya malas. Dia juga berpikiran sama seperti Adelia. Ryan tidak ada romantis-romantisnya sama sekali.
“Gimana, Lia? Kamu mau kan?” Desak Ryan, membuat Karen berdecak gemas.
Adelia mengeratkan pegangannya pada tali tas selempangnya. Jantungnya tidak berhenti berdetak kencang. “Yah.. saya gak tau, pak. Ta.. ehem.. tanya aja sama ibu dan abang saya.” Jawab Adelia dengan gugup.
Masih dengan tatapan dalam andalannya, Ryan tidak mengatakan apa pun. Adelia semakin tidak nyaman. Sepertinya rencana untuk meminta tandatangan Ryan saat ini bukanlah waktu yang tepat.
“Sa.. saya pamit dulu, pak. Permisi..”
Tanpa menunggu jawaban, Adelia buru-buru pergi dari sana. Meninggalkan kedua orang yang tercengang melihat aksinya.
“Kamu terus terang banget. Jadi kabur kan anak orang..” Karen terkekeh geli. Sementara Ryan menyugar rambutnya untuk menahan rasa gemasnya pada Adelia.
~~~
Gila gila gila
Adelia tidak berhenti mengumpat dalam pikirannya sejak tadi. Ryan adalah orang tergila yang pernah dikenalnya. Bagaimana bisa dosen pembimbingnya itu benar-benar datang menemui keluarganya dengan alasan ingin melamarnya. Bahkan ini belum ada dua puluh empat jam sejak kejadian di MindHub.
Kalau saat waktu lunch, Ryan bilang akan melamarnya, dan saat ini waktu dinner, pria itu sudah duduk berhadapan dengan Ibu Diana, Cassian dan Aveline di ruang tamu rumahnya. Tidak hanya itu, Ryan juga memboyong pasutri, Daniel dan Laura, untuk menemaninya kesini.
Satu lagi fakta tentang Ryan. Ternyata dospemnya itu adalah sepupu dari Laura, istri Daniel yang merupakan abang tiri Adelia. Sungguh hubungan yang saling terkait. Apa ini yang dimaksud jodoh? Eh?
“Gimana, Del?” Tanya Ibu Diana meminta pendapat Adelia yang sedari tadi menunduk dan berusaha untuk menenangkan debaran menggila pada jantungnya.
Adelia mendongak dan menatap satu per satu orang disana dengan tak yakin. Ibu Adelia, yang tak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya, memandang Adelia dengan tatapan penuh harap. Sementara itu, abang dan kakak iparnya mencoba menahan tawa melihat reaksi Adelia yang kaku dan kewalahan.
“Ehmm.. kalau boleh, saya minta ijin buat bicara sebentar dengan Adelia.” Izin Ryan yang diangguki ibu Diana.
Setelah mendapat izin, Ryan mengajak Adelia untuk berbicara di halaman depan rumah Adelia. Cassian dan Daniel menatap keduanya dengan tatapan penuh peringatan.
“Jangan sampe nyosor. Kalian belum tentu menikah..” Celetuk Cassian yang dihadiahi cubitan kecil di pinggangnya oleh Aveline.
“Bener tuh. Jangan sampe kebablasan.” Ucap Daniel. Meskipun dia datang sebagai pendamping lamaran Ryan, Adelia tetap adiknya.
Laura yang mendengar ucapan Daniel, ikut mencubit pinggang Daniel. “Biarin mereka bicara, sih.” Ujarnya dengan sebal.
Daniel meringis.
Sementara itu di taman halaman depan, Ryan menuntun Adelia duduk di bangku yang tersedia. Wajah Adelia tampak bersemu dan malu-malu, membuat Ryan menggigit pipi dalamnya karena menahan gemas.
Ryan memulai pembicaraan dengan lembut, "Maafin saya jika semuanya terasa begitu mendadak. Saya tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi seperti yang saya bilang tadi, saya gak mau kamu diambil orang lain.”
Adelia mengangkat wajahnya, mencoba menemukan jawaban di mata Ryan. "Pak Ryan, ini begitu... tiba-tiba. Saya rasa butuh waktu untuk memproses semuanya. Saya juga butuh penjelasan dari bapak.”
Ryan meraih tangan kiri Adelia dan menggenggamnya. Dia menatap Adelia dengan serius. “Penjelasan apa yang mau kamu dengar??”
“Semuanya.. perasaan bapak pada saya dari awal.”
Ryan menarik napas untuk memulai berbicara. “Saya sudah suka sama kamu sejak pertama kali kita berinteraksi sebagai dosen dan mahasiswa. Bukan suka tapi cinta. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama pada mahasiswi cantik yang selalu berusaha terlihat aktif di kelas saya.
Awalnya saya terus saja menyangkal perasaan saya itu. Mungkin saja itu hanya perasaan kagum semata. Tapi seiring berjalannya waktu, dan saya terus liat kamu duduk manis di kelas saya, saya gak bisa menahan perasaan itu lagi. Mata saya selalu tertuju ke kamu.
Parahnya, perasaan saya semakin besar saat kita disatukan sebagai dosen pembimbing dan mahasiswa bimbingan. Seperti yang kamu tau, saya dikenal perfectionist dan kejam oleh mahasiswa lainnya. Tapi saya sama sekali gak bisa naikin suara saya ke kamu. Saya gak tega.
Di saat saya sudah semakin yakin dengan perasaan saya ke kamu, Papa saya bilang kalau dia berniat menjodohkan saya dengan anak kenalannya disini. Niatnya baik sebenarnya, karena di usia saya yang ke tiga puluh tiga, saya belum juga membawa calon untuk dikenalkan.
Secara bersamaan, saya gak sengaja ngeliat story ig kamu berduaan dengan cowok. Saya marah, Lia. Saya kesal, saya cemburu. Tapi saya gak bisa apa-apa. Perasaan kamu masih bias bagi saya. Untuk itu, saya terima rencana perjodohan orang tua saya.”
Ryan memejamkan matanya saat mengakhiri penjelasan panjang lebarnya. Dia meresapi penyesalan yang datang padanya saat itu.
“Dasar pengecut..” Hina Adelia dengan mata memerah dan berair.
Ryan membuka matanya dengan cepat saat mendengar hinaan dari Adelia. Dia memang pantas dikatai sebagai seorang pengecut.
“Saya tau..” Ujar Ryan dengan lesu.
Adelia mencoba menarik tangannya dari genggaman Ryan, tetapi pria itu mempertahankan cengkeramannya. Pada akhirnya Adelia menyerah dan membiarkan Ryan tetap menggenggam tangannya.
“Bapak adalah laki-laki paling pengecut yang saya tau. Bapak gak pernah nyoba buat nyatain perasaan bapak ke saya. Bapak gak pernah nanya perasaan saya bagaimana. Bapak langsung ambil kesimpulan sendiri dan milih kabur daripada memperjuangkan perasaan bapak.”
Ryan mendengarkan dengan hening, matanya menyiratkan rasa penyesalan. Dia tidak bisa membantah kata-kata Adelia.
“Bapak tau? Saya ngerasa kecewa. Saya patah hati. Disaat saya mulai menaruh harapan pada bapak, bapak justru ninggalin saya dengan nikah dan punya anak dengan orang lain. Tanpa penjelasan apa pun.”
"Saya tahu saya membuat banyak kesalahan, Lia. Saya tidak bisa mengubah masa lalu, tapi saya ingin memperbaikinya. Saya ingin memperbaiki semuanya sekarang," ujar Ryan dengan suara yang penuh penyesalan.
Adelia menatapnya dengan pandangan tajam. "Sekarang sudah terlambat, Pak. Anda tidak bisa merubah apa yang sudah terjadi."
Ryan mencoba untuk melepaskan diri dari kehampaan yang menyelimutinya. "Saya cinta kamu, Lia. Saya mau melakukan apa saja untuk buktikan itu."
Adelia tertawa getir. "Cinta? Sejak kapan Anda peduli dengan perasaan saya? Anda mengecewakan saya, Pak Ryan."
Ryan mencoba untuk mendekat, tetapi Adelia menggeser langkahnya mundur. "Jangan, Pak. Saya butuh waktu dan ruang untuk merenung. Saya harap Anda bisa menghormati itu."
Dengan itu, Adelia berbalik dan meninggalkan Ryan sendirian di taman, memendam penyesalan dan rasa hampa yang mendalam.
~~~
Seven – Mahasiswi Abadi
Adelia sudah merasakan kalau CINTA ITU MEMANG ANEH. Malam itu, dia meninggalkan Ryan sendirian dan masuk ke dalam rumah dengan air mata berlinang. Bukannya menolak lamaran Ryan waktu itu, dia justru menyetujui tanpa pikir panjang.
“Aku terima lamaran dari Pak Ryan. Jadi tolong jangan ganggu aku dulu. Aku mau istirahat.”
Itu yang dikatakan Adelia sebelum melangkah ke kamarnya. orang-orang yang ada di ruang tamu tentunya merasa heran. Adelia menerima lamaran Ryan, namun raut wajahnya tidak seperti orang yang bahagia. Justru terlihat seperti orang yang bersedih.
Wajar kalau semua orang mengira kalau Ryan mengancam Adelia untuk menerima lamarannya. Padahal, Adelia hanya merasa kalau mengikat Ryan selamanya disisinya, adalah bentuk hukuman dari Adelia untuk pria itu.
Dan disinilah dia, di ruangan tempat rumor yang menyebut dirinya sebagai PELAKOR beredar. Seperti yang sudah-sudah, dia mengerjakan revisi tesisnya ditemani sang suami tercinta, Ryan Davis.
Pria itu benar-benar membuktikan rasa cintanya. Semua gossip miring tentang Adelia dituntaskan tanpa cela. Bahkan semua orang berbalik iri terhadap kisah cinta keduanya. Kisah klise antara dosen pembimbing dan mahasiswa bimbingannya yang hangat-hangatnya saat ini.
“Udah sayang?” Tanya Ryan sembari duduk di samping Adelia di sofa. Beberapa hari yang lalu, Adelia mengeluh ingin istirahat. Untuk itu, Ryan rela mengeluarkan uang pribadinya untuk membeli sofa nyaman yang bisa digunakan oleh istrinya istirahat dari revisi segudang yang diberikan olehnya sendiri.
Adelia mencebikkan bibirnya. “Jurnal internasionalnya gak usah, ya? Mumet banget.” Ujar Adelia memelas.
Ryan meraih wajah Adelia dan menggigit pipinya dengan gemas.
“Kok digigit sih? Sakit tau.” Sungut Adelia sambil menggembungkan pipinya.
Bukannya berhenti, Ryan semakin gemas saja. Jadinya seluruh wajah Adelia diciumi olehnya. “Istriku kok gemesin sih?”
“Ibu suka melihara kucing waktu ngandung aku. Jadinya gemesin. Hehe”
“Serius?”
Adelia mengangguk lucu. “Beneran.”
Ryan mencubit kedua pipi Adelia. “Pantes aja kamu mirip patung kucing Maneki-neko.”
“Apa itu?” Tanya Adelia.
“Itu loh patung kucing yang punya tangan melambai-lambai di toko orang China.” Ucap Ryan.
Adelia mencubit perut Ryan. “Enak aja dimirip-miripin sama patung begituan.” Ujar Adelia kesal.
Ryan tertawa dan menarik tubuh Adelia ke dalam dekapannya. Sesekali dikecupnya puncak kepala Adelia dengan sayang. “Sayang banget sih sama kamu..”
Adelia tersenyum bahagia di dalam dekapan hangat Ryan. "Aku juga sayang banget sama kamu, Pak dospemku. Walaupun kamu suka banding-bandingin aku dengan patung kucing."
Ryan memeluk Adelia semakin erat. "Tapi tau nggak, patung kucing Maneki-neko itu bawa keberuntungan. Jadi kamu itu sumber keberuntungan besar dalam hidup aku."
Adelia tertawa kecil. "Kalau begitu, aku akan berusaha membawa keberuntungan sebanyak mungkin buat kamu. Hehe."
Ryan tersenyum sambil mencium lembut kening Adelia. "Itu dia, istri beruntungku."
“Tapi istri kamu ini masih punya revisi bejibun..” Adelia melirik ke coffee table yang dipenuhi dengan tumpukan buku dan catatan. Dia menghela napas lelah.
“Kamu tenang aja. Aku ada rekapan jurnal internasional, nanti aku kirimin. Sekarang kita ke tempat Prof Jaya. Kamu ada janji buat minta tandatangan ulang di halaman pengesahan, kan?”
Adelia mengangguk. Dia menatap Ryan dengan haru. “Beruntung banget sih punya suami perhatian..” Ujar Adelia dengan imut.
Ryan tersenyum manis. “Aku juga beruntung punya istri yang hebat, yang selalu berusaha keras. Aku cuma bantu kamu supaya lebih ringan, sayang."
Adelia tersenyum dan beranjak, mulai membereskan barang-barangnya. Begitupun dengan Ryan yang juga ikut mengemasi laptopnya. Setelah selesai, mereka berjalan menuju parkiran mobil untuk ke Gedung rektorat.
“Pengantin baru mah beda. Nempel mulu..” celetuk Prof Jaya saat melihat pasutri baru memasuki ruangannya saling bergenggaman tangan.
Adelia menunduk malu dan melepaskan tautan tangannya dengan Ryan. Sementara itu Ryan terkekeh geli. “Kayak gak pernah jadi pengantin baru aja, Prof.” Jawab Ryan.
Prof. Jaya tersenyum dan mengangguk paham. "Ya, ya, dulu saya juga begitu. Nikmati saja masa-masa indah ini, Ryan. Setidaknya kamu udah dapet yang kamu incar dari dulu kan?” Prof Jaya menaik turunkan alisnya menggoda Ryan.
Ryan tertawa geli. “Masih inget aja, Prof.”
“Saya udah jadi tempat curhat kamu kalau kamu lupa.” Prof Jaya terkekeh, membuat Adelia menatap keduanya dengan bingung. Dia harus menanyakan hal ini nanti.
“Kesini mau ngapain?” Tanya Prof Jaya.
Ryan menatap Adelia seakan memberinya kode untuk maju. Adelia mengangguk.
“Saya mau minta tandatangan ulang di halaman pengesahan tesis saya, Prof."
Prof Jaya mengangguk dan mulai menandatangani yang perlu. Setelah berbasa basi sedikit dan berterima kasih, Ryan dan Adelia pamit pulang karena Karen akan membawa Bryan ke rumah mereka. Oh iya, Bryan itu adalah bayi yang fotonya ditangisi oleh Adelia waktu itu. Ternyata bukan putra dari Ryan dan Karen, melainkan hanya anak adopsi mereka.
Saat akan mencapai lift, mereka berpapasan dengan Letta dan Bima. Sepertinya Bima menemani Letta untuk bimbingan tesis juga.
“Wah.. senengnya liat pasangan fenomenal kampus jalan berdua gini. Mesra banget gandengan tangan mulu..” Goda Letta.
Adelia tersenyum. Bukannya merasa malu karena godaan itu, dia justru memeluk lengan Ryan dengan erat, memamerkan keromantisan mereka.
“Iya dong.. Apalagi statusnya udah halal, hehe.” Cengir Adelia.
Letta mencibir. “Bikin iri aja..”
“Iri kenapa sih, by?” Ujar Bima. “Kan kita juga bakal nikah gak lama lagi.”
Letta mengusap tengkuknya salah tingkah. “Eh iya.”
“Lagian mereka telat..” Lanjut Bima.
“Gak ada yang telat kali, kak Bim. Semuanya udah pas..” Elak Adelia.
“Kalau gak telat, trus apa? Coba aja dari dulu sadarnya, kan kamu gak bakal dapat bekasan.” Sarkas Bima. Letta sontak memukul lengan Bima saat ucapan tunangannya itu keterlaluan.
Ryan hanya berekspresi datar, sedangkan Adelia menatap Bima dengan kesal. “Pedes amat mulut lo, kak. Tapi gue gak peduli yang penting gue cinta.” Desis Adelia. Dia kemudian langsung menarik tangan Ryan saat lift terbuka. “Kita pulang aja, yuk.” Ajaknya pada Ryan.
Di dalam lift, Adelia langsung meraih wajah Ryan. Karena mereka hanya berdua, dan lantai yang dipijaki sekarang ada di lantai sepuluh, dia merasa bebas berbicara sekarang. “Jangan dengerin kata-kata Kak Bima, yah. Dia emang ceplas-ceplos orangnya.” Adelia menggigit bibirnya tak enak. Dia takut kalau Ryan akan tersinggung. Jelas yang dimaksud bekasan oleh Bima adalah status Ryan yang saat ini duda.
Ryan menangkup tangan Adelia di pipinya dan tersenyum lembut. “Gak papa, sayang. Aku gak marah kok. Kan emang kenyataannya.”
Adelia mengerucutkan bibirnya. “Tapi kan itu udah lewat. Kak Bima juga punya andil karena udah saranin buat bikin kamu cemburu lewat story itu.” Sungut Adelia.
“Udah gak papa.” Tangan Ryan yang bebas mengusap dagu Adelia, lalu jari itu naik ke bibirnya. “Bibirnya jangan dimonyongin gitu dong. Pengen banget dicium, hem?”
Adelia mengedipkan satu matanya menggoda Ryan. “Mau dong dicium..” Kaki Adelia berjinjit dan semakin menempelkan tubuh mereka. Dia berusaha menggapai wajah Ryan.
Ryan terkekeh geli tapi tidak berniat untuk menuruti tingkah Adelia. Mereka ada di lift sekarang dan ada CCTV. Lalu bisa saja lift berhenti dan terbuka tiba-tiba. Dia tentunya tidak ingin mempermalukan istrinya ini.
TING
Sesuai perkiraan Ryan, lift berhenti di lantai empat. Pintunya terbuka begitu cepat menampilkan posisi Adelia yang memalukan. Tentunya itu dilihat oleh beberapa orang yang hendak masuk ke dalam lift.
Adelia segera memperbaiki posisinya. Dia merasa malu karena tingkahnya yang menggoda suaminya sendiri, dilihat oleh mahasiswa lainnya. Adelia menyembunyikan wajahnya yang memerah di belakang lengan Ryan.
“Malu yah..?” Ledek Ryan saat mereka sampai di lantai dasar. Tentunya saat semua orang sudah keluar dari lift.
“Banget..” Ujar Adelia dengan pelan. Dia melepaskan rangkulannya di lengan Ryan dan berjalan cepat menuju parkiran.
Ryan tidak bisa menahan kekehan gelinya saat melihat tingkah lucu Adelia. Dia berlari kecil untuk mensejajarkan langkahnya dengan Adelia hingga mereka tiba di mobil.
Adelia sudah duduk nyaman di dalam mobil, namun ucapan Prof Jaya terngiang-ngiang di kepalanya. “Tadi maksud Prof Jaya apa?” Tanyanya saat Ryan masuk.
“Yang mana?”
“Itu loh yang bilang udah dapet yang kamu incer. Emangnya apa yang kamu incer dari dulu?”
“Kamu.”
“Hah?” Beo Adelia.
Ryan batal menyalakan mesin mobil, dan malah berbalik menghadap Adelia. “Aku udah incer kamu dari lamaaa… banget. Aku udah bilang sebelumnya, kan?”
Adelia tersenyum malu mendengar pengakuan tulus Ryan. "Hehe, iya sih. Tapi aku gak nyangka kamu beneran serius." ujar Adelia sambil menggeleng pelan.
Ryan menatapnya dengan tatapan lembut. "Aku serius, Lia. Kamu akan selalu jadi mahasiswi abadi aku.”
“Loh?” Bibir Adelia membulat.
Ryan meraih tangan Adelia untuk digenggamnya, sesekali dikecupnya. Istrinya ini sangat ekspresif. Ryan tidak ada bosan-bosannya merasa gemas. “Kamu akan jadi mahasiswiku di sisa usia kamu.”
Adelia mengangguk dengan mata berbinar. “Dan kamu bakal selalu jadi dosen pembimbingku. Hehe.” Adelia tersenyum lebar.
Ryan mengangguk dan tersenyum sama lebarnya. “Aku bakal terus bimbing kamu untuk jadi lebih baik.” Ucapnya sebelum mencium kening Adelia lama.
END